RUMPANG

By LilSindhy

875K 111K 7K

Rumpang : (nomina) sela (selang waktu, berhenti sebentar, dan sebagainya) ~~~ Mira sudah bersiap menata hidup... More

01. Kelas
02. Nama Yang Haram Disebut
03. Pengakuan Mematikan
04. Madu Balas Madu
05. Di Balik Manis Madu
06. Pembalasan yang Tertunda
07. Study Tour
08. Kertas Tipuan
09. Enam Puluh Hari
10. Keputusan Gila
11. Tantangan
12. Rumah Idaman
13. Malam Pertama
14. Tukang Cuci Pribadi
15. Kongsi
16. Tiba-tiba Jadi Keluarga
17. Senin Kita
19. Kita Sudah Usai
20. Main Punggung
21. Pengertian
22. Nafkah
23. Nyata Yang Terkuak
24. Laki-Laki Terbaik
25. Bertaut
26. Adik Untuk Reihan
27. Yang Ditampik
28. Penerimaan dan Penolakan
29. Tempat Untuk Tinggal
30. Sajian Bernama Kenangan
31. Selingan dan Spesial
32. Di Luar Kebiasaan
33. Kiamat Kecil
34. Dilarang Lelah
35. Kejutan Bernama Keajaiban
36. Resmi Berdua
37. Lilin Penerang
38. Cinta Pertama
39. Pertemuan
40. Melanjutkan Kisah

18. Cerita Soal Kain

17.8K 2.6K 257
By LilSindhy

●●●●●

Ketika meninggalkan rumah dan pindah sementara ke rumah Tama, aku hanya membawa satu kopor tak seberapa besar. Itu kukemas dengan tanganku sendiri dan kusesuaikan dengan kebutuhan terpenting—maksudku adalah seragam mengajar. Tapi rupa-rupanya aku salah perhitungan. Pakaian rumahanku habis lebih dulu, sedangkan yang telanjur kotor belum kering dari penjemuran. 

Di lemari Tama sebenarnya ada bertumpuk-tumpuk pakaianku. Harusnya bisa kupakai andai saja badanku tak bertambah gendut. Tapi kupikir lagi, dari nyaris seratus lembar kain itu masa tidak ada satu pun yang muat di badan? Karena pertanyaan itu, maka satu jam lebih kuhabiskan waktu di depan lemari dan cermin untuk menjajal satu per satu kain. Hasilnya adalah, kekecilan, terlalu ketat, atau mungkin malah mengundang syahwat. Jadi, daripada aku disebut penggoda oleh Tama, lebih baik aku mencari alternatif lain saja. 

Maka aku sungguh tak punya pilihan selain menarik satu kaos dari tumpukan pakaian milik Tama dan memakainya tanpa pikir panjang. Kain yang terasa dingin itu jelas kebesaran di badanku. Jatuh melewati hotpants yang kukenakan dan menutupi setengah dari paha. Sekarang dadaku terlihat datar dengan kaos oversize ini. Aku tersenyum pada cermin dan merasa telah melakukan hal yang benar.

Sekarang tersisa membereskan kekacauan dalam wujud bertumpuk-tumpuk baju lamaku yang berhamburan di atas sofa dan lantai. Hanya saja, aku seorang Almira yang tidak akan mau bersusah-susah. Jadi, kuputuskan untuk meminta bantuan Tati saja.

Belum juga bertemu Tati, aku malah berpapasan dengan Reihan yang mengangkut segelas susu di tangannya. Bocah itu menatapku dengan heran. "Kok Mama pakai kaos Papa?" tanyanya.

"Ibu kehabisan baju. Jadi ya minjem kaosnya  papamu. Kamu lihat Mbak Tati, Rei?"

"Minjem ya? Mama sudah izin?" Anak kecil pun bisa menyudutkanku.

Sontak alisku bertaut. Aku merasa gemas diinterogasi semacam itu oleh anak-anak. Lagian, kenapa dia bisa hapal sekali dengan pakaian papanya? Apa kaos ini sering dipakai oleh Tama?

"Itu... nanti deh. Ibu izin ke papamu kalau dia sudah pulang."

"Tapi, nggak perlu deh kayaknya, Ma. Toh Papa nggak suka kaos itu."

"Ha?"

"Kaos itu Bunda yang beliin. Couple buat Rei sama Papa. Tapi Papa nggak pernah mau pakai. Jadi, Mama pakai saja. Rei tahu, Papa nggak akan marah."

Mataku tak mungkin salah bahwa baru saja aku menemukan kekecewaan besar telah mengerubuti mata si kecil Reihan. Anak itu berlalu melewatiku. Bibirnya masam, wajahnya tertekuk. Sedetik, aku merasa sesuatu berdiam di tenggorokanku. Bersekon-sekon, aku hanya bisa mematung dan tak tahu harus melakukan apa.

Aku meremas pelan kaos yang melekat di tubuhku sambil mengingat-ingat di mana aku menarik kaos ini dari lemari. Itu adalah tumpukan paling bawah di mana biasanya memang jarang dipakai. Kupikir memang jarang saja. Aku tak pernah mengira bahwa kaos ini baru. Pantaslah aromanya berbeda.

"Mama nyari Mbak Tati, kan?"

Berjengit, aku menoleh dan mengangguk. Reihan duduk melantai. Dagunya tersandar di meja, jari kecilnya menggambar pola abstrak di atas lembaran kayu halus itu. Entah bagaimana, Reihan kelihatan nelangsa sekali.

"Mbak Tati pergi ke warung, beli sesuatu. Duduk sini aja, Ma. Nanti juga pulang."

Pelan-pelan aku mengembuskan napas. Aku harus tenang dan berhenti menyalahkan diri sendiri. Sama sekali, aku tidak bermaksud mengingatkan anak ini pada kekecewaan yang pernah dia sandang. Kudekati anak itu dan duduk melantai tepat di sampingnya. Kata orang, berbicara pelan lebih efektif untuk membujuk seseorang yang sedang sedih atau merajuk.

"Rei marah sama Ibu karena lancang pakai kaos ini?"

Anak itu menggeleng, menatapku dengan mata beningnya. "Rei malah seneng. Akhirnya kaos yang dikasih Bunda bisa kepake."

Lidahku mendadak kaku. Ucapan Reihan mengingatkanku pada sikapku sendiri yang  dulu memperlakukan Kirana bahkan Reihan selayaknya virus berbahaya yang patut dihindari. Aku tak mengira, bahwa Tama bisa juga tega berlaku abai pada sahabat—atau katakanlah cinta pertamanya itu. 
 
Sejak awal, dia memang berjanji bahwa pernikahannya dengan Kirana tak akan pernah serupa dengan rumah tangganya denganku. Hanya saja, aku tak mengira dia akan seserius ini membedakan sikapnya.
Tanganku jatuh di atas rambut Reihan. Anak itu mendongak dan kuberikan senyum kecil. "Kalau memang Papa nggak mau pakai ini, biar Ibu aja yang pakai. Boleh?"

Reihan mengangguk. Matanya berkaca-kaca.
Senyumku kian melebar. "Gimana kalau kamu ganti kaos begini juga? Kita kasih lihat ke Papa, biar dia ngiler karena nggak couple sendiri. Setuju?"

Bukannya menyahut atau mengangguk, anak itu malah bangkit dari duduknya dan menubruk badanku dengan pelukan. Aku terkekeh pelan sambil mengusap-usap punggungnya.

"Rei sayang Mama. Baru sebentar, tapi Rei sudah sayang banget sama Mama."

Mendengarnya perasaanku jadi kelabu sendiri.

●●●●●
 
D

ibantu Tati, aku membereskan pakaian-pakaian kekecilan itu dan memasukkannya ke dalam beberapa kardus. Langsung saja kuhibahkan pada perempuan seusiaku yang sudah bekerja pada Tama sejak aku hengkang empat tahun lalu itu. Kata Tati, sebagian akan dia kirim ke kampung. Adik-adiknya pasti senang mendapatkan semua pakaian ini. Karena meskipun bekas, Tati jelas tahu bahwa aku tak sembarangan membeli pakaian, semua itu mahal dan berkelas. Yang Tati tidak tahu adalah aku selalu diomeli oleh ibu mertuaku tiap kali aku pulang dan membawa kantong belanjaan. Menurutnya, aku cuma bisa menghabiskan uang anaknya tanpa tahu cara menyenangkan suami.

Untungnya, laki-laki yang sekarang baru tiba di rumah itu sama sekali tidak protes sebanyak apapun baju yang kubeli. Hanya saja, dia punya batasan. Bukan perkara jumlah, melainkan adalah model. Sesuatu yang memperlihatkan belahan dada dan bahu jelas dilarang. Pernah aku nekat membeli gaun yang lumayan terbuka tanpa lebih dulu menunjukkan kepadanya dan ujung dari itu, gaun itu berakhir digunting-gunting tepat di depan mukaku. Aku sakit hati sekali, menangis sesenggukan, dan bahkan kabur ke rumah ayah. Ujung dari semuanya adalah Tama bermaksud menjemput dan malah dihadiahi bogem kuat.

"Hore, Papa pulang!" Reihan berseru. Dia turun dari sofa dan melompat ke pelukan papanya. "Papa bohong nih. Katanya mau pulang sore. Ini sudah malam."

"Maaf, boy. Kerjaan Papa banyak. Kalian belum makan?" tanya Tama yang dibalas gelengan oleh Reihan. Laki-laki yang sudah kelihatan kusut itu kemudian melirikku.  "Harusnya makan duluan nggak apa. Terus, ngapain kamu pakai kaos itu?"

Kaos berwarna merah maroon ini memang punya cerita sensitif. Aku benar-benar menyesal sudah memakainya.

"Saya kehabisan baju, Pak. Saya pinjam hari ini saja."

"Rei juga pakai couplenya, Pa. Lihat. Lihat." Reihan menambahi.

Tama menoleh dan mengubit kecil pipi anaknya. "Nah, iya. Kenapa juga kamu ikut-ikutan pakai. Padahal ini sudah kekecilan."

Diam-diam, aku memperhatikan saksama ekpresi yang Tama keluarkan. Rasanya, tidak ada perubahan berarti di wajah itu. Dia tidak tampak marah, meskipun aku dan Reihan kompak memakai kaos yang katanya selalu dia 'tolak'.

"Kata Mama biar couple. Kata Mama biar Papa ngiler karena nggak couple sendiri."

Tanpa kuduga-duga, Tama tertawa. "Papa beneran ngiler sekarang. Gimana kalau kita beli yang baru. Kita couple bertiga. Gimana?"

"Wooo. Setujuuuu."

"Saya nggak ikut, Pak," kataku masih selalu dengan mengacungkan tangan tinggi-tinggi.

"Waduh, Mamamu nggak mau diajak couple, Rei."

"Aih, Mama nggak seru! Plin-plan. Tadi mau couple, sekarang enggak."

Situ yang plin-plan, bayik!

Sedetik lalu dia masih temanku, sekarang dia memasang badan di arah berseberangan. Aku mengabaikan bapak dan anak itu dan berjalan malas menuju dapur. Dua laki-laki beda generasi tadi mengekor di belakang. Aku menarik satu kursi dan duduk sambil bertopang dagu. Perutku sudah seperti pasar saja sekarang. Andai tak ingat posisiku sekadar tamu, pastilah aku sudah makan sejak tadi dan meninggalkan tuan rumah yang berjanji pulang sore tapi ternyata baru tiba di rumah pukul delapan malam. Jam milik Gautama memang lain daripada yang lain.

"Hei, Tati. Itu bajunya istri saya, kan?"

Suara Tama menggema. Aku cuma melirik dari ekor mata.

"Eh, iya, Pak."

"Kok lancang!" Tama berkata lagi sambil sedikit membentak. Aku sampai kaget, karena biasanya dia tak pernah galak pada asistennya itu. Di balik meja dapur, Tati sama berjengitnya. "Kalau kamu juga nggak punya baju, bilang sama saya. Saya kasih uang, lalu pergi beli sendiri. Jangan bajunya istri saya kamu pakai."

Tama memang punya suara berat dan tegas. Andai dia adalah orang yang hobi marah-marah, aku yakin sekali dia akan disebut lebih singa daripada ayahku. Apalagi ditambah dengan sorot mata setajam itu, Tama benar-benar menyeramkan. Dalam pandanganku sekarang, Tati menundukkan kepala sambil memilin-milin dress panjang bernotif floral yang kubeli entah kapan. Di balik kompor yang masih menyala, dia seperti kelinci tanpa daya di hadapan serigala penyuka daging.

"Maaf, Pak. Saya—"

“Itu saya yang kasih, kok. Jadi jangan marahin Tati,” selaku.

Tama menoleh padaku dan menatap beberapa lama sebelum kembali mendelik galak pada Tati. "Nggak peduli. Sekarang tukar bajumu."

"Biarin saja, Pak Tama. Kenapa sih hal kayak gini harus dibesar-besarin?"

"Itu bajumu, Mira." Dia bahkan ikut menggeram kepadaku.

Tak sama sekali gentar aku lanjut menyahut. "Lalu kenapa? Baju itu sudah kekecilan di badan saya. Jadi, biar Tati saja yang pakai."

"Nggak bisa. Pokok—"

"Saya lapar. Bisa kita tidak bertengkar untuk urusan sepele kayak gini?"

Setelahnya air muka Tama agak melunak. Dia mengembuskan napas dan tampak sekali mengatur emosinya yang kadung memuncak tinggi.

"Kalian makan duluan. Aku mandi sebentar."

Si tuan rumah berlalu. Kesempatan itu kugunakan untuk mendekati Tati dan menenangkannya. Badan gadis itu bergetar, tangannya terasa dingin. Dia mengaku baru kali ini melihat Tama dalam keadaan yang sangat murka. Dia bahkan mengatakan akan mengembalikan semua pakaianku saking tak maunya dimarahi oleh majikannya itu. Namun sebisa mungkin kuyakinkan Tati bahwa itu tak akan terjadi. Tama akan paham bahwa pakaian itu tak lagi kuperlukan, dan akan lebih bermanfaat jika diberikan kepada orang lain.

Karena keadaan Tati yang agak shok, aku berbaik hati untuk membantu pekerjaannya. Bukan sesuatu yang berat. Aku hanya memindahkan lauk ke meja dan tak lupa menyiapkan peralatan makan.

"MIRA!"

Baru saja tenang. Tama sudah berteriak lagi. Kenapa sih laki-laki itu? 

Tati kembali pucat pasi sebab mendengar teriakan Tama yang menggelegar. Secara spontan dia berlari dan bertahan di belakang punggungku seolah sedang mencari perlindungan. Derap-derap langkah panjang terdengar. Tak lama, Tama kembali dengan penampilan selepas mandi. Wajahnya boleh segar dan sejuk dipandang. Tapi aku jelas melihat bara amarah di dua bola keabu-abuannya.

Menghadapku, laki-laki itu mendesis, "kamu kemanakan semua pakaianmu? Kamu kasih Tati?"

Aku mengangguk.

"Semuanya?" Tama memperjelas. Terlihat sekali dia sedang menahan diri.

"Semuanya, Pak. Seperti yang saya bilang, semua pakaian itu sudah tidak muat di badan saya. Daripada bertumpuk di lemari, lebih baik saya kasih ke Tati, dan itu akan bermanfaat buat banyak orang."

"Persetan dengan manfaat." Tama mendesis. Aku terkaget. Heran, kenapa dia bisa semarah ini. "Jelasnya, aku mau semua pakaianmu kembali ke lemari."

Kemarahan Tama kali ini sepertinya sangat serius. Dia bahkan tak menyaring ucapannya dan berakhir jadi memperdengarkan nada kasar di depan Reihan yang ia jaga sedemikian baik. Bocah itu sampai beringsut turun dari kursi dan bersembunyi di bawah meja. Tama sungguh keterlaluan.

"Tidak bisa, Pak Tama. Sudah saya serahkan ke Tati. Saya bisa bintitan kalau—"

"Tati, kamu balikin semua pakaian istri saya atau saya pecat."

"PAK TAMA!"

Bentakkanku di balas dengan tatapan tajam oleh Tama. Masalahnya dia benar-benar berlebihan. Ini hanya pakaian, kenapa harus dibesar-besarkan seolah Tati sudah melakukan kejahatan besar saja.
Bermenit-menit kami beradu mata. Aku tak berniat melemah sebab aku tahu diriku benar dan dia yang salah. Bertahan dengan dagu terangkat dan sorot mata tanpa gentar, pada akhirnya Tama lah yang mundur dan mengakhiri peperangan sengit kami. Laki-laki itu berbalik pergi. Menyisakan hawa kemarahan, yang tak juga mau berpindah. Di belakangku, Tati merosot ke lantai.

Jantungku sendiri, berdebar begitu hebat. Aku berusaha tenang, meski sejujurnya aku kaget bercampur bingung atas alasan apa Tama harus semeledak sekarang. Pada Tati, aku meminta bantuannya untuk menenangkan Reihan dan membujuk anak itu untuk makan kalau memang mau, sementara aku akan berbicara pada Tama. Laki-laki itu tak boleh memperlakukan kami seperti ini.

Mantan suamiku itu tak kutemukan di kamar. Lebih lanjut, aku melihat dia walk-in closet—tepat di depan rak-rak lemari yang sekarang berakhir luang setelah aku mengeluarkan semua bajuku. Dia terduduk di lantai, memandangi kekosongan. Raut wajahnya nelangsa, seperti habis kerampokan semua harta benda yang dia punya. Padahal itu cuma kain bekas.

Karena kedatanganku tak dilirik, jadi aku mulai bicara saja. "Yang tadi itu keterlaluan, Pak. Tati itu sudah ikut Bapak lama sekali. Dia setia dan nggak aneh-aneh. Dia yang nemenin Reihan ketika bapak kerja. Dia tidak mencuri. Dia cuma terima apa yang saya kasih. Di mana salahnya? Kenapa dia harus diancam pemecatan seperti ini? Apa Bapak nggak punya hati?"

"Dia bisa ambil apapun. Asal bukan bajumu. Kamu bisa kasih apapun, asal bukan bajumu," lirihnya pelan.

"Pak Tama ini tidak paham juga. Berapa kali harus saya jelaskan, baju itu sudah tidak muat di badan saya. Baju itu sudah tidak mungkin saya pakai lagi. Baju itu cuma rongsokan. Dan buat apa menyimpan rongsokan di lemari sebagus ini?"

"Bagimu itu kayak rongsokan. Sedang buat aku, baju-baju itu adalah segalanya."
Tama menoleh. Aku terhenyak ketika melihat matanya yang memerah. Itu bukan kemarahan. Itu luka yang membuatnya seolah berdarah-darah.

"Aku tahu, keputusanku empat tahun lalu tidak bisa dibenarkan. Lagipula, keputusan manapun nggak akan bikin hidupku tenang sebenarnya. Pilihanku pasti berujung dua sebutan, durhaka atau suami brengsek. Aku ngaku salah. Tapi kenapa harus seberat ini hukumannya?"

"Saat itu aku cuma punya kamu. Tapi aku tahu kamu sangat terluka untuk tetap tinggal. Akhirnya, kamu memilih pergi dan aku bahkan nggak punya daya sekadar mempertahankan sesuatu yang sangat-sangat kusayangi. Kamu bawa semuanya. Kebahagiaanku. Alasan untukku hidup. Dan kamu cuma sisain baju-baju itu di lemari."

Aku mengambil langkah mundur hingga punggungku menubruk dinding. Melihat Tama mengulas senyum kecut, hatiku terasa dihadiahi satu tinjuan hebat. Setitik air mata meluncur di mata itu. Seolah dia sedang mereka ulang keadaanya empat tahun lalu.

"Aku bertahan dengan melihat baju-bajumu di lemari. Aku bisa bertahan hanya dengan memikirkan bajumu masih ada di sini, suatu hari kamu akan balik ke aku, dan kita atur lemari kita bareng-bareng lagi. Sekarang kamu memang ada di dekatku, tapi kamu juga selalu bilang, akan pergi lagi. Sebanyak apapun aku meminta, kamu tetap akan pergi.

"Jadi, tolong beri aku satu kebebasan menyimpan baju-bajumu. Aku... butuh mereka. Mereka segalanya buat aku. Mereka yang tersisa dari kamu dan boleh kumiliki sesuka hati."

Penglihatanku terasa kabur. Tama sepertinya juga sudah selesai bicara hingga kuputuskan untuk menyeret kakiku keluar dan menjauh. Aku berakhir di kamar Reihan. Wajahku terbenam di atas bantal. Sama sekali tak ada niatku untuk menangis. Tapi air mata sialan ini keluar dan berceceran begitu saja.

"Ma. Mama nggak apa-apa? Mama diapain sama Papa?"

Aku tak bisa bicara. Isakanku malah makin menjadi. Dadaku sakit sekali.

●●●●●
 

Ini baru setengah jalan. Ada yang sudah bosan nunggu? 🤭🤭

Di KK juga sudah ada tambahan update. Silahkan dikepoin.

💕
11052022

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 72.4K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
303K 38.9K 43
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
2.5M 119K 54
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
1.6M 23.3K 41
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...