RUMPANG

By LilSindhy

876K 111K 7K

Rumpang : (nomina) sela (selang waktu, berhenti sebentar, dan sebagainya) ~~~ Mira sudah bersiap menata hidup... More

01. Kelas
02. Nama Yang Haram Disebut
03. Pengakuan Mematikan
04. Madu Balas Madu
05. Di Balik Manis Madu
06. Pembalasan yang Tertunda
07. Study Tour
08. Kertas Tipuan
09. Enam Puluh Hari
10. Keputusan Gila
11. Tantangan
12. Rumah Idaman
13. Malam Pertama
14. Tukang Cuci Pribadi
15. Kongsi
16. Tiba-tiba Jadi Keluarga
17. Senin Kita
18. Cerita Soal Kain
19. Kita Sudah Usai
20. Main Punggung
21. Pengertian
22. Nafkah
24. Laki-Laki Terbaik
25. Bertaut
26. Adik Untuk Reihan
27. Yang Ditampik
28. Penerimaan dan Penolakan
29. Tempat Untuk Tinggal
30. Sajian Bernama Kenangan
31. Selingan dan Spesial
32. Di Luar Kebiasaan
33. Kiamat Kecil
34. Dilarang Lelah
35. Kejutan Bernama Keajaiban
36. Resmi Berdua
37. Lilin Penerang
38. Cinta Pertama
39. Pertemuan
40. Melanjutkan Kisah

23. Nyata Yang Terkuak

18.9K 2.6K 111
By LilSindhy

Halo dan terima kasih banyak untuk bintang dan komennya di part kemarin. Semoga masih bisa menikmati cerita ngezelin ini ya. 🤭🤭

●●●●
 

"Lama nih nggak nongkrong bareng. Yuk lah, guys." Satu ide muncul dari mulut Ria.

"Yuk. Ngopi-ngopi aja kita."

"Boleh tuh. Kebetulan perut juga lagi nggak beres belakangan ini." Menu yang kami sasar memang biasanya memiliki tingkat kepedasan yang lumayan. Jadi kalau lambung sedang tidak baik-baik saja, akan lebih baik untuk mencari sesuatu yang aman. "Mira ikut nggak?"

Hari jum'at adalah hari yang singkat, tidak banyak pekerjaan di sekolah, dan yang paling penting adalah besok bisa bersantai seharian—kecuali tugas mencuci baju Tuan Gautama Yosadana. Ajakan kawan-kawanku itu juga sangat-sangat membuatku tertarik. Aku merasa penat, dan butuh mengobrol dengan para gadis. Membicarakan keluaran lipstik terbaru atau malah bergosip soal guru lain. Cuma agak sulit belakangan ini mendapatkan moment semacam itu. Alasannya sudah jelas sebab tahu-tahu saja aku punya ekor, yang mana akan ikut kemanapun aku pergi.

"Skip!" pendekku sambil merapikan meja.

"Bawa saja si Reihan, Mir. Its oke kok kita. Ya nggak gengs?" Indah menengahi.

"Aku yang nggak oke. Kelihatan kayak ibu-ibu beneran akunya entar kalau si Reihan gelendotan mulu."

Rekan-rekanku tertawa, aku sendiri cuma pasang muka tak ambil pusing. Hidupku sudah cukup kompleks, pendapat orang-orang ini kalau ikut kupikirkan bisa cukup untuk mendidihkan otak. Jadi supaya tidak harus gila di usia muda, satu-satunya yang bisa kulakukan cuma membiarkan mereka tertawa atau berbicara di belakangku tanpa perlu kuurusi. Asal tak sampai terdengar, rasanya aku tak akan sakit hati. Terserah saja.

"Dah ya. Aku balik duluan."

"Dah Mama Reihan. Salam juga buat Papa Tama ya!"

Lambaian tangan acuh tak acuhku dibalas dengan tawa keras di belakang sana. Sambil mencangklong tas, aku melenggang dengan bebas di atas pantofel hitam. Lorong-lorong sudah pasti sepi, karena jam belajar telah selesai hampir setengah jam yang lalu. Halaman juga dalam kondisi lengang, menyisakan beberapa anak yang masih menunggu jemputan.

Di antara segelintir itu, ada Reihan yang kemudian berteriak heboh memanggilku. Di sampingnya ada Pak Radi, yang ikut tersenyum lembut yang sering kali membuatku ingat dan rindu pada ayah. Tak mau membuat mereka menunggu lebih lama, segera kuhampiri saja dengan cepat. Pak Radi langsung bersiap membukakan pintu untukku juga Reihan.

"Mau langsung pulang, Bu?"

"Sebenarnya pengen nyalon sebentar. Cuma... Reihan mau nggak pulang berdua sama Pak Radi? Kan harus jum'atan juga kan? Papa nanti marah loh, kalau Reihan mangkir lagi." Aku berusaha membujuk demi quality time yang harusnya bisa kudapatkan dengan mudah. Tapi alih-alih sekarang seperti bermaksud mendapatkan jarum dalam tumpukan jerami.

Mobil sudah berada di jalanan yang ramai. Roda kendaraan itu mengarah ke rumah, namun dalam kecepatan tak seberapa cepat. Agaknya Pak Radi memberiku waktu untuk sekadar diskusi dengan tuan mudanya.

"Nyalon itu yang bagaimana, Ma?"

"Nyalon itu kayak, yang ngerapiin rambut, perawatan kulit, atau perawatan kuku."

"Rei mau ikut. Rambutnya Rei boleh deh dipotong lagi."

Aku dengan tegas menolak. "Salon cowok sama salon cewek beda, Rei. Yang pengen Ibu datangi isinya cewek-cewek semua. Nggak ada cowoknya. Jadi, mending kamu pulang sama Pak Radi ya."

Alih-alih setuju bocah itu malah mengusap dagu seolah orang dewasa yang sedang berpikir keras. "Rei makin penasaran. Bunda nggak pernah nyalon. Mama kalau nyalon kayak apa ya? Ikut dong, Ma. Ikut. Nggak apa-apa kalau Rei cowok sendiri. Rei nggak malu."

Punggungku langsung terempas mundur ke kursi. "Langsung balik, Pak. Saya mau tidur sampai sore saja," kataku pada akhirnya.

"Siap, Bu."

"Yah. Kita nggak jadi nyalon, Ma?"

Pak Radi tertawa melihat aku pasrah tanpa bisa banyak melawan anak kecil dengan segudang rasa penasaran itu.

●●●●
 


"Bu, mau rujak nggak, Bu?"

Aku sedang mengisi perut dengan nasi, ayam goreng lengkuas, lengkap dengan cah tauge  yang sedikit pedas, ketika tawaran itu menyerobot masuk ke telinga. Dengan cuaca sepanas sekarang, rujak pasti akan sangat nikmat. Pedas, manis. Tapi tunggu, apa dulu buahnya?

"Tadi saya nemu mangga muda di pasar, Bu. Kebetulan kok jadi ingat masa di kampung dulu. Kalau ngumpul sama temen, ya, rujak yang dirubung. Tapi kalau misal Bu Mira nggak suka makanan—"

"Suka kok," potongku cepat, karena tak mau kehilangan kesempatan menyantap sesuatu yang tidak setiap hari ada di depan mata. "Sambil bikin es jeruk, ya. Pasti seger banget tuh, Ti."

Tati mengangguk senang. "Kita makan di bawah pohon kelengkeng ya, Bu. Ala-ala piknik gitu."

Aku membuat bundaran kecil dari ibu jari dan telunjuk, setuju dengan ide cemerlang asisten Tama ini. Tati segera angkat kaki dengan penuh semangatnya ke dapur sementara aku menyelesaikan makananku yang tersisa. Si ekor bernama Reihan masih di masjid bersama Pak Radi. Mungkin sebentar lagi akan pulang, lalu kembali menjajah sebagian dari waktuku yang sangat berharga.

Gara-gara anak itu, ide memanjakan diriku memang lebih baik untuk dibatalkan. Tidak mungkin sekali aku membawa bocah sebesar itu ke tempat langganan, yang mana mereka tahu benar siapa aku. Bisa gonjang-ganjing dan mencuat puluhan gosip kalau sampai ada yang mendengar aku dipanggil mama oleh anak sebesar Reihan, padahal tidak sedikit yang tahu bahwa aku cerai tanpa anak empat tahun sebelumnya.

Daripada mengambil risiko, akan lebih baik untuk menjaga kondisi tetap aman. Soal creambath dan segala tetek bengek peremajaan kulit, bisa kulakukan besok setelah meminta bantuan Tama untuk setidaknya memberiku waktu me time tanpa harus dibuntuti oleh anaknya. Sekarang yang paling darurat adalah merapikan kuku. Beberapa di antara kesayanganku sudah memanjang saking berhari-hari tidak kuperhatikan.

Untungnya aku pernah melihat pemotong kuku di salah satu laci di kamar Tama. Kubawa benda logam itu ke tempat di mana Tati menjanjikan piknik kecil yang dadakan. Dan siapa yang mengira bahwa Tati begitu totalitas dengan idenya itu. Jadi selain menggelar satu tikar dia juga menyediakan dua bantal yang cocok dipakai untuk rebahan. Terbayang sudah bagaimana nyamannya tiduran tepat di bawah pepohonan semacam ini.

Maka tanpa pikir panjang, aku segera melaksanakan angan-angan dalam otakku sendiri. Badanku sudah rebah. Langit yang biru bersatu padu dengan hijaunya daun dan kekuningan kelengkeng, masuk ke mataku. Sejenak, aku memejam dan membaui aroma manis nan harum ini. Setelah merasa paru-paruku dimanjakan, aku membuka mata lalu kembali teringat pada alasan kenapa aku menggenggam pemotong kuku. Satu per satu, kukurangi jumlah ketinggian mereka.

"Bu Mira, rujaknya sudah siap."

Tati datang dengan satu baki besar. Diturunkannya benda itu ke tikar dan apa saja yang ada di atasnya sukses membuat produksi liurku meningkat. Sambal gulanya masih berada di atas cobek batu. Buah mangga, belimbing, dan jambu air berwarna merah menyala, diiris dengan potongan yang rapih. Dan tentu saja, ada satu pitcher es jeruk yang spesial kuminta.

"Wah, lengkap banget Ti. Bisa khilaf nih saya."

Tati tertawa. "Bu Mira suka pedas?"

"Suka. Tapi yang nggak sampai dzolim ke lambung juga sih. Berapa lombok ini?"

"Lima, Bu. Semoga nggak kepedesan buat Ibu."

"Harusnya udah pas. Nggak perlu terlalu pedes biar bisa habis banyak, kan. Yuk lah. Tancap."

Segera saja aku dan Tati menandaskan apa yang sudah tersedia. Karena pada dasarnya aku adalah penyuka buah, maka rujak memang sesuatu yang sulit untuk kutolak. Cuma memang jarang saja aku memakannya. Selain malas membeli, tidak banyak orang di sekitarku yang berpikir bahwa makan rujak itu nikmat. Jadi, tidak mesti setahun tiga kali aku bisa menikmati kudapan ini. Apalagi dengan cara yang seotentik sekarang.

"Kenapa ya, Bu Mira sempurna sekali?"

"Hah? Apa nih? Kamu gombalin saya?"

Tati tertawa. "Pak Radi bilang, rumah Bu Mira itu bagussssss banget. Anak konglomerat lah katanya. Tapi ternyata Bu Mira sama sekali nggak sombong. Sekarang saja, mau rujakan bareng saya yang apalah Bu, cuma pembantu. Pantas ya, Pak Tama nggak bisa ke mana-mana. Mandheg saja sama Ibu."

"Duh. Padahal saya banyak kurangnya. Bikin kopi saja saya nggak bisa."

"Bukannya nggak bisa, Bu. Cuma nggak terbiasa saja. Ya buat apa. Saya kalau punya banyak uang kayak Ibu, juga lebih enak duduk dan bayar orang lah. Kenapa harus merepotkan diri."

"Beberapa orang nggak berpikir demikian, Ti."

"Mereka iri aja paling, Bu. Tapi ya sudahlah, Bu. Pokoknya buat saya, Ibu sempurna sekali."

Aku mengulum senyum dan enggan banyak menyahut. Kugigit satu belimbing, dan sari airnya yang melimpah sukses membuatku bergidik senang. Rujak ini sungguh meninggalkan rasa nano-nano di lidah. Dari yang asam di awal, manis di tengah, lalu kemudian berakhir pedas ketika ditinggalkan. Hari yang pernah kulalui bersama Tama mungkin juga bisa dibilang semacam itu. Asam sebab penantian, manis sebab kebersamaan, lalu mungkin pahit karena sebuah perpisahan.

Tapi tak apa. Selalu ada penawar untuk setiap luka jadi tak harus menyesali terlalu lama. Kemarin aku memiliki kekuarga juga anak didik yang berhasil mengalihkan pedih yang menganga. Kali ini pedasnya rujak bisa kutangani dengan dinginnya es jeruk.

"Ma, Reihan pulang."

Ekor dadakanku sudah kembali dari masjid. Dia berteriak dari ruang tamu, yang artinya dia menggunakan suara cukup keras. Aku melambai kecil dan memanggil dia mendekat. Tapi bukannya menyeberangi pinggiran kolam, Reihan malah masuk ke dalam rumah. Kutebak, dia bermaksud menyimpan terlebih dahulu peci dan sarungnya. Sudah kukatakan, Reihan itu dewasa lebih cepat. Dia tahu bagaimana harus bersikap sesuai aturan.

Tak lama setelahnya, Reihan bergabung denganku dan Tati di taman belakang. Dia tidak suka pedas dan asam, jadi hanya mengambil jambu air yang memang berasa manis. Melihat anak itu mengunyah, aku jadi tidak tahan untuk tidak mengacak rambutnya.

"Mama lagi potong kuku?" tanya anak itu, mungkin melihat logam putih itu tergeletak di sampingku.

"Heem."

"Kukunya Reihan juga dong, Ma."

"Sini," kataku tanpa banyak menolak. Reihan langsung mengangsurkan tangan kirinya, sementara yang kanan masih sibuk memegangi jambu air. "Biasanya yang motongin siapa? Sendiri atau Mbak Tati?"

"Mbak Tati."

"Iya. Masih saya bantu, Bu. Takutnya kebablasan malah bikin luka."

Aku setuju. Meskipun sudah cukup besar, tapi biasanya kewaspadaan anak suka hilang timbul. Jadi akan lebih aman kalau urusan memotong kuku tetap dibantu oleh orang dewasa demi mengurangi risiko yang tidak diinginkan. Misalnya, anak-anak berubah manja hanya karena daging di bawah kukunya sedikit tergores.

Berhati-hati, aku menggunting satu per satu kuku milik Reihan. Tak lupa juga kubersihkan sela-selanya. Ketika melakukan itu aku malah dibuat terhenyak dengan melihat satu garis memanjang yang sepertinya terbentuk dari satu bekas jahitan di masa lampau. Letaknya tepat di telapak tangan anak itu, hampir di pergelengan. Jadi pantas, aku tak teliti melihatnya meski sudah nyaris dua minggu menghabiskan waktu bersama.

"Ini kenapa, Rei?"

Reihan melihat garis yang kumaksud. "Bunda bilang, ketusuk kaca."

"Kaca? Kok bisa"

"Nggak tahu. Nggak ingat. Rei masih kecil. Bunda cuma bilang Rei kena kaca jadi ada garis begini di tangannya. Tapi nggak sakit kok, Ma. Nggak apa-apa."

Terakhir aku tinggal bersama Reihan dan Kirana, semua baik-baik saja. Kirana bisa menjaga Reihan dengan tangannya sendiri. Cuma mungkin dia kelelahan atau bagaimana, sampai kemudian lalai dan menyebabkan Reihan terkena potongan kaca, yang kalau kubilang, ini bukan luka kecil. Pasti kacanya cukup besar. Pasti sangat menyakitkan untuk ditanggungnya di masa lalu.

"Saya pernah dengar cerita soal lukanya Reihan deh, Bu."

Ucapan Tati membuatku menoleh. "Oh, ya? Mbak Kirana yang cerita?"

Tati mengangguk. "Karena ini juga, makanya saya dipekerjakan."

"Kok gitu? Kamu punya basic perawat atau gimana?"

Perempuan seusiaku itu malah tertawa kecil. "Perawat apa. Ijazah saya cuma SMP, Bu."

"Terus?"

"Ya, saya cuma diminta nemenin Bu Kirana saja, Bu. Waktu itu Pak Tama masih di rumah sakit. Babak belur digebukin orang katanya. Di rumah, Bu Kirana berdua saja dengan Reihan. Tangan Reihan sudah diperban pasnya saya ikut mereka. Rewel banget anak ini, Bu. Bu Kirana sampai nggak bisa ngapa-ngapain, makanya saya diminta kerja di rumah itu dan bantu-bantu beberes rumah yang masyaaallah berantakan sekali."

"Pas saya datang, kaca rumah bagian depan memang bolong. Kayaknya ada yang dengan sengaja mecahin kaca itu. Belakangan Bu Kirana cerita, kalau memang agak sedikit mendapatkan teror. Nggak tahu dari siapa. Jelasnya, itu yang bikin Reihan terluka."

Tanganku mendadak gemetar mendengar cerita itu. Satu pemikiran melintas dalam benak. Tapi secepat itu aku menolaknya kuat-kuat.

●●●●●
 

 

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 92.9K 43
β€’ Obsession series β€’ [ SELAMAT MEMBACA ] Romeo akan menghalalkan segala cara demi mendapati Evelyn, termasuk memanfaatkan kemiskinan dan keluguan gad...
423K 30.1K 34
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
5.7M 302K 57
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
1.5M 72.7K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...