SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

28: The Wrecked Canoe

1.4K 340 165
By lnfn21

CHAPTER 28
The Wrecked Canoe

[Playlist: Kim Jun Seok – Flower of Evil]

***

Di dalam sebuah aula berukuran sedang sebuah perusahaan raksasa, beberapa manusia berpakaian formal tengah sibuk mendiskusikan prahara kerja sama.

Kim Mingyu berdiri di salah satu sudut, mengamati sosok pria yang menjadi pusat atensi seluruh pasang mata lantaran begitu cakap menjabarkan rencana brilian. Tak salah memang jika dua orang bersaudara kerap memiliki persamaan. Jung Jaehyun dan Jeffrey dikaruniai kualitas akal setara Einstein. Kabar yang Mingyu dengar, Jeffrey bahkan tak menamatkan sekolahnya. Namun, selama menjabat sebagai seorang pimpinan beberapa bulan belakangan ini, pria itu selalu membuat Mingyu ternganga dengan segala pemikiran dan tindakannya.

Getar ponsel menyeret Mingyu segera dari geming tanpa aksi berguna untuk kemudian merogoh saku celana. Benda pipih dikeluarkan. Layarnya menyala menampilkan pemberitahuan panggilan masuk dari Mola.

"Ya ini aku."

Mingyu merendahkan suara nyaris seperti berbisik menyapa seseorang di seberang usai menggulirkan ikon terima. Terdengar Mola dengan gelisah kentara menjawab, "Aku tidak bisa menghubungi Tuan Jung maupun Nona Alice. Jadi, aku menghubungimu."

Jelas saja, ponsel Jeffrey di atas podium memang berkali-kali bergetar. Namun, sang pemilik tengah disibukkan dengan salindia berisi kurva-kurva ruwet.

"Ada apa?" Kendati rasa penasaran menggunung di dada, Mingyu berupaya benar untuk tetap bersikap tenang mengingat ia tengah berada di forum resmi.

"Nona Rosé ...."

Seakan ada sesuatu yang samar mencekat suara Mola di ujung sana. Pun Mingyu bisa menangkap gemetar kala Mola mencoba kembali mematah penjelas, "Nona Rosé tidak sadarkan diri."

"APA?"

Kontan, Mingyu tak bisa menahan luapan keterkejutan. Mulutnya tanpa sadar berseru tegas sehingga mau tak mau, ia harus menerima konsekuensi ditatap seluruh individu di dalam ruangan tempatnya berada kala itu. Tak terkecuali Jeffrey yang mengerutkan dahinya dalam-dalam bersama tanda tanya besar di mata kala menyorot Mingyu.

Tak berupaya menjelaskan apa yang menyebabkan kacau tersemat pada ekspresinya, Mingyu hanya sebatas membungkuk sebagai tanda maaf lalu berjalan segera meninggalkan ruangan sambil terus berkomunikasi dengan Mola. Barangkali, memberitahu Jeffrey akan mengganggu pekerjaan pria itu, Mingyu memutuskan untuk menyelesaikan perkara Rosé seorang diri.

Maserati dikendarai Mingyu begitu kencang. Tanpa seijin Jeffrey, pria itu pergi di jam kerja yang belum usai. Dadanya bergemuruh mengingat bagaimana Mola mendeskripsikan betapa kondisi Rosé begitu mengkhawatirkan. Kerisauan akan kejadian lampau dikala perempuan itu terkapar dengan mulut penuh busa dan nyawa yang nyaris tiada memukul Mingyu tak sudah-sudah. Diinjaknya gas kendaraan, tak ragu membanting stir ke kanan dan ke kiri membawa mobil menelusup di antara padatnya lalu lintas di waktu siang.

Saat sampai di depan gerbang tinggi menjulang sebuah hunian, cepat-cepat Mingyu berlarian masuk menemui Mola dan beberapa pelayan muda yang sama risau. Wanita setengah abad itu bersimpuh di atas pualam sebuah studio seni dan beberapa kali mengguncang sosok perempuan yang terkapar tak sadarkan diri. Di sekitar, kuas-kuas yang biasanya tergabung dalam satu wadah kini bergeletakan di mana-mana mereka suka. Kanvas yang terpasang pada easel masih melukiskan karya setengah jadi lantaran sang pelukis lebih dulu tumbang tanpa sempat menyelesaikan.

Setelah terdiam beberapa sekon sebab akal tengah mencoba memikirkan penanganan yang mungkin dilakukan, Mingyu akhirnya mengambil alih tubuh ramping perempuan bergaun selayak awan. Nadi berdenyut lemah saat Mingyu mengeceknya sehingga tanpa pikir panjang pria itu segera membawa Rosé mengarungi jeda cukup jauh menuju mobil yang terparkir di pelataran rumah.

Didampingi Mola, Mingyu mengarak dua wanita yang duduk di kursi penumpang hingga tiba di sebuah rumah sakit, tempat Rosé kerap diberi pertolongan. Selagi perawat mencoba memberikan penanganan ringan serupa memasang infus dan alat bantu pernapasan, Mingyu bergegas menemui dokter meski sudah diwanti-wanti untuk menunggu sebab pihak yang bersangkutan tengah menerima tamu penting.

Bagi Mingyu tiada yang lebih penting dari pada keselamatan Rosé. Sopan santun bukan sesuatu yang mesti ia pertimbangkan di situasi segenting sekarang. Maka, kala sampai di depan pintu ruangan pribadi seorang dokter berpangkat jabatan tinggi dengan sebuah papan tersemat rapi mengukir nama Zhang Yizing bertinta emas, Mingyu mengayunkan gagang pintu tanpa mengetuk lebih dulu.

Suara tawa seseorang menggelegar. Mingyu terhenti usai menciptakan celah yang mampu memperlihatkan kondisi di dalam sana. Meja tenis beserta bola kecil yang melambung ke sana kemari menjadi hal yang pertama ia lihat. Di samping itu pendengaran Mingyu disuguhi dengan percakapan di antara para penghuni.

"Jadi, kau beranggapan bahwa kaulah pemenang absolut dari pertarungan ini?"

"Ini bahkan tidak layak disebut pertarungan. Bocah itu bukanlah tandinganku. Dia hanya pion yang otomatis didepak setelah ratunya tewas."

"Dan kau sedang dalam rangka menewaskan ratu itu, benar?"

"Tepat sekali. Berkat resep obatmu, cepat atau lambat perempuan gila itu akan mati. Dengan demikian, aku, Johnny Suh, akan memiliki seluruh kekayaan keluarga Park."

"Bagaimana dengan kekasihmu, si cantik Alice?"

Bola melambung lantaran dipukul sedemikian keras oleh pria jangkung pemilik garis mata tajam. Bibir mendatar sosoknya terangkat salah satu sudut. Senyuman miring mematri tanpa ragu sebelum sepatah kalimat diucap pelan, "Aku tidak suka membuang-buang barang kesayanganku sekalipun itu sudah tidak berguna."

Bola kembali disambar dengan bet dalam genggaman. Poin kembali dimenangkan. "Setidaknya aku masih bisa mendapatkan sesuatu dengan menjualnya."

Senyuman paling mematikan kian lebar terkembang, tak elak dari tangkapan penglihatan Mingyu diambang pintu yang untungnya tak disadari kedua manusia jahanam yang sibuk dengan dunianya. Pembuluh vena seakan muncul ke permukaan kulit Mingyu kala jemari pria itu menggenggam erat gagang pintu. Apa yang ia dengar barusan mematik bara dalam jiwa sehingga emosi membakar habis kesabaran. Keinginan untuk menghajar sang pemilik gema tawa menjijikkan jelas membara dalam diri Mingyu.

Namun, akal sehat masih yang teguh pada fungsinya enggan menciptakan kekacauan di tengah situasi yang sudah kacau. Alhasil, Mingyu memilih mengusaikan keberadaan di titik itu lantas berjalan tergesa kembali ke tempat semula.

Tirai pembatas satu pasien dengan pasien lain disibak Mingyu kasar. Mola di dalam sana cukup tersentak juga bertanya-tanya tatkala Mingyu melepas paksa alat bantu pernapasan dan selang infus di punggung tangan Rosé. Kepanikan Mola tak menuai ketenangan barangkali sedikit sebab Mingyu sekadar bungkam.

"Kau bisa membawa mobil, bukan?" Alih-alih menjelaskan, Mingyu justru memberi Mola pertanyaan.

Sesaat Mola mengangguk, kunci mobil Mingyu serahkan kepada wanita itu sedetik kemudian. Tubuh Rosé kembali digendongnya pergi meninggalkan rumah sakit. Duduk di kursi penumpang, sementara Mola mengambil alih kemudi, satu lengan Mingyu mendekap Rosé erat. Kala-kala satu tangannya yang lain mengusap wajah dingin nan berpeluh perempuan itu. Bibir yang kian memucat menyebabkan gusar bertumpuk-tumpuk menimbun Mingyu. Terlebih Mola bukanlah ahli berkendara sehingga mobil mereka hanya bisa melaju dengan kecepatan tak lebih dari rata-rata.

"Kita akan membawa Nona Rosé ke mana, Asisten Kim?"

Suara Mola memecah keheningan dalam mobil. Mingyu yang sedari tadi tenggelam dalam ruwetnya nalar pun mulai dituntut untuk berpikir lebih cepat guna memberikan jawaban. Kilas balik percakapan antara Johnny dan dokter yang selama ini merawat Rosé menyebabkan Mingyu habis pemikiran. Namun, sekali kali, kendati jiwanya sedemikian semrawut, perempuan yang ia dekap saat ini tetap harus segera diselamatkan.

"Rumah sakit di persimpangan ketiga. Ada seorang dokter yang kukenal di sana."

***

Setelah sekian waktu menyimpan rasa penasaran akan isi sebuah berangkas di ruangan milik Jaehyun, sebentar lagi keingintahuan Jeffrey akan segera terbayarkan. Sore ini, usai merampungkan rapat bersama beberapa koneksi, Jeffrey memanggil Lucas secara pribadi ke perusahaan dengan melabelkan diri sebagai seorang teknisi yang mana adalah palsu.

Beberapa perangkat dihubungkan dari berangkas menuju sebuah device milik Lucas. Sistem bekerja, sementara Lucas fokus mengotak-atik papan ketik. Tak semudah meretas sandi komputer pada umumnya, berangkas tersebut memiliki keamanan lebih ketat. Beberapa kali kemungkinan digit angka dari sistem pada device muncul untuk kemudian diuji cobakan. Namun, sampai detik ini pintu berangkas tak kunjung terbuka.

"Sepertinya ini tidak akan berhasil."

Lucas bersuara sedikit putus asa. Duduk di sudut meja kerja, Jeffrey menghampiri Lucas yang sedari tadi berjongkok di hadapan kotak penyimpanan barang berharga yang entah apa isinya.

"Biar aku mencoba!" Pria itu mengambil alih pekerjaan Lucas mengotak-atik papan ketik dan menatap layar monitor dengan seksama. Bermunculan serangkaian digit angka yang terus saja diuji coba tetapi berakhir sama.

Lama Lucas mengamati bagian kendali keamanan berbentuk persegi panjang dengan beberapa tombol dan layar berukuran kecil. Sampai suatu ketika mata elang Lucas menyorot satu tombol tak bersimbol di posisi paling pojok. Lucas menghampiri, lalu memencet tombol tersebut sehingga detik itu pula sebuah lingkaran di bagian atas berangkas terbuka. Sinar laser sewarna biji saga memancar.

"Tombol angkanya hanya tipuan. Berangkas ini menggunakan sistem keamanan pengenalan wajah."

Pernyataan Lucas membuat Jeffrey mendongak. Satu sama lain saling menatap seakan tengah menselaraskan isi pikiran tanpa banyak cakap. Lucas menyingkir di saat Jeffrey beranjak berdiri tepat di depan berangkas dan membiarkan sinar laser memapar wajahnya beberapa saat. Sesekali timbul bebunyian, dan setelah yang ke sekian berbunyi, pintu berangkas akhirnya terbuka.

Raut sumringah menyeruak pada wajah dua pria dewasa yang seketika ber-tos ria.

"Wah, kalian pasti benar-benar sangat identik sampai mesin saja tidak bisa membedakan." Lucas berceloteh. Alih-alih menanggapi, Jeffrey justru segera menyibukkan diri demi menggeladah isi berangkas.

Dokumen-dokumen krusial perusahaan seperti pembukuan rekening bank dan pajak tersusun di sana bersama tumpukan uang yang tak sedikit jumlahnya dan berbatang-batang emas murni. Namun, yang lebih-lebih menarik atensi Jeffrey bukan itu semua, melainkan sebuah ponsel hitam yang mati total saat Jeffrey mengambilnya.

Tugas Lucas selesai. Maka, pria itu segera pamit undur diri meninggalkan Jeffrey seorang di dalam ruangan luas dengan interior yang luar biasa menakjubkan. Ponsel yang lima menit lalu Jeffrey temukan telah pria itu letakan di atas pengisi daya. Kini Jeffrey duduk bersandar pada kursi singgasana sembari memandang layar ponsel miliknya.

Pemberitahuan beberapa panggilan tak terjawab dari Mola memicu kerutan terlukis di dahi Jeffrey. Namun, kala mencoba menghubungi kembali, Jeffrey tak menerima apa pun selain suara operator yang menyampaikan bahwa panggilan akan dialihkan pada pesan suara lantaran nomor yang bersangkutan tak menjawab.

Alhasil, Jeffrey hanya menghela napas pelan dan memilih menyumbat sepasang telinganya dengan Ipod. Sebuah aplikasi dibuka pada komputer di hadapan. Sistem di sana terhubung dengan aplikasi penyadap yang berhasil dipasang pada perangkat milik Johnny malam lalu.

Memutar beberapa rekaman suara, berkali-kali senyuman miring tersungging dari bibir Jeffrey kala mendengar percakapan Johnny dengan komplotan yang tergabung dalam proyek pencucian uang perusahaan. Tak mengherankan. Jeffrey memangkas bagian-bagian penting yang diyakininya bisa dijadikan sebagai barang bukti kebiadapan seorang Johnny Suh. Sampai suatu ketika aktivitas jemari Jeffrey terjeda begitu telinganya digaungkan dengan serangkaian percakapan dua arah.

"Jadi, kau beranggapan bahwa kaulah pemenang absolut dari pertarungan ini?"

"Ini bahkan tidak layak disebut pertarungan. Bocah itu bukanlah tandinganku. Dia hanya pion yang otomatis didepak setelah ratunya tewas."

"Dan kau sedang dalam rangka menewaskan ratu itu, benar?"

"Tepat sekali. Berkat resep obatmu, cepat atau lambat perempuan gila itu akan mati. Dengan demikian, aku, Suh Johnny, akan memiliki seluruh kekayaan keluarga Park."

Berulang kali, Jeffrey mereka bagian yang sama untuk ia dengar barangkali pendengarannya hanya menciptakan sebuah ilusi. Dan, semakin ia dengarkan, semakin jelas pula makna dari itu tersampaikan pada akal Jeffrey yang mendadak seolah jadi sejengkal. Nalar Jeffrey dalam rangka mencoba merajut jaring-jaring pemahaman.

'Bocah' yang dimaksud adalah dirinya, sedang seseorang yang disebut-sebut sebagai 'ratu' adalah Rosé. Jeffrey yakin pasti, terlebih sebab disandingkan dengan frasa 'perempuan gila'.

Dan apa yang dikata tadi, berkat resep obat, perempuan itu akan mati cepat atau lambat?

Sekarang pemikiran Jeffrey menjelma benang-benang kusut yang sukar terurai. Didera momen-momen silam tatkala ia memaksa Rosé menelan obat dengan dalih demi kesembuhan, benak Jeffrey memaki kebodohannya tak berkesudahan.

Bukannya menyembuhkan, obat itu tak lebih dari benda mematikan. Jeffrey bersama segunung rasa berdosa tengah berkudeta memicu gundah juga sesak di dada mengingat kenyataan bahwa secara tidak langsung dirinyalah yang mengantarkan Rosé menuju gerbang alam baka.

Di kepala pria itu kembali menari proyeksi sosok Rosé yang pernah dipergokinya membuang beberapa butir obat. Dalam hal ini, Jeffrey yang dikata secerdas Einstein mampu menarik kesimpulan bahwa sebenarnya perempuan itu pun tahu bahwa obatnya berbahaya.

Jemari lemah Jeffrey menanggalkan keseluruhan Ipod di telinga, berikut ia menangkup wajah kebasnya di balik dua tangan. Napas berembus sedemikian berat, ia mencoba meraih ketenangan yang mana tak sedikitpun sudi bertandang merengkuh jiwa yang berantakan. Kecambuk rasa sukar diredakan jika ia hanya berdiam diri sebagaimana kini. Wajah Rosé yang menahan sakit tiada henti membayangi Jeffrey.

Berupaya menghubungi Rosé, pun Mola, tak satupun dari mereka Jeffrey terima jawabannya. Lantas, Jeffrey teringat perkara Mingyu yang pergi dengan tergesa siang tadi. Sampai saat ini Mingyu tak kunjung menampakkan batang hidungnya di gedung perusahaan. Jeffrey kian digulung perasaan cemas jikalau sesuatu telah terjadi pada Rosé tanpa ia ketahui.

Beranjak, Jeffrey membenahi beberapa barang-barang juga megantongi ponsel hitam yang entah milik siapa. Ayunan langkah Jeffrey terkesan serampangan. Ia berlarian keluar gedung perusahaan dan tepat saat sampai di pelataran, sebuah Maserati baru saja tiba.

Mingyu muncul dengan tampang paling tenang seakan tak terjadi sesuatu yang buruk, membungkuk lalu membukakan pintu bagian belakang mobil teruntuk Jeffrey. Sayangnya, Jeffrey tak lantas berkenan masuk ke tempat yang telah Mingyu dedikasikan. Pria itu justru menutup kasar pintu mobil yang terbuka hingga Mingyu terkesiap.

Tatapan tajam Jeffrey menghunus Mingyu begitu lama, tetapi lisan pria itu tak juga merapal kalimat penuh umpat dan sejuta tanya yang mana telah terangkai di kepala. Jeffrey berlalu tanpa sepatah kata pun dari hadapan Mingyu dan menjejalkan diri di atas kursi kemudi. Mobil yang Jeffrey kendarai kini begitu cepat melesat meninggalkan sosok Mingyu di ujung sana yang juga bertanya-tanya apa gerangan penyebab Jeffrey nampak begitu murka terhadapnya.

Mengabaikan nyaring klakson pengendara lain yang seakan memaki caranya mengemudi, Jeffrey tetap membawa laju mobil selayak berada di sirkuit balap. Mata yang setengah padam itu berlayar horisontal. Wajah setenang air laguna di sana menyimpan sesuatu yang sedemikian porak di baliknya lantaran memikirkan seseorang yang ia jaga sepenuh jiwa raga nyatanya tengah dalam fase sekarat.

Bunyi ban beradu dengan tanah dan bebatuan menimbulkan decitan yang cukup keras kala mobil dihentikan. Jeffrey mendorong dua pintu kayu utama untuk kemudian bergegas mengarungi ruang demi ruang demi mencari-cari keberadaan seseseorang yang sedari tadi mengacaukan pikiran. Meneliti segala sudut, Jeffrey berakhir menaiki anakan tangga dan mendorong pintu kamar dengan teramat tergesa.

Seorang perempuan berdiri tenang di tepi balkon. Gaun hijau lumut selutut berayun selaras dengan hembusan angin malam. Sosoknya tersentak begitu merasakan sebuah tangan kokoh meraih lengan lalu memutar balik tubuhnya secara tetiba.

"Jaehyun, kau pulang lebih awal?"

Seulas senyum tersemat pada bibir yang pucat kala mereka bersipandang. Tampil dengan kesan begitu dipaksakan. Mencoba menetralkan deru napas yang awutan, Jeffrey bertanya, "Apa yang terjadi?"

Rosé terdiam memasang tampang sedikit tak paham banyak naifnya.

"Kau baik-baik saja, bukan?" Satu tangan Jeffrey menyentuh wajah Rosé seraya matanya berpendar meneliti dan memastikan bilamana tak satu pun bagian tubuh perempuan itu menyimpan luka.

Anggukan pelan tak lantas membuat Jeffrey menaruh percaya. Tanpa permisi, pria itu menaikkan lengan pakaian Rosé, barangkali siku perempuan itu kembali berdarah seperti yang sudah-sudah. Juga berjongkok dan menyingkap ujung gaun Rosé dan berharap tak ada luka yang perempuan itu sembunyikan di lutut sebagaimana silam.

Kelewat berlebihan. Namun, manusia mana yang mengerti seberapa Jeffrey mencemaskan wanita di hadapannya sekarang? Tidak ada. Pria itu mendongak, memandang Rosé yang hanya bisa berkedip-kedip lugu. Helaan napas lega mengudara bersamaan dengan Jeffrey yang tak lagi mampu menumpu tubuhnya hingga terduduk lemas di atas dinginnya lantai, pun tertunduk menyembunyikan wajah paling kacau yang ia punya.

"Jaehyun, ada apa?"

Rosé merangkul bahu pria itu, mencoba bertanya setenang mungkin. Sayang, ketenangan Jeffrey bukanlah melimpah. Pria itu kembali disadarkan satu perkara yang tak bisa ia abaikan.

"Di mana obatmu?" tanya Jeffrey penuh gusar di mata.

Tak lekas menerima jawaban di kala ia butuh segera, Jeffrey menyingkirkan dua tangan Rosé dari bahunya untuk kemudian masuk ke kamar guna mencari sendiri benda yang teringin ia temukan secepatnya. Kebetulan sekali, nakas menjadi tempat kantong bening berisi beberapa kablet obat bersama botol-botol kecil yang Jeffrey yakini isinya tak jauh berbeda. Maka, secepat jemari Jeffrey menyambar, secepat itu pula benda di atas nakas tadi berakhir di dalam tong sampah di sudut ruangan. Tanpa tahu, perempuan di belakang sana membulatkan mata sempurna.

"Apa yang kau lakukan?" Nyaring suara Rosé melesatkan seruan. Perempuan itu melesat menghampiri Jeffrey dan memandang penuh kebingungan. Lekas ia berjongkok di dekat tong sampah guna memungut kembali benda yang Jeffrey buang barusan.

"Harusnya aku yang bertanya apa yang kau lakukan?"

Hingga satu pertanyaan menyebabkan pergerakan jemari Rosé terjeda. Dua pasang mata padam manusia di dalam sana menyorot satu sama lain. Rosé mendongak tanpa ucap, tak juga menjawab malah justru kembali merangkul obatnya. Sampai suatu ketika ia dibuat tersentak untuk yang kesekian kali lantaran Jeffrey dengan kasar merebut, pun kembali membuang benda dalam genggaman Rosé.

"Ada apa denganmu?" Geram melukis raut wajah Rosé, pun Jeffrey yang sukar mengurai kondisi batin tak tertata. Ia menarik Rosé agar berdiri saling berhadapan lalu ditatapnya sosok perempuan jelita itu sedemikian lekat.

"Kau sudah berjanji padaku, untuk memberitahuku kapanpun kau terluka, kapanpun kau merasa gelisah dan bersedih, juga kapanpun kau merasa terancam dan ketakutan."

Rosé tertunduk dalam-dalam tak mampu menyambut tatapan bertabur kecewa di mata Jeffrey. Sekelebat bayang di kala Jeffrey berjongkok dan memintanya berjanji serupa dengan apa yang pria itu tuturkan barusan memicu eksistensi rasa bersalah dalam diri Rosé lantaran menyadari ia masih kerap menyembunyikan banyak hal. Agaknya, ia tahu ke mana aliran perdebatan mereka akan bermuara.

"Kau tahu bukan, kalau sebenarnya obat itu berbahaya?"

Ada bungkam yang tak kunjung terselesaikan dari Rosé kala mendengar pertanyaan Jeffrey. "Mengapa tetap meminumnya di saat kau tahu itu akan membunuhmu?"

"Karena kamu." Mendongak, Rosé memberanikan diri menemui iris pekat Jeffrey. "Kemarahanmu membuatku takut. Maka dari itu, aku meminumnya sebab itu adalah perintahmu."

"Jika kamu memberitahuku, aku tidak akan pernah memaksamu menelan itu!" Gema suara keras Jeffrey menyambar penghujung ucapan teramat pelan Rosé. Pria itu meringis getir. "Apa hanya karena takut aku marah kau sampai mau mengorbankan nyawamu? Kamu bodoh atau apa? Atau memang sebenarnya kau tak ingin sembuh dari sakitmu? Mau tetap menjadi perempuan setengah gila yang pada akhirnya mati dalam keadaan benar-benar gila?"

Timbunan cairan bening di balik pelupuk mata Rosé mendesak teringin dibebaskan. Ujaran Jeffrey yang sedemikian mencecar menimbulkan sesak tak berkesudahan. Perih menghantam sekujur relung pun lengan kecilnya yang digengam begitu kuat oleh jemari kokoh Jeffrey yang mana berupaya ia lepaskan. Perempuan itu menunduk di kala setetes air mata terjatuh.

Kembali, Rosé berjongkok memunguti kantung-kantung obat seraya berupaya mematah kalimat, "Tidak perlu khawatir. Obat ini tidak berbahaya. Dokter kenalan Mingyu yang memberikan resepnya."

"Mingyu?" Mendengar satu nama pria lain dilisankan oleh bibir Rosé menyebabkan Jeffrey tercekat.

"Eum. Hari ini, aku dirujuk ke sana. Bibi Mola bilang aku tidak sadarkan diri dan tidak bisa menghubungi siapa pun, termasuk kamu. Jadi, dia meminta bantuan Mingyu." Rosé meletakan kembali benda dalam genggaman ke atas nakas berupaya menyikapi luapan emosi Jeffrey dengan tenang.

"Mengapa Mingyu?"

Namun, sayang, perempuan itu jelas tidak tahu-menahu. Pasalnya, kecemburuan secara hakiki tumbuh, dan dada Jeffrey tak cukup lapang untuk menerima itu. "Jadi, Mingyu lebih dulu tahu dari pada aku tentang bahaya obatmu yang dahulu diresepkan oleh dokter kenalan Johnny?"

Setengah mulut Jeffrey terbuka. Ketidakpercayaan berkobar di netra lantaran Rosé hanya teredam kebisuan semata. "Sebenarnya kau anggap aku apa? Adakah kau berpikir bahwa Mingyu berhak tahu, sementara aku tidak?"

Rosé memutar kepalanya pelan, menjatuhkan pandang tepat pada sepasang manik yang tak cemerlang. Emosi telah menyingsingkan keseluruhan pendar indah yang kerap menuai kekaguman Rosé.

Berdiri saling menghadap dengan jarak sedemikian dekat, Jeffrey berujar penuh penekanan, "Jawab! Mengapa kau bersikap seperti ini? Tidak tahukah kamu setiap detik aku selalu mencemaskanmu? Tidak tahukah kamu bahwa keselamatanmu adalah hal yang kuperjuangkan hidup dan mati, juga kesembuhanmu adalah mimpiku setiap malam?"

Sepasang tangan Jeffrey terulur meraih dua sisi lengan Rosé. Masing-masing pandangan dari keduanya terjatuh pada satu sama lain. Sekali lagi, mulut bergetar Jeffrey merapal, "Tapi mengapa kamu seakan-akan meragukanku setiap saat? Aku—"

"—suamimu. Aku bertanggungjawab penuh atas kamu. Tidakkah kau sadar?"

Sepang bibir pucat masih setiap terkatup rapat. Genggaman tangan Jeffrey terhadap lengan Rosé kian mengerat.

"AKU INI SUAMIMU, ROSÉ! TIDAKKAH KAU DENGAR?!"

Tanpa persembunyian dan tanpa meminta waktu untuk berpaling pandang, tepat di hadapan Jeffrey, Rosé membiarkan air matanya menetes deras. Bentakan Jeffrey menjelma gaung dalam telinga, pula berakibat fatal terhadap lubuk hatinya yang seakan retak disambar sesuatu samar. Sosok Jeffrey di sana bak manusia yang tak punya cukup wadah untuk menadahi luapan amarah. Lain dari 'seseorang' yang Rosé kenal bertahun-tahun dengan pribadi yang selalu penuh oleh kesabaran.

"Tidak." Lirih, perempuan itu mematah kata. Lamat-lamat dirinya meneliti raut wajah Jeffrey, sampai batin dan lisannya serentak berujar, "Kamu bukan suamiku."

Pada dentangan sekon berikutnya, Jeffrey adalah manusia yang berlayar pada lautan mata tanpa peta. Dan, pernyataan Rosé selayak badai yang menyebabkan sampannya terombang-ambing.

"Jaehyun yang kukenal tidak pernah sekalipun bicara kasar padaku, tidak pernah meninggikan suara seperti apa yang kamu lakukan barusan. Tidak. Kamu bukan Jaehyun, suamiku. Jaehyun tidak seperti ini."

Genggaman tangan Jeffrey terhadap lengan Rosé lambat laun mengendur, lantas terlepas. Relungnya terkoyak, terlampau muak mendengar satu nama yang selalu disuarakan oleh perempuan rapuh di depannya.

"Benar. Aku bukan suamimu." Pelan, suara Jeffrey nyaris tak terdengar.

"Aku bukan Jaehyun, suamimu. Jung Jaehyun sudah mati. Suamimu sudah mati setahun yang lalu!!!" Kali ini berkali-kali lebih tegas. Ia menatap Rosé begitu dingin.

"JUNG JAEHYUN MATI TENGGELAM DI DASAR DANAU!!!"

Ujung seruan Jeffrey menuai senyap. Sebagaimana Rosé yang terkesiap, Jeffrey pun turut dikejutkan dengan apa yang keluar dari mulutnya. Perih menamparnya agar sadar segera bahwa ia telah membangkitkan memori kelam yang berupaya Rosé pendam mati-matian. Bayang-bayang masa silam satu persatu mulai berhamburan membentur kepala.

Tungkak gemetar berayun ke belakang. Bersama air mata yang berderai, Rosé menjauhi Jeffrey yang bergeming di ujung sana seraya berucap, "Pergi!"

Tubuh terhadang kayu nakas. "Pergi dari sini!" Mulut itu terus menitah Jeffrey.

"KUBILANG PERGI!!!"

Hingga suara nyaring terdengar melengking dan seakan mampu memecahkan hati Jeffrey detik itu juga. Segala perbendaan di sekitar tak elak dari sambaran tangan Rosé untuk kemudian dilemparkan ke segala arah dan beberapa kali nyaris mengenai Jeffrey yang masih tak beranjak barang sejengkal pun.

Bahkan, di kala jemari Rosé merampas gelas kaca berisi setengah porsi air, dan di kala benda itu berakhir dilempar pula kearahnya hingga suara nyaring menggema menyaingi bising yang ada, Jeffrey masih tak berkutik. Syukur, malaikat penjaga masih berkenan menghindarkan Jeffrey dari kemungkinan buruk berakhir buta karena pecahan kaca sebab gelas hanya berakhir membentur dinding. Namun, luka kecil akibat percikan pecahan benda tersebut tetap tak terhindarkan menggores setitik luka di bawah mata.

Pandangan Jeffrey kini hanya penuh oleh sosok perempuan setengah gila yang memaki-maki dirinya adalah palsu. Maka, tiada lagi alasan untuk Jeffrey bertahan di titik yang sama. Tungkak berayun perlahan, seiring tangan menyeka setitik darah yang menetes di wajah. Akal menerbangkan asumsi bahwasanya ini adalah akhir.

Gemuruh lara berhamburan memeluk Jeffrey sepanjang uraian langkah meninggalkan kediaman demi menemui dinginnya malam. Setetes cairan bening yang hangat berbaur dengan darah segar yang mana segera ia seka dengan jemari.

Kini, Jeffrey tak lagi berlayar di lautan mata perempuan itu. Sampannya telah hancur. Sebagaimana hati yang kepingannya berserakan.

[]


[SILHOUTTE: After A Minute]

***

***

hello, all. this part make Jeffrey broken and broke my heart too :')

haruskah kita usaikan saja kisah SILHOUTTE di sini?
yuk drop pendapat kalian wkwk

Okay mungkin cukup sekian untuk chapter ini dan sampai jumpa lagi nanti mwehehe.

***

Continue Reading

You'll Also Like

327K 18.8K 32
SasuSaku fanfiction (END) Kesalahan yang sangat fatal karena telah menaruh hati pada bajingan seperti Sasuke , seperti telah di butakan oleh cinta sa...
1M 56K 40
semua berawal dari pesta pernikahan sialan naruto yan membawa sasuke pada masalah yang akan ia emban suatu hari nanti, sebuah kesalahan yang akan men...
171K 19.4K 39
VOTE DAN COMMENT JANGAN LUPA, TERIMA KASIH. Naruto Namikaze itu kejam, suka sekali membully Hinata yang polos. Menurut Naruto itu balas dendam. Ever...
103K 6K 22
This is about TaeTzu story• Aku harap kalian suka. Yes, ini genre dewasa. Ada smut dan kekerasannya. But, FYI guys. This story is not my created by...