My Perfect Psikiater

By Istiayu19

32.2K 4.3K 857

Lentera Gulita. Gadis berumur 16 tahun yang kehilangan masa remajanya. Di saat teman sebayanya menghabiskan m... More

Prolog
1. Dia Kenapa?
2. She's Not Okay
3. I Can See You
4. Kejanggalan
5. Karena Kamu Lentera
6. Saya Manusia Biasa
7. Cctv?
8. Kecurigaan
9. She's Look Pretty
10. Anda Menginginkan Permainan?
11. Apalagi Ini?
12. Mari Bekerja Sama
13. Cokelat Jawaban
14. Pelaku?
15. For Us
16. Cerdik-Cerdik Licik
17. Don't Be Affraid
18. Dia, Senjana Dan Luka
19. I Will Protect You
20. Semangat Ya Senjana
22. Do it, Lentera.
23. You Deserve It
24. Bertahan ya?
25. Perjanjian
26. Kilas Balik Trauma
27. Kantor Utama RSJ Kasih Beta
28. Kebijakan Kasih Beta
29. "Gue Tandain Lu, Gavin!"
30. Dunia Ini Bukan Hanya Milik Lentera
31. See You, Lentera
32. Hi, Tingker Bell!
33. Praduga
34. Kau Menyukainya, Tuan?
35. Jadi, sebenarnya?
36. Kuncup Bunga Tulip
37. Merekah bak Mawar Berduri

21. Ingkar

750 127 32
By Istiayu19

HAI! SENENG NGGAK AKU UPDATE LAGI! MAAF YA UPDATENYA LAMA.

Mau ngumpulin orang yang nunggu cerita ini update sampe kesel sendiri, mana nih?

Gebuk online Auhtornya gak pa-pa, serius gak pa-pa biar sadar diri gak males buka lapak ini hahahh:(

***

"Akhirnya, kita bertemu lagi."

Suara itu membuat alarm tanda bahaya di kepalanya berbunyi. Lentera melebarkan matanya, ia menggeleng ketakutan. Gadis itu menatap sekeliling, mencari di mana bangunan-bangunan megah tadi? Lentera tersadar. Saat ini ia dalam bahaya.

"Waktunya untuk menyiksamu." ucapnya dibarengi tatapan mengerikan.

"Pergi kamu!" bentak Lentera.

"Pisau, suntik dan cairan mematikan ini merindukanmu, Lentera. Mari kita membuat seni luka lagi, melukis banyak guratan yang mengalirkan darah. Membuat urat-urat nadimu putus, dan menusuk daging-dagingmu."

Sekeras apapun Lentera menghindar. Tangan kekar itu berhasil menggaetnya, menyeret secara paksa menuju gudang.

"Kenapa kamu selalu menghindari saya?" pertanyaannya dibarengi sebuah hentakan pada tubuh Lentera. Dicekik sampai gadis itu kesulitan bernapas.

"Tidak ada waktu lagi, kematian kamu sudah dekat." seringai mengerikan itu terbit. Ia mengeluarkan pisau dari dalam saku Jas putihnya. Dihadapkan tepat pada wajah Lentera.

"Jangan!" pekiknya yang justru membuat laki-laki itu tertawa. Apa katanya? Jangan? Apa itu? Seorang Gavin tidak kenal sebuah larangan. Semakin takut mangsanya maka akan semakin menarik untuk ia usik.

"Saya selalu ingin melukaimu, anak manis." ungkapnya dibarengi gerakan menekan pisau pada leher Lentera. Darah kental itu mengaliri tulang selangkanya. Membuat noda merah pada kerah piyama yang Lentera pakai.

"Deeva lebih menderita dari ini, dia tidak diberi waktu untuk merasakan detik-detik terakhirnya menikmati napas yang tersisa. Deeva mati saat itu juga." ujarnya mengungkit masa lalu.

"Aku bukan Deeva!" bentak Lentera. Netranya melebar dengan genangan air mata di pelupuk matanya. "Karena itu jangan samakan aku dengan Deeva. Bunuh aku dengan cara yang berbeda dari kematian Deeva!" sahut Lentera berucap penuh amarah. Ia mengepalkan kedua tangannya namun ia sembunyikan di balik punggung. Karena saat itu, tubuhnya berada di bawah kukungan seorang Gavin.

Tersenyum. Sebuah senyum meremehkan kalimat gadis itu. Ia mengambil benda lain, berupa suntikan yang akan melumpuhkan Lentera saat itu juga.

"Hanya karena kamu memiliki orang-orang yang melindungimu, bukan berarti kesempatan matimu tertunda. Mereka tidak akan tahu kapan saya menyelinap dan menyiksamu di sini." tutur Dokter Gavin. Perlahan ia menusuk lengan Lentera. Menekan jarum suntik itu sangat dalam. Bahkan Lentera sampai menjerit kesakitan. Saat itu juga tubuhnya layu. Tergeletak di ubin yang kasar.

"Kalau saja papamu tidak mengusik ketenangan di keluarga saya. Semua ini tidak akan terjadi pada dirimu." Dokter Gavin mengusap wajah Lentera. Sentuhan itu sangat lembut. Gadis itu menangis dalam diam. Merasakan otot dan sendi-sendi tubuhnya terasa mati.

"Jadi, siapa yang paling kamu sayangi di sini?" Dokter Gavin mengubah posisi Lentera menjadi duduk dengan kedua kaki sejajar.

"Semuanya aku sayangi," jawabnya mengikuti kata hati. Netranya tak berkedip.

"Siapa yang menjadi pahlawan di hidupmu?" tanyanya seraya menggoreskan pisau pada lengan Lentera. Gadis itu menatap seni lukis itu dengan datar. Sebuah cairan merah yang keluar bukan hal mengerikan lagi baginya, setiap hari ia menyaksikan darah pada tubuhnya. Keluar dari luka yang entah itu ia ciptakan sendiri atau oleh orang yang ada di depannya itu.

"Semua yang ada di sini, mereka adalah pahlawanku." sahut Lentera.

"Hm, sepertinya banyak yang menyayangimu. Berbeda dengan Deeva ya, saat itu bahkan dia tidak tahu apa-apa," sela Dokter Gavin. Ia manggut-manggut menatap arah lain.

"Aku juga nggak tahu apa-apa. Tiba-tiba ada di gedung ini selama bertahun-tahun. Tapi tahun terberatku, tahun ini." bahkan Lentera tetap bisa menjawab setiap pertanyaan Dokter Gavin. Ia tidak takut akan risikonya kalau-kalau ia salah ucap dan berakibat fatal.

"Karena akhirnya saya menemukanmu dan menjadi hantu dalam pikiranmu?" sahutnya.

Lentera mengangguk, "iya. Monster." jawabnya.

"Hidup kamu akan tetap seperti ini sampai kamu mati," ucap Dokter Gavin.

"Aku bisa sembuh dari sakit hati yang aku derita. Sakit ini pasti akan hilang suatu hari nanti." ujar Lentera berucap tanpa ekspresi. Ia menatap kedua lengannya yang kini berlumur darah.

"Kamu itu sudah gila, tidak akan sembuh seperti orang normal pada umumnya. Ingat baik-baik, lukamu akan abadi sampai kamu mati, sama seperti yang di rasakan Deeva." tekan Dokter Gavin.

"Apa Deeva bercerita padamu? Apa di dalam kuburnya, dia menceritakan bagaimana rasa sakit yang dia derita? Dia bicara tentang semua pahit yang dia rasakan selama ini? Apa Deeva juga mengalami sakit yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata seperti apa yang aku rasakan selama ini?" Lentera menyahut tenang. Ia mencengkram lengan Dokter Gavin. Bola matanya menampilkan api yang bisa kapan saja membakar orang-orang di hadapannya.

"Dia tidak bercerita karena dia tidak diberi waktu untuk itu." sahut Dokter Gavin tak kalah tenang namun juga menampilkan tatapan tajam.

"Lalu, mengapa kamu bicara semua tentang penderitaan Deeva? Seseorang yang mati, dia akan berdamai dengan lukanya. Jadi, belum tentu dia memiliki dendam yang sama sepertimu. Hanya karena dia mati terbunuh, bukan berarti dia juga memiliki niat membunuh pelakunya."

Dokter Gavin cukup takjub dengan kalimat gadis itu. Untuk ukuran tidak normal seorang Lentera, itu sudah dikatakan sangat baik. Karena setiap jawaban yang ia ucapkan benar. Pemikirannya saat ini seperti orang tidak dalam pengaruh gangguan jiwa.

Tapi, itulah Lentera. Dia adalah gadis yang cerdas. Saat gangguan jiwa yang ia derita selama bertahun-tahun ini terusik oleh pelaku itu sendiri, pikiran Lentera justru akan membaik. Ia bisa disebut orang sehat tanpa ada riwayat Skizofrenia.

Dan, tentunya, itu hanya bersifat sementara.


"Kamu tahu? Pisau ini bisa melukaimu tanpa rasa sakit. Mau saya ajari?" tawar Dokter Gavin.

"Beri tahu aku, supaya kamu menyudahi semua ini, aku lelah melihatmu dengan benda-benda seperti ini." ungkap Lentera.

"Kamu bisa menggunakannya sendiri," Dokter Gavin mengulurkan pisaunya. Bercak darah itu mengering pada ujungnya yang runcing. Seringainya mengisyaratkan segala tentang nasib malang Lentera.

"Maksud kamu, nggak akan sakit jika aku melukai diriku dengan tanganku sendiri?" Laki-laki itu mengangguk pelan. Meyakinkan Lentera akan hal konyol itu.

"Di mana aku harus melakukannya?" tanya Lentera. Ia menatap pisau itu dengan tatapan polos. Sesekali kepalanya dimiringkan.

"Tusuk dada sebelah kirimu, semua akan terasa damai ketika kamu melakukan itu. Percayalah." tutur Dokter Gavin.

Lentera mengangguk. Ia menunduk menatap dada kirinya. Pisau itu sudah diarahkan tepat pada bagian yang dikatakan Dokter Gavin. Ujung pisau itu perlahan menusuk, mengukir luka dengan senyum mengerikan. Ini bukan Lentera yang biasanya. Segala desakan dan ketakutannya menjadikan ia seperti boneka Dokter Gavin.

"Lakukan lagi sampai dada kirimu itu membentuk sebuah cekung yang akan mengeluarkan berliter-liter darah." Dokter Gavin berucap dengan nada yang ditekan namun tetap terdengar lirih.

"Cabik-cabik bagian itu sampai kamu merasa tenang, gelap, dan saat itu juga, kamu sudah berhasil melewati ujian kematian." bisikan Dokter Gavin membuat Lentera yakin. Gadis itu melakukannya dengan patuh.

"Seperti ini?" tanya Lentera disertai hentakan keras pada dada kirinya menggunakan pisau tersebut. Darah itu mencuat deras. Lentera tersenyum samar. Antara menahan sakit dan puas terhadap maha karyanya—yang didapat dari desakan Dokter Gavin.

"Good job, manis." sahut Dokter Gavin seraya mengusap kepala Lentera.

"Bagian mana lagi? Aku muak melihat wajahmu, aku ingin mati dan lupa siapa kamu." ucap Lentera.

"Lakukan di mana pun. Kamu bebas membuat seni guratan di sekujur tubuhmu." jawab Dokter Gavin.

"Bagaimana kalau di sini?" Lentera mengarahkan pisau berlumur darah itu tepat di atas kepalanya.

"Do it." ucap Dokter Gavin disertai smirknya.

Lentera melakukannya. Giginya menggertak bersamaan dengan aksi menusuk kepalanya sendiri, berkali-kali, tanpa jeda. Dokter Gavin menyaksikan dengan sangat puas. Ia tidak perlu mengotori tangannya sendiri.

"Ciptakan luka lebih banyak lagi, manis." bisik Dokter Gavin.

Gadis itu menoleh cepat disertai tatapan mengerikan. Tidak sedikitpun menampilkan rasa sakit dari apa yang ia lakukan pada kepala dan dada kirinya. Hancur oleh luka tusukan pisau. Sekujur tubuhnya berlumur darah. Lentera mengamati wajah Dokter Gavin. Sebuah senyum yang sangat tipis ia terbitkan. Lalu setelah berdiskusi dengan otak dan hatinya. Lentera mengarahkan pisau itu lagi, ini untuk yang terakhir dan ia berharap setelah ini semuanya selesai.

Mati. Mati. Dan mati.

"Arghhhh!" pekikan itu menggema. Menggetarkan dinding-dinding yang sedari tadi menyaksikan bagaimana orang-orang itu asik bermain-main dengan pisau.

"Monster! Kamu juga harus mati!"

Seruan itu melengking setelah tangan mungilnya berhasil melakukan aksi paling berani selama ia hidup dalam ruang trauma. Lentera menancapkan pisau itu pada lengan Dokter Gavin. Pemiliknya sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Erangan sakit dan sumpah serapah kematiannya terus menerus terucap dari bibir Dokter Gavin.

"Jika aku mati, kamu juga harus mati." tutur Lentera menarik kembali pisau itu. Lalu ia mengarahkan pada dada laki-laki yang notabene Psikiater paling berwibawa dan memiliki keahlian di atas rata-rata.

"Gadis bodoh!" serunya.

Lentera sudah tidak bisa mendengar bahkan melihat sekitarnya. Pandangannya buram, napasnya tersengal-sengal. Ia tidak peduli siapapun lagi. Saat ini, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Lentera berpamitan kepada semua orang. Bahkan kepada dirinya sendiri pun,  ia melantunkan kata terima kasih dan sampai jumpa.

***

Alwi tidak berhenti membuat kebisingan di kamarnya sendiri dengan bunyi keyboard yang ia tekan penuh konsentrasi disertai emosi.

Sepulang dari klinik Ezra, ia yang katanya akan melanjutkan bekerja seperti biasanya justru pulang kembali untuk menyelesaikan semua map-map penting yang harus segera di tandatangani hari itu juga di rumah.

"Abang, dipanggil sama om tuh, katanya suruh ke ruang tamu." Antari membuka pintu kamar Alwi dengan celah yang sangat kecil. Gadis itu takut mengganggu.

"Saya masih banyak pekerjaan, tolong katakan ke beliau, tunggu setengah jam lagi." sahut Alwi tanpa menoleh sedikitpun.

"Setengah jam, katamu? Sopan seperti itu? Orang tua mau bicara malah diabaikan."

Sigap berdiri lantas menggaruk kepalanya yang terasa gatal. Wajahnya lusuh dengan kacamata bulat yang membingkai matanya. Sedikit menghela napas, Alwi berjalan mendekati Papanya yang saat itu berdiri di ambang pintu menampilkan raut marah.

"Ke mana saja hari ini?" pertanyaan itu reflek membuat kepala Alwi menoleh ke arah jam dinding di atas meja kerjanya. Tidak sadar akan waktu, saat ini sudah pukul 20.30 wib.

"Sudah lama tidak berkunjung ke klinik Ezra," sahut Alwi lirih.

"Lalu? Kamu melupakan tanggungjawab sebagai psikiater? Kamu malah pergi untuk kepentingan pribadimu sendiri? Papa bahkan sudah percayakan Kasih Beta ke kamu. Kelola dengan baik, kerja sesuai jamnya." Ikhwan berkacak pinggang. Cukup kesal terhadap anak laki-lakinya.

"Maaf, pa. Alwi sedang butuh refreshing." ucapnya.

Ikhwan berdecak seraya menyugar rambutnya. "Kamu pikir pekerjaan seperti ini bisa kamu kesampingkan mentang-mentang merasa capek? Papa juga capek, Al. Tapi papa tahu mana tanggungjawab yang tidak boleh ditinggalkan." timpalnya.

"Hanya hari ini, pa. Seterusnya tidak akan." ungkapnya.

"Sudahlah." akhirnya. "Jadi, seharian ini kamu ngapain?" tanyanya.

Alwi menjawab lewat bahasa tubuhnya. Dengan menoleh ke arah meja kerja yang dipenuhi tumpukan map serta komputer yang menyala menampilkan huruf-huruf kecil memanjang. Ikhwan menghela napas kasar. Ia menunjuk semua itu dengan raut lelah.

"Selesaikan itu, makan dan istirahatlah." titahnya. Ia menutup kembali pintu kamar anaknya. Namun Alwi teringat sesuatu, cekatan menarik ganggang pintu kamarnya, membuat Ikhwan mengernyit. Menaikkan satu alisnya saat Alwi menghampiri dengan raut khawatir.

"Ada apa?" tanyanya.

"Bagaimana dengan hari ini?" sahut Alwi canggung.

Lagi. Ikhwan mengernyitkan keningnya menjadi lebih serius. "Seperti biasanya. Papa disibukkan dengan berkas dan laporan keseharian dari semua Dokter di Kasih Beta."

Alwi tampak tidak ingin mendengarkan jawaban itu. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Hal itu juga menjadi pengamatan Papanya. Mengerti kalau anaknya sedang menyembunyikan sesuatu.

"Bukan itu, pa." sahut Alwi.

"Apa?" Ikhwan justru memancing anaknya untuk mengucapkan apa yang membuatnya canggung. Biarkan saja, di sini Ikhwan sengaja membelit-belit perkara yang ia sendiri sudah bisa menebaknya ke mana arah pertanyaan Alwi.

"Lupakan." sahutnya lirih.

"Terjadi sesuatu padanya." ungkap lelaki berkemeja biru muda itu.

Mata Alwi melebar. Dadanya bergemuruh mendengarnya. Alwi berlari memasuki kamarnya. Menyaut jaket serta ponsel dan tak lupa kunci mobilnya.

"Al, sudah mal—am." Ikhwan menghela napas ringan. Ia tidak berhasil mencegah anaknya. "Ya sudahlah, biarkan saja." monolognya.

***

Suster Almira senantiasa mengusap punggung tangan mungil itu dengan sapuan lembut. Ia baru saja menghentikan tangisannya setelah sekian jam berdiri di sisi Lentera yang terbaring dengan dengkuran halus. Lagi, gadis itu mengalami bentrok batin. Di mana halusi dan delusinya saling bertarung menginginkan pengakuan sebuah kebenaran.

Sehingga, Lentera tidak kuasa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya sebuah bayangan semata.

"Mira, sebaiknya kamu pulang. Udah jam sembilan malam. Ini jadwal untukku." tutur Lula.

"Aku nggak bisa tinggalin Lentera dengan keadaan seperti ini, La." sahutnya parau.

"Dia tidur dengan pulas, kamu nggak usah khawatir." ujar Lula. Perempuan itu menatap jengah pada gadis yang tadi siang menghebohkan Rumah Sakit Jiwa lagi. Dengan ditemukannya ia tidak sadarkan diri di gudang.

"T-tapi, ak—" Almira menggeleng lemah. Ia merasa selalu gagal melindungi Lentera satu tahun terakhir ini, dan yang paling membuatnya takut ketika ia mengetahui niat buruk dari Dokter Gavin.

"Mira, tolong patuhi peraturan di sini, demi kebaikan semuanya kok. Aku yang jagain Lentera. Kamu tenang aja." ucap Lula tulus.

"Bagaimana kalau nanti ada Dokter Gavin?" tanyanya was-was.

Lula mengernyit, "memangnya kenapa? Dokter Gavin kan yang bertanggungjawab atas kesembuhan Lentera." timpal Lula.

Suster Almira menunduk. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Identitas Dokter Gavin sangat transparan di lingkungan Rumah Sakit Jiwa Kasih Beta. Laki-laki itu sangat di hormati.

"Cepat, pulanglah." Lula mengusap pundak sahabatnya.

"Iya, kalau ada apa-apa kabari aku ya, La."

Lula mengangguk. Ia memeluk sahabatnya dengan perasaan prihatin. Kesehatan mental Suster Almira terganggu lagi setelah sekian lama ia menjadi manusia normal. Semua ini karena ia terlalu terbebani dengan adanya Lentera yang orang-orang ingin gadis itu sembuh tahun ini.

"Permisi." suara itu terdengar lirih namun membuat keduanya menoleh kaget. Napasnya berderu tak beraturan, melangkah cepat mendekati kasur di mana gadis itu terlelap begitu pulas.

"Pak, Alwi?" ucap mereka bersamaan disertai kebingungan.

"Iya, maaf saya lancang kemari. Apa yang terjadi padanya?" tanyanya khawatir. Kedua mata itu menatap sendu.

"Pak, maaf sebelumnya. Sebaiknya untuk masalah ini bisa Bapak bicarakan dengan Suster Almira. Ini sudah jam istirahat untuk semua pasien. Mohon pengertiannya." tutur Suster Lula sangat ramah.

Alwi menghela napas pendek. Ia menggeleng seraya menyugar rambutnya. Menghalau keringat yang membanjiri pelipisnya. Setelah beberapa detik mengamati Lentera, Alwi mengangguk. Menyetujui ucapan Suster Lula.

"Mari, Pak Alwi." ucap Suster Almira. Perempuan itu juga ingin bicara mengenai kejadian tadi siang dan sebelum-sebelumnya yang tidak sempat ia ungkapkan terhadap Alwi. Merasa bahwa laki-laki itu juga berhak tahu semua tentang Lentera dan sederet kejadian yang menimpa gadis itu.

Mereka di sini. Koridor yang tak jauh dari ruangan Lentera. Masing-masing duduk di kursi panjang. Malam berselimut kebisuan, angin dingin membumbui celah keduanya untuk memulai obrolan.

"Seharian ini Bapak tidak terlihat, apa ada jadwal cuti?" tanya Suster Almira.

Laki-laki berjaket levis denim itu menggeleng. Penampilannya saat itu tidak menunjukkan siapa dirinya di sana yang notabene seorang psikiater sekaligus anak dari ketua dan pemilik Rumah Sakit Jiwa Kasih Beta. Kaus putih tertutup jaket serta celana jeans itu membuat Suster Almira rikuh menatapnya.

"Saya bolos." jawabnya.

Suster Almira mengangguk beberapa kali. Memahami jawaban itu secara lelucon. Memangnya ia pikir ini sekolah? Membolos?

"Saya sengaja mencuri waktu untuk sekadar main ke klinik teman. Saya pikir hanya sebentar. Tapi keenakan ngobrol dan akhirnya lupa waktu." imbuh Alwi.

"Saya mengerti." sahut Suster Almira. "Bapak pasti butuh waktu senggang untuk mencari udara bebas."

"Jadi, Lentera kenapa?" Alwi mengarah ke pembahasan yang menjadi inti pertemuan mereka di sana.

"Mengapa Bapak kemari, malam-malam seperti ini? Besok masih bisa Bapak tanyakan perihal Lentera, ada yang membuat Bapak merasa terburu-buru ingin menjenguk Lentera?"

Alwi mengangguk cukup yakin. "Saya merasa dia tidak baik-baik saja. Dan sepertinya benar begitu."

"Benar, tadi siang dia pingsan setelah apa yang di pantau dari Cctv." ungkap Suster Almira.

"Apa ada yang berusaha mencelakainya?" tanya Alwi khawatir.

"Ada." balasnya dengan tatapan datar. Lalu, Suster Almira mengalihkan pandangannya. "Dia mengatakan monster itu berusaha membunuhnya lagi. Tapi, kenyataannya tidak begitu."

"Dia berhalusinasi?" tanya Alwi.

"Iya. Dia seperti korban tragis pembunuhan. Padahal dari rekaman Cctv, dia sendirian, dia bicara, berteriak dan menangis secara bersamaan."

Alwi merasa semakin lemas mendengarnya. Tubuhnya luruh. "Sudah pasti akan seperti itu dan selalu." ungkap Alwi.

"Dampaknya buruk, karena kejadian itu, dia tetap bersikap layaknya korban pembunuhan. Seperti yang sempat Bapak lihat tadi, dia meminta luka-lukanya diperban, padahal semua baik-baik saja."

"Batinnya yang terluka." sela Alwi.

"Saya tidak tahu harus bagaimana lagi, keadaannya semakin hari semakin buruk. Apakah dia tidak bisa sembuh?"

"Bisa." balas Alwi cepat. "Lentera akan sembuh kalau Dokter Gavin angkat kaki dari sini. Semua akan membaik kalau sumber traumanya pergi." tuturnya.

"Tapi, Pak. Ketahuilah, obat terbaik adalah si pemberi luka. Jadi kita ambil sisi baiknya, adanya Dokter Gavin memang membawa pengaruh buruk tapi di sisi lain, mungkin dengan cara itulah Lentera akan mengulang lukanya kembali, berperang dengan batin dan traumanya sampai benar-benar lelah dan akhirnya dia bisa mengalah dari delusinya. Dengan begitu, Lentera sembuh." papar Suster Almira.

"Tidak semua obat berasal dari sumber lukanya. Di sini, Dokter Gavin sangat berbahaya. Tidak ada sisi positifnya. Yang ada, semakin di biarkan, nyawa Lentera melayang. Mungkin bukan benda tajam yang akan menjadi pemicu matinya Lentera. Tapi apakah Suster Almira tahu? Mental dia yang akan membunuhnya. Pikiran dan bayangan-bayangan menakutkan yang akan mendorong Lentera memilih menyerah dan membunuh dirinya sendiri. Itu yang kalian semua inginkan?"

Nada bicara Alwi tidak selembut sebelumnya. Laki-laki itu mulai terusik lantas merasa emosi. Bagaimana bisa, seorang Gavin Erlangga masih bisa menempati sisi paling tinggi setelah bukti-bukti niat jahatnya terkumpulkan. Memang hanya Alwi dan Suster Almira yang mengetahui. Tapi, seorang Gavin tidak bisa diremehkan.

Bermain cerdik, diam dalam tindakan, mematikan dalam kebisuan.

"Saya hanya lelah memikirkan bagaimana caranya Lentera bisa sembuh." tutur Suster Almira. Kepalanya tertunduk. Kedua tangan yang ia kepal bertumpu pada kanan kirinnya.

"Mudah. Seperti yang saya katakan tadi, Dokter Gavin harus pergi dari tempat ini. Bagaimanapun caranya."

Suster Almira mendongak. Tatapannya terlihat tidak yakin. Mengingat siapa Dokter Gavin di sana dan seperti apa orang-orang menjunjung tinggi pangkat dan wibawanya.

"Kamu ingkar janji!" bentak seorang gadis yang tiba-tiba mendorong punggung Alwi sekuat tenaga. Laki-laki itu nyaris terjerembab. Buku-buku menoleh memastikan siapa pelakunya. Namun dari suara yang terdengar seperti anak kecil itu, Alwi sudah tahu siapa pelakunya.

"Ngapain kamu ke sini?!" tanyanya dengan raut marah. Ia berkacak pinggang melotot ke arah Alwi. Bahkan, gadis itu juga menyodorkan tongkat baseball yang entah dari mana ia dapatkan.

"Lentera, kamu terbangun?" Suster Almira mendekap gadis itu. Menjauhkan tongkat dari tangannya.

"Aku mendengar suara dia, aku ingin marah karena dia ingkar janji." adunya dengan suara parau. Bola mata itu memancarkan kesedihan.

"Dokter Alwi ada urusan yang membuat beliau tidak bisa masuk hari ini, kalian ada janji apa?" sahut Suster Almira.

"Pokoknya dia jahat!" pekik Lentera tak mau mendengar penjelasan apapun. Ia sudah terlalu percaya bahwa Alwi akan selalu ada di sisinya kapan pun, di mana pun.

"Astaga, maafkan Lentera ya. Tadi dia bangun langsung lari ke sini, saya sampai kualahan." Suster Lula datang dengan napas ngos-ngosan mengejar Lentera.

"Ayo Lentera, kita kembali ke kamar ya." tuturnya lembut seraya mengusap kepala gadis itu. Tidak ingin pergi begitu saja, Lentera menepis tangan Suster Almira. Ia menoleh ke arah Alwi. Menatap tajam disertai kepalan tangan mungilnya.

Laki-laki itu tetap diam di tempatnya. Mengamati sikap yang ditunjukkan oleh Lentera karena dirinya merasa kecewa. Alwi memahami itu. Tapi, dari sudut pandangnya. Apa yang ia lihat dari wajah Lentera, gadis itu seakan-akan ketakutan. Ia menginginkan sebuah perlindungan namun ia sendiri tidak bisa mengutarakan.

"Kita paksa aja, Mira." usul Suster Lula.

"Tidak perlu, biarkan dia meluapkan emosinya." sahut Alwi. Lalu ia mengangkat tangannya meminta perhatian kepada dua Suster itu. "Boleh minta tolong? Tinggalkan kami, hanya sebentar. Sampai dia bisa memaafkan saya."

Keduanya mengangguk. Lantas, mereka berlalu dari sana. Membiarkan Lentera mengutarakan apa yang ingin ia sampaikan melalui emosinya.

"Kamu bohong! Katanya nggak akan pergi, kamu ke mana?" ungkapnya kesal.

"Saya pergi ke klinik teman, saya lupa memberi tahu kamu kalau hari ini saya sengaja bolos. Saya tidak ingat kalau kedatangan saya ditunggu-tunggu." ucap Alwi dari jarak satu meter. Kemudian ia mendekat. Tangannya terulur mengusap puncak kepala Lentera.

"Ada yang ingin kamu ceritakan? Bagaimana dengan hari ini? Kamu bermain dengan siapa?" pertanyaan itu membuat Lentera menahan gejolak emosinya. Ia menatap sembari menggertak giginya.

"Kepalamu sakit?" tanya Alwi. Diusapnya perban yang membungkus kepalanya.

"Aku menusuknya sepuluh kali. Nggak sakit, aku suka." jawab Lentera tak berekspresi. Namun sejurus kemudian, gadis itu tertawa. "Aku suka jika kepalaku mengeluarkan darah."

Alwi memegangnya dengan kedua tangan. Mengamati secara seksama. Tidak ada luka apapun di sana. Bahkan perban yang membungkus juga bersih tak ada bercak semacam darah.

"Ada yang sakit lagi?" tanya Alwi.

"Ini," gadis itu memegang dada kirinya. Rautnya seperti menahan kesakitan. "Aku juga menusuknya." imbuh Lentera.

"Kamu suka?" sahut Alwi.

"Suka." jawabnya disertai anggukan kepala.

"Kenapa kamu suka? Semua ini bentuk menyakiti diri sendiri. Apa kamu ingin menyerah?"

"Aku lelah, jadi lebih baik membunuh diri sendiri. Semua akan baik-baik aja." ujarnya.

"Tidak. Kamu harus tetap semangat." tutur Alwi.

"Untuk apa? Aku juga akan dibunuh lagi besok. Kenapa aku harus semangat?" balasnya acuh.

"Saya ingin kamu tetap hidup." ungkap Alwi.

"Tapi kamu suka mengumbar janji, katanya mau temani aku, katanya akan selalu ada di sisiku. Kenyataannya enggak." ucapannya benar-benar seperti perempuan dewasa.

"Saya minta maaf." Alwi menunduk.

"Aku marah sama kamu. Jangan pernah temui aku lagi. Aku nggak mau lihat wajah kamu." tegas Lentera.

"Saya tetap harus melindungi kamu." ucap Alwi.

"Nggak mau!" tukas Lentera sembari mendorong tubuh Alwi.

"Katanya mau pulang, sudah janji nurut ke semua orang yang ada di sini. Kamu masih betah di sini?" tanya Alwi.

Lentera memandang sengit. Ia lantas memunggungi Alwi. "Aku betah karena aku punya banyak teman." jawabnya.

"Jadi, kamu tidak boleh marah ke saya." sahutnya.

"Kenapa nggak boleh?" timpal Lentera kontan menoleh dengan bersedekap.

Alwi mengulas senyum. Ia menarik lengan gadis itu, mendekapnya dengan erat. Diusapnya kepala itu dengan lembut. Lentera berusaha memberontak. Ia tidak nyaman berada di posisi tersebut.

"Aku nggak mau di peluk!" ucapnya dengan raut ketus. Ia mendongak menatap Alwi sinis.

"Maaf, ya sudah saya pulang. Ayo saya antar ke kamar."

"Nggak mau!" bentak Lentera.

"Nanti ada monster." ucap Alwi.

"Monsternya udah aku bunuh. Aku tusuk dia pakai pisau." ungkap Lentera.

Mendengar hal itu, Alwi sedikit tertegun. Halusinasi apa lagi yang gadis itu ciptakan. Bagaimana bisa ia membunuh seorang monster yang jelas bukan lawannya. Kalaupun bisa, seharusnya Rumah Sakit Jiwa sudah dihebohkan oleh berita pembunuhan yang dikatakan Lentera.

"Kamu masih kecil, tidak boleh mainan pisau." tutur Alwi.

"Sana pergi!" usirnya.

"Iya, saya pergi." Alwi menyahut tenang. Ia tersenyum lalu menciptakan langkah meninggalkan Lentera seorang diri. Begitu tahu Alwi pergi, gadis itu buru-buru memutar tubuhnya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang mungil. Lentera terisak-isak di sisi pilar.

"Semua orang jahat, nggak ada yang baik sama aku. Aku benci semuanya!" ungkapnya lirih namun terdengar penuh amarah.

"Mama pernah janji jemput aku di sini, tapi sampai sekarang mama nggak datang. Papa pernah janji kasih hadiah liburan ke Korea, tapi tiba-tiba papa hilang. Papa nggak pernah pulang setelah kejadian di rumah, bahkan saat ada monster, papa nggak menolongku. Terus saat semua teman-teman sekolah jauhin aku, fitnah papa tentang kematian Deeva, dan semua orang pergi."

Ungkapannya diselingi tangisan. Lentera berdiri dengan kaki gemetar. Ia masih menutup wajahnya karena merasa malu. Selalu seperti itu saat ia menangis.

"Sekarang, dia juga ingkar janji. Padahal hari ini aku ingin di temani bermain. Tapi dari pagi dia nggak kelihatan. Aku menunggunya sepanjang hari. Bahkan sampai aku pergi ke kampus Senjana, aku pulang, dia tetap belum datang."

"Aku ingin memiliki teman selain dino dan Senjana. Kenapa nggak ada yang mau sama aku?"

Setengah jam berlalu, Lentera mulai bisa berdamai dengan dirinya. Ia menyudahi isak tangisnya lalu menyeka dengan kasar. Ia berbalik dan dikagetkan dengan sosok itu lagi. Tinggi tegap, tatapannya penuh arti yang tidak bisa Lentera jabarkan.

"Kemarilah," ucapnya lembut.

Lentera menggeleng lemah. "Kenapa kamu masih di sini?"

"Menemanimu," jawabnya.

"Aku nggak menyuruhmu menemaniku." ujar Lentera.

"Saya berinisiatif sendiri," sahutnya praktis.

"Aku—" ucapan Lentera terpotong oleh jari telunjuk yang mendarat pada bibir ranumnya. Netranya mengerjap-erjap. Ada gemuruh yang kini menyerang dadanya.

"Maafkan saya, saya tidak akan menjanjikan apapun lagi. Saya akan berusaha selalu ada untuk kamu. Jangan pernah merasa sendiri."

"Tapi aku nggak akan maafin kamu." sela Lentera.

"Saya tidak peduli." tegasnya.

Kening Lentera berkerut ringan. "Kok gitu? Kenapa kamu egois?"

"Kamu juga egois." timpalnya tak mau kalah.

"Aku egois? Enggak!" ucapnya tak terima.

"Tidak memaafkan orang lain, itu sama saja egois."

"T-tapi kamu nakal! Kamu nggak tepatin janji." ketusnya.

"Saya menepatinya, tapi datang dengan terlambat." satu alisnya terangkat. "Jadi, bagaimana? Saya sudah di sini, itu artinya saya tidak ingkar janji, kan?"

Lentera tergagap. Bibirnya sulit menyangkal kalimat laki-laki di hadapannya itu. "Kamu nyebelin Dokter Alwi!"

Pemilik nama itu berdecak kagum. Ini kali pertama Lentera memanggilnya Dokter. Suatu hal yang langka dan mungkin tidak akan bisa didengar lagi. Karena gadis itu tipekal yang malu mengutarakan sesuatu.

"Bisa di ulangi?" pintanya.

"Kamu nyebelin Dokter Alwi!"

Bahkan saat mengulangi ucapannya. Masih tetap sama, raut wajahnya menggemaskan. Alwi terkekeh. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Kalau begitu, beri saya hukuman karena sudah membuatmu menunggu seharian ini."

"Hukumannya..." Lentera menjeda cukup lama. Gadis itu berpikir sesuatu yang membuat Alwi penasaran.

"Hukumannya?" tanya Alwi.

"Kamu harus gendong aku, aku ingin keliling tempat-tempat di sini."

Alwi terkekeh. Hukuman yang sangat mudah baginya.

"Baiklah, bersiaplah keliling puteri." ucapnya disertai usapan pada puncak kepala Lentera.

"Kamu nggak boleh pergi-pergi lagi ya, kalau kamu hilang nanti aku harus cari kamu ke mana?" ucapnya saat ia sudah dalam gendongan Alwi. Sementara itu, Alwi hanya mengangguk disertai senyumannya. Ia berjanji dalam hati. Akan selalu melindungi Lentera sampai gadis itu benar-benar sembuh dari Skizofrenia-nya.

***

See you yaaaa. Pokoknya maaf kalo updatenya luamaaaaa banget hehe. Makasi supportnya♡♡

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 302K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.9M 89.8K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
438K 2.3K 19
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
536K 2.3K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. πŸ”žπŸ”ž Alden Maheswara. Seorang siswa...