Tidak Ada Aku di Hati Papa

By sebaitrasa

126K 14.7K 5.3K

Elzaqta anak Papa. Dari lahir hidup sama Papa. Punya golongan darah yang sama seperti Papa. Punya garis wajah... More

0.0
2 | Papa Pulang Jam Berapa?
3 | Pa, Aku Boleh Ikut, ya?
4 | Kalau Aku Nggak Ada, Papa Nyari Nggak, ya?
5 | Boleh Tidur Sama Papa?
6 | Aku Salah, ya, Pa?
7 | Aku Nggak Suka Mereka, Pa.
8 | I'm Sorry, Pa...
9 | Papa, Jawab Teleponnya.
10 | Apa Arti Aku Buat Papa?
11 | Sudah Bulan Juli, Pa...
12 | Papa....
13 | Dari Sisi Papa
14 | Papa, Aku Pulang
15 | Ada Aku di Hati Papa
A Day With Papa

1 | Papa Sukanya Apa?

10.1K 977 185
By sebaitrasa

"Aku sama Papa, tuh, jarang banget ngobrol. Papa nggak pernah tanya aku mau sarapan pakai apa. Nggak pernah tanya hari itu aku ada tugas apa aja, ulangan kemarin dapat nilai berapa, pelajaran apa yang paling aku suka dan enggak kusuka. Papa juga nggak pernah mau tau aku temenan sama siapa aja dan tiap pulang sekolah main ke mana. Saking jarangnya ngobrol, aku jadi enggak bisa bedain, Papa itu sebenarnya enggak pernah tanya karena hal-hal kayak gitu nggak terlalu penting, atau karena semua tentang aku emang enggak pernah penting buat dia."

Seumur hidup, cowok dengan badge nama Elzaqta Sebastala di baju seragamnya itu tidak pernah menyukai keramaian. Ia benci berada di antara orang-orang yang saling berdesakan. Ia benci menjadi asing di tengah riuh yang menggema di sekitar. Sederhananya, Elzaqta benci interaksi manusia-manusia penuh kepalsuan yang menghias tawa seolah di dunia ini hanya ada bahagia. Sebab, ia sendiri tidak bisa seperti mereka.

Namun, hari ini, ia terpaksa harus terjebak di antara lalu-lalang orang yang datang dan pergi. Semua karena gadis bernama Laura yang tadi menyeretnya ke sini. Gadis yang memiliki darah blasteran Indonesia-Jerman itu adalah satu-satunya teman yang ia miliki sejauh ini. Seseorang yang paling ia percaya, meski masih belum cukup untuk membuat ia membagi segalanya. Setidaknya, setiap hari-hari miliknya terasa berat, cowok itu tahu harus datang kepada siapa. Sebab Laura akan ada di sana. Duduk dengan sabar untuk kemudian mendengar seluruh keluhnya tanpa berusaha menyela.

Maka saat tadi gadis itu minta ditemani mencari kado ulang tahun untuk papanya yang akan bertambah usia tiga hari lagi, El tidak bisa menolak.

"Gue bingung, deh." Gadis itu tiba-tiba bergumam di tengah kesibukannya melihat-lihat sepatu olahraga yang berjajar di rak.

El yang semula sibuk mencari-cari pelarian karena merasa tidak nyaman itu seketika menoleh, menatap Laura dengan kening yang ia kerutkan.

"Gue kira waktu nyeret gue ke sini, lo udah tau mau beli apa."

"Iya, awalnya kayak gitu. Tapi pas udah nyampe sini, list di kepala gue buyar. Semua bagus-bagus dan sekarang gue bingung mau beli yang mana."

Sejenak cowok itu menghela napas dalam. Kemudian mendekat ke sisi Laura untuk membantu gadis itu menentukan pilihan. Ya ... setidaknya berusaha andil dalam menentukan keputusan, meski sejujurnya ia sendiri sama sekali tidak paham apa yang gadis itu inginkan.

"Jangan kegoda sama bagusnya doang. Pilih yang bener-bener bisa berguna buat Papa lo dan bakal kepakai sama dia ntar," ucapnya.

Gadis itu tampak berpikir dan mempertimbangkan. Mata bulatnya kembali menjelajah rak sepatu di depan, sebelum akhirnya ia berujar. "Bener juga. Papa udah punya lumayan banyak sepatu olahraga di rumah. Mulai dari futsal, bulu tangkis, sampai voli, semuanya ada. Masih bagus-bagus juga. Kalau gue tambahin satu, belum tentu bakal kepakai."

"So ...?"

Senyum gadis itu mengembang, satu detik sebelum ia akhirnya menyeret El untuk berpindah dari sana menuju jajaran raket berbagai ukuran yang ditata sempurna.

"Gue jadi beli ini aja, deh. Sesuai rencana awal. Soalnya, raket baru Papa yang dibeli tiga bulan lalu kemarin nggak sengaja gue patahin pas lagi mukul kecoa. Menurut lo bagus warna apa, El?"

Mau tidak mau, cowok itu kembali mengikuti ke mana arah mata Laura tertuju. Kemudian ikut menyisir satu per satu untuk menemukan yang paling pas di tangan seorang laki-laki yang tiga hari lagi akan genap 40 tahun.

"Itu yang di depan lo bagus. Gradasi warnanya enggak lebay," ucap El kemudian, sembari menunjuk tepat ke depan Laura menggunakan gerakan mata dan setelahnya gadis itu sibuk mempertimbangkan. Ia mengambil dua pilihan warna berbeda untuk kemudian disandingkan.

Sementara di sini El cukup menjadi si diam yang hanya mampu bersabar dan sesekali memperhatikan. Sembari menunggu Laura menggenggam pilihan finalnya, cowok itu menatap lagi ke sekitar. Ia laki-laki, 15 tahun, dan seperti kebanyakan anak laki-laki pada umumnya, ia juga suka olahraga. Namun, ia tidak pernah ke tempat ini sebelumnya.

Arah pandang cowok itu jatuh pada seorang lelaki setengah baya yang baru saja memasuki toko bersama putranya. Mereka berhenti di depan rak sepatu tempat sebelumnya ia berada, dan tanpa sadar El menghabiskan hampir dua menit hanya untuk merekam bagaimana sepasang ayah-anak itu menelusuri rak sembari mengobrol kemudian tertawa. Hangat sekali rasanya. Apakah semua orang tua seperti itu kepada anaknya?

Sampai kemudian perhatian cowok itu terpecah tepat saat lagu yang mengalun dari pemutar musik memelan perlahan. Lantunan lirik Before You Go milik Lewis Capaldi yang sebelumnya menemani pun hilang, tergantikan oleh melodi yang tidak El kenal, tetapi masih terdengar lumayan. Cowok itu kemudian membawa kembali pandangannya kepada Laura yang masih sibuk menimbang-nimbang sembari ikut menyenandungkan lirik samar-samar. Sampai akhirnya gadis itu mendapatkan keputusan.

"Gue ambil ini, deh. Gimana, El? Cakep, kan, ya? Sebagai sesama kaum pria, lo kalau dikasih ini bakal suka, kan?"

El hanya ingin semua ini cepat selesai. Untuk itu ia memberi anggukan. Lagipula, warna yang Laura pilih memang sudah sesuai. Tidak terlalu polos, juga tidak berlebihan.

"Papa lo suka banget olahraga, ya?" Pertanyaan El kali ini berhasil membangkitkan senyum Laura lebih dari sebelumnya. Sembari meletakkan kembali satu raket yang tidak ia pilih ke tempat semula, gadis itu membuka suara.

"Papa, tuh, dulunya mantan atlet sekolah. Pokoknya kalau ada kejuaraan olahraga, pasti Papa yang dikirim. Pernah punya cita-cita jadi atlet juga, katanya. Tapi karena orang tua Papa nggak ngizinin Papa jadi atlet, Papa nggak mau maksain. Dia akhirnya terjun ke bisnis, deh."

Segala hal yang Laura ceritakan selalu menyenangkan. El suka sekali mendengar bagaimana gadis itu menyebut nama papanya dengan bangga. Ia juga suka melihat binar-binar serupa kristal yang terbias oleh sinar matahari fajar di mata Laura setiap kali gadis itu menceritakan tentang keluarganya. Karena jika bisa, El juga ingin melakukan hal yang sama. Sayangnya, ia dan Laura itu berbeda.

Pikiran itu membuat El terdiam cukup lama, sampai tiba-tiba Laura membuka suara.

"Oh, iya, kalau Papa lo suka olahraga juga nggak? Sukanya olahraga apa? Kita sekalian beliin buat Papa lo, yuk! Mana tau nanti kapan-kapan Papa lo sama Papa gue bisa olahraga bareng pas lagi libur."

Detik itu El kehilangan kata. Mata bulat Laura tampak begitu berwarna, tetapi di sini ia justru membeku, tidak tahu harus menjawab seperti apa. Detak konstan di jantungnya pun seketika berganti irama, menjelma menjadi berisik yang tidak cowok itu suka. Musik yang semula terdengar menenangkan pun kini tidak mampu lagi ia nikmati nadanya. Sekarang, cowok itu hanya memikirkan cara untuk melarikan diri dari tatapan Laura.

"Kok diem? Gue tanya, Papa lo sukanya apa?"

Saat itu, El tidak tahu harus menghindar dengan cara apa. Maka ia hanya memutar otak dengan cepat dan menjawab seadanya.

"Gue nggak pernah lihat Papa olahraga. Kayaknya dia nggak suka. Nggak usah dibeliin apa-apa, deh. Takutnya malah salah."

Dan untung saja, Laura percaya. Gadis itu mendesah panjang dengan tatapan kecewa, tanpa sedikit pun menaruh curiga. Lalu saat langkah mereka pelan-pelan tanggal dari sana dengan Laura yang tidak lagi bertanya apa-apa, diam-diam El menghela napas lega. Sebisa mungkin, cowok itu juga tidak lagi membangun topik ke arah sana. Ia hanya berjalan satu langkah di belakang Laura dan membiarkan gadis itu pergi ke kasir untuk membayar barang yang ia bawa.

Namun, selama menunggu di depan pintu, cowok itu kembali memikirkan semua. Sembari menatap langkah-langkah tegas yang datang dan pergi di hadapannya, diam-diam cowok itu bertanya.

Papa sukanya apa, ya?

[•••]

Saat mobil milik Laura kembali merangkak ke jalanan dan gadis itu melambaikan dari balik kaca mobil dengan kepala setengah menyembul ke luar, El hanya membalas dengan anggukan serta satu garis senyuman. Cowok itu kemudian bergegas ke dalam setelah mobil yang dikendarai oleh sopir pribadi Laura itu menghilang, menyisakan asap-asap tipis di udara sebelum akhirnya tersapu angin dari rindang pepohonan.

Mobil Papa sudah ada di halaman. Artinya lelaki itu sudah pulang. Senyum El seketika mengembang. Buru-buru cowok itu bergegas, melewati teras yang tak seberapa luas untuk kemudian sampai di ruang tengah rumahnya yang hanya terisi sofa, televisi, juga kursi dan meja makan yang pelitur kayunya tidak begitu mengilap.

Saat El tiba, layar televisi menyala, menampilkan siaran berita tentang kenaikan serangkaian harga bahan pangan yang kemudian dikeluhkan oleh para warga. El tidak paham. Fokus cowok itu kini tertuju kepada punggung tegap Papa yang bersandar pada sofa, membelakanginya. Hingga saat cowok itu pelan-pelan mendekat, ia baru tahu kalau perhatian Papa tidak berada pada televisi juga berita di dalamnya. Laki-laki itu justru sibuk membaca buku tebal dengan gambar komponen personal computer di sampulnya.

"Siang, Pa," sapa El setelah ia mengambil posisi duduk tepat di sisi Papa.

Kehadirannya yang tiba-tiba ternyata tidak mengejutkan Papa. Laki-laki 33 tahun itu hanya mengangkat pandangannya sebentar, lalu kembali pada lembar-lembar halaman yang seolah lebih menuntut perhatian daripada anaknya yang baru pulang.

"Kamu naik apa? Papa nggak dengar suara ojol berhenti di depan."

"Tadi nganter temen cari barang dulu, terus pulangnya sekalian dianterin."

Pertanyaan Papa pun berhenti di sana, seperti biasanya. Hari-hari El juga seluruh pahit manis di dalamnya tidak pernah menarik untuk Papa. Laki-laki itu tidak pernah menanyakan apa-apa selain "tadi pulang naik apa?" dan "udah makan siang atau belum?". Selebihnya, lelaki itu akan diam. Seolah memang kehidupan El tidak pernah masuk ke dalam daftar cerita yang ingin ia dengar.

Sekarang, hanya ada suara televisi yang mengisi saat keduanya sama-sama diam. Dari sini, El hanya memperhatikan bagaimana Papa membuka halaman demi halaman. Membacanya dengan saksama sambil sesekali menyipitkan mata, kemudian menghela napas panjang. Dengan kaca mata yang bertengger di sana, Papa benar-benar tampak begitu menawan. Garis-garis wajahnya masih kencang. Kedua alis tebalnya masih tegas dan tajam. Rambutnya juga masih hitam. Mungkin itu sebabnya setiap kali mereka pergi berdampingan keluar, orang-orang lebih sering mengira mereka sebagai saudara daripada sepasang ayah dan anak.

Ketika berjalan sendirian, Papa juga sering disangka bujangan. Tidak ada yang tahu bahwa di balik wajahnya yang rupawan itu, ia adalah seorang ayah dari anak laki-laki yang tahun ini bahkan sudah berseragam putih abu-abu.

Ah, bicara soal usia, El jadi ingat Papa Laura yang tiga hari lagi akan bertambah tua. Kemudian ia teringat tanggal ulang tahun Papa. Bulan depan, angka 3 di belakang umur Papa juga akan berganti menjadi 4. Detik itu El berdeham kemudian mengubah posisi duduknya menghadap Papa. Berusaha membangun obrolan yang tadi patah saat Papa tidak meneruskannya.

"Pa, Papa lagi kepengin sesuatu nggak? Sepatu baru, kemeja baru, atau apa gitu, kek?"

Tetapi ternyata pertanyaan El masih tidak mampu membawa Papa beralih dari bukunya. Laki-laki itu masih tetap fokus membaca dan hanya menjawab seadanya.

"Nggak ada," jawabnya. Singkat. Padat. Jelas. Laki-laki itu sepertinya sengaja tidak ingin obrolan mereka berlanjut lebih panjang. Namun, El juga belum ingin mengakhirinya sekarang.

"Masa satu aja nggak ada, sih, Pa? Ayo, dong, coba Papa pikir-pikir lagi. Papa lagi pengin apa? Atau ... Papa sukanya apa?"

Akan tetapi, Papa tidak mengatakan apa-apa. Satu-satunya yang El lihat dari lelaki itu hanyalah bagaimana ia tampak tidak lagi nyaman duduk di sana. Sejenak hening menjelma menjadi jeda yang cukup menyiksa. Pertanyaan El sepertinya tidak berarti apa-apa untuk Papa. Bahkan sampai satu menit berlalu, laki-laki itu masih belum bersuara. Seolah sengaja membiarkan pertanyaan El sebelumnya hanya berakhir menjadi sia-sia.

Cowok itu sampai harus memanggil lagi untuk membuat Papa menyadari bahwa masih ada ia di sana.

"Papa," bisiknya.

Di detik itu juga Papa menutup buku tebalnya dan menoleh. Tatap keduanya bertemu, tetapi dari sana El tidak menemukan apa-apa selain dingin mencekam yang di saat bersamaan juga mengisyaratkan luka. Namun, yang lebih menyakitkan adalah fakta bahwa Papa tidak pernah sanggup menatap matanya. Seolah di dalam sana tersimpan tombak tajam yang dapat melukainya kapan saja.

Saat lelaki itu mengalihkan pandangan dan melepas kaca matanya, detak riuh jarum jam seperti meremas jantung El hingga tak lagi berirama.

Papa terluka setiap menatapnya.

"Kalau tadi belum makan siang, makananmu ada di meja dapur. Belum sempat Papa buka. Papa ke kamar dulu."

Dan seperti itulah topik di antara mereka akan berakhir. Papa pergi begitu saja dengan El yang harus menelan kembali seluruh kalimatnya.

Papa terluka setiap menatapnya. Sementara Elzaqta terluka karena Papa tidak mampu menatapnya.

[•••]

Jarum jam di dinding ruangan sudah hampir membentuk garis vertikal saat El terbangun karena kerongkongannya yang tiba-tiba kerontang. Tanpa penerangan, cowok itu bergegas ke dapur untuk mengisi gelasnya dengan minuman. Namun ternyata kamar Papa masih terang. Cahaya dari dalam sana menyelinap sampai ke luar melalui celah pintu yang tidak tertutup dengan benar.

Papa itu bukan pekerja kantoran. Ia hanya seorang teknisi komputer yang kebetulan sudah memiliki usaha sendiri. Ia punya tempat reparasi dengan dua orang karyawan yang jam kerjanya bahkan tidak lebih dari jam delapan malam. Seluruh tanggung jawab Papa terhadap barang-barang pelanggan selalu selesai di tempat kerja, tidak ada yang dibawa pulang. Seharusnya, lelaki itu tidak lagi memiliki alasan untuk terjaga hingga larut malam.

Penasaran, cowok itu menuntun langkahnya mendekat. Berdiri serapat mungkin dengan pintu untuk memastikan kehadirannya tidak terlihat. Dari sini, ia bisa melihat Papa duduk di ranjangnya, menghadap tepat ke jendela yang membingkai rembulan di luar sana. Di tangan lelaki itu ada satu buah pigura dengan foto seseorang di dalamnya. Yang kemudian menjadi alasan mengapa Papa tampak begitu terluka sampai berkali-kali menghela napas panjang dan membuangnya bersama beban yang tak pernah tersampaikan.

Hingga lima menit kemudian Papa bangkit, membawa piguranya ke meja. Menjadikan benda itu satu-satunya yang berdiri tegak di sana. Setelah itu Papa mematikan lampu dan melangkah untuk menutup pintu, membuat El buru-buru menyembunyikan diri di balik dinding lalu diam sampai suara langkah Papa benar-benar menghilang.

Satu menit, dan cowok itu tidak lagi mendengar apa-apa sekarang. Pintu kamar Papa sudah tertutup. Lampunya padam. Namun, di sana El masih diam. Menunggu sampai jantungnya kembali bekerja normal, tanpa detak-detak brutal yang hanya berakhir menyakitkan.

Sebab, rasanya benar-benar tidak menyenangkan. Ketika setiap malam Papa menghabiskan berjam-jam untuk menatap wajah seseorang dengan sedemikan tulusnya, tetapi orang tersebut  ... bukanlah ibunya.

Meet the casts;


Terima kasih banyak buat dukungan dan antusiasme-nya, teman-teman. Semoga setelah bab ini, antusias kalian enggak turun, hehe

08.03.2022

Continue Reading

You'll Also Like

2.8K 277 32
Setiap insan pernah berbuat kesalahan, pernah menyelem sampai ke dasar hanya untuk mengukir kenangan lama, lalu mengakhirinya dengan senyum bahagia...
2.3M 73.1K 74
NOVEL BISA Di BELI DI SHOPEE FIRAZ MEDIA "Bisa nangis juga? Gue kira cuma bisa buat orang nangis!" Nolan Althaf. "Gue lagi malas debat, pergi lo!" Al...
5.1M 216K 52
On Going ❗ Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
4.9K 330 40
[ Judul Sebelumnya ; Love Against Cancer ] Perjodohan Rana Choi dengan Wonwoo Jeon membuat mereka akhirnya menikah karena perintah dari orang tua mer...