Time-Lag

By Hyewoosung

1.5K 319 18

"Katanya, kalau lo ngerasa dunia lo runtuh, sebenarnya yang runtuh itu cuma ekspektasi lo." Si perfeksionis S... More

Timeline
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Final
Epilog: Untukku Di Usia 18

Chapter 17

34 12 1
By Hyewoosung

Aku baik-baik saja pagi ini. Bangun tidur seperti biasanya, membantu Mama menjaga warung, berbelanja sayur, hingga mengerjakan satu bab buku soal. Namun mengapa ketika beberapa jam sebelum berangkat kerja (aku shift siang) jantungku mulai berdebar-debar gelisah.

Rasanya tercekat, gemetar dan ketakutan. Ada yang ditabuh dengan kencang bertempo cepat di dalam dadaku. Jauh di dalam hati kecilku, aku tidak mau datang ke sana, tetapi otakku mengirim sinyal bahwa aku harus bekerja. Kuputuskan untuk bersiap satu jam lebih cepat. Sebelum sampai ke kafe, aku akan berjalan-jalan sebentar di sekitar kafe untuk menenangkan diri.

Duduk di sebuah kursi, aku memperhatikan lalu lalang manusia yang bernasib sama denganku. Panas terik, namun harus bekerja. Para karyawan toko roti, tukang parkir, kasir supermarket, apa mereka semua pernah menghadapi ketakutan saat pertama kali bekerja sepertiku? Bagaimana mereka melaluinya?

Apa semuanya akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu?

Aku paham betul, akan selalu ada yang pertama dalam hidup. Termasuk pengalaman bekerja. Tetapi rasanya jauh lebih menakutkan ketimbang saat aku melakukan perkenalan di depan kelas saat masih sekolah dulu.

Kemudian Raja melintas di benakku. Jika aku cerita mengenai ketakutanku padanya, dia akan jawab apa, ya? Bisa jadi aku akan merasa lebih baik saat mendengar opini dari sudut pandangnya. Hanya saja, Raja agaknya sibuk karena mulai jarang ke warung. Apa aku kirim chat saja?

Kayaknya tidak usah. Takut mengganggu. Dia juga sedang mengurus masalahnya sendiri pasti.

Pukul 13:45, aku melangkah menuju kafe dengan langkah yang sengaja dilambat-lambatkan. Sampai di dalam kafe tepat pukul 2. Yang pertama kali kulihat adalah Aliya, mendadak aku ingat pesan Kala kalau aku harus membuang gengsi dan bersikap ramah terlebih dahulu.

"Siang, Kak."

Mungkin karena suaraku terlampau kecil, atau entah ada alasan lain, Aliya tidak menggubris sapaanku. Justru melewatiku begitu saja menuju ke Bar. Padahal aku sudah menyapanya dengan embel-embel 'kak'.

Yang seperti ini nih, yang membuatku kicep dan takut menyapa orang lain.

"Siang Sahara." Aku nyaris terlonjak. Mbak Karin menepuk bahuku. "Ayo cepat siap-siap, lagi rame nih."

***

Shit.

Aku mengumpat tanpa suara.

Karena panik disebabkan banyaknya pesanan yang terus-menerus muncul, aku tidak sengaja menjatuhkan tutup ice crusher. Bunyi riuhnya membuat semua orang yang bekerja di Bar dan kitchen menoleh ke arahku. Sumpah, malu banget.

Gerakanku terhenti beberapa detik hingga Aliya muncul dan membenarkan mesinnya. "Santai aja, aduh lo masih panik ya? Harusnya jangan di Bar dulu."

Serba salah. Tadi saat aku di server, disuruh ke kasir supaya bisa belajar lebih cepat. Saat aku pindah ke kasir, malah disuruh ke Bar karena katanya aku harus terbiasa membuat minuman. Karena aku masih clueless, aku merasa tidak ada yang menerima kehadiranku di manapun.

"Ayo lanjut lagi."

Mataku memanas, sementara tanganku bergetar. Astaga, kenapa aku sensitif sekali, sih?

"Sini, gue aja biar cepet." Aliya mengambil alih gelas shaker di tanganku dengan gerakan kasar. "Lo perpare tray-nya aja. Kasih ke server."

Memangnya, aku se-tidak berguna itu, ya?

"Jangan lupa di-seal dulu bowl-nya kalau buat Gojek atau Grab."

"Fokus, Ra."

Aku seakan susah bernapas hingga mendekati jam pulang. Begitu Bang Ido mengomando untuk closing, baru aku bisa bernapas lega. Kerja bagus Sahara, you did well today. Satu hari yang berat terlewati, masih ada banyak hari menuju akhir bulan.

"Sahara, itu pelnya basah banget, becek jadinya makin kotor," komentar salah satu anak dapur. "Peresnya kurang kenceng, tuh. Pernah ngepel gak sih?"

Kuanggukkan kepala. Lagi-lagi hanya mengangguk, aku tidak berani merespon dengan kalimat.

Harusnya aku pulang naik angkot atau ojek online, mengingat kalau larut malam seperti ini, angkot mulai susah ditemukan. Untungnya Djendra bilang akan menjemputku malam ini.

"Gimana?" tanya Djendra saat aku menghampirinya. Mendengar tanyanya barusan saja membuat mataku memanas lagi. Rentetan yang terjadi hari ini terputar bak roll film di kepalaku.

"You did well, Sahara." Djendra menepuk lenganku dua kali, lalu air mataku meluncur begitu saja. Hari ini, ketika aku kesulitan, belum ada yang mengapresiasi hasil kerjaku selain aku sendiri. Tepukan Djendra pada lenganku seakan menyadarkanku bahwa semua akan baik-baik saja dan aku tidak sendirian.

"Gue capek banget." Akhirnya aku mengeluh. "Capek kerja sih enggak, tapi capek hati. Gak ada temen ngobrol. Mau udahan aja rasanya."

"Bukan gak ada, tapi belum ketemu, timing-nya belum pas aja. Pasti lama-lama nemu saat-saat nyaman kok." Djendra menimpali keluhanku. "Lo hebat, udah berusaha keluar dari zona nyaman lo. Ingat tujuan lo kerja di sana, nyari uang dan pengalaman, atau nyari temen gibah?"

Di boncengannya, aku mengerjap, membenarkan kalimatnya. Aku harus bertahan, demi menabung untuk biaya kuliah tahun depan. Yang terjadi hari ini mungkin menyakitkan, tapi lebih sakit jika aku tidak bisa kuliah lagi tahun depan dengan alasan yang sama dengan tahun ini.

Motor Djendra melewati gang pasar malam, di mana ada banyak orang lalu lalang melewati gang yang dipadati oleh banyak penjaja dagangan, mulai dari makanan hingga pakaian. Aku mengernyit. "Kenapa lewat sini? Kan macet?"

"Mau jajan," ujarnya seraya terkekeh.

Berhenti di depan tukang seblak paling ujung, Djendra melepas helmnya. "Lo enggak pedes, kan? Dulu pas anak OSIS makan bakso bareng, punya lo doang yang bening."

Seraya menyeka mata yang mulai basah, aku membenarkan. Kurogoh saku celanaku. "Ini uang gue."

"Udah." Djendra mendorong pelan tanganku. "Bills on me."

"Bang, dua. Satu pedas, satu enggak, ya." Djendra mengajakku duduk menunggu di dekat abangnya. "Sini aja nunggunya."

Abang Tukang Seblak itu menoleh padaku, lalu menyadari bahwa wajahku memerah di bagian mata dan hidung. "Kok nangis, Neng? Diputusin sama si Aa'?" godanya seraya menoleh ke Djendra.

"Yah si Abang," Djendra terkekeh. "Dijahatin temen kerjanya dia mah."

"Oalah." Abang Tukang Seblak itu kini mengamatiku. "Udah atuh Neng, jangan nangis. Coba Neng itung, ada berapa orang yang datang ke pasar malam hari ini?"

Kugelengkan kepala sambil terkekeh pelan. Kurang kerjaan banget menghitung banyak orang di pasar malam ini. "Banyak, Bang. Mana keitung."

"Nah itu dia, Neng. Di pasar malam ini aja gak terhitung, apa lagi di dunia, di Indonesia?" Kulihat beliau menuangkan sambel ke dalam kuali. "Segini cukup gak, A' cabenya?"

Djendra mengacungkan jempol. Si Abang Tukang Seblak kembali menoleh padaku. "Di dunia ini banyak manusianya, Neng. Sifatnya juga beda semua. Kalau ada yang benci sama Neng mah, lumrah. Itu di luar kuasa Eneng. Yang penting, Eneng yakin gak berbuat salah sama dia."

"Tuh, denger." Djendra menoleh padaku. "Enggak udah dijadiin beban, Ra."

"Hidup itu kan bergelombang, Neng, A', tapi dijalaninnya dengan seneng aja. Bersyukur. Hidup emang begini, penuh liku-liku."

***

"Jadi, sekarang lo kerja di Azalea?" Juandra menarik sebuah balok Jenga dengan hati-hati. "Pantesan markas kita pindah ke rumah Kala."

Aku berdeham malas. "Gue bosen ke sana." Padahal aku selalu emosi jika melihat Aliya, Leoni, dan yang lainnya.

"Katanya banyak yang ngeselin," adu Djendra sambil menyikut Mas Gun. "Kasih tau Mas, cara menghadapi rekan kerja yang nyebelin."

Mas Gun menyeringai. "Diemin aja, Ra. Nanti juga capek sendiri."

"Siapa sih emang?" Ini Kala yang bertanya. Sepasang matanya fokus mengamati Jenga sebelum menarik salah satu balok perlahan. "Aduh gila, mati ini mah gue."

Benar saja, tumpukan balok kayu tersebut runtuh setelah Kala menarik salah satunya. Juan dan Djendra lantas berdiri dan bersorak, sedangkan Mas Gun menyodorkan segelas rebusan daun pegagan tanpa gula pada Kala.

"Astaga," keluh Kala. Matanya menatap gelas yang disodorkan oleh Mas Gun dengan pandangan ngeri. "Pahit banget pasti."

"Gak apa-apa," timpalku. "Pegagan bagus buat daya ingat."

"Masih pahitan kehidupan kali, La." Juan menambahkan. "Ayo buruan."

Kala berdecak, tangan kirinya bersiap di lengan Juan sementara tangan kanannya membawa gelas berisi air rebusan pegagan menuju bibirnya. Ketika meneguk, keningnya mengernyit, berbarengan dengan jeritan Juan karena dicubit oleh Kala.

"Sebenernya gak pait banget kok," ringisnya setelah menghabiskan segelas. "Lanjut lagi?"

"Males ah," gumam Juan. Ia menyenderkan kepalanya di sofa. "Gue masih bingung, mau kuliah atau kerja tahun depan." Ia menoleh padaku. "Apa alasan lo kerja, Ra?"

"Nyari duit," jawabku lugas. "Kedokteran kan mahal." Tanpa sadar aku meringis.

"Kalau lo, Mas?" Juan beralih pada Mas Gun yang sedang menyusun balok-balok Jenga yang berserakan. "Kenapa kerja?"

Mas Gun terdiam sebentar, memandangi kami bergantian. Kukira dia berat untuk menceritakan kehidupannya kepada kami. "Untuk bertahan hidup? Karena gue tulang punggung keluarga?"

"Salut." Djendra meletakkan telapak tangannya membentuk gestur hormat. "Tapi lo masih semangat buat masuk kuliah tahun depan."

"Karena cita-cita gue mau sarjana sih," ujar Mas Gun. "Terus juga, sebelum meninggal dua tahun lalu, bokap gue pesan, kalaupun gue kerja, gue harus tetep kuliah."

"Lo keren, Bang." Kala mengacungkan dua jempol dengan senyum lebar sebelum menoleh padaku. "Ngomong-ngomong, yang judes sama lo yang mana orangnya, Ra?" tanya Kala, mengulang pertanyaan sebelumnya yang belum sempat kujawab. "Yang kata lo nanyain Bang Raja mulu."

"Ada deh pokoknya." Kukibaskan tangan kananku. "Suka jaga di kasir, rambutnya sebahu. Namanya Aliya."

"Naksir Bang Raja, kali?" celetuk Kala sambil membuka bungkus permen.

"Bisa jadi." Aku membuang muka, memilih memperhatikan layar ponsel yang nyatanya bersih dari notifikasi. Sedang apa sih, aku ini? Kenapa aku menunggu pesan dari dia?

"Yah kasian banget. Gak tau aja dia kalau Bang Raja udah punya pacar," ujar Djendra, disambut dengan berbagai ungkapan tidak percaya dari yang lainnya.

"Sumpah, Ra?" Kala mengguncang bahuku. "Gue pikir, doi naksir sama Sahara."

Aku juga pernah berpikir seperti itu. Tapi sepertinya tidak. "Gue taunya, Aliya bilang, hatinya Raja udah taken sama cewek. Tapi gak tau siapa."

"Elo kali?" goda Mas Gun. Matanya mengedip sebelah padaku, kubalas dengan tawa garing. Mana mungkin aku.

"Emang siapa Jen, pacarnya?" Pertanyaan Juan membuat aku, Kala dan Mas Gun menoleh serempak pada cowok itu.

Djendra mengerjap. Wajahnya panik. "Itu—"

Continue Reading

You'll Also Like

325K 23.9K 23
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
585K 47.6K 29
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
669K 69.5K 41
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4M 235K 29
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...