SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

21: Captivated by Love

1.6K 316 130
By lnfn21

CHAPTER 21
Captivated by Love

[Playlist: Punch – When Night Fall]

***

Maserati Quatroporte mendiami pelataran bangunan rumah megah bernuansa terang. Di sebelah kendaraan roda empat itu, berdiri sosok jangkung rapi dengan pakaian formalnya. Kim Mingyu melirik arloji, mengetuk ujung sepatu pantofel pada permukaan paving kemerahan seiring dengan pergerakan jarum jam.

Setelah beberapa saat penantian yang terbilang bukan sebentar, hembusan napas mengudara pelan tatkala mata Mingyu menemukan dua bilah pintu lebar di hadapannya terbuka. Sosok Jeffrey melangkah lebar keluar dari hunian, tetapi tak lantas menenggelamkan diri ke dalam mobil yang telah terbuka pintu bagian belakangnya berkat Mingyu.

Seorang perempuan bersurai sebahu yang berdiri di balkon rumah menjadi objek tatap Jeffrey tatkala mendongak. Mingyu turut mengikuti arah jatuhnya bola mata Jeffrey dan menemukan sosok Rosé tersenyum sedemikian indah di atas sana. Seolah ada percikan api samar yang merambati Mingyu ketika mengetahui pasti bahwa senyuman itu tercurah pada Jeffrey, dan bukan padanya. Terlebih, Jeffrey ditemukan membalas senyuman Rosé tanpa ada segan. Pemuda Kim bersama sebuah rasa tengah dalam perjalanan menuju karam.

Secepat Jeffrey menyadari seseorang memperhatikannya, secepat itu pula dua sudut bibir pria itu kembali ke garis paling biasa, lantas ia beranjak masuk ke dalam mobil dengan segera. Sementara Mingyu di luar sana sempat dipertemutatapkan dengan Rosé yang juga tersenyum tipis—tak lebih indah dari yang sosoknya torehkan beberapa detik silam. Maka, membungkuk badan singkat menjadi sebentuk sapaan wajar Mingyu terhadap Rosé sebelum duduk di kursi kemudi.

Melalui kaca jendela mobil yang terbuka, Jeffrey dapat melihat sosok Rosé melambaikan tangan, masih dengan sisa-sisa senyum di wajah. Pemandangan yang sungguh membuat relung hati Jeffrey menghangat, sedikit banyak menyingkirkan sajian udara pagi yang dingin.

Sepanjang terbawa laju kendaraan, Jeffrey melempar pandang ke tepi jalanan. Namun, ketahuilah, ia tak sedang menikmati apa yang nampak di mata, melainkan menikmati bayangan yang berputar di kepala.

Momen-momen yang baru terlalui, Jeffrey ingat lagi. Saat Rosé membantu menata rambutnya, juga memakaikan dasi dan jas di tubuhnya. Yang paling Jeffrey tak bisa lupa adalah raut menggemaskan perempuan itu kala meminta ciuman darinya. Senyuman manis dengan sepasang mata menjelma bulan sabit, yakin Jeffrey mulai kehilangan kewarasan lantaran tak mampu menahan senyuman kala wajah Rosé terus berseliweran.

Meski, Jeffrey telah menutupi sebagian mulut dengan tangan yang ia sandarkan sikunya pada badan mobil, Mingyu di sana masih mampu menangkap ulasan senyum tipis pria itu melalui sebuah kaca spion kecil di atasnya.

"Kau tidak menyukainya, bukan?"

Satu pertanyaan lugas Mingyu membuang senyap yang sedari tadi merayap. Jeffrey menggulirkan atensi cepat. Kesadaran secara penuh hadir dalam diri Jeffrey seketika. Di situasi sekarang, semestinya Rosé bukan perihal tunggal yang menguasai akal. Jelas-jelas, Jeffrey tengah diberangkatkan menuju medan pertempuran—bukan sebuah gang kumuh beraroma busuk atau bangunan terbengkalai tahun-tahunan dengan dinding berlumut, melainkan sebuah perusahaan raksasa di negeri yang sempat lama ia tinggalkan. Sudah semestinya, Jeffrey mematangkan mental sebelum berdiri di tengah orang-orang besar.

Selain itu, berada di dekat Mingyu adalah riskan bagi Jeffrey untuk bereskpresi berlebihan. Harusnya, Jeffrey sadar lebih awal.

"Kau tidak berhenti tersenyum sedari tadi. Dan, lagi, aku tidak pernah melihatmu tersenyum seperti itu pada orang lain, selain Rosé."

Mendengar penuturan Mingyu, satu sudut Jeffrey terangkat. Ada tawa yang tak ia suarakan. "Bagaimana kau bisa mengambil kesimpulan begitu? Kau bahkan belum lama mengenalku."

Jajaran toko dan restoran, serta gedung-gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan menjadi pengalihan pandang yang Jeffrey pilih. Tak mengapa meski harus menemui silaunya mentari terbit di ufuk timur, alih-alih menemui sorot Mingyu yang penuh intimidasi.

"Tersenyum seperti itu, aku tahu maksudmu adalah senyuman yang tulus dan penuh cinta. Koreksi jika salah. Tapi, ketahuilah, aku terbiasa memberikan senyuman yang serupa pada banyak wanita di Italia. Tidak melulu karena aku menyukai mereka, itu hanya bagian dari pekerjaanku. Jadi, jangan salah paham! Kondisinya sekarang tak jauh berbeda."

Mingyu teredam hening. Pria itu tengah meresapi sejumlah lega yang datang seusai Jeffrey memberikan penjelasan. Tanpa tahu perihal isi kepala Jeffrey yang justru kembali mempetanyakan kebenaran akan jawabannya barusan.

Tentang, benarkah segala tingkah lakunya hanya dilatarbelakangi oleh tuntutan tanggungjawab, bukan karena hal lain serupa rasa? Rasa suka misalnya, sebagaimana ini dari pertanyaan Mingyu? Ia sendiri tak begitu yakin. Yang jelas dirinya masih memegang teguh keyakinan bawah rasa itu memang ada, tetapi hanya sebatas iba belaka. Tidak akan pernah lebih.

"Tentang solusimu, bagaimana kau bisa memikirkan hal itu?"

Satu topik lain kembali digagas Mingyu. Sudah pasti, Alice telah memberitahu pria itu terkait rencana yang hendak digencarkan oleh Jeffrey nanti.

"Tentang latar belakang Nona Im Ju Yeon yang merupakan korban kegilaan pacarnya dan juga Ibu dari Nona Grace yang sakit parah. Kau pasti bersusah payah mencari tahu semua informasi itu." Tak lantas menerima jawaban dari Jeffrey, Mingyu kembali bersuara.

Benar. Jeffrey tak cukup satu malam demi mengorek informasi yang Mingyu sebutkan tadi. Itu adalah bahan pertimbangan dasar guna merealisasikan tak-tik yang telah tersusun rapi. Namun, Jeffrey sedang tak berkeinginan mematah kata penjelas untuk mencairkan gunungan rasa penasaran Mingyu. Masih sajian panorama kota yang menjadi pusat atensi sosoknya.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

Sampai suatu ketika, perkara yang Mingyu tanyakan kini mengusik kebisuan sekaligus menyeret keseluruhan perhatian Jeffrey di sana. "Kau tidak melakukan semua itu dengan cuma-cuma 'kan? Bukan sekadar membantu, aku yakin sekali, kau mengincar sesuatu."

Melalui kaca kecil yang terpasang di bagian depan atas mobil, dua pasang mata manusia saling bersirobok. Kelam secara penuh menyelimuti pupil mata Jeffrey, menghunus Mingyu sedemikian dingin. "Kau tidak sepenuhnya salah. Aku memang mengincar sesuatu. Hidup nyaman di sini dengan uang yang dihasilkan perusahaan kalian, tak lupa menjaga perempuan yang berharga bagai berlian. Jika yang ada dalam pikiranmu bukan itu, aku harap kau segera menyingkirkannya."

Untuk kesekian kali, argumen Jeffrey berhasil membungkam mulut Mingyu telak. Sisa perjalanan dihabiskan bersama kesunyian sebab dua manusia itu tak lagi saling berbagi obrolan. Hingga mobil yang mereka tumpangi memasuki kawasan luas pelataran sebuah gedung perusahaan yang tinggi menjulang.

Berita terkait pimpinan yang beberapa bulan lalu dinyatakan meninggal dunia namun nyatanya masih bernyawa telah menyebar ke seluruh jagat raya. Hari ini, pengumuman terkait penyambutan istimewa telah dipajang di mading-mading dan disiarkan berulang-ulang. Karangan bunga suka cita memenuhi berbagai sudut-sudut lantai utama. Seluruh karyawan baik kawakan maupun pemula, tua atau muda, telah siaga berjajar di lobi depan. Tak luput pula, para reporter dan wartawan telah membentuk kerumunan dengan kamera di tangan.

Dua pasang roda Maserati mulus tanpa cacat berhenti berputar. Mingyu lebih dulu keluar sebelum berlari kecil membukakan pintu teruntuk sang pimpinan 'gadungan'.

Ada gemuruh yang bertandang dalam jiwa Jeffrey tatkala sepasang kakinya menapaki karpet bulu merah, tak semerona bibir para pekerja wanita yang ternganga. Barangkali, dalam hati tengah sibuk memanjatkan takjub akan visual paripurna di sana. Kilau lampu blits berkedip puluhan kali dalam satu detik, cukup mengganggu penglihatan Jeffrey di sana. Semua orang serempak membungkuk ketika Jeffrey berjalan di tengah-tengah mereka, dikawal oleh beberapa pesuruh berbadan gagah, termasuk juga Mingyu.

Langkah Jeffrey terhenti begitu sudut matanya menangkap sosok gadis muda yang secara terang-terangan tersenyum menggoda sembari menyelipkan anakan rambut, baru saja menjatuhkan kartu identitas pegawainya dengan sengaja. Jeffrey menghampiri lantas memungut benda yang teronggok di lantai, membuat senyuman si gadis kian terkembang.

Gadis itu pikir, pria di hadapannya sekarang akan membantu memakaikan itu, sebagimana tempo dulu saat pertama kali ia bekerja di sini. Sayangnya, ia salah. Jeffrey memberikan benda di tangannya pada seorang pemuda di sebelah si gadis yang ia ketahui bernama Karina.

"Pakaikan padanya!"

"Ya?" Pemuda di sana nampak tersentak. Karina tertampil dengan mata bulat sempurna.

"Kalau perlu ikatkan ke lehernya agar tak jatuh lagi. Beri peringatan, jika dia kehilangan kartu itu maka dia akan kehilangan pekerjaannya juga."

Demikian, Jeffrey berlalu pergi meninggalkan orang-orang yang sibuk mengomentari perlakuan dinginnya, terutama Karina. Menjadi hal yang tabu, seorang 'Jung Jaehyun' yang dikenal begitu ramah pada siapa saja mendadak menjelma manusia bernada bicara sedatar aspal.

Elevator bertanda VIP membawa Jeffrey dan Mingyu menuju lantai teratas, tempat di mana sebuah aula pertemuan berada dan telah dihuni oleh para investor yang duduk mengelilingi meja oval besar. Dua bilah pintu ruangan dibuka, maka serempak para tetua berdiri membungkuk.

"Selamat pagi dan selamat datang kembali, Pimpinan Jung."

Terdengar huru-hara penyambutan yang terkesan begitu berlebihan. Jeffrey meminta Mingyu agar menyuruh mereka duduk tanpa tahu hal itu membuat seluruh pasang mata menatapnya keheranan, tetapi tetap patuh menuruti titah. Tak memperkenankan orang lain duduk sebelum diri sendiri menduduki kursi, Jeffrey jelas tak tahu menahu kebiasaan Jaehyun yang demikian. Mingyu tak juga sempat menjelaskan.

Setelah melalui serangkaian kegiatan pendahuluan, tiba saatnya Jeffrey berdiri di atas sebuah podium. Sedikit gemetar ia kala meraih microphone di hadapan. Meski demikian, ia lebih dari mampu menyingkirkan kecambuk perasaan, menggantinya dengan tenang dan kewibawaan berkelas selama rapat berlangsung.

"Saya, Jung Jaehyun. Dengan ini meminta maaf atas segala kekacauan yang terjadi dan menyebabkan Anda semua cemas. Tapi, saya mohon, beri saya kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki. Saya berjanji akan membereskan segalanya dan membuat perusahaan ini kembali berjalan normal bahkan lebih berkembang dari sebelumnya."

***

"Meyakinkan para investor bukan perkara mudah."

Sebuah ruangan bernuansa abu-abu terang dihuni oleh dua insan. Menghadap dinding kaca yang menampilkan pemandangan indah pusat kota di bawah sana, Jeffrey tak menanggapi pujian tersirat yang baru saja diberikan oleh sosok wanita yang duduk di atas kursi singgasana.

"Kuakui kemampuanmu di luar dugaan." Alice memandang punggung Jeffrey sebelum beranjak bangkit lantas berjalan pelan menuju alat pembuat kopi otomatis. Dua cangkir telah terisi oleh cairan pekat kehitaman yang kemudian ia bawa dan ia berikan salah satunya pada Jeffrey.

Menyesap isi cangkir dalam genggaman, sebagaimana Jeffrey, Alice melempar pandang ke bawah sana. Lirih, perempuan itu bertutur, "Maaf karena banyak merepotkanmu."

Tak ada balasan. Jeffrey lebih memilih mengangkat salah satu ujung alis agak keheranan. Ini kali pertama, ia mendengar Alice mengucap kata maaf. Sebelum-sebelumnya, perempuan itu nampak begitu pongah jika berhadapan dengan Jeffrey. Seakan dia adalah perempuan tangguh maha bisa segala.

"Menjaga Rosé pasti sudah sangat merepotkan bagimu. Tapi, mungkin setelah ini aku akan merepotkanmu lebih banyak lagi."

Perbincangan di antara mereka seolah berjalan satu arah. Kendati demikian, Alice yakin Jeffrey di sebelahnya mendengarkan dengan seksama. Ia memutar arah pandang, meneliti sekitar seraya bicara, "Ini adalah ruang pimpinan."

Kali ini atensi Jeffrey pun turut teralihkan. Pandangannya bergulir mengikuti pergerakan Alice yang berjalan pelan. Meja mengkilap di pusat bagian yang telah terisi oleh susunan dokumen-dokumen dan satu set komputer di tengahnya, Alice menatap lamat-lamar papan nama tersemat di sana.

"Jaehyun pemiliknya."

Nama Jung Jaehyun tertoreh dengan tinta emas yang berkilau kala diterpa cahaya. Alice menyandarkan badan seraya kembali memandang Jeffrey. Ada jeda sedikit panjang yang terisi oleh suara ketukan kuku panjang Alice pada permukaan meja.

"Untuk jangka waktu yang tak bisa ditentukan, kamu adalah pemilik ruangan ini." Sampai sepatah kalimat Alice memecah keheningan. Jeffrey di sana menunda aktivitas menelan kopi yang telah masuk ke dalam mulut. Sementara Alice di sana meletakan cangkir, berjalan kembali menuju Jeffrey dan menepuk dua bahu pria itu cukup bertenaga.

"Tuan Jeffrey yang terhormat, persiapkan dirimu. Mulai hari ini, kau tidak hanya harus membohongi Rosé kami, tetapi juga seluruh manusia di negeri ini."

Jemari gemulai Alice membenarkan letak dasi Jeffrey lalu menenariknya hingga pria itu sedikit terbatuk sebab merasa tercekik. Kemudian Alice mendorong tubuh Jeffrey secara paksa agar duduk di kursi singgana yang kosong.

"Duduklah di sini! Setidaknya sampai semua berjalan sedikit lebih baik."

Secepat Jeffrey meletakan cangkirnya di atas meja dan beranjak bangkit, secepat itulah Alice kembali mendorongnya hingga terhempas di atas kursi empuk berkadar nyaman luar biasa. Perempuan itu menyambar sebuah kotak berukuran sedang lalu mengambil beberapa barang-barang pribadinya. Sembari menenteng kotak yang telah terisi tak penuh, Alice mengurai sejumlah langkah.

Ketukan hels terdengar menggema dalam ruangan beberapa saat sebelum terjeda. Sang pemilik memutar kepala, menoleh lagi pada Jeffrey di ujung sana seraya berkata, "Selamat bekerja, Pimpinan Jung."

Demikian, sosok itu tenggelam di balik daun pintu yang kini tertutup rapat. Tersisa Jeffrey seorang diri, kembali menyambar cangkir kopi lalu menyesapnya perlahan bersama pandang yang ia lempar keluar. Satu sudut bibir pria itu terangkat. Dalam hati tiada henti bersorak sorai. Dengan menduduki posisi sekarang, Jeffrey akan semakin memiliki kuasa untuk menghancurkan benteng musuhnya.

Dalam lamunan sesaat kala mencoba mengistirahatkan pikiran yang cukup penat usai memimpin rapat, terbayang di benak Jeffrey saat di mana seorang perempuan menggenggam tangannya sembari berdoa. Terlintas pula sebuah pemikiran dalam akal Jeffrey, Rosé adalah penyebab segala rencana berjalan lancar. Tuhan mendengar doa-doa yang dilangitkan perempuan itu.

Mendadak pula, Jeffrey teringat akan tuturan terakhir yang ia dengar sebelum datang kemari.

"Bolehkah aku mengubungimu juga, jika aku merindukanmu?"

Seketika, Jeffrey merogoh ponsel dari saku celana. Dipukul sedikit kecewa kala tak melihat pemberitahuan panggilan masuk barang satu pun. Sampai suatu ketika, benda pipih itu bergetar. Nama 'Rosé' tertera sebagai pemanggil hingga tak pikir panjang, Jeffrey segera menggulirkan ikon terima.

"Jaehyun!" Terdengar nyaring rasonan suara yang tak asing di seberang sana.

"Hm. Ini aku." Jeffrey membalas.

"Bagaimana rapatnya?"

"Sedikit menegangkan. Tapi jangan khawatir. Aku bisa mengatasinya." Bangkit dari kursi, Jeffrey berdiri sembari mengamati lekat papan nama mengkilap. Iseng saja ia menyeka debu yang menempel dengan telapak tangannya. Pergerakan Jeffrey terhenti begitu mendengar suara gemerantang benda kaca terjatuh, berasal dari speaker ponsel.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Dideru cemas, Jeffrey bertanya penuh selidik. Momen di kala Rosé hendak memotong nadinya di perjumpaan awal mereka tengah menari bak film pendek di kepala Jeffrey. Kian menggulung pria itu dalam kegelisahan.

"Aku sedang mencoba kembali meracik parfum, tapi tak sengaja menjatuhkan botol kaca. Akan aku bereskan."

"Jangan! Jangan sentuh apa pun! Segera panggil pelayan dan suruh mereka membereskannya!"

Tanpa kompromi bersama akal sehat, mulut Jeffrey meruntut perintah dengan segera usai mendengar penjelasan Rosé.

"Aku bisa sen—"

"Rosé! Dengar aku dan jangan membantah!"

Hening menyapa setelah suara tegas Jeffrey mengudara. Seseorang di seberang tak bersuara cukup lama. Jika setengah jam lagi bukan waktunya Jeffrey menyelesaikan sebuah perkara penting, tentu pria itu akan melesat pulang saat ini juga. Terdengar berlebihan, tetapi sebagai manusia yang bertanggungjawab atas hidup dan mati seorang Roséanne Park, kekhawatiran Jeffrey adalah wajar.

"Baiklah. Akan aku panggil Bibi Mola untuk membereskannya," lirih Rosé beberapa saat kemudian. Jeffrey menghembuskan napas perlahan seiring mencoba menenangkan dada yang bergemuruh lantas bertanya, "Kau baik-baik saja, bukan? Tidak ada yang terluka?"

"Eum. Tidak ada."

Menghempaskan punggung pada kursi, Jeffrey mengusap wajahnya yang terasa kacau. Ini jelas resiko yang harus ia hadapi ketika memilih mengurusi perkara lain selain perempuan itu.

"Kau sedang apa?" Sayup-sayup telinga Jeffrey kembali diperdengarkan oleh suara lembut yang menuturkan tanya. Terdiam cukup lama, perlahan bibir Jeffrey bergerak menguntai sepatah kata singkat.

"Memikirkanmu."

"Ya?"

"Aku sedang memikirkanmu. Memikirkan apa sedang apa kau di sana? Baik-baik saja atau terluka? Aman atau terancam? Apakah kau menghabiskan makananmu juga menelan obatmu? Selalu, aku tidak bisa berhenti memikirkan itu."

Tak ada satupun kebohongan dalam tuturan Jeffrey. Mulut pria itu telah melampau perkiraan logika yang sudah menyediakan jawaban sederhana serupa, aku sedang duduk saja. Nyatanya apa yang terucap—entah untuk keberapa kalinya—lain dari apa yang terpikirkan.

"Tidak perlu khawatir. Aku bisa mengurus diriku, Jaehyun. Perusahaan jauh lebih membutuhkanmu ketimbang aku."

Jeffrey tak sepenuhnya setuju dengan apa yang Rosé sebutkan. Entahlah. Apakah menyeret diri lebih jauh ke dalam lingkaran permainan akan membuahkan kepuasan tersendiri atau justru menjerumuskannya pada liang kebinasaan? Jeffrey tak tahu pasti. Peluang antara menang dan kalah berbanding tipis. Ia belum tentu bisa menyingkirkan musuhnya sebagaimana tujuan, bisa saja musuh lebih dulu menyingkirkannya di tengah jalan.

Rosé lebih-lebih membutuhkannya, Jeffrey pikir. Dan, ia akui pula, mengurusi Rosé jauh lebih menyenangkan ketimbang bertempur. Jeffrey bisa saja berdiam diri dan berpura-pura bodoh di tengah situasi yang kacau dengan hanya menjadikan kesembuhan Rosé sebagai satu-satunya tujuan. Namun, ia terlanjur melangkah sangat jauh. Mustahil dua kali, jika Jeffrey hendak berputar arah kembali.

"Sudah makan siang?" Satu pertanyaan Jeffrey dibalas gumam.

"Obatnya sudah diminum?"

"Sudah."

Tanpa sadar Jeffrey mengangguk tanpa bersuara lagi. "Kau bagaimana? Sudah makan siang?" Pertanyaan Rosé yang demikian dijawab senyap untuk sesaat. Pelan, Jeffrey berucap, "Belum."

"Hei! Kenapa belum? Segeralah makan! Jam makan siang hampir lewat. Kau memperingatiku, tapi sendirinya ceroboh begitu."

Sesungguhnya, Jeffrey punya pilihan untuk berbohong agar Rosé tak menjadi cemas. Namun, entah mengapa mendengar omelan perempuan itu, justru membuat dirinya merasa senang. Ada senyum kecil yang terlukis di bibir Jeffrey, tanpa ia sadari.

Dan, di penghujung perbincangan, saat Mingyu masuk dan mengisyaratkan sekarang waktunya pergi, Jeffrey menyempatkan diri mengganti nama kontak Rose menjadi:

'Istriku'.

***

Sweater coklat lebih terang dari surai sebahu menenggelamkan tubuh ramping seorang perempuan yang mematut diri di hadapan sebuah cermin besar.

Bunyi bel sekaligus suara derap langkah yang terdengar segera membuatnya menyeret langkah. Ujung rok putih polos selutut menari seirama dengan titian kaki yang bergerak menuruni anak tangga. Di tangan perempuan itu, terbawa dua botol parfum yang ia sembunyikan di balik punggung kala menemui sosok pria jangkung berwajah penat—pria yang dirindukannya seharian ini.

Manusia mana yang tak dirundung lelah sehabis berkecimpung membereskan prahara dunia? Jeffrey tak jauh berbeda. Ia merasa seakan ada bertumpuk-tumpuk beban samar menumpu di bahunya yang cuma dua.

"Kau sudah pulang?"

Namun, di kala mata Jeffrey menangkap sosok anggun berjalan riang menyambut kepulangannya, entah mengapa bahu Jeffrey kian menjadi ringan. Senyuman yang terlukis di wajah cantik Rosé lambat laun menarik Jeffrey agar tersenyum pula. Sedikit tersentak Jeffrey begitu Rosé memeluknya dengan sangat tiba-tiba.

"Aku rindu kamu."

Satu kalimat yang diucap lembut menjadi gema di telinga Jeffrey. Cukup mematikan sistem kerja otaknya hingga ia mematung sesaat. Hingga, perlahan, tangannya mulai bisa difungsikan untuk membalas pelukan Rosé.

"Kita hanya berpisah beberapa jam. Kau benar-benar merindukanku, hm?" Jeffrey menunduk, setengah mengusap puncak kepala perempuan yang mengangguk segera.

"Pokoknya, aku tidak bisa jika sehari saja tidak melihat kamu."

Terdengar berlebihan, tetapi Jeffrey justru menabur tawa kecil mendengar penuturan Rosé. Dalam hati bicara pada diri sendiri, pantas saja Rosé menjelma manusia setengah gila seusai tak melihat Jaehyun berbulan-bulan lamanya.

"Tunggu, ada apa dengan wajahmu?"

Dengan jarak yang sedemikian dekat, Rosé yang mendongak berhasil menangkap warna merah kebiruan yang menghias wajah Jeffrey. Seperti bekas tamparan. "Ini kenapa?" Satu tangannya hendak menyentuh, tetapi Jeffrey lebih dulu menahan.

"Tidak apa-apa." Rosé tak nampak menaruh percaya. Beruntungnya Jeffrey melihat benda dalam genggaman tangan Rosé. "Itu apa?"

Buru-buru, Jeffrey mengalihkan topik pembicaraan. Rosé segera menggulirkan atensi, tersenyum lebar ketika menunjukan dua botol parfum di tangan. "Aku membuatnya hari ini. Kau harus menilainya."

Rosé menarik Jeffrey menuju sofa, membantu membuka jas pria itu dan menyuruhnya duduk. Satu tangan Jeffrey kemudian ia raih, ia gulung sedikit lengan kemeja Jeffrey sebelum menyemprotkan parfum di pergelangan.

"Bagaimana?" Dengan pandangan antusias, Rosé menanti tanggapan Jeffrey yang tengah membaunya. "Aku baru pertama kali mencium bau seperti ini. Terbuat dari apa?"

"Lavender dan Iris. Ditambah sedikit aroma coklat."

Bukan main kemampuan perempuan itu. Racikannya begitu khas, Jeffrey meyakini aroma itu tak akan ditemukan di belahan dunia manapun. Kali ini, Rosé kembali meraih tangan Jeffrey yang lain, menyeprot parfum beda varian.

"Yang ini aku tidak asing."

Mendengar jawaban Jeffrey, Rosé tersenyum, "Itu parfum yang selalu kau pakai."

Parfum Jung Jaehyun. Entah bagaimana, nalar Jeffrey sampai ke sana. Namun, aroma itu benar-benar terasa familiar. Aroma perempuan bergaun putih compang-camping dengan tampang menyedihkan yang pernah mendatanginya kala berdiri di tepi jalan, menghadap sebuah danau. Indra penciuman Jeffrey merekam sangat baik. Leather Woody. Beberapa hari ini pun, Jeffrey kerap memakainya. Tentu atas kemauan Rosé.

Sedikit banyak menyimpan muak, Jeffrey tak segera menerima uluran botol parfum yang sama dari Rosé. Justru, pria itu beralih meraih botol yang teronggok di atas meja, "Kalau boleh, aku mau yang ini."

Rosé mengerjap. "Kenapa?"

Jelas saja Jeffrey tak bisa mengutarakan alasan sebenarnya bahwa ia ingin melarikan diri dari aroma yang—bisa dibilang—ia benci. "Hanya, ingin saja," tuturnya kemudian. "Boleh, ya?"

Rosé terdiam, tetapi mengangguk beberapa detik kemudian. Senyuman manis kembali terlukis kala sosoknya memeluk lengan kanan Jeffrey. "Kalau begini, bukankah aku juga bisa kembali bekerja?"

Satu pertanyaan perempuan itu membuat Jeffrey kebingungan. "Aku sudah sembuh. Lihat, aku bisa meracik parfum lagi. Sudah saatnya aku kembali ke perusahaan bersamamu."

Tujuan itu memang sudah terpikirkan oleh Rosé sejak pagi tadi. Ia ingin kembali mendampingi suaminya bekerja. Tentu agar label parfum mereka tak lantas tinggal nama. Namun, tatapan Jeffrey tak nampak seantuas perempuan itu. Botol dalam genggaman, Jeffrey letakan ke kembali ke atas meja.

"Jangan dulu! Kau belum sembuh benar," jawabnya yang sekejap memusnahkan senyuman indah Rosé. Pelukan terhadap lengan kanan Jeffrey mengendur. Namun, sebelum benar-benar lepas, jemari Jeffrey lebih dulu menahan. "Tetap di rumah adalah pilihan terbaik. Istirahatkan badan dan pikiranmu."

Raut muram masih tersemat di wajah Rosé bahkan setelah Jeffrey mencoba memberikan pengertian. Maka, Jeffrey bergerak memutar sedikit tubuhnya agar menghadap sempurna pada Rosé. Satu tangannya yang bebas kemudian terulur, meraih surai perempuan itu dan menyematkan anakannya ke belakang telinga seraya berkata, "Agar kamu tidak bosan, mau pergi berkencan denganku setiap akhir pekan?"

Sedetik kemudian, sepasang iris Rosé bertabur binar-benar bersamaan dengan dua sudut bibir yang terangkat. Ia tersenyum lalu mengangguk semangat. Melihat itu, Jeffrey turut mengembangkan senyuman yang memunculkan sebentuk kecacatan indah di kedua sisi wajah.

Makan malam terlewati. Mendongeng bab empat novel fiksi sejarah juga telah Jeffrey rampungkan. Kini tiba saatnya memadamkan penerangan, lalu membaringkan tubuh di atas ranjang dalam ruang yang temaram.

Setidaknya, berkat cahaya lampu tidur, Rosé masih bisa melihat lagi memar di wajah Jeffrey kala keduanya berbaring miring saling berhadapan. Satu tangan Rosé kembali terulur menggapai dan mengelusnya pelan. "Siapa yang menamparmu?"

Membuka pejaman mata usai mendengar suara rendah Rosé mengalunkan tanya, Jeffrey dihadapkan dengan raut cemas yang tergambar pada perempuan dalam kukungan satu lengannya. Tidak seperti beberapa waktu silam, kali ini Jeffrey tak bisa mengelak lagi. Ia mendudukan diri, meraih ponsel di atas nakas lalu mengulurkannya pada Rosé.

Turut beranjak duduk, setengah mulut Rosé terbuka kala menatap wajah seorang gadis yang membengkak.

"Namanya Im Ju Yeon. Dia gadis yang menjadi tester produk kita. Kau sudah sering mendengarnya di berita, bukan? Keluarga Nona Im menolak menerima kompensasi. Hari ini aku mendatangi rumah mereka. Aku meminta maaf, juga berlutut. Namun, seorang wanita yang nampak begitu menyayangi putrinya menamparku. Dia bilang, aku merusak masa depan putrinya yang berharga. Kemudian, aku beritahukan padanya, bahwa ada orang lain yang lebih dulu merusak Nona Im."

Rosé mendengarkan penjelasan Jeffrey dengan seksama. Setengah tak percaya bahwa suaminya baru saja mengalami hari semengerikan itu.

"Karena kecantikannya, Nona Im memiliki seorang kekasih yang begitu terobsesi dan kerap bersikap mengekang. Sekali Nona Im berbuat tak sesuai kehendaknya, ia akan berakhir mendapat perlakuan kasar. Aku memberikan bukti tes kesehatan mental dan visum kepada ibunya. Dan, Aku melihat Nona Im berdiri di ambang pintu kamarnya sambil menangis. Dia membenarkan, juga menunjukan luka di sekujur tubuhnya. Dia bilang, berkat wajahnya yang sekarang, dia terbebas dari kegilaan sang kekasih. Lalu kami berdamai, dengan aku yang berjanji akan mengurus tuntutan terhadap pacar Nona Im."

Senyap menyapu atmosfer ketika kalimat Jeffrey menemui ujung. Dua pasang mata saling menubruk tatap. Rosé mematikan layar ponsel dalam genggaman sebelum meletakan kembali benda itu ke tempat semula.

Sebuah kecupan mendarat di pipi Jeffrey, berhasil membuat pria itu terkesiap. Entah sedari kapan Rosé memangkas jarak antar wajah mereka, yang jelas kini Jeffrey tenggelam dalam teduhnya lautan yang tercipta pada sepasang hazel perempuan itu.

Tersenyum tipis, Rosé mengulurkan tangan menggapai ujung surai legam Jeffrey seraya berkata, "Kerja bagus. Suamiku memang yang terbaik."

Rosé tak akan tahu, betapa tindak tuturnya menghadirkan debaran tak terelakkan ke dalam dada Jeffrey. Darah pria itu berdesir hebat, sejuk dan hangat di saat yang sama. Sepasang bibir ranum di hadapan seakan mematik gejolak untuk mengecup, atau barangkali memagut, jika tak cukup. Sialnya, Jeffrey masih sangat waras, hingga mau tak mau kehendak itu mesti ia kebumikan.

Tangan Jeffrey berakhir menyingkirkan jemari Rosé yang sedari tadi bertengger manis di kepalanya. Berikut ia amati lekat, ada bekas luka lama yang panjang di telapakan, lalu ada pula bekas luka baru menggaris di ujung jari tengah yang dibiarkan begitu saja tanpa penanganan.

Rosé berbohong perihal ia yang tak terluka saat Jeffrey betanya siang tadi. Menyadari dirinya ketahuan, Rosé memasang tampang pura-pura tak tahu, sedikit demi sedikit menarik tangannya dari genggaman Jeffrey, tetapi urung. Mata perempuan itu lebih dulu membulat begitu Jeffrey mengecup ujung jarinya yang terluka.

"Besok, lukis bunga mawar untukku, ya." Rasonan suara rendah Jeffrey membelah sunyi.

"Agar aku tidak lagi meracik parfum dan menjatuhkan botol kaca lalu berakhir terluka?" Rosé menebak latar belakang munculnya permintaan aneh itu. Jeffrey tak menjawab. "Ini hanya luka kecil, tidak perlu ...."

"Kau ingin tahu, menurutku apa arti bunga mawar itu?" Belum habis Rosé berucap, Jeffrey lebih dulu memotong dengan sebuah pertanyaan membingungkan. Pria itu memandang liontin setangkai mawar kecil yang menggantung indah di leher Rosé. Pemberian Mingyu.

"Memang, apa artinya?"

Lalu pandangan Jeffrey bergulir menghunus netra yang memancarkan rasa ingin tahu. Begitu lama jeda yang diulurnya seraya membisu. Sampai suatu ketika bibir Jeffrey yang terkatup rapat itu mulai bergerak mengalunkan sepatah kalimat sedemikian pelan, "Aku—"

"—telah terpikat oleh cinta."

[] 




[SILHOUTTE: After A Minute]

***

Jeffrey with his sweet smile

***

halo semuanya, ini chapter yang sangat panjang sekali lebih dari 4000 kata. ngelap ingus dulu :')

sebenarnya mau dijadikan dua part, tapi susah nemu potongan bagian yang pas. alhasil jadi sepanjang ini ^^

semoga kalian tetap menikmati sajian dalam chapter ini yang dibuat dengan bahan-bahan bercitarasa sedikit manis banyak asamnya wkwk. terimakasih semuanya. see you on the next chap.

***

Continue Reading

You'll Also Like

101K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
547K 37.8K 29
Draco Malfoy × Hermione Granger
103K 13.3K 26
Jisoo berjanji jika ia diberi kesempatan dan takdir mempertemukan mereka, ia akan me-lurus-kan seorang Oh Sehun. Amazing Cover by @andearr thanks dea...
285K 36K 30
[COMPLETED] Pertemuan yang diawali dengan perselisihan antara kapten cheerleader dengan kapten basket. Sakura Haruno dengan Sasuke Uchiha. Kedua insa...