SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

18: Enemy by My Side

1.5K 288 68
By lnfn21

CHAPTER 18
Enemy by My Side

[Playlist: Jung Sae Rin – Enemy of Truth]

***

Johnny Suh.

Jeffrey masih tak bisa memberikan tanggapan wajar serupa membungkuk atau menyapa balik sosok pria yang baru saja memperkenalkan dirinya. Bahkan, hanya untuk membalas senyum Johnny saja, ia seolah enggan.

Saat ini, keseluruhan etensi Jeffrey hanya tercurah pada sosok perempuan yang duduk di sampingnya. Lambat laun, Jeffrey mampu menangkap penanda keberadaan rasa takut yang menggunung, memeluk jiwa perempuan itu kuat. Wajah cantik bertabur muram, netra sejernih kristal yang sayu pandang, dan bibir merona yang menggaris datar. Bulir-bulir peluh bermunculan di sekujur leher dan pelipis. Padahal semua orang di negeri ini tahu, hari sedang dingin-dinginnya.

Jemari Rose masih senantiasa bergetar meski telah mencengkram kuat ujung gaun yang melekat. Maka, naluri Jeffrey bertindak tanpa sadar, mengulurkan satu tangannya yang kokoh untuk meraih jemari kecil Rose yang gemetar. Jeffrey menggenggamnya erat, mencicipi dingin yang lebih-lebih dari pada udara di puncak musim.

Dua manusia dengan posisi sejajar bertukar pandang. Rose menoleh pada Jeffrey sejenak, menerima sorot penuh rasa cemas sebelum akhirnya perempuan itu memilih berpura-pura fokus menyendok kuah sup di mangkuk ke dalam mulut. Jeffrey tak tahu pasti, apa yang membuat air wajah Rose berubah sedemikian signifikan dari yang ia jumpai beberapa saat silam. Yang jelas, itu terjadi semenjak sosok pria yang mengaku sebagai kekasih Alice hadir di tengah-tengah mereka.

"Oh iya. Aku dan Johnny akan menikah Natal tahun depan."

Sedetik usai terdengar pernyataan Alice, bunyi nyaring logam yang jatuh mencium lantai mengejutkan semua orang. Rose sendiri terkesiap, ia dengan segera melepaskan tangannya dari genggaman Jeffrey guna bangkit dan hendak mengambil sendok yang ia jatuhkan.

Namun, niat perempuan itu tertahan. Jeffrey lebih dulu menggenggam pergelangan tangan Rose agar tetap dalam posisi duduk tanpa bergeser sedikitpun. Sebagai gantinya, Jeffrey-lah yang memungut benda yang teronggok malang di bawah.

"Kau baik-baik saja? Apa kau sakit?" Alice bertanya khawatir.

Rose tak lantas menjawab, ia hanya memberi anggukan pelan beserta senyum samar kala menatap sang kakak. Namun, di saat tatapannnya bergeser menubruk Johnny, nampak sekali Rose berupaya mengalihkan mata secepat yang ia bisa. Dan, Jeffrey adalah objek pandang Rose berikutnya.

Meski sesaat, Jeffrey jelas bisa menangkap kebohongan yang terpancar dari mata perempuan itu. Rose tidak sedang baik-baik saja seperti apa yang dikata, Jeffrey yakin telak. Mencoba memutar otak guna mencari cara bagaimana membawa Rose menjauh dari perkumpulan tanpa menuai kecurigaan, Jeffrey kemudian bersuara, "Ada yang ingin aku tunjukan padamu. Mau ikut aku sebentar?"

Sempat memandangi Alice dan Johnny, pada akhirnya Rose mengangguk pelan menanggapi tawaran Jeffrey. Maka, tanpa mengulur waktu lebih lama, dan tanpa mengindahkan iris dua orang yang seakan bertanya-tanya, Jeffrey menuntun Rose meniti anak tangga. Ia mendudukan perempuan itu di atas sebuah sofa dekat jendela setelah sebelumnya memastikan pintu kamar telah tertutup rapat.

Menekuk lutut, Jeffrey memandang Rose lamat-lamat. "Ada apa, hm?"

Suara rendah nan lembut Jeffrey melontarkan tanya. Namun, nihil jawaban. Rose di sana enggan membuka mulut barang sebentar.

"Kau merasa sakit?" Jeffrey bertanya lagi, dan Rose masih sama halnya membisu. Oleh karena itu, tanpa seijin sang pemilik, Jeffrey dengan tergesa meletakan punggung tangan di dahi Rose, barangkali perempuan itu tengah demam. Suhu badannya normal, tetapi keringat dingin tak berhenti bermunculan membasahi tepian wajah.

Menghela napas pelan, Jeffrey menegakan badan lagi seraya memencar pandangan resah. "Akan kuambilkan obatmu."

Belum sempat merealisasikan niat, Jeffrey yang hendak mengayunkan tungkak terpaksa berhenti sebab Rose dengan segera menggengam lengannya. Dan, merasa Rose saat ini benar-benar membutuhkan penawar, Jeffrey bersikukuh mencoba menyingkirkan jemari perempuan itu. "Tunggu seben—"

Kalimat Jeffrey tak menuai penghujung tatkala menemukan Rose cepat menggeleng. Kini bukan hanya satu tangan Rose yang mengukung pergelangan Jeffrey, melainkan ia mengerahkan sepasang.

Mendongak bersama sorot memohon, bibir Rose perlahan mengalunkan tuturan. "Jangan ke mana-mana, Jaehyun!" Begitu lirih, pun suaranya bergetar.

Alis Jeffrey bertaut. Perempuan itu tak tahu betapa Jeffrey dilanda gusar di situasi ini, dan menurut Jeffrey, tidak ke mana-mana sebagaimana Rose pinta bukanlah pilihan bagus. Maka, sekali lagi Jeffrey berupaya pelan melepaskan tangan Rose juga memberi pengertian. "Aku mau mengambil obatmu. Kamu harus ..."

Lagi-lagi, Rose menggeleng sebelum Jeffrey selesai bicara. "Aku tidak mau obat. Aku hanya mau kamu," ujar perempuan itu kian membuat Jeffrey tak berkutik. Dua bola mata indahnya tertutupi cairan sebening kristal yang mungkin akan berjatuhan sesaat lagi.

"Kamu di sini saja! Jangan pergi!" Sepasang bibir yang gemetar itu bergerak mengucap. Benar saja. Beberepa tetes air mata tak luput dari tangkapan penglihatan Jeffrey.

Maka, sebab tak sampai hati menolak, pun tak kuasa lebih lama memandang wajah wanita yang kelewat memohon di sana, pada akhirnya Jeffrey menyerah mempertahankan ego. Ia membuang napas berat lalu melangkah lebih dekat sebelum satu tangannya merengkuh punggung Rose yang terguncang pelan.

"Apa ada yang kau takutkan?" Setelah sekian jeda membiarkan Rose tenang, Jeffrey kembali melontarkan satu pertanyaan. "Katakan padaku, apa yang membuatmu begitu takut?"

Sekali lagi ujung kalimat Jeffrey disambut hening. Bedanya Rose kali ini menunduk kian dalam. Jeffrey melepaskan rengkuhan, lalu kembali dengan posisi meletakan sepasang lututnya pada lantai ruangan demi mencoba meneliti ekspresi yang Rose tampilkan.

"Apakah karena laki-laki itu? Johnny Suh?"

Masih tak ada tanggapan, tetapi Jeffrey merasakan Rose menggenggam tangan kanannya begitu erat. Helaan napas pelan mengudara dari bibir Jeffrey. Kali ini, ia yang berganti membawa jemari Rose ke dalam genggamannya, memberikan usapan pelan seraya merapal lirih, "Tanganmu dingin sekali."

Tak dipungkiri, Jeffrey tertimbun kecemasan luar biasa. Di saat yang sama juga putus asa. Kebisuan Rose membuat Jeffrey tak tahu mesti berbuat apa. Yang bisa Jeffrey lakukan saat ini adalah membungkus kesepuluh jemari kecil Rose dengan telapak tangan lebarnya, berharap perlakuan tersebut mampu membuahkan ketenangan teruntuk perempuan itu.

"Apa sesuatu yang buruk terjadi di antara kalian? Kau menyembunyikan sesuatu yang tidak diketahui siapapun, termasuk kakakmu?"

Tepat usai Jeffrey kembali meruntut tanya, Rose mendongak bersama tatapan tanpa arti kemudian menggeleng begitu lamban sebelum akhirnya tertunduk lagi. Kendati Jeffrey mampu menangkap kebohongan nyata dari sikap yang Rose tunjukan saat ini, pria itu pada akhirnya tetap mengangguk.

"Baiklah. Tidak mengapa jika kau tak berkenan menceritakannya."

Berikut, Jeffrey meraih satu sisi wajah Rose, membuat dua mata mereka menyatu di titik pandang yang sama. "Katakan padaku saat kau ingin mengatakannya. Tapi, jika itu sesuatu yang membahayakan, tolong beritahu aku segera!" Bibir Jeffrey menguntai sebuah pinta seiring dengan tangannya yang mengusap surai perempuan itu juga sedikit menyelipkan anakan rambut ke belakang telinga.

Terakhir, setetes air mata yang baru saja jatuh dari pelupuk mata Rose, Jeffrey menyeka dengan ibu jari. Ia mencoba bersikap tenang, tak hendak menuntut Rose untuk bicara jujur meski ia sangat ingin tahu apa yang sebenarnya membuat perempuan itu sampai sebegini kacau.

Beranjak bangkit berdiri, Jeffrey mengambil tangan Rose lagi. "Ayo kembali ke meja makan. Kita sudah membuat mereka menunggu terlalu lama."

Namun, Rose tak segera mengikuti pergerakan Jeffrey yang nyaris mengurai langkah. Masih bertahan pada posisi duduk, perempuan itu senantiasa menggenggam erat tangan Jeffrey seolah tak menghendakinya pergi. "Kau tidak mau kembali bergabung bersama mereka?"

Jeffrey mendapati Rose bergumam. "Eum. Tidak mau."

Maka, kembali Jeffrey menyamakan tinggi badannya dengan Rose untuk kemudian berkata, "Kalau begitu, istirahat saja di sini. Biar aku saja yang turun, nanti kukatakan kamu sedang tidak benar-benar sehat."

Rose tak menjawab, kali ini ia melepaskan genggaman tangan Jeffrey seiring pandangannya teralihkan ke luar jendela. Dalam dada perempuan itu tengah bergejolak perasaan yang tak terdefinisi kata. Barangkali, ketakutan adalah yang paling mendekati. Dan, Johnny adalah subjek dari segala rasa takut yang menghantui.

Satu hal yang Rose tahu, niat Johnny adalah menyingkirkannya demi sebuah ambisi menguasai perusahaan yang menjadikan perempuan itu sebagai pemilik absolut. Jika Rose terlanjur mengadu pada Alice atau Jaehyun perihal resep obat mematikan, ia takut Johnny akan bertindak lebih mengerikan seperti membunuhnya, misal. Meski, dua hal tersebut tidaklah jauh berbeda, sama-sama akan mengantarkan nyawa Rose ke alam baka, tetapi menutup mulut rapat adalah pilihan yang baik, Rose pikir. Setidaknya, ia bisa menemani 'Jaehyun' sedikit lebih lama.

Tak masalah jika hal buruk hanya menimpa ia seorang. Rose tak menghendaki sang kakak berakhir serupa. Atau yang paling Rose takutkan adalah Johnny akan melukai 'Jaehyun-nya'. Tidak. Rose sama sekali tak ingin itu semua terjadi.

Jeffrey nyaris benar-benar hengkang dari ruangan yang sama dengan Rose. Namun, kala tangannya mencekal gagang pintu, Ia menoleh lagi pada Rose yang masih menghuni sebuah sofa panjang dekat jendela. Lantas, langkah Jeffrey berputar, kembali menuju Rose di sana sebelum membopong tubuh perempuan itu dan meletakannya di atas ranjang. Tak lupa sehelai selimut ia pastikan menutupi hingga sebatas leher.

"Beristirahatlah dan jangan memikirkan apa pun!" Jeffrey bepetuah lembut. Saat hendak meninggalkan Rose lagi, uraian langkahnya terhenti tatkala mendengar Rose memanggil.

"Jaehyun."

Begitu lirih, tetapi mampu membuat Jeffrey segera menanggapi, "Ya?"

Tak ada patahan kata saat Jeffrey menanti Rose menjelaskan maksud dan tujuan ia memanggilnya. Alhasil, Jeffrey kembali mendekat pada perempuan itu lantas bertanya, "Kenapa, hm?"

Alih-alih menjawab segera, Rose justru meraih tangan kiri Jeffrey, mengusap pelan-pelan sebelum berkata, "Hati-hati."

Di saat yang sama, kata yang Rose ucap mampu Jeffrey maknai dan tidak. Kecemasan yang terpancar membuat Jeffrey paham bahwa perempuan itu mengkhawatirkannya. Namun, yang tidak Jeffrey pahami di sini adalah mengapa. Mengapa ia harus hati-hati?

"Karena musuh ada di dekat kita."

Sukma perempuan itu bersuara dalam keadaan lisan yang membisu. Dan, jelas saja mitra tuturnya tak mendengar. Jeffrey tersenyum, balas mengusap jemari juga surai Rose.

"Jangan khawatir."

***

"Astaga. Jung Jaehyun, dilihat dari bagian manapun juga kau benar-benar persis sama dengannya."

Jeffrey pikir, identitas asli dirinya hanya cukup diketahui oleh Alice dan Mingyu semata. Ternyata salah, satu orang kini telah bertambah. Sosok pria pemilik badan kelewat proporsional yang duduk sambil menikmati kudapan juga tahu perihal apa yang mestinya menjadi rahasia mereka bertiga.

Johnny. Pria itu mengudarakan tawa renyah. Wanita di sebelahnya, menggenggol lengan pria itu pelan.

Kini mata Jeffrey tertuju pada Alice. Ada kekecewaan yang mencoba Jeffrey pancarkan dan berharap agar Alice segera paham bahwa wanita itu tak seharusnya memberitahu orang lain tanpa persetujuan Jeffrey, sekalipun ia berhak.

Selain menuangkan cairan merah pekat dari botol ke dalam gelas sendiri, Alice turut mengisi gelas milik Jeffrey. Bibir merona indah wanita itu berujar, "Rose waktu itu tak sadarkan diri berhari-hari karena pendarahan di kepala. Dan, orang yang benar-benar melihat jasad Jaehyun setelah berhasil dievakuasi adalah kami. Aku, Asisten Kim, juga Johnny. Kondisinya saat itu begitu jelas. Mengenaskan."

Alice menyodorkan gelas Jeffrey lebih dekat pada sang pemilik, sementara dirinya mengambil jeda untuk sejenak meneguk pelan. Tak lantas menyapa gelasnya, Jeffrey mencoba menelaah isi pernyataan Alice. Ia paham, sebab Johnny secara langsung melihat Jaehyun yang tak lagi bernyawa, maka Alice tak punya pilihan lain selain membiarkan Johnny mengetahui.

"Jangan khawatir! Demi kesembuhan Rose, Johnny bersedia membantu kita."

Pasangan kekasih itu bersulang. Satu sama lain memberikan senyuman. Kepercayaan pada sosok Johnny secara sempurna mengaliri darah Alice, tapi entah mengapa Jeffrey tak bisa menaruh hal yang serupa barangkali setengah porsi saja.

Konon katanya, karena punya suatu kesamaan, seseorang bisa mengenali orang lain yang hampir serwarna dengan dirinya. Menatap Johnny lekat-lekat, naluri Jeffrey berfungsi membuahkan satu pemikiran kuat:

penjahat mengenali sesama penjahat.

Bola mata Jeffrey bergulir mengikuti Johnny yang beranjak dari kursi lalu berdiri di dekatnya. Pria itu memaksa Jeffrey menggenggam gelas, pula memaksa untuk bersulang. Senyuman lebar tertampil di wajah Johnny saat sosoknya menepuk bahu Jeffrey seraya bicara, "Lakukan yang terbaik, tapi jangan terlalu memaksakan diri!"

Tak ada jawaban. Jeffrey menghela napas pelan, menyingkirkan tangan Johnny dari pundaknya sebelum meneguk isi gelas di tangan.

"Aku ingin pergi ke kamar Rose." Alice bersuara. Sembari membopong beberapa kado dan bungkusan di tangan, ia meninggalkan kursi.

Kini tersisa Jeffrey dan seorang pria yang dengan santainya berselca ria. "Menyingkirlah sedikit. Kau nampak di kamera. Nanti orang-orang heboh dan mengira ada hantu mampir di sosial mediaku."

Mendengar penuturan mengesalkan yang diucap Johnny, segera Jeffrey beranjak mengikuti jejak Alice. Hanya bedanya, Jeffrey tak pergi ke tempat yang sama.

Taman belakang rumah menjadi pilihan Jeffrey saat ini. Sekadar menyerap segarnya udara bertabur aroma kembang sembari mengamati tanaman yang berjajar atau menggantung. Menggulirkan atensi, langkah Jeffrey terarak menuju studio kecil di ujung sana.

Gelas yang terbawa serta, Jeffrey letakan di atas sebuah meja yang tempo hari menjadi tempat perbincangan antara ia dan Mingyu. Teringat lagi Jeffrey, oleh sebab arloji yang melingkar di tangannya kini juga adalah rekomendasi dari pria itu.

Sebuah pertanyaan acak terlintas di benak Jeffrey. Mengapa Mingyu tidak ikut datang kemari dan merayakan Natal bersama mereka? Entahlah. Meski sedikit penasaran, Jeffrey tak hendak mencari tahu. Terlalu sungkan baginya menghubungi Mingyu usai pertemuan terakhir mereka beberapa waktu silam.

Kini Jeffrey lebih memilih diam mengamati lukisan-lukisan yang tersemat di dinding studio. Jeffrey pikir, Rose sangat menyukai bunga. Terbukti nyaris semua karyanya didominasi beraneka macam bunga, dari Plumeria hingga Lilac tergambar dengan kesan magis yang kentara. Selalu ada makna tersembunyi di balik karya seni. Jika ada kesempatan, Jeffrey hendak bertanya nanti.

Seekor kupu-kupu kecil bersayap kuning terjebak masuk ke dalam studio, berterbangan tak tentu arah seolah tengah mencari pintu keluar. Jeffrey mengamati ke mana binatang itu bergerak, tersenyum tipis saat melihatnya berhasil kembali ke alam bebas.

Jeffrey mendongak, langit siang nampak abu-abu. Hingga labuhan pandangnya menyorot sebuah jendela, yang mana di baliknya terdapat sebuah ruangan tempat dua orang perempuan tengah bercengkrama.

"Ini semua kado Natal untukmu."

Ranjang tempat Rose terduduk saat ini dipenuhi oleh bungkusan-bungkusan yang Alice bawa. Ia mengamatinya satu persatu, tanpa keantuasiasan di mata. Gaun, sepatu, aksesoris, produk perawatan tubuh. Segalanya itu bukan benda-benda yang bisa dibeli sembarang orang. Kesan mewah yang melekat menjadi penanda bahwa untuk mendapatkannya perlu merogoh kantung tak sedikit.

"Eonnie tak perlu memberiku sebanyak ini." Rose lemah bersuara di sana. Alice menggeleng, "Ini tidak seberapa. Aku masih ingin memberimu banyak hal. Jika ada sesuatu yang kau inginkan, katakan saja padaku." Wanita itu yang terduduk di tepian ranjang itu tersenyum lebar.

"Lantas, Eonnie sudah pasti akan menuruti jika aku mengatakannya?" tanya Rose lagi. Masih dengan sisa-sisa senyum yang mematri cantik, Alice menanggapi, "Tentu saja."

"Apa pun itu?"

Kali ini, Alice menggenggam jemari sang adik, menatap sungguh-sungguh, "Apa pun."

Terdiam memandang sang kakak dalam keheningan begitu lama, sepasang bibir Rose lantas mengalunkan sebuah pinta. "Jangan menikah dengannya!"

Dahi Alice berkerut. Ia tak paham betul maksud kalimat yang baru saja terdengar. Lebih tepatnya, tak paham siapa yang Rose bicarakan. "Maksudmu, Johnny?" Ia bertanya memastikan, cenderung enggan.

Anggukan yang Rose berikan kala itu membuat genggaman Alice pada tangan adiknya terlepas membuat air wajah Rose seketika berganti cemas. "Eonnie ...."

"Rose!"

"Carilah pria lain, asal bukan dia! Hanya itu permintaanku."

"Sudah kubilang, jangan terlalu membencinya."

"Bagaimana aku tidak benci? Coba hitung berapa kali dia memperlakukanmu semena-mena! Menyuruhmu membelanjakan apa pun keinginannya. Coba hitung berapa kali dia tidur dengan wanita di luar sana? Apa kakak masih ingin menutup mata? Sungguh, Eonnie tidak lebih dari sapi perah baginya."

Sungguh, Rose tak bermaksud mengungkit hal-hal lampau yang membuat hati Alice mencelos. Ia hanya muak, cinta membutakan isi pikiran sang kakak. Hakikatnya manusia semakin diberi semakin rakus saja. Rose sadar, pepatah itu benar adanya kini. Johnny kian menjelma manusia durjana yang siap memberantas apa saja demi melampau asa.

Ruangan terselubungi senyap selama dua insani itu sibuk menata perasaan yang berkecambuk dalam dada masing-masing. Selama masih memiliki sisa kewarasan, Alice tak hendak membiarkan emosi meluap kepada adiknya yang tengah berada dalam masa pemulihan. Ia menggulirkan tatap, sebuah kotak hadiah berukuran kecil diambilnya.

Tutup bersampul hijau tua, dibuka. Kalung perak berliontin setangkai bunga mawar mungil teronggok manis di dalam sana, Alice ambil untuk kemudian ia dengan canggung memakaikannya di leher Rose seraya berkata, "Ini dari Mingyu."

Rose tak menjawab, tak juga menolak. Alice meraba liontin atas kalung yang telah berhasil ia sematkan. "Mingyu sangat ingin bergabung bersama kita hari ini. Namun, kakak perempuannya yang tinggal di Gwangju sedang sakit."

Kali ini sepasang alis Rose bertaut. Wajah bingung tertampil nyata tanpa bisa ia singkirkan. "Kakak perempuan?"

Mingyu tak pernah sekalipun bercerita perihal itu, meski mereka terbilang cukup dekat dulu. Rose hanya tahu Mingyu adalah seorang yatim piatu yang pernah tinggal di panti asuhan yang sama dengan Jaehyun. Sebatas itu, tanpa menyinggung keberadaan seorang kakak.

"Kudengar mereka memang sudah lama tidak saling memberi kabar setelah kakaknya diadopsi dari panti asuhan. Sudah semestinya, Natal menjadi momen terbaik untuk mereka saling berkunjung."

***

Nyatanya, tanah Gwangju memang tempat di mana Mingyu berpijak saat ini. Ia tengah membersamai seorang perempuan berwajah pucat yang duduk di sebuah ayunan, di komplek taman bermain seberang bangunan panti asuhan.

Tangan Mingyu mendorong sepasang besi sehingga ayunan bergerak pelan. "Selalu saja, kau hanya mengunjungiku saat aku sakit." Rasonan suara lembut perempuan itu mengudara. Tak ada tanggapan, sampai sosoknya menoleh pada Mingyu dan berucap, "Kau pasti masih sangat membenciku."

Pagar panti asuhan tempat di mana anak-anak tengah bersuka cita merayakan Natal menjadi pusat atensi perempuan bersurai legam panjang. "Dulu, di pelataran itu kita berpisah. Saat itu aku masih anak-anak yang hanya mementingkan kebahagiaan sendiri. Melihat orang tua angkatku yang kaya raya membuatku lupa diri dan lupa bahwa aku seharusnya tetap di sana bersamamu. Kamu merengek padaku agar tak pergi, tetapi aku berpura-pura tuli. Bahkan di saat kamu meneteskan air mata, aku masih berpura-pura buta."

Raut Minggyu berangsur tertutupi muram. Mendengar serentetan ucap dari sang kakak membuat akalnya bermuara menuju silam. Segala kejadian di masa lalu seakan berputar bak film di kepala, menyeret setumpuk sesak di dada. Kendati begitu Mingyu tetap teguh dalam bisu.

"Maafkan aku, Min."

Bahkan, dikala sepatah kalimat terucap sarat akan penyesalan mendalam, Mingyu masih sebegitu enggan membuka mulut.

"Kita dulu sering bermain di sini." Lagi-lagi orientasi pembahasan tak lekang dari kata 'dulu'. Perempuan itu mendongak, memandang Mingyu lagi. "Aku, kamu, dan Jaehyun. Semua titik di tempat ini mengingatkanku pada Jaehyun."

Saat satu nama di sebut, tangan Mingyu berhenti bergerak. Ia tak lagi mendorong ayunan, melainkan mencengkram kuat besi pengait dengan taburan muram durja. Sebuah kotak kecil Mingyu keluarkan dari saku mantel, ia letakan di atas telapak tangan perempuan berusia dua tahun lebih tua darinya seraya bicara, "Berhenti mengingat orang yang sudah tiada!"

Sepersekon kemudian Mingyu memutar langkah, hendak meninggalkan sosok perempuan yang terdiam menatap benda di tangan. "Aku masih tidak percaya Jaehyun sudah tiada," lirihnya seiring dengan dua bola mata yang menjadi padam. Mingyu di sana berhenti melangkah.

"Segeralah pulang sebelum petang!" Lagi-lagi yang diucapkan Mingyu tak lebih dari sekadar sebuah petuah. Sosoknya kembali berjalan.

"Aku akan kembali ke Seoul." Sampai sepatah kalimat kembali membuat Mingyu terpaku. "Niatku adalah kembali bekerja dan sekali sore menyempatkan diri mengunjungi makam Jaehyun. Selain itu, bolehkah sesekali aku juga mengunjungimu?"

Meski sempat menoleh, Mingyu tak memberi jawaban atas pertanyaan yang diberikan. Ia memilih melenggang dan masuk ke dalam mobil yang kemudian ia lajukan tanpa ragu meninggalkan perempuan yang kini terpaku pada kalung di tangan. Benda itu, Mingyu beli bersamaan dengan kalung yang ia titipkan pada Alice untuk diberikan pada Rose.

Nyaris tak bisa dipercaya. Mingyu masih masih sudi menyiapkan kado Natal teruntuk seseorang yang sangat ia benci di dunia setelah kedua orang tua yang tak ia ketahui di mana rimbanya kini.

Adalah sang kakak perempuan, Kim Bona.

[]





[SILHOUTTE: After A Minute]

***

Kim Bona

***

dan akhirnya, kita menemui karakter lain lagi setelah Johnny. menurut kalian akan seperti apa tokoh Kim Bona dalam cerita ini? antagonis atau protagonis nih?

okay, terima kasih telah membaca chapter dengan alur yang cukup membosankan ini. see you next chap :)

***


Continue Reading

You'll Also Like

103K 6K 22
This is about TaeTzu story• Aku harap kalian suka. Yes, ini genre dewasa. Ada smut dan kekerasannya. But, FYI guys. This story is not my created by...
313K 8.1K 62
SAHABAT RASA PACAR Kadang persahabatan itu bisa dibumbui dengan rasa pacar. Itu hanya berlaku buat yang persahabatan nya antara cewek dan cowok...
119K 9.9K 52
Hermione menangis meratapi kebodohan Ronald Weasley yang mengantarkan rumah tangganya kepada jurang perceraian. Ia mengingat - ingat apa yang salah p...
101K 10.9K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...