SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

26: I Wanna Tell You How I Feel

1.7K 317 114
By lnfn21

CHAPTER 26
I Wanna Tell You How I Feel

[Playlist: Shoon - Lavender]

***

"Aku sedang berbelanja dengan Bibi Mola."

Dahi tak tertutup sehelai rambut pun di sana memunculkan kerutan seiring dengan sepasang alis yang bertaut begitu suara dari seberang menuai ujung pernyataan. Ponsel dalam genggaman menampilkan wajah berseri perempuan bersama wanita setengah baya yang sedang berada di tengah-tengah khalayak pusat perbelanjaan.

"Bagaimana kalian pergi ke sana?"

"Naik sepeda."

Kerutan kian nampak kentara. Garis mata tajam seorang pria rupawan melukiskan raut tak suka. "Supermarketnya cukup jauh dari rumah. Pasti melelahkan mengayuh sepeda ke sana."

Perempuan di balik layar ponsel menggeleng segera. "Eum, tidak begitu. Justru perjalanan kami terasa menyenangkan."

Gusar menerkam pria itu tanpa alasan, menyebabkan dadanya berpacu sedikit awutan. Bukan hanya perkara 'melelahkan' yang menjadi latar belakang munculnya kekhawatiran dalam jiwa, melainkan ada hal-hal lain yang terlalu sukar dijabarkan. Yang jelas, ini perkara hidup dan mati. Siapapun akan sama halnya cemas, jika berada di posisi Jeffrey saat ini.

Diberi tugas menjaga perempuan yang sekarang sedang berkeliaran di luar sana tanpa pengawasan matanya, nalar Jeffrey berputar mengirim sinyal asumsi jikalau hal-hal tak diinginkan mungkin saja akan segera terjadi. Namun, tatkala melihat perempuan yang tengah ia tatap secara maya nampak begitu bahagia, mau tidak mau Jeffrey dituntut untuk bersikap tenang sekacau apa pun ia sekarang.

"Lain kali, beritahu aku sebelum kamu pergi ke manapun."

Alhasil, Jeffrey sekadar memberi peringatan. Berharap perempuan yang Jeffrey pegang perkara hidup dan matinya itu segera paham.

Sesungguhnya, Jeffrey bukanlah manusia tunggal yang menghuni elevator berdinding transparan bak wahana permainan—semakin tinggi posisi mereka, semakin nampak mengecil objek-objek di bawah sana. Di bagian kiri belakang Jeffrey, berdiri pria jangkung berteman tab yang sesekali ia amati. Meski demikian, percayalah Kim Mingyu tak sedang menjatuhkan atensi secara utuh menelaah salindia presentasi yang terpampang. Percakapan manis yang terindra oleh sepasang telinga membuat perhatian Mingyu terbagi dua.

Ekor mata Mingyu terkadang menembus punggung tegap Jeffrey, menelisik di antara celah kecil di balik bahu Jeffrey sehingga ia bisa menangkap sebagian tampilan layar ponsel. Rupa familiar di sana menyuguhi Mingyu sekelumit rasa, tetapi ia tak hendak menjadi naif. Pria itu menegaskan pada diri sendiri bahwa Jeffrey hanya sebatas memainkan peran sebagai seorang suami bayangan meski kecemasan Jeffrey terdengar nyata.

Pintu elevator terbuka, koridor membentang lurus nan panjang. Aula besar melambai di penghujung. Alih-alih segera memasuki, ayunan kaki berbalut pantofel hitam mengkilap Jeffrey terhenti di tengah perjalanan. Mingyu menyorot heran, tak tahu-menahu apa yang menyebabkan Jeffrey bergeming di saat pintu aula telah dibuka lebar dan orang-orang yang berkumpul di dalam sana telah bersiap menyambut kedatangannya. Sampai suatu ketika Mingyu turut menatap layar ponsel milik Jeffrey, saat itu pula ia segera paham.

Seorang pria bertopi nampak berada di balik punggung Rosé dengan gerak-gerik yang mencurigakan. Jika diingat-ingat, sedari awal panggilan video berlangsung, sosok itu selalu tertangkap kamera.

"Asisten Kim." Usai menutup sambungan, Jeffrey segera menoleh pada Mingyu.

Dan, seakan tahu bahwa Mingyu sedari tadi turut memperhatikan, tanpa basa-basi Jeffrey memberikan perintah, "Pergi temui Rosé sekarang!"

Sepasang kelopak mata Mingyu melebar, sesekali mengedip. Ia bisa saja segera melaksanakan titah Jeffrey tanpa banyak pertimbangan, tetapi hal mendesak lain yang menanti di hadapan membuat Mingyu menjadi gamang. "Bagaimana dengan rapatnya?"

Jarak terpangkas satu langkah, Jeffrey berdiri dengan mata bertemu mata. Tab dalam genggaman Mingyu beralih pada Jeffrey secepat pria itu mengeluarkan tangan dari saku celana lalu merampas. Tajam sorot Jeffrey menghunus Mingyu bersama lisan yang membisik, "Pergi sekarang dan pastikan Rosé pulang dengan selamat!"

Ada penekanan yang menandai bahwa titah Jeffrey tak terbantahkan. Mingyu paham. Namun, tak lantas melaksanakan. Pria itu menyempatkan diri memandang punggung Jeffrey yang beranjak menghilang ditelan pintu aula. Tak ada skeptis yang nampak, Jeffrey seakan-akan bicara tegas melalui tindak-tuturnya:

"Biar aku yang urus semuanya di sini."

Mingyu pun semestinya tak meragu. Setelah melihat kinerja Jeffrey mengurus perusahaan beberapa bulan belakangan, semestinya ia yakin bahwa kali ini pun Jeffrey bisa diandalkan. Maka, setelah berpuluh-puluh detik terdiam, Mingyu pada akhirnya melesat pergi.

Pusat perbelanjaan yang Mingyu yakini merupakan tempat di mana Rosé berada nampak ramai sebagaimana biasanya. Terutama slot kedai-kedai makanan yang nyaris penuh oleh manusia-manusia keroncongan di jam makan siang. Tak luput mendatangi, Mingyu sama sekali tak menemukan objek yang ia cari.

Di antara ratusan bahkan ribuan orang di tempat seluas dan sebesar ini, jelas bukan sedikit waktu yang diperlukan demi mencari seseorang. Setiap sekian lama pencarian—naik-turun eskalator guna menyambangi lantai demi lantai—mata Mingyu kini berhasil menangkap figur perempuan yang nampak familiar.

"Asisten Kim."

Mola, wanita berusia awal empat puluhan di sana adalah orang yang pertama kali menyadari kedatangan Mingyu. Sementara, Rosé yang sedari tadi fokus memilah jajaran sweater pria baru teralihkan atensinya setelah mendengar suara Mola. Senyuman tipis tersemat di wajah jelita yang terbingkai oleh surai kecoklatan sebatas bahu. Turut serta membuat Mingyu tersenyum selagi berupaya menenangkan gemuruh di dada. Kenyataan bahwa Rosé baik-baik saja sudah lebih dari cukup membuat Mingyu bisa kembali bernapas lega. Dan lagi, ia tak menemukan orang yang dicurigainya sebagai penguntit di titik manapun.

"Jaehyun menyuruhmu kemari?"

Selayak cenanyang, tebakan Rosé saat itu begitu tepat sasaran. Mingyu tak menyangkal. "Pimpinan Jung mengkhawatirkanmu," ujarnya guna memperkuat alasan ia berada di sini. Lamat-lamat, Mingyu bisa melihat perempuan itu mengangkat salah satu sudut bibir, barangkali tersanjung.

"Cukup kebetulan kamu ada di sini. Jadi, kemarilah!"

Posisi antara dua manusia yang tengah berinteraksi itu terbilang berjarak. Usai mendengar penuturan Rosé, pelan tapi pasti, Mingyu memangkas dua meter menjadi setidaknya satu meter. Dan, Rosé yang menyeret lengan Mingyu tiba-tiba menyebabkan mereka hanya berjeda lima puluh senti saja, tanpa tahu bahwasanya itu adalah radius berbahaya bagi Mingyu beserta jantung pria itu.

Rosé mencocokan ukuran beberapa sweater dengan badan Mingyu seraya berceloteh, "Kalung hadiah Natal darimu sangat cantik. Aku ingin berterimakasih."

Pandangan Mingyu jatuh tepat pada liontin sentangkai mawar kecil pada benda berkilau yang melingkari leher Rosé. Seulas senyum ia bubuhkan. "Syukurlah, jika kamu suka."

Rosé balas tersenyum. Dua model sweater yang nyaris serupa tapi berbeda warna dibawa serta perempuan itu menuju kasir. Usai bertransaksi, mereka meninggalkan bangunan mall dengan Mingyu yang bersikukuh mengantar Rosé dan Mola pulang. Tentu dengan sepeda, dan bukan dengan mobil lantaran Mingyu tahu betul hal itu sangat beresiko bagi kondisi psikis Rosé.

Meski mulanya ragu, Rosé tetap mendudukkan diri di jok belakang sepeda sementara Mingyu mengayuhnya. Mola dengan sepedanya berada di sisi mereka, kadang kala mematik topik pembicaraan jika memungkinkan. Kenyataan bahwa Mola bekerja cukup lama untuk Keluarga Park menyebabkan wanita itu paham betul perihal Rosé dan Mingyu yang dekat di masa lalu.

"Astaga, waktu itu kalian masih sangat muda. Tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Sekarang kalian sudah sebegini dewasa. Waktu itu juga, aku berpikir kalian mungkin akan menikah suatu saat nanti. Kalian terlihat serasi," ujar Mola sedikit menabur canda.

Mingyu tak banyak larut dalam obrolan, hanya sesekali menimpali. Namun, runtaian kalimat Mola kali ini tak menuai tanggapan barangkali satu patah katapun dari Mingyu. Pria itu menatap lurus jalanan, berupaya memastikan laju sepeda tak berakhir melenceng menabrak trotoar atau memakan jalur lawan lantaran kecambuk di jiwa mulai mengganggu pemikiran.

Setiap Mola menyinggung hal-hal silam, kepala Mingyu memproyeksikan kenangan demi kenangan selayak film antiklimaks. Dimulai sejak pertama jumpa dengan Rosé ketika duduk di bangku sekolah menengah atas; perbincangan mengenai musik yang kerap menyita banyak waktu mereka tanpa terasa; menyanyikan lagu-lagu populer pada masanya di panggung sekolah atau di sela-sela jam kosong kelas pun tak masalah; mengunjungi kafetaria dan menerima job manggung dengan bayaran tak seberapa asalkan bersama-sama juga bukan sebuah problematika.

"Ngomong-ngomong, Asisten Kim. Kapan kau akan menikah?"

Satu lagi pertanyaan Mola menyebabkan Mingyu sedikit oleng. Cukup lama pria itu hening. Dan, menyadari dua wanita tengah menantinya bersuara, Mingyu pikir tak benar rasanya jika ia tetap teguh pada kebisuan kendati ia sendiri masih kebingungan akan kalimat seperti apa yang mesti dikeluarkan.

"Eum. Entahlah. Aku belum tahu pasti." Seuntai senyum tampil kaku di wajah gagah Mingyu.

"Berkacalah dari Nona Rosé. Dia sudah menikah sekarang. Kamu juga seharusnya cepat menyusul," cerca Mola begitu enteng selayak ibu yang tengah mengomeli anak sulungnya lantaran belum juga menikah di usia bujang yang nyaris lapuk.

Tawa Rosé mengudara, membuat Mingyu sedikit penasaran akan rautnya di belakang sana. Yang Mingyu yakini, keindahan rupa perempuan itu akan berlipat ganda ketika tertawa. Dan, di tengah-tengah nalar Mingyu yang sedang merangkai susunan khayal wajah perempuan paling ia kagumi sedunia, Rosé tiba-tiba saja bertanya, "Apa tidak ada satu pun gadis yang kau sukai, Asisten Kim?"

Detik itu juga, sepeda bukan lagi oleng melainkan berakhir mencium aspal kasar bersama dua pengendaranya. Belanjaan dalam keranjang turut tercecer pula. Mola menggaduh syok, segera berhenti mengayuh dan berlarian membantu para manusia malang yang baru saja dirundung celaka.

***

"Bagaimana? Kau menyukainya?"

Sweater putih gading berbahan rajutan wol—konon katanya—Rosé beli sewaktu berbelanja siang tadi. Cermin full body memperlihatkan bayangan tubuh proposional Jeffrey dilekati benda tersebut sekaligus membantu Jeffrey menangkap ekspresi penasaran perempuan yang berdiri di belakangnya.

"Bagaimana kau bisa begitu pas memilih?" Jeffrey bertanya. Tanpa jeda panjang Rosé menjawab, "Aku mencocokkannya dengan badan Asisten Kim."

Memutar kepala, kini bukan hanya sebatas bayangan Rosé saja yang Jeffrey indrai, melainkan pawakan nyata berbalut gaun sutra hitam lengan panjang sebatas mata kaki. Jemari lentik Rosé menyematkan helaian surai ke belakang telinga, lalu tanpa segan berkata, "Aku membeli dua. Satunya kuberikan pada Asisten Kim sebagai balasan atas hadiah Natal yang dia berikan."

Mulut Jeffrey terkatup sedemikian rapat selama sekian waktu setelah mendengar pernyataan Rosé. Iris pekat pria itu tak menunjukan raut berarti, nyaris tanpa ekspresi. Sementara Rosé seakan-akan dibuat cemas menanti tanggapan Jeffrey. Sedikit terkesiap dirinya begitu Jeffrey berdiri tepat di depan mata, lalu meraba liontin yang menggantung pada kalung di lehernya.

"Benda ini, apa kau begitu menyukainya?"

Kelopak berhias bulu mata indah bergerak turun dan naik agak lamban. Kini bukan hanya ekspresi yang seakan tak bisa Rosé baca, tutur kata Jeffrey pun kian sukar dimengerti akalnya yang hanya sejengkal. Tanpa memberi kesempatan Rosé untuk memikirkan jawaban lebih lama, Jeffrey berlalu dari hadapan perempuan yang kini hanya bisa memandang punggung lebar pria itu menjauh seraya meraba benda di lehernya.

Malam ini, Rosé merasa suaminya agak berbeda. Cukup dingin seperti udara awal musim semi di luar sana. Dalam ruangan berteman senyap, Rosé tengah menerka-nerka apa gerangan yang menyebabkan pria itu nampak lain dari biasanya.

Maka, tak hendak berdiam diri tergulung rasa ingin tahu tak sudah-sudah, Rosé menyusul kepergian Jeffrey usai menyambar novel di atas nakas kamar. Tebakan pertama Rosé soal tempat yang mungkin Jeffrey kunjungi saat ini sungguh tepat. Pintu Cadenza sedikit bercelah, menandai bahwa ruangan tersebut bukanlah tanpa penghuni. Kala melebarkan celah guna memastikan, sepasang sudut bibir Rosé terkembang begitu mendapati sosok jangkung tengah berdiri meneliti buku-buku bacaan yang tersusun rapi di rak.

Pendengaran Jeffrey menajam terhadap suara deritan pelan di belakang. Ia mengalihkan tatap dari jajaran alfabet yang tersusun pada pertengahan halaman buku di tangan menuju perempuan yang berdiri sembari mendekap sebuah novel.

"Bagian lima belum selesai." Sembari mengangkat lima jemari, Rosé berujar menunjuk pula benda yang ia bawa serta ke sana.

Novel fiksi sejarah karangan Anthony Doerr itu memang hanya memiliki sedikitnya tiga belas bagian, tetapi tidak dengan sub bagian yang berjumlah puluhan. Mengingat akhir-akhir ini Jeffrey kerap berhadapan dengan layar komputer hingga larut malam alih-alih mendongengkan teruntuk Rosé menyebabkan bagian lima All the Light We Cannot See belum kunjung terselesaikan.

Maka, bunyi debuman pelan menandai buku manajemen keuangan ditutup sang pembaca lalu dikembalikan ke tempat semula. Jeffrey mengayunkan tungkak mengunjungi sofa abu-abu pudar di pusat ruang luas bersekat tembok menjulang dengan dominasi corak kegelapan.

"Kemari!"

Rasonan lembut Jeffrey mengalunkan sebuah titah. Senyuman pada wajah jelita perempuan di ambang pintu sana kian nampak kentara. Segera ia beranjak menghampiri lalu duduk di sebelah Jeffrey dan menyerahkan novel dalam genggaman. Bahu kokoh Jeffrey adalah titik ternyaman bagi Rosé untuk menyandarkan kepala sembari mendengarkan runtaian kata yang kelewat sopan merasuki telinga.

Jeffrey tak tahu pasti, semenjak bila satu lengannya melingkar di belakang tubuh Rosé, terkadang melabuhkan usap terhadap surai dan lengan perempuan itu. Sampai suatu ketika gerak jemari Jeffrey terhenti saat rintihan kecil keluar dari mulut Rosé. Keheranan, Jeffrey menyorot Rosé bersama tanda tanya yang seakan terlukis di mata.

Rosé mengerjap tak lantas memberikan penjelasan. Jeffrey segera meletakan novel ke atas meja lantas dengan pergerakan sedikit tergesa ia menaikkan lengan gaun Rosé. Luka tertutup plaster baru menghias lengan kanan hingga siku perempuan itu. Setengah mulut Jeffrey terbuka, setengah tak percaya kala melihatnya.

"Aku menyuruh Asisten Kim memulangkanmu dengan selamat, mengapa justru membiarkanmu terluka?"

Sadar bahwa kebingungan kian tergambar besar pada wajah Jeffrey berteman dengan kekhawatiran, Rosé segera menurunkan kembali gaun bagian lengan. "Tidak apa-apa. Kami hanya jatuh dari sepeda saat pulang tadi," ujar perempuan itu mencoba menyajikan tampang semeyakinkan yang ia bisa dan berharap Jeffrey kembali tenang.

"Tunjukan luka yang lain!"

Namun, alih-alih menaruh percaya, Jeffrey justru melontarkan pinta seakan tahu luka dari insiden jatuh dari sepeda tak hanya sebatas menggores bagian siku perempuan itu. Tak mampu mengelak, dua tangan Rosé kini mencengkram ujung gaun bagian bawah lalu mengangkatnya sebatas paha. Luka juga turut menghias dua lutut Rosé yang mana segera Jeffrey amati lekat usai beranjak mengambil posisi jongkok dengan bertumpu pada satu lutut.

"Asisten Kim yang mengendarai sepedanya?" Jeffrey bertanya, lantas diangguki oleh Rosé segera.

"Sebenarnya apa yang dia pikirkan sampai kalian terjatuh?" Raut beserta mulut Jeffrey kian tidak bisa terkondisikan. Runtaian kalimat tanya sarat akan kekesalan melesat begitu saja.

Rosé mengangkat dua bahu. "Entahlah. Sebelumnya, aku hanya bertanya apakah tidak ada satu pun gadis yang dia sukai sampai-sampai tak kunjung menikah."

Dan, detik itu pula, kesal yang sempat menghamburi Jeffrey lambat laun terbawa udara. Pernyataan Rosé menimbulkan pemahaman dalam diri Jeffrey segera, bahwasanya Mingyu tak juga patut dijadikan sebagai pihak paling bersalah. Jeffrey mengerti, mengapa Mingyu hilang kendali hanya karena satu pertanyaan perihal perasaan. Sebab orang yang bertanya adalah jawaban dari pertanyaan itu sendiri.

Kembali, Rosé menurunkan ujung gaunnya hingga luka di lutut tak lagi nampak. Alasan mengapa ia memilih mengenakan gaun semata kaki malam ini adalah enggan sang suami berakhir cemas setelah melihat beberapa goresan luka yang ada.

"Ini sudah diobati. Bibi Mola membantuku. Kamu tidak perlu khawatir lagi." Novel di meja kembali Rosé raih untuk kemudian ia sodorkan pada Jeffrey, isyarat agar pria itu kembali duduk di sebelahnya dan meneruskan aktivitas mendongeng yang sempat tertunda.

Tak lekas menerima benda yang terulur, Jeffrey mengambil jeda memandang nanar perempuan di hadapan. Menggeser tatap pada sampul biru novel, Jeffrey berujar pelan, "Aku tidak mau membacakannya lagi sampai kamu berjanji satu hal."

Kerutan timbul di dahi milik Rosé. "Berjanji apa?"

Dua pasang mata bersitatap lekat. Cukup panjang masa yang Jeffrey habiskan dengan bungkam. Dan, Rosé sama sekali tak bisa menebak jawaban atas pertanyaannya yang tak kunjung terjawabkan. Hingga suara bariton Jeffrey menuturkan kalimat kelewat pelan dengan suara yang rendah,

"Berjanjilah untuk memberitahuku kapanpun kau terluka, kapanpun kau merasa gelisah dan bersedih, juga kapanpun kau merasa terancam dan ketakutan."

Kesan kesungguhan melekat kuat pada tuturan Jeffrey. Tak ada butir-butir canda pada bola mata Jeffrey yang jatuh tepat pada sepasang hazel indah milik Rosé. Perempuan itu terdiam, merasakan dirinya terbuai oleh untaian kata demi kata yang baru saja ia dengar. Terbuai pula oleh sentuhan jemari Jeffrey terhadap kedua bahunya kini.

"Berjanjilah, untuk tidak menyembunyikan apa pun dariku! Mengerti?"

Sekali lagi Jeffrey menegaskan, tetapi perempuan di depannya masih tak menuai tanda-tanda apa pun. Tak bicara, tak juga menggeleng sebagai tanda penolakan, ataupun mengangguk sebagai persetujuan. Yang ada hanya keraguan tanpa alasan dan tanpa kadar kepercayaan barangkali sedikitpun.

"Ini permohonan. Aku harap kamu sudi mengabulkannya."

Ujaran Jeffrey membelah sunyi, menyeret Rosé yang sedari tadi menjelma benda mati agar segera menanggapi. Pada akhirnya anggukan pelan adalah jawaban perempuan itu. Jemari Jeffrey bergeser memberikan usapan pada puncak kepala Rosé di sana seiring dengan senyuman tipis yang mencoba ia hadirkan.

Novel kembali beralih tangan pada Jeffrey. Pria yang sudah mengambil posisi terlentang di atas sofa bagian ujung menepuk ruang kosong di sebelahnya. "Sini berbaring!"

Rosé menuruti perintah Jeffrey. Meletakan kepala di atas lengan kekar Jeffrey yang beralih fungsi sebagai bantal ternyaman. Mata Rosé menelanjangi pahatan rupawan. Bibir tipis yang tersemat apik di sana tiada henti merapal. Alih-alih fokus mendengarkan bagian yang tengah Jeffrey ceritakan, Rosé justru menaruh perhatian penuh terhadap ornamen-ornamen paripurna wajah Jeffrey.

Senyap menyapa usai Jeffrey merampungkan sesi mendongeng bagian lima. Bukan sesuatu yang biasa melihat Rosé masih terjaga setelah sekian sub bagian terbacakan olehnya. Novel disingkirkan. Tangan bebas Jeffrey kini bergerak menyematkan anakan rambut Rosé seraya bertanya, "Kegiatan apa saja yang kau lakukan hari ini? Adakah cerita menarik yang harus kudengar?"

Sejenak, Rosé merotasikan akal mengingat-ingat seluruh kegiatan sedari ia membuka mata di pagi hari hingga detik ini. "Yang menarik dari hari ini adalah pertemuan dengan Mingyu."

Pergerakan jemari Jeffrey dalam menyisir helaian rambut Rosé seketika terhenti begitu nama Mingyu terujarkan tanpa segan dari bibir ranum perempuan itu.

"Kami terbilang jarang berinteraksi beberapa waktu belakangan, setelah aku menikah denganmu. Bercengkrama dengannya terasa cukup menyenangkan. Mingyu tak banyak berubah dari saat aku mengenalnya dulu. Masih pribadi yang pemalu dan sedikit lucu. Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam duduk di kafetaria yang dulu sering kami kunjungi. Dia mentraktirku secangkir cappuccino dan cake coklat. Tak kusangka. Dia bahkan masih sangat ingat makanan kesukaanku."

Tawa kecil Rosé menjadi gema di telinga Jeffrey. Wajah berbinar ceria juga senyuman tipis menghantui penglihatan Jeffrey sekian waktu. Jujur saja, relungnya seakan dirambati percikan api samar sepanjang mendengar Rosé bercerita.

"Apa tidak ada hal lain yang ingin kau ceritakan selain tentang Mingyu?"

Setelah menyuguhi Jeffrey dengan sejumlah kisah lawas di antara ia dan Mingyu, kini waktunya bagi Rosé untuk menyuarakan isi pikiran yang terus saja menganggu sedari tadi. "Hari ini juga terasa cukup mengesalkan. Pertama karena jatuh dari sepeda. Kedua karena kamu."

Alis Jeffrey bertaut tanda tak paham. "Mengapa aku?"

Rosé menurunkan pandang. Telunjuknya bergerak melabuhkan sentuhan pada dada bidang Jeffrey seakan tengah melukis secara abstrak. "Karena kamu kerap bersikap dingin dan tak bisa kumengerti alasannya."

Tak ada sepatah kata yang Jeffrey keluarkan sebagai respon atas pernyataan Rosé barusan. Tatapan menerawang pria itu jatuh pada surai selayak tumpahan madu yang berada tepat di hadapan. Akal Jeffrey menyetujui perangai dirinya yang memang lekat dengan sikap dingin dan kerap membuat orang-orang salah paham. Benar. Jeffrey bukanlah manusia yang pandai mengekspresikan rasa, baik dengan tindakan maupun tutur kata.

"Setelah sebelumnya kau mengajukan permohonan padaku, bolehkah aku mengajukannya satu padamu?"

Kali ini Rosé yang mendongak seraya mengujarkan tanya; membuat tatapan Jeffrey mau tak mau harus menemui iris indah perempuan itu yang mana seakan mampu menghipnotis Jeffrey hingga mulutnya berujar setengah sadar, "Boleh saja. Apa pun permohonanmu akan aku kabulkan."

Tak nampak taburan binar di mata Rosé meski Jeffrey berujar sedemikian manis dan meyakinkan. Justru perempuan itu tertunduk, menyembunyikan wajah di balik dada Jeffrey.

"Aku tahu, diriku masih sering mengecewakanmu. Sikap kekanakan, terkadang manja dan merepotkan, kelewat cengeng dan bodohnya. Aku tahu semua itu adalah hal-hal yang paling kamu benci. Kamu menginginkan perempuan mandiri dan dewasa, bukannya seperti aku. Maaf karena aku belum bisa menjadi seperti yang kamu dambakan, dan maaf juga karena harus membuatmu berhadapan dengan diriku setiap waktu. Tapi aku mohon—"

"—jika ada hal-hal yang tidak kamu suka dariku, katakan saja. Katakan jika ada sesuatu pada diriku yang membuatmu tidak nyaman. Aku akan berusaha merubah itu. Selalu, setiap saat aku ingin berusaha menjadi yang kau suka. Dengan begitu, kamu akan tetap berada di sisiku, bukan?"

Sederet penuturan Rosé tak elak dari pilu. Jeffrey bisa merasakan betapa besar cinta perempuan itu teruntuk Jung Jaehyun sampai mau mengubah dirinya sebagaimana dambaan Jaehyun. Terdengar cukup menyedihkan seakan-akan ada hal timpang serupa Rosé yang mencinta sendirian.

Tangan Jeffrey meraih dagu Rosé guna membuat perempuan itu mengangkat pandang sehingga dua pasang bola mata mereka kini bertaut. Jeffrey menyelami kedalam palung rasa yang tercipta di balik tatapan Rosé. Gemuruh bertandang dalam jiwa, pun debaran tiada henti hadir meski momen saling menatap bukan yang pertama kali.

"Dengar!" Mulut Jeffrey merapal satu kata menggunakan suara paling rendah yang ia punya. Rosé menatap lekat manik pekat Jeffrey di sana, menanti laki-laki itu mengutarakan kalimat berikutnya.

"Aku menyukaimu dengan semua yang ada pada dirimu."

Atas nama Tuhan, Jeffrey bersumpah apa yang ia tuturkan barusan bukanlah sebuah kebohongan.

"Tidak ada satupun yang aku tidak suka dari kamu, kecuali satu." Laki-laki itu berupaya benar menyajikan tatap paling meyakinkan yang mana beranjak turun.

"Benda di lehermu itu—" Liontin setangkai mawar kecil menjadi objek pandang Jeffrey, "—aku tidak suka."

Dua kelopak Rosé berkedip mendengar penuturan Jeffrey. "Kau tidak suka aku memakainya?" Perempuan itu bertanya. Meski Jeffrey tak memberikan jawaban, apa yang ia dengar sebelumnya sudah lebih dari cukup dijadikan alasan atas sebuah tindakan menarik kalung di leher dengan segera. Itu adalah pemberian Mingyu, Rosé sadar betul tetapi yang paling utama baginya adalah menjadi seperti apa yang suaminya minta.

Jeffrey cukup tertegun. Di saat yang sama juga terkagum-kagum. Jeffrey kian terlena oleh perempuan yang kini menatapnya penuh cinta. Dan, bagi Jeffrey akal bukan sesuatu yang mesti di kedepankan di saat benaknya bersorak suka. Keberanian datang tanpa takaran, menggunung dan menyeret Jeffrey menindih Rosé lalu mencium bibir paling manis yang pernah ia cicipi.

Tiap-tiap pasang mata memejam, menikmati pergulatan lisan yang bertaut dan saling menyapu lembut. Satu tangan Rosé bergerak menuju leher belakang Jeffrey, sementara tangan yang lain berupaya menyingkirkan benda berkilau yang kini jatuh mencium dinginnya lantai. Setelah terbebas dari tugas, tangan itu turut berperan menelusup di antara helaian surai legam pria yang tengah mencumbunya.

Dan, Jeffrey menjelma manusia maha brengsek malam itu, menarik untaian pita di bagian dada Rosé hingga gaun perempuan itu sedikit tersingkap dan mengekspos bahu mulus yang sempat ia jamah.

Nyaris saja, Jeffrey benar-benar menelanjangi perempuan di bawahnya, jika saja getar ponsel di atas meja tak lekas membuat pria itu segera dihabisi kesadaran. Jeffrey menyingkir, mengambil jarak cukup jauh saking terkejut dengan tingkah ceroboh yang telah melewati batas. Ponsel diraih Jeffrey cepat sebelum ia beranjak meninggalkan ruangan beserta Rosé yang menyorot punggung pria itu kecewa seraya merapikan gaunnya.

Nomor tak teridentifikasi tertera sebagai pemanggil. Jeffrey di balkon rumah tengah gamang menatap layar ponsel. Secepat ibu jari pria itu menggeser tombol terima, secepat itu pula suara seseorang di seberang sana terdengar nyata.

"Ini aku, Lucas. Aku sudah sampai di Korea."

[]



[SILHOUTTE: After A Minute]

***

Kim Min Gyu

***

hai cantik. apakah kalian menikmati chapter ini?

sekarang kita bahas second lead male character SILHOUTTE yaitu Kim Min Gyu. kira-kira bakal seperti apa nanti kisahnya dia, ada yang sudah menebak-nebak?

kalau dipikir-pikir, cerita ini tidak kaya akan plot twits tapi mungkin Min Gyu adalah kandidat pemeran yang akan membuat SILHOUTTE menghadirkan twist nantinya hahaha.

okay, sekian untuk bagian 26 ini, semoga kalian terhibur dan sampai jumpa di lain kesempatan

^.^

***

Continue Reading

You'll Also Like

194K 9.5K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
59.3K 5.3K 46
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
48.4K 6.9K 93
[LENGKAP] Perjanjian telah dibuat, pernikahan harus terjadi, Luna Lovegood dan Draco Malfoy terikat bersama karena secarik perkamen. Tak satu pun dar...
14.4K 1.3K 10
Kehidupan para penyihir Daeho after ending Alchemy of Souls 2 : Light and Shadow Cast : Jang Uk - Cho Yeong/Naksu/Jin Buyeon Park Danggu - Jin Cho...