The Village : Secrets Of Past...

By DellaNopyta

9.5K 2.1K 9.8K

Amazing cover by @hayylaaa Kehidupan masa lalu masih belumlah berakhir. Malah kini menghampiri dalam wujud mi... More

Opening
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Epilog

Chapter 50

56 18 100
By DellaNopyta

Kekosongan menguasai, sepasang tungkai ditarik menjauh. Meskipun benar tak tahu harus melangkah ke mana, tapi yang pasti tidaklah harus di sini, mendengarkan segala pertengkaran di antara Zhan Hou dan ibunya. Kala ujung dari pertengkaran tersebut sudah dapat dipastikan dengan baik, Zhan Hou, satu-satu orang yang melindunginya di kediaman ini pada akhirnya tak akan menang melawan keinginan sang nyonya besar.

Kehidupan aman di kediaman ini, terbebas dari sang suami yang tak diinginkan tersebut. Tampaknya akan segera berakhir. Apalagi setelah anak dalam kandungannya ini lahir nanti, entah kegilaan seperti apa pula yang harus ditanggungnya. Entah kekerasan fisik seperti apa pula yang akan sang suami itu lakukan, dan entah pelecehan seperti apa pula yang akan diterima tanpa bisa melawan. Yang mana saat itu semua terjadi, semua orang dalam kediaman ini akan selalu menutup mata dan telinga, termasuk pula Zhan Hou. "Bukankah begitu, Zhan Hou?"

Langkah tanpa tujuan dihentikan, wajah ditengadahkan, setidaknya untuk hari ini ia tak ingin menangis. Namun, kenapa ... kenapa sangat sulit untuk mewujudkan hal tersebut? Kenapa air mata tak habisnya meluruh? Kenapa semua orang harus begitulah tega padanya? Apa salahnya sampai harus mengalami ini semua? Yang mana bahkan bayangannya di bawah terik sang surya yang meninggi ini, seakan sedang mengejek pula. Mengejek ... mengatai betapa lemah, bodoh, dan tak bergunanya ia.

Pun Mo Shan berakhir mengangguk-angguk, barangkali membenarkan sembari menyeka pergi buliran air mata yang ada. Hanya saja, ke mana ia akan membawa diri kini? Benarkah akan keluar dari kediaman Gao? Kala pandangan yang ditujukan lurus selalu ke depan, kembali kosong. Bahkan tiap kali orang-orang dalam keramaian kota ini menyapa atau menegurnya, tak sedikit pun Mo Shan merespons. Terlebih, tak satu pun pula yang menanyakan kenapa dan apa yang membuat wanita cantik ini bereaksi sedemikian rupa anehnya. Dan itu kian membuat Mo Shan terus menerobos keramaian, sesekali pula akan menabrak atau bahkan tertabrak dalam lalu-lalang orang yang ada.

Sekiranya, akan ke mana ia pergi? Karena tidak mungkin pulang ke rumah dalam kondisi seperti ini, bukan? Yang ada kedua orang tuanya akan sangat khawatir, menyaksikan putri mereka tak lagi seperti putri mereka yang dahulu, binar dari wajahnya telah padam. Terlebih, binar tersebut tak akan pernah menyala lagi.

Kala lihatlah kini bagaimana Mo Shan mulai menghentikan langkah, mengedarkan pandangan ke semua warga kota yang teramat hidup ini. Kebingungan menyerang, seakan barulah tersadarkan jikalau kepergiannya telah cukup jauh dari kediaman Gao sana. Namun, begitu pandangan menangkap papan pengumuman. Entah karena alasan apa, ia tampak sangat tertarik untuk mendekat, bergabung dengan sejumlah orang yang mengerumuni area tersebut. Dan alangkah terkejut dan tak menyangkanya ia, kalau haruslah menyaksikan jenis pengumuman seperti ini.

"In-ini ... ap-apa yang ... apa yang terjadi?" Menarik lepas kertas yang tertempel, berlukiskan potret dari seorang pria dan wanita paruh baya. Seseorang yang tak asing, sangat tak asing sampai sukses membuat Mo Shan melupakan segala kesulitan hidupnya di kediaman Gao sana.

"Kau tidak tahu? Apa kau bukan dari kota ini?" tanya balik seorang pria didekatnya, dan Mo Shan hanya bisa menanyakan kembali tepatnya apa yang telah terjadi. "Mereka pasangan suami-istri dari kediaman Wu, besannya keluarga Gao. Kudengar dagangan mereka terlibat kasus perizinan dan penggelapan pajak, jadi bagian hukum menangkap dan menyita semua kekayaan mereka. Sekarang, kurasa pasangan suami-istri itu sudah dihukum mati ... tidak, hukuman mati itu sudah dilakukan beberapa hari yang lalu."

DEG!

Hukuman mati? Menggeleng-geleng tak percaya. Limbung sudah Mo Shan, menyentuh perutnya pula yang tiba-tiba merasa sakit. Bagaimana bisa ia percaya, bukan? Orang seperti apa ayah dan ibunya tidaklah mungkin ia tak tahu, lantas bagaimana bisa dua tuduhan kejahatan itu bisa menimpa keluarganya? Terlebih ... kenapa ia tak tahu apa-apa terkait kabar ini?

"Pasangan itu berusaha meminta bantuan pada keluarga Gao. Hanya saja tak tahu kenapa, keluarga Gao semacam lepas tangan dan mengabaikan. Tampaknya memang benar, keluarga Gao tak ingin ikut campur yang kemudian berakhir menyeret nama baik dari kediaman Gao."

"Tidak mungkin ... tidak mungkin ...." Kian perutnya merasa sakit, pandangan membuyar bahkan sepasang pendengarannya terasa hampa. Kala pikiran terus saja mempertanyakan, kenapa keluarga Gao mengabaikan? Terlebih kenapa menyembunyikan masalah ini darinya? Terlebih pula ... kenapa Zhan Hou tak mengatakan apa-apa terkait hal ini? Tidak mungkin pria itu tak tahu, bukan? "Kenapa ... kenapa ...?"

"Ehhh, kau tidak tahu siapa dia? Dia menantu keluarga Gao, apa kau sudah gila mengatakan hal itu padanya?"

"Apa?! Kenapa kau tidak memberitahuku dari tadi? Lalu ... lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Jika keluarga Gao tahu, maka aku ... aku pasti akan dibunuh."

"Sungguh bodoh kau, ayo pergi dari sini sebelum ketahuan."

Kerumunan tak lagi merupakan kerumunan, menyisakan Mo Shan seorang yang bernapas saja tak bisa dikatakan bernapas, begitulah tercekat dan menyesakkan. Yang mana air mata adalah bukti rasa sakitnya yang teramat sangat, menghancurkan ia sepenuhnya yang kini kembali melangkahkan kaki memberat sembari melupakan sudah rasa sakit yang berasal dari perut kehamilannya itu.

Wajah memucat, peluh membanjiri. Selangkah demi selangkah ia membawa tubuh tak bertenanganya, gontai seakan sedikit embusan angin saja akan sukses menumbangkan ia yang semacam tak bernyawa ini.

Apakah ini sudah menjadi takdirnya? Takdir buruk yang haruslah ia terima kala menginjak 20 tahunan usianya. Apa mungkin karena takdir buruknya ini pula yang mengharuskan keluarganya pun ikut terseret merasakan penderitaan?

Jikalau memang demikian, masih pantaskah ia menginjakkan kaki di kediaman Wu ini? Kediaman yang dulunya hangat, damai dan penuh sukacita, tapi lihatlah kini bagaimana dingin, sepi, hening dan berantakannya. Bahkan papan nama yang tergantung di depan gerbang utama, bertuliskan 'Keluarga Wu', sekarang tak lagi ada. Melainkan tergeletak sudah di tanah, terbelah menjadi dua bagian.

BRUKK!

Tenggelam dalam tangisan, memukul-mukul keras dadanya yang penuh kesesakan. Menggeleng-geleng akan jenis ketidakterimaan kenyataan ini. Terus saja Mo Shan memanggil ayah dan ibunya, berharap kalau kedua orang tuanya akan segera datang menghampiri, membangunkan ia yang duduk terpuruk sembari menghiburnya, menyeka pergi air mata yang secara bergantian membasahi permukaan tanah dari halaman rumahnya ini. Namun, tak ada siapa pun yang menghampiri, bahkan pelayan pun tidaklah ada.

Alhasil, raungan tangisan pun terdengar. Kala embusan angin yang menerbangkan debu-debuan menjadi peredam, mendapati pula bagaimana kuatnya kepalan kedua tangan Mo Shan yang menggenggam tanah, meninggalkan noda berupa darah. Tatkala wajah wanita ini memerah, urat pada leher dan bagian pelipis menegang. Menggeram sudah ia, mengatup rapat rahangnya sembari sepasang netra diarahkan sudah pada perbukitan yang terlihat taklah begitu jauh, tepat di bagian belakang dari kediamannya ini. "Jangan salahkan aku ... kau mungkin lebih baik memang tidak dilahirkan." Menyentuh perutnya, kain sutera pakaiannya pun meninggalkan noda darah.

Lantas, bagaimana sekiranya dengan kediaman Gao kini? Kala di mana hari telah sore, kesibukan akan pengurusan pernikahan Zhan Hou tidak mungkin sampai membuat seisi rumah lupa akan menghilangnya Mo Shan, bukan? Tatkala lihatlah bagaimana terburu-burunya A'Gui berlarian, menghampiri tuan mudanya dengan napas memburu nan membuat kesulitan berucapnya itu. "Tidak baik! Xiaojie ... dia ... dia ...!"

Panik hal utama, sedangkan kekhawatiran menjadi hal berikutnya bersamaan perasaan buruk lainnya ditunjukkan pada Zhan Hou. Meskipun memang A'Gui tak menyelesaikan ucapannya, Zhan Hou taklah begitu bodoh untuk tak mampu menanggapi. Yang mana lembaran kertas merah yang diketahui kartu undangan pernikahannya, terlepas sudah dari kedua tangan, berhamburan. Mendapati pula akan bagaimana bergegasnya tuan muda kedua kediaman Gao ini berlarian, diekori A'Gui, pun kemudian keduanya meninggalkan kediaman.

Kuda dilajukan kencang, mulut terus saja berseru meminta orang-orang menyingkir, membelah jalanan kota yang memanglah siap menyambut akan datangnya malam. Lihatlah bagaimana lampion-lampion telah dinyalakan, lampion yang tidak akan mungkin mampu melawan terangnya cahaya rembulan purnama.

Benar, malam ini. Malam purnama yang menyejukkan, bahkan bintang-bintang tak berani memunculkan diri, menjadikan purnama sebagai satu-satunya sang pemilik langit malam, sang ratu paling indah dan cantik yang mengisi singgasana. Menyebarkan cahayanya ke seluruh penjuru kota. Terlebih, cahaya yang dipancarkan akan sangat berguna bagi sebagian orang yang bepergian tanpa persiapan, ataupun terburu-buru menghindari sesuatu layaknya pengejaran barangkali, atau mungkin seperti Mo Shan ini misalkan. Kala ia tak lagi tahu apa tujuan dari keberadaan dirinya dalam kehidupan sulit ini, bertubi-tubi masalah berdatangan semacam meminta dirinya menyingkir saja dari dunia.

Karenanya pula, wanita ini pun rela menempuh jalanan terjal, kegelapan dan kesunyian hutan dengan beberapa bunyi-bunyian hewan malam seakan bukanlah hal yang menakutkan. Bahkan ketika semak-semak bergemeresak, tak pula ia menghentikan langkahan pendakiannya. Malahan, Mo Shan kian mempercepat seolah tahu jikalau ia sedang dalam pencarian.

Maka, di sinilah kini ia berada. Puncak dari perbukitan nan indah. Namun, dari sudut pandang Mo Shan sendiri, percayalah tak ada keindahan sama sekali. Akan tetapi, lain halnya saat ketika ia menginjakkan sepasang kaki pada ujung jurang nan curam ini. Semacam, barulah ia mampu merasakan keindahan yang sesungguhnya. Sampai di mana sepasang netra kembali berair, mulut tertarik menampilkan suatu jenis senyuman. Kala embusan angin yang menerpa dirinya, bertindak seolah akan menghapus pergi air matanya.

"Kau datang," ucapnya, datar. Perlahan berbalik, memunggungi purnama yang menyinarinya. Mendapati seorang tuan muda yang membohonginya, ditemani pula oleh seorang pelayan pribadi. "Sungguh datang di saat yang paling tepat."

"Kemarilah, ikut denganku pulang." Mengulurkan sebelah tangan, Zhan Hou sedikit demi sedikit memajukan langkah.

"Pulang ...?" Tersenyum pahit, menggeleng-geleng pula sebelum akhirnya sepasang sorot netra penuh kepiluan seorang Mo Shan ini berubah mengelam pun menajam. "Apa aku punya rumah? Aku bahkan tidak punya keluarga ... bagaimana bisa punya tempat untuk pulang?"

"Mo Shan, kemarilah dulu ...." bujuk Zhan Hou, mendapati bagaimana dekatnya posisi Mo Shan dari ujung jurang ini. "Berbahaya untuk berdiri pada posisimu sekarang."

"Percaya atau tidak, tapi aku merasa posisiku saat ini adalah posisi yang sangat meringankan dada dan kepalaku, sangat ringan sampai terasa aku bisa terbang saat ini juga." Mo Shan terkekeh, sebulir air kembali mengalir dari sudut dalam matanya. "Kenapa ... kenapa kau tidak memberitahuku? Kedua orang tuaku ... kenapa?" Mengusap pergi air yang menghalangi pandangannya dengan cukup kasar. "Keluargamu dan dirimu ... sama saja. Hutangmu padaku, keluargaku, bagaimana kau akan membalasnya?"

"Mo Shan ... aku ...."

"Kau masih ingin aku mempertahankan kehamilan ini?!" Gema teriakannya berhasil menerbangkan burung-burung, mendatangkan desauan angin berikut dengan awan yang menutupi sebagian pandangan bulan. "Kau bahkan akan menikah, hidup bahagia setelahnya dengan istrimu dan melupakanku yang telah bodoh percaya padamu. Hidup ... apa aku bisa dibilang sebagai manusia yang hidup selama ini ...? Aku hanyalah seseorang yang tak bernyawa, Zhan Hou. Bahkan mayat lebih baik dari diriku."

"Mo Shan, aku bersalah padamu, terlebih keluargaku bersalah padamu. Benar! Aku berhutang banyak, karena itu ... aku berusaha menembusnya satu persatu selama kau hidup. Karena hanya dengan kau hidup, aku pasti akan membayar semuanya. Jadi ... sekarang kemarilah, kumohon kemarilah." Zhan Hou kembali mengulurkan tangannya, kembali pula melaju pelan mengikis jarak. Namun, Mo Shan malah terus bergerak mundur. "Baik! Baik ...! Aku tidak akan mendekatimu, kumohon jangan mundur lagi!"

"Aku pernah memujamu, menyukaimu, percaya padamu ... tapi yang kau berikan padaku hanyalah luka dan jalinan buruk. Dengan itu, hutangmu padaku kau tidak akan sanggup membayarnya, dan purnama malam ini adalah saksinya. Saksi, dari rasa sakitku yang juga akan kau rasakan."

Semacam purnama mendengar, awan seketika menyingkir dari pandangan rembulan, menyinar jauh lebih terang lagi dari sebelumnya. Namun, bulan yang terang itu pun menjadi awalan dari suatu petaka. Dan dengan sepasang netra terbelalak, langkah kaki mendekat yang Zhan Hou tahan sedari awal kini melangkah dalam kecepatan yang dirinya bisa keluarkan, menyaksikan bagaimana Mo Shan menumbangkan dirinya pada jurang dengan mata terpejam.

"TIDAK! SHAOYE!!!" Tangan terulur, tapi kekosongan yang A'Gui raup. Tak sanggup ia menyaksikan ke bawah sana, tak sanggup pula mencerna apa yang barusan dilihat dan saksikan.

Sisa potongan kain, hanya itu yang tertinggal. Kala mau tak mau pelayan pribadinya ini ambil, digenggamnya erat untuk kemudian kembali menyerukan tuan mudanya yang ikut serta menjatuhkan diri ke dalam jurang sana. Meskipun berat, tapi A'Gui mulai memberanikan diri melihat ke bawah sana, menyaksikan bagaimana kedua orang itu menukik dalam kecepatan yang perlahan menghilang dari tangkapan pandangannya. Yang mana serta merta, A'Gui kembali berteriak, memanggil tuan mudanya itu dalam kepiluan teramat sangat. Pun air mata, dijatuhkan sudah.

Kala Zhan Hou sendiri, entah sadar atau tidak gerbang kematian telah mendekat, siap membawanya ke dunia lain. Ataukah mungkin ia sendiri taklah sadar, jikalau kini sedang berada di posisi seberbahaya apa. Lihatlah sendiri bagaimana tuan muda dari keluarga Gao ini melekatkan pandangan hanya pada tubuh Mo Shan yang beberapa jarak di bawahnya, mata dipejamkan, kepasrahan pun ditunjukkan oleh wanita itu. Siap menanti suatu jenis pendaratan keras yang menghantam tubuh manusia yang tak lagi diinginkannya ini.

Siapa pun, kumohon biarkan kami hidup. Biarkan diriku, Gao Zhan Hou ... membayar hutangku pada Wu Mo Shan, tidak peduli bagaimana caranya asal jalinan buruk kami terputus ... aku akan terima, bahkan jiwaku akan kuserahkan sepenuhnya pada siapa saja yang menawarkan bantuan sekarang.

Seketika langit mengeluarkan gemuruh, kilatan cahaya putih saling bersahutan. Tatkala kawanan gagak yang entah dari mana berkoak cukuplah keras, mendatangi sampai mengerumuni Zhan Hou menjadi layaknya bola raksasa hitam. Yang entah bagaimana, kerumunan yang membola tersebut berakhir mengeluarkan pendar cahaya kemerahan, meledak dalam kegelapan itu sendiri. Yang mana kepingan dari ledakan tersebut malah berakhir terserap, bergabung ke dalam tubuh Zhan Hou yang tak lagi sadarkan diri.

Continue Reading

You'll Also Like

103K 22.1K 46
[Epic Fantasy] Tanah telah rusak beratus-ratus tahun lalu. Manusia telah punah karena terjadinya perang antara umat manusia, makhluk supernatural, ma...
24.8K 1.5K 22
Noeul hanya milik boss seorang tidak ada yang boleh merebutnya
103K 8.5K 47
Dena, seorang gadis lugu yang berparas cantik dapat memikat hati seorang Kim Taehyung dan tanpa sadar telah membuatnya menjadi ter'obsesi padanya. ap...
92.5K 6K 38
"I found peace in your violence." Perjodohan, gaun, sepatu hak tinggi, dan sikap yang harus dimiliki oleh seorang princess, membuat Azaria membenci h...