Melodi Dua Dimensi [ON GOING]

Par DestianaRika

5.3K 1.1K 1.1K

Ketika asa mulai terasa berjarak, dia datang dan melukiskan harapan yang tak pernah terpikirkan oleh Melodi s... Plus

Prelude
#01 - Dua Dimensi
#02 - Tempo
#03 - Blue Melodies
#05 - Sweet Scale
#06 - Black Notes
#07 - Paradox
#08 - In the Middle of the Rain
#09 - D-Day
#10 - The Color Journey
#11 - Contradiction
#12 - Strings Duo
A/N
#13 - Pandora Box
#14 - Little Conversation
#15 - Invitation

#04 - The Handkerchief

263 85 92
Par DestianaRika

Melodi memakan sup ayam jagung buatan salah satu asisten rumah tangganya dalam diam. Gadis itu berusaha menghabiskan sarapannya dengan tenang, meski kerongkongannya masih terasa enggan untuk menelan hidangan apa pun yang tersaji di hadapannya. Mama yang duduk di seberangnya juga tidak mengatakan sepatah kata pun sedari tadi. Daripada menimbulkan pertikaian yang tidak diharapkan, Melodi memilih untuk membuka suara hanya jika memang diperlukan.

"Persiapan kamu buat kompetisi Klaviersommer akan dimulai minggu depan setelah Ms. Stella kembali dari Hainan. Kamu sudah tahu itu, kan?"

Mama tiba-tiba membuka topik pembicaraan setelah beliau selesai dengan sarapannya. Melodi yang hendak menyuapkan nasi ke dalam mulutnya memilih urung dan meletakkan kembali sendok yang ia pegang.

"Iya, Ma. Melodi tahu."

Mama menyesap tehnya dengan tenang. Namun, ketenangan yang beliau tunjukkan malah semakin menekan atmosfer yang sedari tadi menghimpit dada Melodi.

Setelah meletakkan cangkir tehnya, Mama kembali berujar, "Selama dua minggu kedepan Mama harus ke Dubai buat konferensi peluncuran piano baru di sana. Mama sudah bikin jadwal ketemuan antara kamu sama Prof. Joshua buat konsultasi lagu apa yang harus kamu bawakan selain lagu wajib yang sudah ditentukan. Nanti Mama kasih tahu kamu jadwal tepatnya lewat chat."

Prof. Joshua, salah satu dosen musik yang dihormati di kampusnya, memang sudah biasa menjadi konsultan untuk beberapa kompetisi yang Melodi ikuti. Beliau juga lah yang merekomendasikan Melodi untuk mengikuti kompetisi-kompetisi tingkat nasional maupun internasional. Klaviersommer merupakan salah satu kompetisi piano bergengsi dengan tingkat seleksi yang rumit, karena setelah seleksi tingkat nasional di masing-masing negara, para peserta diharuskan mengikuti kompetisi final dengan sistem gugur selama masa karantina. Dalam kompetisi ini, saran-saran dari Prof. Joshua akan sangat membantu Melodi dalam menghadapi setiap tahapan seleksi yang ada.

Melodi menyerap segala informasi yang Mama berikan dan mengangguk patuh. Memang, apa lagi yang bisa ia lakukan selain menuruti seluruh permintaan sang mama?

Tatapan Mama mengarah tepat pada kedua netra Melodi. Gadis itu berusaha mempertahankan air mukanya agar tetap tenang selama mendengar apa yang dikatakan Mama selanjutnya.

"Don't make any mistake again. This is your last chance to participate in Klaviersommer. You know the reason as well, right?"

Melodi menarik seulas senyum tipis. Kompetisi Kaviersommer memang diadakan setiap dua tahun sekali, sedangkan saat ini Melodi berada di akhir tahun kedua perkuliahan. Itu artinya, Melodi harus memanfaatkan sebaik mungkin setiap kompetisi yang ada sebelum disibukkan dengan persiapan untuk melangkah ke jenjang berikutnya di tahun terakhir perkuliahan.

Melodi menanggapi pernyataan sang mama sebelumnya dengan senormal mungkin. "Iya, Ma. I'll do my best."

Mama kembali meminum tehnya setelah berujar tegas, "Of course, as you should. You need to be the winner to prove your skill."

Ingin rasanya Melodi tertawa saat ini juga. Pembuktian kemampuan? Bukankah hal itu sudah Melodi lakukan pada setiap kompetisi yang ada? Sampai batas mana Melodi harus menunjukkan pembuktian hingga seluruh usahanya dapat terlihat oleh sang mama?

Lagi-lagi Melodi hanya dapat mengurung suara hatinya dalam diam. Pada akhirnya, gadis itu hanya memberikan jawaban dengan pola yang serupa, "Iya, Ma. I will bring the first throphy for you."

Melodi langsung masuk ke kamarnya setelah sesi sarapan yang menyesakkan tersebut berakhir. Gadis itu bersandar pada daun pintu yang tertutup, berusaha menormalkan deru napasnya yang tertahan akibat atmosfer yang terlalu menekan. Kepalanya terasa pening, tetapi Melodi hanya mengabaikannya dan memilih duduk pada kursi meja belajar yang terletak di sudut kamar.

Gadis itu benar-benar frustasi. Denyut perih pada luka di pergelangan tangan kirinya kembali menarik kesadaran Melodi pada masalah yang belum sempat Melodi selesaikan. Dirinya yang kehilangan kontrol akibat respon sang mama selepas kompetisi dan juga Revan yang—entah bagaimana—berada di rooftop gedung pertunjukan kemarin. Sebenarnya, Melodi tidak terlalu peduli dengan kehadiran pemuda itu. Namun, apa yang telah Revan lakukan membuat Melodi berada pada ambang kebimbangan.

Tidak pernah ada seorang pun tahu Melodi melakukan tidakan menyakiti diri sendiri seperti itu. Apa yang ia lakukan kemarin memanglah bukan yang pertama kali, tetapi Melodi selalu berusaha bersikap selayaknya orang normal pada umumnya di kehidupan sehari-hari.

Melodi takut, amat sangat takut apabila orang lain tahu. Sebisa mungkin bekas luka yang tercipta ia sembunyikan di balik lengan panjang yang selalu ia kenakan. Sayangnya, kehadiran Revan yang tiba-tiba menjadikan Melodi harus membuat kesepakatan dengan pemuda itu sesegera mungkin. Melodi benar-benar tidak ingin Revan membocorkan apa yang terjadi kemarin pada siapa pun, terutama pada orang-orang terdekatnya.

Lantas dengan setengah keyakinan yang masih tersisa, Melodi segera mengetikkan pesan pada seseorang selagi gadis itu memiliki waktu tak terduga yang selama ini selalu ia butuhkan.

To: Feli Lovely
Fel, lo punya kontaknya Kak Revan?

🌻🌻🌻

Melodi menggenggam gelas smoothie coklatnya dengan gelisah. Gadis itu berkali-kali mengambil napas dalam untuk menenangkan diri. Sudah lima belas menit berlalu sejak dirinya tiba di Lo-fi Cafe dan sosok yang sedari tadi Melodi tunggu tidak kunjung hadir.

Hingga lima menit kemudian, gadis itu akhirnya dapat bernapas lega ketika Revan menampakkan batang hidungnya.

"Sorry, I'm late. Ada urusan kerjaan yang harus gue selesaikan dulu sebelum kesini."

"Ah, gue ganggu banget ya, Kak?"

Revan menanggapi setelah ia duduk pada kursi di hadapan Melodi. "Nggak kok. I'm totally free right now. By the way, ada apa ya?"

"Hng, soal kejadian kemarin ...." Melodi menyerahkan mini paper bag berisi sapu tangan yang telah dicuci bersih kepada pemilik aslinya. "Gue mau mau ngembaliin ini sama mau ngomong sesuatu."

Revan memperhatikan sekilas isi di dalam mini paper bag tersebut. Lantas, permuda itu tersenyum. "Aslinya nggak lo balikin juga nggak pa-pa, sih. Tapi ... thank you, ya." Ada jeda sesaat sebelum Revan kembali melanjutkan, "Tadi lo bilang kalau lo mau ngomong sesuatu, kan? Go ahead."

Melodi menggigit bibir dalamnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang akan ia lakukan setelah ini adalah tindakan yang tepat. Dengan satu tarikan napas dalam, Melodi berharap pemuda yang ada di hadapannya kini tidak terlalu sulit untuk diajak bernegosiasi.

"Can I ask you a favor?"

"About what?"

"Soal yang kemarin .... Can you just keep it for yourself?"

Revan tidak kunjung menjawab. Pemuda itu menampakkan air muka yang tidak dapat Melodi dideskripsikan. Gadis itu buru-buru melanjutkan, "Gue tahu apa yang gue lakukan kemarin terkesan ... gila? Kalau lo nggak ngehentiin gue kemarin, gue juga nggak tahu bakal separah apa luka yang bakal gue bikin. Lo kalau mau menganggap gue nggak waras juga nggak pa-pa. Tapi ... please, jangan kasih tahu siapa pun soal kejadian kemarin. Cukup lo aja yang tahu. Can you?"

Revan masih saja tidak memberikan tanggapan. Melodi semakin didera pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang bergumul di dalam pikirannya.

Apakah Kak Revan memang menganggap dirinya terlewat gila? Atau malah setelah ini dirinya akan dihujani penghakiman selayaknya seorang terdakwa?

Melodi kembali mengeratkan genggaman pada gelas smoothie coklatnya yang hampir habis, hingga apa yang dikatakan Revan setelahnya membuat Melodi dapat sedikit bernapas lega.

"Don't worry. I won't tell anyone. Never."

"Really?" tanya Melodi memastikan.

Revan mengangguk pasti. "For sure. Lo nggak perlu khawatir."

Salah satu beban yang sejak kemarin mengganggu dirinya seolah terangkat seketika. Melodi memberikan senyum tulus pada Revan sebagai ungkapan rasa terima kasih.

"Thank you ... thank you so much!"

Revan juga membalas dengan senyum. "No problem."

Meski Revan telah berjanji akan merahasiakan kejadian kemarin kepada siapa pun, Melodi merasa masih ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya.

"By the way, lo nggak penasaran kenapa gue sampai melakukan hal itu?"

"Penasaran?"

"Iya. Biasanya, kalau orang lain ngelakuin hal kayak gitu, orang-orang bakal tanya macam-macam atau bahkan sampai ada yang menghujat. Kenapa lo nggak tanya apa pun?"

Revan meminum coffee latte pesanannya yang baru saja diantar oleh pelayan beberapa saat yang lalu. Melodi menunggu jawaban Revan dengan harap cemas.

"Well ... gue cuma nggak pengen lo ngerasa nggak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu," ujar Revan sambil menatap lekat pada Melodi. "I know you have your own reason dan gue nggak cukup berhak untuk tahu. Yang bisa gue lakukan hanyalah mencegah lo supaya lo nggak ngelakuin hal yang lebih berbahaya dari itu. Is it bothering you?"

Melodi tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Gadis itu tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa sekarang.

"Lo ngerasa nggak nyaman sama tindakan gue kemarin, ya?" Revan terlihat menarik napas dalam. "Sorry for that, apa yang gue lakuin kemarin semuanya terjadi secara impulsif."

Melodi segera memberikan respon sebelum terjadi kesalahpahaman yang tidak diperlukan. "Nggak ... nggak gitu. Gue cuma ngerasa nggak terbiasa aja."

"Ah, is that so? Well, gue tetap minta maaf kalau tindakan gue kemarin bikin lo ngerasa terganggu."

"No no no ... you don't need to apologize, seriously. Gue justru berterima kasih karena lo nggak tanya apa pun kemarin."

Revan tersenyum samar. "So, is it clear? Ada yang pengen lo bicarakan lagi sama gue?"

"Oh, lo ada urusan lain setelah ini ya, Kak?"

"Nggak, sih. As I said before, I'm totally free right now."

"Gitu? Beneran nggak pa-pa, nih?"

"Ya nggak pa-pa kalau emang ada yang harus lo bicarakan lagi sama gue."

Melodi mengangguk paham. "Oke deh kalau gitu. Memang ada satu hal lagi yang pengen gue omongin."

"Go ahead."

"Soal permintaan lo sama temen-temen lo tentang pengiring FSN tiga hari yang lalu ...." Melodi mengembuskan napas pelan sesaat. "Gue minta maaf kalau perkataan gue waktu itu nyinggung kalian. Gue sadar kalau sikap gue waktu itu terkesan arogan. Harusnya gue bisa lebih bersikap sopan, apalagi kalian statusnya kakak tingkat gue."

Revan terkekeh pelan mendengar pernyataan maaf Melodi yang tiba-tiba. "Kenapa lo minta maaf? Bukannya lo emang lagi sibuk ya waktu itu?"

"Iya, sih. Emang lagi sibuk."

"Nah, I think that was normal. Justru kayaknya gue sama temen gue yang kelewat batas. Tahu kalau lo lagi sibuk, tapi malah maksa lo buat dengerin permintaan kami."

"Seminggu kemarin emang gue lagi hectic banget, sih. Jadwal latihan piano gue lagi padat banget soalnya." Melodi mengaduk-aduk sisa smoothie coklatnya yang nyaris habis. "Tapi buat seminggu kedepan gue benar-benar ada waktu. Lo masih butuh pengiring buat FSN besok nggak, Kak?"

"Hah? Why so sudden?"

"Kalau lo emang masih butuh pengiring, gue bisa jadi pengiring lo. Kata Kak Satya, lo masih struggling buat dapetin pengiring."

Revan tampak terkejut, tetapi entah bagaimana air muka pemuda itu terlewatkan oleh Melodi.

"Kapan Satya ngomong kayak gitu?"

"Tadi pagi, lewat chat. Feli nggak punya nomor kontaknya Kak Revan, jadi dia kasih kontaknya Kak Arka sama Kak Satya. Tapi karena Kak Arka sulit banget buat dihubungi tadi pagi, akhirnya gue nge-chat Kak Satya buat dapetin nomor kontak lo dan ngajak ketemuan hari ini."

"Satya bilang kalau gue masih butuh pengiring?"

"Iya, setelah gue tanya apakah lo masih butuh pengiring buat FSN besok."

"..."

"Dan gue bilang gue bisa buat jadi pengiring karena seminggu kedepan gue nggak ada jadwal latihan apa pun."

Revan terlihat sangat syok, dan Melodi tidak mengerti kenapa pemuda itu menampakkan ekspresi seperti itu.

Melodi melambaikan tangan di depan muka Revan, berusaha mengembalikan kesadaran Revan yang sempat hilang untuk sesaat.

"Why? All of sudden?" tanya Revan lagi, terdengar seperti mengkonfirmasi.

"I'm just ... feeling guilty karena gue udah bersikap nggak sopan sama kalian. Gue juga pengen balas budi ke lo karena lo udah bantu gue dan nggak menghakimi gue kemarin."

Revan buru-buru menanggapi, "Terus Satya bilang apa sama lo?"

"Dia bilang kalau lo benar-benar frustasi karena belum dapet pengiring padahal deadline udah mepet. Dia juga bilang nggak pa-pa banget kalau gue beneran bisa jadi pengiring lo. Gue bilang ke Kak Satya kalau gue ada waktu kosong buat seminggu kedepan, jadi gue udah mempertimbangkan hal itu. Anggap saja gue lagi bayar hutang karena sikap arogan gue dan balas budi ke lo soal kejadian di rooftop kemarin."

Revan memainkan ponselnya dengan tergesa. Tidak ada informasi apa pun dari Satya di sana. Lantas setelah helaan napas pelan, pemuda itu kembali menaruh atensi pada Melodi.

"May I ask something?"

"Sure."

"Lo serius pengen jadi pengiring gue?"

"Iya."

"Lo yakin?"

"Why? Is there something wrong?"

Revan menggeleng pelan. "Hng ... nothing."

"Jadi, gimana, Kak?" tanya Melodi mulai terdengar ragu.

Revan terlihat berpikir sejenak. Lantas dengan kedua mata yang menatap tepat pada netra Melodi, pemuda itu berujar, "Gue tanya sekali lagi buat memastikan. Lo beneran bisa jadi pengiring gue buat acara FSN Sabtu besok?"

"Iya, gue bisa," jawab Melodi tegas.

Revan mengangguk paham. Kemudian, pemuda itu mengarahkan tangan kanannya ke hadapan Melodi untuk berjabat tangan.

"So, we are partners for the next week, aren't we? I hope we can work well together."

🌻🌻🌻

Satya bersenandung senang seraya memasukkan bahan-bahan untuk membuat seblak andalannya ke dalam wajan. Aroma bumbu yang telah ditumis sebelumnya menguar hingga ke area ruang tamu. Arka yang sedang sibuk berkutat dengan laporan persiapan acara Festival Seni Nasional mendadak menghentikan aktivitasnya dan menghampiri Satya di dapur.

"Tumben lo masak seblak. Perasaan kemarin-kemarin lo pundung ke kita dan nggak mau masak apa pun lagi, terutama buat Revan."

"I got a good news today."

"Hah?"

"Tunggu aja sampai Revan balik. Lo bakal ngerti apa yang gue maksud."

Arka hanya mengedikkan bahu. Pemuda itu memilih untuk berjalan ke arah kulkas dan mengambil salah satu botol air mineral yang telah dingin.

Ketika Arka sedang menegak air mineral yang ada di genggamannya, pemuda itu tersedak tiba-tiba ketika Revan memasuki area dapur dengan tergesa dan berusaha mencekik Satya yang tengah berkutat dengan masakannya.

"Lo ngomong apa sama Melodi tadi?!"

Tanpa ba-bi-bu, Revan langsung menghantam Satya dengan pertanyaan nada tinggi. Arka yang masih menormalkan napasnya berusaha melerai kedua sahabatnya itu agar pertikaian tidak semakin parah.

"Revan, please calm down. Lo kan bisa ngomong baik-baik???"

Satya terbatuk-batuk setelah akhirnya berhasil melepaskan diri dari cekikan Revan.

"Gimana gue bisa calm down kalau kecoa satu itu bikin gue emosi???" Revan menukas lagi, masih dengan nada tinggi yang memekakkan telinga.

"Emang ada apa sih??? Gue kan nggak ngerti masalah kalian berdua."

"Coba lo tanya sama Satya, kebohongan besar apa yang barusan dia bikin hari ini."

Revan merebut botol air mineral yang masih dipegang Arka dengan paksa, lantas pemuda itu menegak seluruh isinya hingga tandas. Meski begitu, air dingin yang mengaliri kerongkongannya masih belum dapat meredakan kekesalan Revan terhadap Satya.

"Mending lo duduk dulu deh. Kita omongin ini baik-baik," ujar Arka seraya mengambil tiga botol air mineral dari dalam kulkas dan memberikan salah satunya kepada Revan.

Satya menyelesaikan kegiatan memasaknya sebelum ikut bergabung di meja makan.

"Now, tell me. Sebenarnya ada masalah apa sampai lo semarah itu sama Satya."

"Mau lo yang cerita, atau gue yang cerita?" tanya Revan ketus kepada Satya.

Satya malah kegirangan mendapatkan respon seperti itu. "Let's hear from your perspective first. Habis itu baru gue cerita dari sudut pandang gue."

Revan meremas botol yang telah tandas pada genggamannya hingga tak berbentuk.

"Gue barusan ketemu sama Melodi."

"Melodi? Maksud lo, Melodi sahabatnya Feli?" tanya Arka tidak mengerti. "Lo mau nge-gebet Melodi nih ceritanya?"

"Kagak, anjir! Dengerin gue dulu sampai tuntas." Revan masih saja emosi.

"Ya udah, lanjut aja ceritanya," celetuk Satya sambil tersenyum puas dengan kedua tangan yang terlipat di dada.

Revan menarik napas sejenak. "Tadi pagi gue tiba-tiba di-chat sama Melodi, katanya dia mau ketemuan sama gue. Lo tahu dia bilang apa tadi?"

"Apa?" tanya Arka dengan kesabaran yang masih utuh.

"Dia bilang, sebelum dia nge-chat gue, dia nge-chat Satya duluan dan ngomongin soal permintaan kita ke Melodi buat jadi pengiring gue. Lo tahu apa yang kecoa satu ini bilang ke Melodi? Cecunguk itu bilang kalau gue masih struggling cari pengiring! Like ... hell! Bukannya kesepakatan kemarin udah jelas kalau gue jadinya nampilin speed painting? Buat apa gue masih struggling cari pengiring?!"

"Tapi akhirnya lo setuju kan sama penawaran Melodi?" Satya tersenyum licik.

"Penawaran Melodi? Maksudnya?" Arka benar-benar tidak paham dengan apa yang sedang dibicarakan oleh kedua sahabatnya itu.

Karena tidak ada tanda-tanda bahwa Revan akan segera menanggapi, Satya mengambil alih percakapan sambil mulai memakan seblaknya yang sudah agak mendingin.

"Tadi pagi Melodi memang nge-chat gue buat minta nomor kontak Revan." Satya menjelaskan dengan tenang. "Gue tanya dong buat apa. Dia jelasin kalau sekarang dia lagi ada waktu dan tanya ke gue apakah Revan masih butuh pengiring."

"Terus lo bilang ke Melodi kalau Revan masih struggling cari pengiring, gitu?" tanya Arka memastikan.

"Gue bilang gitu cuma buat mancing aja. Eh, ternyata beneran niat dia minta nomor kontak Revan tuh buat nawarin diri jadi pengiring Revan secara langsung. Ya udah, kan gue cuma bilang doang. Gue nggak expect kalau Revan bakalan setuju."

"Kenapa harus kayak gitu? Lo kan bisa langsung jelasin situasi yang sebenarnya."

Intonasi Satya ikut meninggi menanggapi pernyataan Revan. "Lo kok nyalahin gue segitunya??? Lagian, dia yang maksa buat dapetin nomor kontak lo. Kalau lo nggak pengen Melodi jadi pengiring, lo kan bisa langsung nolak tawaran Melodi. Kenapa malah lo terima?"

Revan yang hendak kembali adu mulut dengan Satya tiba-tiba mengurungkan niatnya. Satya benar, keputusan akhir tetaplah berada di tangan Revan dan dia bisa saja langsung menolak penawaran Melodi tadi. Revan mengacak rambutnya frustasi. Dia tidak mungkin menjelaskan situasi yang sebenarnya kenapa Melodi mengajaknya untuk bertemu hari ini.

"Kok lo tahu kalau Revan terima penawaran Melodi?" tanya Arka kepada Satya.

"Melodi nge-chat gue tadi setelah dia ketemuan sama Revan."

"Ah, I see ...." Arka mengangguk paham. Kini, pemuda itu telah mengerti duduk perkaranya.

Satya kembali menginterupsi. "Nah nah, lo belum jawab pertanyaan gue, Van. Kenapa lo setuju sama penawaran Melodi? Apa dengan lo ketemuan sama Melodi tadi lo tiba-tiba naksir sama dia terus jadi berubah pikiran?"

"Kayaknya iya deh. Kalau mereka tiba-tiba jadian setelah acara FSN kelar, gue sih nggak bakalan kaget." Arka ikut menimpali dengan nada jahil.

Sialan. Niatnya mau protes malah jadi bumerang ke diri sendiri. Revan benar-benar merasa terjebak sekarang. Namun, ia tidak dapat menjelaskan alasan yang sebenarnya kenapa ia menyetujui ajakan Melodi tadi.

Pada akhirnya, Revan memberikan alasan lain kepada Satya dan Arka. Tidak sepenuhnya berbohong, tetapi itu lebih baik daripada tidak ada penjelasan sama sekali. Kedua sahabatnya itu pasti akan mendesak dirinya sampai mereka mendapatkan informasi yang diinginkan.

"Dia bilang, dia ngerasa bersalah karena udah bersikap nggak sopan waktu kita ketemuan sama dia tiga hari yang lalu." Revan mulai menjelaskan. "Itu alasan dia sampai bela-belain ngajak ketemuan sama gue. Kebetulan seminggu kedepan dia ada waktu luang, jadi dia bisa ikut acara FSN dan jadi pengiring gue."

"Oh, gitu?" Satya memberi tanggapan dengan nada menyebalkan. Pemuda itu menarik salah satu sudut bibirnya, seolah tahu bahwa Revan tengah menyimpan sebuah rahasia besar sekarang.

"Ya memang kayak gitu. Gue ngerasa nggak enak aja kalau nolak dia secara langsung."

"Tapi lo beneran nggak ngerasa terbebani kan dengan keputusan lo itu?" tanya Arka kembali memastikan.

"I think ... no," jawab Revan mencoba terdengar yakin.

Arka ikut tersenyum tipis. Pemuda itu segera mengalihkan topik pembicaraan agar atmosfer yang telah melandai tidak kembali meninggi.

"So, what's next? Bukannya itu berarti lo harus prepare semuanya dari sekarang?"

Satya ikut berkomentar setelah ia menghabiskan semangkuk seblaknya sendirian. "Less than a week. Kita kelarin semuanya hari ini biar gue bisa langsung kasih laporan ke sie acara."

"Lah, gue kan juga anggota sie acara, njir! Lo lupa sama eksistensi gue?"

"Oh iya, sorry gue lupa." Satya tergelak pelan. "Kebiasaan langsung laporan sama koor LO* atau koor sie acaranya langsung, jadi kadang lupa kalau lo juga anggota sie acara. Hehe."

"Gue juga panitia inti, Sat. Gini ini kalau tujuan lo udah tercapai, lupa sama posisi teman sendiri." Arka mendengkus. "Anyway, gimana? Lo mau pakai idenya Satya atau lo punya ide sendiri buat live painting performance-nya?"

"Emang ide dari Satya kayak gimana?"

"Improvisasi aja sih, sesuai dengan konsep abstract expressionism painting secara literal. Jadi, lo bebas buat ungkapin seluruh perasaan lo di atas kanvas besar yang udah gue siapin. Nanti si pengiring yang bakal ngikutin gerak lukis lo pada saat lo perform." Satya mulai menjelaskan kepada Revan.

"Hah? Pengiringnya yang bakal ngikutin gue, bukan gue yang ngikutin musik iringannya?" tanya Revan masih sedikit tidak mengerti.

Satya mengangguk. "Iya. Namanya juga pakai konsep abstract expressionism painting secara literal, jadi musiknya pun juga bakal improvisasi nanti."

"Bukannya nanti malah nyusahin Melodi, ya?" tanya Arka menginterupsi. "Nggak semua pemusik bisa main secara improvisasi, Sat. Feli pernah cerita ke gue, kalau Melodi tuh tipikal pemusik yang basic-nya classical banget, jadi dia bakal kesulitan kalau disuruh main musik secara langsung. Dia selalu butuh partitur. Kalau pun emang nggak ada partitur, paling nggak dia butuh waktu buat mengkonsep musik yang bakal dia mainkan."

Satya sedikit tersentak. "Iya, kah? Gue baru tahu soal itu. Gue kira kalau seseorang masuk di jurusan musik, dia bakal bisa main musik apa pun, termasuk main musik secara improvisasi."

"Ya nggak gitu juga konsepnya." Revan mengembuskan napas pelan. "Kita kan nggak tahu kemampuan seseorang tuh kayak gimana. Dan kita juga seharusnya nggak boleh menjustifikasi seseorang berdasarkan persepsi kita, even tho it's not in a bad way."

"Ah, sorry. I think I've made a big mistake here," sesal Satya seketika. "Terus, sekarang baiknya gimana? Gue malah jadi merasa bersalah sama Melodi."

"Lo nggak merasa bersalah sama gue juga?!" celetuk Revan sedikit sebal. "Kan gue udah bilang, live painting performance pakai konsep abstract experssionism tuh ribet banget. Apalagi lo ngotot harus pakai iringan live music, malah jadi susah kan akhirnya."

"Iya iya, oke. Sorry, gue ngaku salah," ujar Satya penuh penyesalan. "Tapi kita nggak mungkin batalin tawaran Melodi buat jadi pengiring, kan? Dia bahkan sampai bela-belain ketemu sama lo langsung, lho, Van. Kalau kita tiba-tiba nolak bantuan dia, kayak nggak menghargai banget, nggak, sih?"

"Nggak perlu. Kalian berdua bisa tetap pakai konsep awal yang udah diajuin sama Satya."

Atensi Revan dan Satya langsung beralih pada Arka yang tengah bersedekap seraya mengusap dagu.

"Lo nyuruh Melodi buat main secara improvisasi?" tanya Revan mengkonfirmasi.

Arka menggeleng tegas. "Tadi Satya bilang kalau pengiringnya yang bakal ngikutin gerak lukis lo, kan, Van?"

Revan dan Satya kompak mengangguk.

"Nah. Tinggal dibalik aja konsepnya. Ntar Revan as a performer bakal ngikutin iringan musik yang dimainkan sama Melodi dengan tetap mempertahankan konsep abstract expressionism painting sebagai hasil akhirnya."

"Ah, I see. Berarti sama kayak pemikiran awal gue tadi," gumam Revan pelan.

"Kalau gitu, berarti musiknya juga perlu dikonsep atau gimana?" tanya Satya kepada Arka.

"Ya iya lah! Kalau nggak dikonsep, gimana Melodi bisa main musiknya? Sama aja harus improvisasi, dong. Malah ntar balik lagi ke masalah awal."

"Well, okay then. Jadi, masalah kita sekarang cuma tinggal nentuin konsep musik yang bakal dibawain Melodi, kan?"

"Iya," jawab Arka lugas.

"Hm ...." Revan terlihat berpikir sejenak.

"Gimana? Lo udah ada ide buat konsep musiknya?" Satya balik bertanya kepada Revan.

"Karena gue yang bakal tampil, gue juga berhak buat nentuin keseluruhan konsep musiknya, kan? Termasuk detail performance yang bakal gue bawain nanti."

"Of course, why not? Kalau lo ada kesulitan, lo bisa minta bantuan gue atau Arka," ujar Satya meyakinkan.

Revan mengangguk paham. "Kalau gitu, kasih gue waktu sampai besok. Gue juga harus nyesuaiin konsep yang gue punya sama Melodi, jadi biar nggak ada miskom apa pun pas hari-H nanti."

Satya yang mendengar hal tersebut lantas tersenyum senang. "Oke deh, kalau itu memang yang lo mau. Yang penting, jangan lupa libatin gue dalam setiap diskusi. Gini-gini, gue masih LO-nya elo. Ngerti, kan?"

|
|
|
|
|
|
|

🟤

🟡

🔵

🌻🌻🌻

Keterangan:

1. LO (Liaison Officer): orang yang bertugas sebagai penengah antara lembaga atau acara dengan tamu undangan atau peserta.

🌻🌻🌻

-tbc

Semarang, 15 September 2021

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

447K 16.4K 30
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
528K 47K 48
Hidupnya terasa berubah dalam semalam. Ishvara terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tengah berada di tubuh Ishvara Berenice. Yaitu tokoh uta...
STRANGER Par yanjah

Fiction générale

205K 23.5K 32
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
32K 1.9K 20
"Hari ini, saya menutup pintu ke masa lalu saya... Membuka pintu ke masa depan, ambil napas dalam-dalam dan melangkah untuk memulai bab berikutnya da...