SILHOUTTE: After A Minute [EN...

Von lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... Mehr

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

24: An Anemone

1.3K 322 78
Von lnfn21

CHAPTER 24
An Anemone

[Playlist: Park Jeong EonAnna's Appassionata]

***

Kaca jendela mobil berangsur tenggelam usai diturunkan. Hembusan angin malam menggelitik permukaan kulit wajah seorang pria rupawan yang duduk sembari membuang pandang keluar. Gemerlap cahaya berasal dari lampu-lampu jalanan, gedung-gedung tinggi dan pemukiman, juga lalu lalang kendaraan kadang kala membias pada bola mata pekat luar biasa sekaligus tajam.

Di tengah sesi menenangkan pikiran yang jenuh akibat pekerjaan seharian, kaca spion mobil yang memantulkan keadaan di belakang sana menyeret akal Jeffrey agar segera paham situasi bahwa ia tengah dibuntuti. Jika mereka ulang hal-hal silam, sedari Maserati yang Jeffrey tumpangi keluar dari kawasan perusahaan, sedan abu-abu selalu mengikuti laju kendaraan yang mengarak kepulangan Jeffrey saat ini.

"Asisten Kim." Jeffrey bersuara. Mingyu di titik kemudi menoleh, "Ya?"

"Percepat mobilnya!"

Mendengar instruksi Jeffrey tak lantas membuat Mingyu patuh. "Anda tidak melihat jalanan sedang ramai begini, Pimpinan?" ujar Mingyu sopan, tetapi sarat akan penolakan.

Namun, di kala mendapati tatapan dingin Jeffrey yang seakan mengatakan bahwa perintahnya adalah mutlak, Mingyu segera memacu kecepatan mobil yang ia kendarai. Dan, saat itu pula, Mingyu menyadari bahwa Jeffrey memberikan arahan bukan tanpa alasan. Sedan abu-abu berjarak tak cukup jauh. Melalui spion, Mingyu mencermati benda itu sama-sama semakin cepat melesat.

Maka, mata melebar Mingyu kian terhunus horisontal. Fokus menghindar dari menabrak kendaraan di depannya juga jangkauan oknum kurang kerjaan di belakang. Sedang Jeffrey hanya mengamati cara kerja Mingyu dalam diam.

Aspal halus membentang lurus. Di depan mata, ada persimpangan, Mingyu mengambil jalur kanan menuju terowongan bawah tanah sehingga sedan yang sedari tadi mengikuti kemudian terkecoh akibat mengambil jalur berlainan yang mana justru mengarungi jalan layang. Namun, siapa sangka musuh lebih cerdas ketimbang yang Mingyu pikir. Entah bagaimana, sedan itu keluar dari sisi kiri penghujung terowongan hingga menabrak badan Maserati bagian samping.

Mingyu membanting stir lalu menginjak rem dadakan. Setelah guncangan hebat yang mengakibatkan kepala membentur stir, cairan merah pekat turun dari pelipis Mingyu. Jeffrey pun sempat berhantaman dengan kaca, tetapi tak sampai membuahkan luka luar.

Bukannya menepi, Mingyu justru kembali memacu gas tatkala melihat sedan abu-abu kian tak punya itikad, kembali menggembor mesin seperti hendak menghancurkan Maserati beserta dua penghuninya.

"Hentikan mobilnya, Asisten Kim! Kau terluka."

Titah Jeffrey hanya berakhir terabaikan. Mingyu yang menulikan pendengaran masih sedemikian fokus membawa mobil sedemikian kencang. Sekali waktu pandangan pemuda Kim berpendar resah ke belakang. Jeffrey yang menyadari lebih dulu perkara sebuah truck besar di depan sana melaju berlawanan dan berkali-kali menyalakan lampu sorot kini tak bisa hanya diam. Dibukanya sabuk pengaman sebelum mencondongkan tubuh ke depan, menggenggam kedua tangan Mingyu yang memegang stir dan mengambil putaran ke sisi jalan.

Mereka berhasil menghindari maut. Mingyu dengan wajah kacau tak terkondisikan hanya bisa ternganga. Sedan di belakang sana masih mengikuti.

"Dalam hitungan ketiga, ayo bertukar posisi!"

"Apa?" Tak menghiraukan raut penuh bingung yang tertampil, Jeffrey tanpa permisi membuka sabuk pengaman Mingyu. "Satu ... Dua ..."

"... tiga."

Kini Jeffrey telah mengambil posisi kemudi. Sementara Pemuda Kim berbekal insting beserta kewarasan yang tercecer berhasil pindah ke samping Jeffrey tepat pada hitungan ketiga sebagaimana apa yang ia tangkap.

Gas diinjak kian dalam. Mata tajam Jeffrey menelanjangi sekitar, lebih banyak fokus menghindari kejaran. Sehelai tisu ia ambil, lalu disodorkannya pada Mingyu yang segera paham maksud pria itu, menerima untuk kemudian menghapus darah di pelipisnya. Sebagai balasan, Mingyu membantu Jeffrey memasang sabuk pengaman sebelum memasang pula pada tubuh sendiri.

Bak pembalap terlatih, Jeffrey membawa laju mobil tanpa menyenggol kendaraan lain meski jalanan begitu ramai petang ini. Membanting stir ke kanan, kadang ke kiri, memasuki jalur berlawanan, menerobos detik-detik lampu lalu lintas berganti merah, bahkan menorobos palang pintu kereta usai mengaluri setapak sempit gang-gang kumuh.

Dan, Mingyu di tempat duduknya hanya bisa melongo tak percaya. Pada akhirnya mereka berhasil lolos dari incaran orang-orang yang entah bekerja untuk siapa.

"Kejadian ini bukan yang pertama kali, benar?"

Ketika ketegangan berangsur reda serta lajuan mobil tak sekacau sebelumnya, Jeffrey menyuguhi tanya. Mingyu hanya menghembuskan napas pelan. "Banyak orang-orang iri dengan pencapaian Pimpinan Jung. Ancaman sudah menjadi makanan sehari-hari."

"Dan, setiap ancaman itu muncul, kau adalah orang yang selalu ada di sampingnya. Kau bahkan tak takut untuk mati bersamanya. Aku benar lagi, bukan?"

Kali ini Mingyu tak menjawab ujaran Jeffrey. Pria itu terbungkam kebisuan bersama netra yang menerawang.

"Entah masihkah aku pantas menyebutnya sebagai kakak, atau tidak. Aku cukup penasaran, bagaimana selama ini kakakku menjalani hidupnya. Tapi kupikir, dia manusia yang sangat berbudi hingga selalu dikelilingi oleh orang-orang setia sepertimu dan juga istrinya."

Pemuda Kim masih tak bersuara. Ia membuang pandang keluar jendela. Tak hendak Jeffrey membaca raut suram yang tertampil tanpa bisa ia hilangkan. Kepala Mingyu kini dipenuhi bayang-bayang masa silam.

Seorang anak kecil yang kerap merebut mainan anak lain kala di panti asuhan, juga bersikap manis demi mencari perhatian biarawati agar diperlakukan paling spesial. Bahkan tak hanya itu, kakak kandung Mingyu sendiri pun nampak lebih menyayangi anak itu ketimbang dirinya.

Cukup lama setelah lulus sekolah menengah pertama, dan setelah mereka tak satu atap panti lagi, Mingyu baru bertemu kembali dengan anak itu di bangku perkuliahan. Kebetulan mereka disatukan dalam jurusan yang sama. Beranjak dewasa, anak itu menjelma pemuda tampan luar biasa dengan akal jenius yang mengakibatkan dirinya kerap disanjung-sanjung banyak orang, terutama kaum hawa. Gadis-gadis cantik dengan mudah takluk olehnya, sudi memberi jiwa raga atau harta, bahkan diajak bermalam bersama pun rela. Rosé salah satunya, dan sang kakak salah duanya.

Hari saat Mingyu mengajak Rosé pergi ke sebuah kafe adalah titik mula. Mingyu menyebut dirinya sendiri bodoh sebab telah membuat sebuah pertemuan terjadi di antara Rosé dan Pemuda Jung. Sebab secara tidak langsung, Mingyu memberikan umpan terbaik bagi predator. Mingyu tak tahu pasti bagaimana hubungan mereka kemudian berkembang. Yang jelas, hari di mana Rosé datang ke kelas bersama sekotak kue teruntuk Pemuda Jung adalah harinya seorang Kim Mingyu menjelma manusia paling patah hati sedunia.

Dan, Mingyu tak bisa melarikan diri dari patah-patah berikutnya sepanjang melihat gadis yang diam-diam ia sukai mencintai laki-laki lain. Ketulusan rasa milik Rosé menyayat hati Mingyu. Seringkali benak pria itu meneriakkan pernyataan bahwa Pemuda Jung tak pantas menerima hal semacam itu setelah berkali-kali mempermainkan hati para wanita. Namun, ia bisa apa, dikala Tuhan telah menggariskan takdir agar mereka bersatu.

Alasan mengapa Mingyu mengabdi terhadap manusia yang satu itu tak lain tak bukan karena sesuatu yang juga diluar kendali.

Dulu, ketika ia menjalani program pertukaran mahasiswa ke luar negeri, seseorang mengabari bahwa sebuah kecelakaan menimpa sang kakak akibat berkendara di kala mabuk berat. Mingyu tak tahu mesti meminta bantuan siapa lagi, selain Jaehyun. Sebuah kebodohan terulang untuk yang kedua kali. Mingyu memberikan umpan lagi.

Mingyu tak tak tahu apa yang terjadi di antara Jaehyun dan kakaknya sepanjang ia tak ada. Ia hanya tahu, kakaknya ditempatkan pada posisi yang bagus di sebuah perusahaan besar dengan alasan Jaehyun ingin membalas budi terhadap sosok yang dulu pernah merawatnya. Sebab kala itu Jaehyun sendiri telah memiliki posisi hebat sebagai Pimpinan JR Cosmetic and Parfume, perusahaan milik Rosé. Kepribadian yang hangat dan mudah berbaur membuat Jaehyun mudah pula mendapatkan teman dan koneksi. Mingyu tak bisa menolak tatkala ditawari pekerjaan sebagai seorang asisten pribadi.

Mengingat semua kebodohan yang telah ia lakukan, Mingyu hanya bisa menertawai diri sendiri. Dengan pandangan diliputi kelabu, bibir Mingyu tanpa sadar menuturkan sepatah kalimat.

"Jung Jaehyun. Brengsek."

Meski terlampau lirih, telinga Jeffrey tetap mampu merekam samar. Sempat mengerutkan dahi, Jeffrey tak bertanya lebih jauh sebab matanya lebih dulu menangkap sebuah kafe gaya retro hendak terlewati.

Maka, Jeffrey segera menepikan mobil, lantas turun. Setengah menunduk ia berkata, "Pulang dan bawa saja mobilnya!"

Mingyu memasang tampang keheranan. "Lalu kau?"

"Aku sampai di sini saja." Jeffrey menjawab.

Tak lantas paham, Mingyu bertanya lagi, "Kenapa?"

"Rumah sudah tidak terlalu jauh. Aku bisa jalan kaki."

"Kenapa begitu?"

Cukup menyulut sedikit kekesalan dalam diri Jeffrey hingga pria itu menghela napas berat. Ia menoleh ke belakang, memandang kafe di sana. "Aku mau mampir membeli cake."

"Cake?" Alis Mingyu bertaut erat.

Jeffrey mendengus. "Sudah pulang sana dan segera obati lukamu. Jangan sampai aku melihat fotomu di pemakaman besok." Ia menutup pintu keras-keras hingga membuat Mingyu terlonjak. Jika tidak begitu, Mingyu mungkin akan terus membombardir dirinya dengan sejuta tanya.

"Cake cokelat, kan? Kau mau beli cake cokelat?"

Seperti dugaan, setelah Jeffrey mengurai beberapa langkah, Mingyu menurunkan kaca mobil dan masih menyerukan pertanyaan.

"Rosé suka cake cokelat. Kau pasti membelikan itu untuknya, kan?"

Langkah Jeffrey terhenti. Ia memutar bola mata malas sebelum berbalik dan balas berseru. "Salah. Aku mau beli tiramisu untukku sendiri. Puas?!"

Dengan demikian, Jeffrey segera melangkah lebar masuk ke dalam kafe meninggalkan Mingyu yang sama sekali tak menaruh rasa percaya. Sejenak terdiam, Mingyu menyadari satu hal. Kafe itu adalah memori, sedikit manis banyak pahitnya. Maka, tak hendak berlama-lama, Mingyu melajukan mobil segera.

***

"Cake cokelat kesukaanmu."

Dua bola mata perempuan bersetelan gaun kuning pucat dan rambut pendek terikat rendah itu ditaburi cerah kala menatap bawaan seorang pria yang baru saja menginjakkan kaki pada lantai hunian.

Sepasang bibir merona di sana terkembang, membingkai deretan gigi-gigi putih yang rata. "Kau benar-benar membelinya." Ia seakan tak percaya.

Nyatanya, tebakan Mingyu beberapa waktu lalu memang benar adanya. Jeffrey membeli makanan yang pria itu sebutkan, sekaligus menyerahkan pada seseorang yang mana juga sesuai dengan terkaan Mingyu. Bukan tanpa alasan, Jeffrey jelas masih mengingat baik percakapan dengan Rosé via sambungan telepon siang tadi. Saat Rosé menanyakan perihal jam pulang, Jeffrey justru balik bertanya,

"Kenapa? Kau merindukanku?"

Dengan sedikit tawa kecil Rosé menjawab, "Selain merindukanmu, aku juga rindu makan cake cokelat di kafe itu."

Maka, dengan senyuman menghias wajah rupawan, Jeffrey menghempaskan punggung lelahnya pada kursi singgasana seraya berucap. "Akan aku bawakan cake cokelat kesukaanmu saat pulang nanti."

Makan malam telah usai. Gerabah kotor disingkirkan lalu Rosé dengan wajah suka cita mengambil cake cokelat berukuran sedang untuk diletakan di tengah-tengah meja yang membatasi dua manusia. Aktivitas memotong cake yang Rosé lakukan terhenti tatkala Jeffrey beranjak berdiri setelah mengucap, "Makan yang banyak. Aku mau mandi dulu."

Rosé menahan lengan Jeffrey. "Makan dulu saja! Kau juga harus mencicipinya," ujar perempuan itu setengah memohon. Jeffrey mengulas senyum tipis. "Sisakan saja sedikit untukku."

Dengusan pelan melesat dari bibir Rosé yang kini mengerucut. Ia melepaskan genggaman pada tangan Jeffrey. "Tidak mau."

Lantas, ia kembali menghempaskan tubuhnya di atas kursi. "Kalau kau tidak ikut makan sekarang, aku habiskan sendiri saja sebelum teksturnya jadi keras."

Menangkap adanya curahan kekesalan, Jeffrey jelas tak bisa sekadar mengabaikan. Setelah terdiam cukup lama, ia menarik kursi di sebelah perempuan itu lalu duduk dengan posisi miring menghadap sosoknya.

"Aku mau berendam."

Potongan pertama cake baru menyapa lidah ketika sepatah kalimat Jeffrey mengudara. Rosé menghentikan aktivitas mengunyah guna menoleh pada Jeffrey. Tangan Jeffrey terulur, menyingkirkan krim cokelat yang tertinggal di sudut bibir Rosé untuk kemudian mencondongkan tubuh lalu berbisik, "Mau ikut denganku?"

Bulu mata lentik bergerak naik turun cepat ketika kelopak indah Rosé berkedip beberapa kali. Tanda tanya besar terlukis pada sorotnya. Jeffrey yang paham segera memperjelas maksud. "Duduklah di dekatku, dan—"

Pandangan Jeffrey jatuh pada cake di atas meja, "—suapi aku."

Tak berdalih menolak, kini Rosé telah resmi meninggalkan meja makan dan berpindah duduk di atas dinginnya keramik pinggiran bathup, membersamai Jeffrey yang merendam tubuh masih lengkap dengan celana bahannya dan kemeja polos putih terbuka beberapa kancing bagian atas, menampilkan dada atletis luar biasa.

Dihantam gentar karena sebuah trauma, Jeffrey adalah alasan mengapa Rosé tetap di sana. Menggenggam piring kecil berisi cake cokelat dan menyuapi pria itu, sebagaimana ajuan permintaan Jeffrey tadi.

Jeffrey tak benar-benar mengabaikan kondisi psikis Rosé yang masih menyimpan ketakutan besar terhadap genangan air. Justru menurut Jeffrey, sebaik-baik terapi atas rasa takut bisa jadi adalah membiasakan diri menghadapi sesuatu yang ditakuti. Sebaliknya, jika terus menghindari apa yang ditakuti, maka ketakutan itu akan terus ada.

Tangan perempuan itu gemetar tiap kali terulur, begitu dingin kala Jeffrey menyentuh.

"Kau takut?" Rasonan lembut Jeffrey menuturkan tanya. Rosé tak menjawab. Ia hendak membebaskan tangannya dari kukungan jemari kokoh Jeffrey. Namun, Jeffrey seakan tak menghendaki hal itu.

Dua pasang mata bersitatap lekat. Jeffrey menggenggam jemari kecil Rosé kian erat. "Air tidak akan membunuhku. Aku masih tetap di sini, masih hidup dan masih bersamamu. Jadi, jangan takut lagi!" tuturnya begitu sungguh-sungguh.

Sekian lama Rosé menghening, perempuan itu dikejutkan dengan Jeffrey yang menyingkirkan piring dalam genggaman lalu dengan tiba-tiba mengangkat tubuhnya.

Air bathup meluap-luap begitu dua insani merendam diri di dalam sana. Dan, melihat genangan air menenggelamkan hingga sebatas dada, Rosé semakin dipeluk ketakutan kuat ketika ilusi di kepala seakan menggambarkan dirinya mulai tenggelam. Bibir yang bergetar itu menuturkan sepatah kalimat lirih,

"A-aku ... takut."

Terdengar begitu pilu. Jeffrey tak bisa melihat wajah Rosé sebab posisi mereka tak saling berhadapan. Meski demikian, punggung terguncang lemah di hadapan telah cukup mampu memberitahu Jeffrey bahwa perempuan itu tengah merasa kacau. Insting bekerja lebih gesit ketimbang akal menjadi lamban akibat dihamburi sedikit penyesalan. Tangan kokoh Jeffrey kini membungkus tubuh Rosé, membuat dada bidangnya menempel sempurna pada punggung perempuan itu.

Meletakan dagu pada bahu Rosé, Jeffrey berbisik rendah, "Tidak apa-apa. Jangan takut. Kita berdua baik-baik saja."

Bak memiliki kekuatan sihir, tuturan Jeffrey lambat laun menghadirkan ketenangan ke dalam jiwa Rosé. Ia yang sedari tadi terpejam, kini mulai berani membuka matanya yang padam untuk menoleh dan memandang wajah sarat akan keteduhan milik Jeffrey. Untuk kesekian kali, pandangan sepasang anak adam itu bertaut.

Jeffrey sedikit melonggarkan peluk, meraih dua tangan Rosé untuk kemudian mengambil sejumput busa dan meletakkannya di sana. Benda itu mengudara begitu Jeffrey meniup. Rosé memperhatikan dalam diam. Jeffrey mengulangi hal yang sama, tetapi kali ini memberi isyarat pada Rosé agar meniup busa yang telah ia letakan di tangan perempuan itu.

Senyuman tipis mematri di wajah Jeffrey begitu busa kembali berterbangan tatkala Rosé meniupnya. Perempuan yang kini mulai mampu mengendalikan emosi pun perlahan-lahan menarik dua sudut bibir, tersenyum pula. Suatu ketika Rosé menghadap Jeffrey, mengulurkan jemari demi menghempas busa yang bertengger manis di surai Jeffrey yang menjadi semakin gelap karena basah, kemudian bergulir menggapai salah satu sisi wajah Jeffrey tempat lesung pipit tersemat apik.

"Mengapa kamu harus seindah ini?"

Satu pertanyaan diucap cukup pelan. Jeffrey terdiam merekam raut perempuan yang tengah terpana, pula menikmati sensasi menggelikan saat jemari lentik nan halus mengusap rahangnya.

"Tuhan pasti sedang berbahagia saat menciptakanmu."

Kemeja putih yang basah mentransparasi bahu lebar dan dada bidang Jeffrey. Rosé tersenyum tipis, hendak menurunkan sentuhan ke sana tetapi urung sebab Jeffrey lebih dulu menahan. Ia mendongak, mempertemukan tatap dengan manik pekat Jeffrey yang menghunus begitu dalam.

Jeffrey menggenggam lagi jemari Rosé, sementara satu tangan bebasnya yang lain bergerak menuruti naluri, menyematkan anakan surai cokelat bak tumpahan madu ke belakang telinga. Jangan lupakan, ekor mata Jeffrey yang turut berpendar liar ke mana-mana bagian yang tak semestinya mengecoh perhatian. Dada terbungkus bra hitam ada di balik kain kuning pucat yang yang Rose kenakan.

Dalam keadaan setengah waras, Jeffrey mencium jemari kecil Rosé dalam genggamannya lalu bertutur lembut, "Tuhan juga pasti sedang berbahagia saat menciptakanmu."

Wardrope menjadi tempat dunia insani yang baru saja mengusaikan ritual membasuh badan. Piyama mandi membalut tubuh mereka yang kini berdiri memilah pakaian. Jeffrey meraih sebuah sweater putih tulang juga celana panjang lalu memberikannya pada Rosé.

"Walaupun sudah memasuki musim semi, tetap kenakan pakaian hangat!" Jeffrey berpetuah. Pria itu yakin gaun berbahan katun yang tipis sangat tidak nyaman digunakan di masa-masa peralihan seperti sekarang, meski terlihat anggun. Rosé mengangguk patuh.

Usai mengenakan sandang, mereka mengunjungi studio di taman belakang. Rosé adalah yang menarik Jeffrey ke sana demi memperlihatkan lukisan bunga mawar yang kala itu pernah Jeffrey minta buatkan. Kini lukisan tersebut telah tersemat manis di dinding ruang tengah dalam rumah, atas ide Jeffrey dan pria itu pula yang meletakkannya di sana.

Rosé tak keberatan. Bermenit-menit lamanya mereka menghabiskan masa untuk memandang hasil karya menakjupkan.

"Bunga mawar sangat cantik, ya?" Tiba-tiba suara Rosé membelah sunyi. Jeffrey di sebelahnya menoleh, mencermati raut perempuan yang sedang takjup. Dan, untuk kesekian kali, bibir Jeffrey bertutur tanpa kompromi.

"Eum, sangat cantik. Seperti kamu."

Kelopak mata Rosé berkedip dua kali sebelum menyorot Jeffrey. Ia bersemu, sedikit banyak malu. Kembali menarik atensi menuju lukisan, Rosé bertanya pelan, "Kamu mau aku melukis apa lagi?"

Jeffrey terdiam menimbang jawaban. "Anemone," ujarnya kemudian.

Menoleh lagi, lisan berselimut pelembab yang Jeffrey tebak berperisa ceri itu mematah kalimat tanya, "Apa artinya Anemone?"

Jeda cukup panjang terisi oleh keheningan. Masih dengan mata yang enggan berpindah dari pahatan selayak dewi sosok yang berdiri di sampingnya kini, Jeffrey menjawab, "Anemone bermakna—"

"—aku sungguh-sungguh mencintaimu."

Kalian pasti bertanya-tanya dari mana Jeffrey belajar banyak perihal alegori bunga. Beberapa telah ia ketahui dari buku-buku kuliah milik Mingyu, selebihnya ia mulai mencari tahu baru-baru ini. Lebih tepatnya semenjak momen melukis bersama Rosé kala itu.

Seakan tengah menyelami keseriusan yang tersimpan di balik netra Jeffrey, bersekon-sekon dihabiskan Rosé hanya dengan bungkam. Lantas, Rosé mengurai satu langkah mendekat, memangkas jarak sejengkal antara ia dan Jeffrey sebelum berjinjit, meraih dua sisi wajah Jeffrey dan mengecup bibir pria itu tak seberapa lama.

Detik berikutnya Rosé berbisik, "Aku juga sungguh-sungguh mencintaimu."

Runtaian kata yang baru saja mengudara menjelma gaung dalam telinga Jeffrey. Berkali-kali menciptakan gema di benak sekaligus membuat seisi dada Jeffrey ditimbun rasa suka cita yang membludak.

"Jung Jaehyun." Bibir dengan senyuman terindah malam ini menyuarakan panggilan.

"Hm."

Dan, Jeffrey hanya mampu sebatas bergumam. Senyap bertandang. Kehangatan menyapa sekujur tubuh Jeffrey ketika Rosé medekap. Denting jarum jam adalah satu-satunya pengisi keheningan, dan detak jantung Jeffrey seakan berangkat menyaingi begitu sang perempuan belia menderai kata, "Aku merindukan sentuhanmu."

Jarak kembali diciptakan meski tak banyak. Sepasang iris kecokelatan berpagut tatap dengan netra kelam yang tengah gamang. Sekali lagi, bibir yang telah Jeffrey yakini betul berperisa ceri di sana menegaskan sebuah tawaran,

"Mau bercinta denganku?"

Jeffrey bersama sebongkah hasrat kemudian berperang.

[]


[SILHOUTTE: After A Minute]

***

***

hai, hai, hai jumpa saya kembali nih wkwk 

setelah seringnya bikin nunggu sampe lumutan,
seneng gak update secepat ini?

okay, gak mau panjang-panjang ngoceh di sini. aku cuma mau bilang terima kasih banyak buat kalian yang selalu dukung SILHOUTTE. sumpah baca-baca respon kalian tuh bikin saya semangat pake banget beresin ini cerita hahaha. 

okay segitu aja. kita ketemu lagi lain waktu. 

thankyou so much, dear

***

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

14.4K 1.3K 10
Kehidupan para penyihir Daeho after ending Alchemy of Souls 2 : Light and Shadow Cast : Jang Uk - Cho Yeong/Naksu/Jin Buyeon Park Danggu - Jin Cho...
285K 36K 30
[COMPLETED] Pertemuan yang diawali dengan perselisihan antara kapten cheerleader dengan kapten basket. Sakura Haruno dengan Sasuke Uchiha. Kedua insa...
541K 59.4K 39
Setting: Canon (cerita lengkap) Highest rank: #1-tear #2-Canon #3-Sasusaku #3-Sakura #322-Fanfiction #10-Anime #20-Sasuke #83-friendship #575-sad #47...
51.9K 6.9K 63
Hoshi bertemu tetangga pemurung itu lewat balkon apartemen Kakaknya. Tetangga pemurung yang selalu bernyanyi dan bercocoktanam di balkon apartemennya.