SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

14: The Fragile Roses

1.8K 357 58
By lnfn21

CHAPTER 14
The Fragile Roses

[Playlist: Yang Da Il – Falling Flower]

***

Menapakkan kaki pada lantai ruangan seusai duduk di atas ranjang, sosok perempuan berbalut sweater oranye menyeret langkah menuju jendela besar untuk kemudian ia sibak tirainya. Seketika pemandangan pohon cemara dengan dahan tertutup salju menjadi hal yang tersaji bersama mendung. Alam ternampak hanya didominasi oleh warna putih dan abu-abu pagi itu, kecuali satu objek.

Manusia dewasa bermantel merah marun yang berdiri di tengah-tengah hamparan salju begitu kentara tertangkap manik mata perempuan itu.

Dering sebuah ponsel membelah keheningan, membuat sosoknya segera mengalihkan perhatian guna meraih benda pipih yang teronggok manis di atas nakas. Nomor tak dikenali terpampang pada layar sebagai sang pemanggil. Butuh sedikit jeda untuk Rose kemudian menggulirkan ikon terima.

"Apa tidurmu nyenyak?"

Suara itu, bariton lembut yang selalu menjadi gema di telinga maupun kepala saking indahnya, Rose tersenyum sebab mengenali betul. Menjadi kali pertama mereka berbicara via telepon, Ia menandai itu adalah nomor kontak Jaehyun yang baru.

"Kau di mana?" Alih-alih menjawab, dia justru bertanya seraya melempar tatap pada ranjang kosong di sebelahnya. Sejak pertama kali membuka mata, Rose sudah tak menemukan lagi sosok pria yang mendekapnya sepanjang malam. Ia hanya menemukan roti panggang dan segelas susu di atas nakas.

"Di luar." Seseorang menanggapi dari seberang.

Kembali, Rose melangkahkan kaki, kali ini mengunjungi balkon guna melihat lagi sosok manusia yang tertampil bak miniatur, entah sedang apa di sana. Mencoba memastikan sebab terlihat samar, Rose bertanya, "Apa itu kau?"

"Kau melihatku?"

Dua sudut bibir Rose terangkat perlahan begitu melihat pria di sana melambaikan tangan, menandakan bahwa perkiraan Rose tidaklah salah. "Apa yang kau lakukan di sana?"

"Membuat boneka salju. Mau ikut? Kalau mau, syaratnya satu."

Kerutan tercipta pada dahi Rose yang tak tutup poni rambutnya. "Apa itu?"

"Makan dulu sarapanmu."

Mendengar persyaratan yang agak konyol, kekehan kecil mengudara dari bibir Rose. Meski demikian, tak ada protes. Rose segera menuruti usai memutus sambungan telepon dan juga menyimpan nomor kontak di sana dengan sebutan 'Suamiku'.

Roti panggang dilahap tanpa sisa, berikut Rose mengosongkan isi dalam gelas sebelum beranjak meninggalkan resort dengan binar-binar ceria yang tersemat di muka.

Ujung rok sutra selutut miliknya terombang-ambing oleh udara kala Rose mengayunkan tungkak cepat, setengah berlari. Sempat kehilangan kestabilan hingga tubuhnya terhuyung, nyaris saja ia terguling di atas tumpukan es jika saja seseorang tak sigap memeluknya.

Dua pasang mata manusia menubrukan pandang beberapa saat sebelum bibir pada wajah dingin nan rupawan sosok pria di sana bergerak mengucap, "Hati-hati. Aku bahkan tidak pergi kemana-mana, mengapa sampai berlarian begitu?"

Tak ada jawaban dari Rose. Perempuan itu hanya mengeluarkan senyum tanpa dosa teruntuk Jeffrey. Tak hendak membebaskan diri dari pelukan Jeffrey meski pria itu telah melepaskan dekapan, Rose justru kian merapatkan tubuh mereka dengan melingkarkan dua lengan pada pinggang Jeffrey erat. Mata perempuan itu terpejam, sejenak merasakan kenyamanan yang menyelimuti jiwa, juga bunyi degup jantung Jeffrey yang sampai pada koklea ketika Rose dengan sengaja meletakan wajahnya pada dada bidang pria itu. Cukup kencang, tetapi tak sekencang miliknya.

"Mungkin sebab aku sedari dulu terbiasa mengejarmu yang kejauhannya adalah entah. Kau laksana sesuatu yang gemilang dan sukar digapai. Mendapatkanmu rasanya seperti tak nyata."

Kali ini Jeffrey terbungkam bisu. Serentetan kalimat Rose berhasil mengusik sukma. Memberitahu Jeffrey bahwa ia dan Jaehyun mempunyai perbedaan kehidupan yang kentara. Jaehyun pasti begitu bersinar dan dilimpahi banyak cinta, tidak seperti Jeffrey yang cenderung redup dan bahkan keberadaannya saja sering kali dianggap tak kasat mata.

"Kadang kala, meski kau bilang tak akan ke mana-mana, aku justru berpikir kau akan pergi sangat jauh." Rose kembali bertutur.

Jeffrey masih setia pada diam, dalam hati membenarkan. Pergi dari perempuan itu adalah sesuatu yang pasti. Kapannya yang tak pasti. Tak bisa memberikan tanggapan, maka hanya sebatas usapan lembut di kepala yang Jeffrey berikan pada Rose sebagai bentuk upaya menenangkan cemas yang sedikit tersurat pada ucapannya barusan.

"Eoh, apa ini kau mulai duluan?"

Dekapan Rose terlepas, seiring perhatian perempuan itu bergulir pada bentuk setengah jadi boneka salju milik Jeffrey. Bergeser memandang Jeffrey lagi, ia mencibir, "Curang sekali."

Jeffrey lantas terkekeh. "Curang apanya? Kita bahkan tidak sedang berkompetisi," ujar pria itu seraya mengambil posisi berjongkok di hadapan mahakaryanya.

Hendak membereskan itu, dua bola mata Jeffrey lebih dulu melebar tatkala Rose tiba-tiba menghancurkannya dengan sekali injak. Mendongak hendak menyuarakan protes, Jeffrey lebih dulu disuguhi senyuman manis luar biasa yang seolah memukul habis rasa kesal di dada.

Rose berjongkok di samping Jeffrey. "Ini baru adil. Ayo bertanding! Yang paling lama membuat bonekanya harus mendapatkan hukuman."

Mendengar itu, Jeffrey mengerutkan kening. "Hukuman apa?" Kemudian bertanya.

Rose nampak berpikir sejenak sebelum sebuah ide melintas dan dengan cepat ia ujarkan. "Lempar salju. Yang kalah harus bersedia dilempari salju."

Terdengar cukup ekstrim, tapi Jeffrey tak menyangkal ajuan tersebut. Keduanya kini mulai berkutat menggauli mahakarya masing-masing. Awalnya demikian, sebelum Rose mulai iseng menghancurkan hasil kerja Jeffrey setelah miliknya sendiri tumbang beberapa kali.

Jeffrey menelan kekesalan bulat-bulat saat melihat Rose justru tertawa puas memandang karya Jeffrey rata dengan tumpukan salju lainnya. Deretan gigi rapi perempuan itu terbingkai indah dibalik sepasang bibir manis yang ia punya, cukup menyajikan kadar candu bagi siapa saja, demikian pula Jeffrey.

"Siap dengan hukumanmu?"

Berdiri Rose beberapa langkah dari Jeffrey bersama mata yang terpejam erat menanti lemparan kepalan es dari tangan pria itu. Benar, pada akhirnya Rose harus mengakui kekalahannya. Terlalu banyak membagi fokus untuk memandangi Jeffrey sembari berceloteh, ia kehilangan banyak waktu sehingga boneka saljunya tak sempat terselesaikan.

Melihat Rose mengangguk pelan sambil sesekali mengintip dari celah kelopak mata yang terbuka, Jeffrey menoreh senyuman samar. Ia tak sampai hati jika harus benar-benar melempari rose dengan kepalan salju. Maka, Jeffrey memutuskan untuk mengurai langkah sangat pelan mendekati sosok itu, mengulurkan tangan lalu menempelkan kepalan salju pada satu sisi wajah Rose. Sebatas itu.

Terkesiap kala merasakan pipi kanannya tertempeli benda beku, Rose membuka mata dan mendapati Jeffrey berdiri tepat di hadapan. Kelopak berhias bulu mata lentik perempuan itu mengerjap seraya mendongak, menyambut tatapan dari netra sekelam langit malam milik Jeffrey yang berpotensi membuatnya lekas tenggelam.

Rona jingga menjajaki wajah Rose seketika. Ia tertunduk kemudian seiring mulutnya merapal pelan, "Apa-apaan itu? Haruskah aku mengajarimu?"

Jeffrey telah menyingkirkan tangan yang kini kosong. Tak sempat menjawab, tubuh Jeffrey lebih dulu didorong paksa oleh Rose.

"Berdiri di sini!" titah perempuan itu seakan tak terbantahkan sebelum mengambil jarak beberapa meter dari Jeffrey. Jemari Rose meraih sejumput es di dekat kakinya, bersiap melemparkan itu pada Jeffrey, tetapi meragu.

Pandangan Rose sempat berpencar resah. Bibirnya tergigiti pelan seiring tangan yang mulai berayun. Satu lemparannya tepat sasaran mengenai dada Jeffrey, mengakibatkan suasana aneh sebab pria itu tak menampilkan reaksi yang berarti. Antara memendam kesal atau tidak, tak ada emosi yang tesemat jelas di wajah datar Jeffrey di sana.

"Eoh. Maaf." Rose berujar pelan. Ia kembali mendekati Jeffrey, membantu pria itu membersihkan butiran salju yang menempel pada mantelnya.

Dan, Rose tersentak kaget begitu Jeffrey menahan dua lengan wanita itu sekaligus bicara, "Berdiri di sini! Jangan ke mana-mana!"

Meski terdengar begitu rendah tanpa tuntutan, Rose merasa perintah Jeffrey adalah mutlak. Ia mengangguk patuh saat tatapan mereka beradu untuk kesekian kalinya. Tak juga begulir pada hal lain selain Jeffrey, pupil mata Rose mengikuti kemana saja pria itu bergerak.

Bak orang tolol, Rose tak menyadari pasti kapan tepatnya sekepal es Jeffrey lemparkan, meski tak tepat sasaran dan hanya berakhir mengenai sepatu boots milik perempuan itu. Beberapa butir mengenai permukaan kulit betis Rose yang tak tertutup apa pun, Rose sedikit melenguh.

Sementara itu Jeffrey hendak menghampiri tetapi langkahnya tertahan begitu Rose mengambil kesempatan untuk balas melemparkan es padanya. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali sembari tiada henti tertawa melihat Jeffrey yang kepayahan menghindar.

Tak lagi sepasrah sebelumnya, Jeffrey pun berusaha mencari celah untuk membalas perlakuan Rose. Ia melemparkan kepalan es pada perempuan itu, yang sialnya sering kali meleset lantaran Rose begitu gesit bergerak melindungi diri. Geram, Jeffrey berniat mengejar Rose yang kini berlarian riang. Saat berhasil menggapai lengan perempuan itu, tanpa sadar Jeffrey mengerahkan dua lengan kokohnya demi mengukung tubuh ramping Rose yang sedari tadi bergerak ke sana kemari seolah tiada penat.

Tawa dua insani itu menggaduh ria. Bahkan sampai pada telinga sosok pria yang baru saja keluar dari sebuah mobil.

Kim Mingyu memandang mereka di ujung sana yang seakan memiliki dunia pribadi dengan sorot nanar bercampur iri. Tangannya menggenggam benda di tangan begitu erat, sebuah ponsel dengan layar menyala menampikan ruang obrolan aplikasi perpesanan.

Satu pemikiran menabrak benak Mingyu, ternyata ini alasan mengapa Jeffrey tak kunjung mengangkat panggilan maupun pesan yang ia kirim beberapa waktu lalu sebelum datang kemari.

Maka, sebab tak sudi berlama-lama melihat kemesraan dua manusia yang tak semestinya bersama, Mingyu kembali menfungsikan ponselnya. Ia berharap kali ini Jeffrey sadar dan segera menerima.

Benar saja. Getar ponsel di saku mantel menghentikan gema tawa keduanya, pun lengan Jeffrey tak lagi erat mengurung tubuh Rose, bahkan perlahan mengendur dan terlepas seiring fokus Jeffrey beralih pada ponsel dalam genggaman.

Berikut, sosok pria yang berdiri di ujung sana menjadi labuhan pandangan Jeffrey cukup lama. Panggilan terputus, beberapa pesan masuk kini nampak di layar.

Bersiaplah! Aku sedang dalam perjalanan menjemput barang-barang kalian.

Kau sedang apa di sana? Cepat bawa Rose masuk, dia bisa sakit kalau berlama-lama di luar!

Pesan pertama terkirim sejak tiga puluh menit lalu. Dan, Jeffrey tak sempat membalas. Bukannya ia tak tahu kalau hari ini mereka harus pulang, Jeffrey hanya tak mengira bahwa Mingyu akan datang sepagi itu di saat ia tengah berusaha memenuhi keinginan Rose sebagaimana yang telinganya dengar semalam: membuat boneka salju—lagi.

Pesan yang kedua, baru saja terkirim beberapa detik lalu. Tak juga Jeffrey balas. Ia hanya segera mengantongi ponselnya kembali, lalu menggulirkan atensi pada Rose untuk kemudian berucap lembut,

"Sepertinya kita harus pulang."

Meski kekecewaan nampak di wajah perempuan itu, Rose tetap menggapai lengan Jeffrey dan menggenggamnya erat seiring langkah mereka berderap selaras.

***

"Hati-hati di jalan!"

Usai menutup pintu bagasi yang telah terisi oleh dua buah koper milik Rose dan Jeffrey, kini Minggyu beralih memandang sosok perempuan anggun bergaun lavender ditimpa mantel putih bersih.

Tiga orang manusia itu berdiri di pelataran bangunan resort.

Cukup lama Mingyu terdiam tanpa menanggapi ucapan Rose barusan sebab akalnya terlampau sulit berfungsi saat melihat dua tangan manusia yang kini saling bertaut. Sebagaimana beberapa waktu silam saat melihat Rose dengan ringan menggandeng lengan Jeffrey, bahkan tanpa segan menyajikan senyuman yang sempat menghilangkan beberapa bulan belakangan, Mingyu hanya akan berakhir dipeluk pilu.

Jika saja Mingyu adalah makhluk paling egois sedunia, Ia akan berteriak pada Rose saat ini juga bahwa pria di sebelahnya sekarang hanyalah orang asing, dan bukan Jung Jaehyun, sang suami yang begitu perempuan itu cintai.

Sayang, Mingyu masih memiliki nalar yang befungsi sebagaimana mestinya.

Dua sudut bibir Mingyu lantas terangkat. Bersama satu senyuman hangat ia menepis jarak antara dirinya dan Rose. Berniat memberikan usapan di kepala perempuan itu, tetapi kini bukan hanya rasanya saja yang tak bersambut melainkan juga sentuhannya.

Rose secara terang-terangan meniti selangkah mundur, menghindari sentuhan tangan Mingyu. Bukan apa-apa, ia hanya teringat pesan Jeffrey tempo hari. Tentang ia yang disarankan untuk tidak membiarkan pria manapun menyentuhnya, termasuk juga Mingyu.

Dipukul kecewa, Mingyu menggulirkan tatap bertabur sedikit murka pada Jeffrey. Entah apa sebenarnya yang telah Jeffrey perbuat, sampai Rose menjadi sedemikian berbeda dari saat terakhir Mingyu menemuinya.

"Kereta kalian akan tiba satu jam lagi. Bergegaslah sebelum terlambat!"

Usai memperingatkan dan mendapat jawaban padat dari Jeffrey, "Jangan khawatir!" Mingyu menyempatkan diri untuk menoreh seulas senyum untuk Rose sebelum akhirnya menenggelamkan diri ke dalam Maserati Quatroporte yang kemudian melaju perlahan, rodanya menggilas aspal berselimut es hingga corak ban meninggalkan bekas berkepanjangan.

Sementara dua insani yang ditinggalkan kini berjalan bebarengan, hendak menuju stasiun kereta bawah tanah terdekat yang mungkin akan tergapai dalam waktu kurang dari setengah jam jika mereka melangkah sedikit lebih cepat dari biasa.

Namun, siapa sangka, ayunan tungkak Jeffrey justru melamban tatkala Rose dengan tiba-tiba menenggelamkan dua tangan mereka yang bertaut ke dalam saku mantel perempuan itu. Jeffrey menoleh dengan sepasang alis bertaut. Ia sedikit bingung, banyak tertegun sebab ini merupakan kali pertama seseorang memperlakukannya demikian.

Dan, seakan berhasil menangkap tanda tanya yang tergambar besar di kepala Jeffrey, Rose tersenyum lebar lalu bertutur ringan, "Dingin. Kau tidak dingin?"

Mendengar pertanyaan Rose, diam menjadi pilihan Jeffrey sebelum melepaskan tangannya dari genggaman jemari Rose pun mengeluarkannya dari saku mantel perempuan itu. Cukup membuat Rose sedikit terkaget sekaligus kecewa.

Namun, Rose tak bisa berkata-kata lagi begitu Jeffrey kembali mengukung jemarinya—kali ini lebih erat ketimbang sebelumnya—yang lantas Jeffrey tenggelamkan dibalik saku mantel pria itu. Kehangatan menjalar, bersumber dari kesepuluh jemari yang bertaut lantas merayapi keseluruhan organ dalam tubuh kedua insani, terutama hati.

Saat melewati kedai ramyun yang disinggahi banyak pelanggan, langkah Jeffrey bukan hanya terayun pelan melainkan terhenti sebab Rose juga melakukan hal yang serupa lebih dulu.

Perempuan itu menatap dua remaja yang duduk di dekat jendela kedai, tengah menyantap ramyun di mangkuk masing-masing sebegitu lahap. Memang, saat udara sedang dingin-dinginnya, ramyun menjadi lebih sedap disantap berkali-kali lipat.

"Mau makan itu juga?"

Suara Jeffrey menyeret atensi Rose segera agar bergeser padanya. Ada gurat tak paham yang tertampil sebelum sosoknya mengucap, "Mau. Tapi, bukankah kereta kita akan segera tiba?"

"Aku akan minta agar dibungkus saja." Masih sama halnya beberapa sekon yang lalu, Rose tak nampak antusias dengan tawaran Jeffrey.

"Antriannya cukup panjang. Dan, lagipula ramyun paling enak dimakan di tempat." Perempuan itu lantas melambaikan tangannya lemah. "Sudahlah. Lupakan saja! Kita harus cepat sam- ...."

Tanpa menunggu Rosé selesai bicara, Jeffrey menarik langkah mereka masuk ke dalam kedai tanpa menghiraukan dua mata Rose yang melebar dan mulut perempuan itu yang nyaris mencegah meski pada akhirnya pasrah.

Tempat itu hanya menyisakan satu meja posisi paling sudut. Kursinya sedikit berdebu, Jeffrey membersihkan itu dengan tangan kosong. Membantu Rose melepaskan mantel, ia berucap, "Duduk dulu!"

Rose lantas patuh. Ia duduk seraya bola matanya terus jatuh pada Jeffrey yang baru saja menyingkirkan topi dari menutupi kepala, pula menanggalkan mantel hingga menyisakan sweater coklat tua press-body yang seakan memperlihatkan lekuk proporsional tubuh pria itu.

Seketika telinga Rose disuguhi bisikan kekaguman anak-anak muda saat Jeffrey berjalan di dekat mereka, hendak memesan pada wanita setengah abad yang nampak ramah menyambutnya.

"Astaga, bukankah dia sempurna?"

"Dia benar-benar tipeku. Tampan dan manis."

"Tapi siapa wanita itu? Pacarnya? Atau istrinya?"

"Tidak usah perdulikan itu. Bukankah menggaet laki-laki beristri sekarang sedang menjadi tren?"

Dan, Rose akui dirinya tak suka.

Pelajar jaman sekarang, cara bicaranya sangat-sangat tidak sopan. Menyadari tempatnya berada saat ini, Rose menahan diri dari menyumpal mulut gadis-gadis itu. Satu atau dua peringatan agaknya percuma, hanya bikin malu saja. Alhasil, Rose hanya diam di kursinya. Hingga Jeffrey kemudian kembali dengan nampan berisi sajian yang mereka pesan.

"Ayo makan!"

Pria itu berujar, sepasang sumpit telah ada dalam apitan jemarinya, tengah ia gunakan untuk mengaduk ramyun di mangkuk. Namun, melihat Rose yang hanya memandanginya, Jeffrey menunda suapan pertama.

"Ada apa?"

Gelengan pelan Rose berikan pada Jeffrey. Bisikan masih terus mengaum tanpa berkesudahan, Rose yakin Jeffrey mendengarnya tapi pria itu tertampil begitu biasa. Tak nampak ketidaknyamanan barangkali sedikit saja. Menghela napas pelan, Rose pada akhirnya beranjak dari kursi usai menyambar topi milik Jeffrey. Dipakaikannya benda itu kembali agar menutupi kepala Jeffrey dan setengah wajah pria itu.

Jeffrey mendongak, memandang Rose bersama gurat kebingungan. "Kau terlalu mencolok. Seperti aktor. Mereka tidak berhenti membicarakanmu sedari tadi."

"Benarkah?"

Jeffrey tak terlalu memperhatikan sekitar. Apa yang ia dengar hanya sepintas lalu, ia tak menyadari bahwa dirinya lah yang menjadi bahan obrolan orang-orang di sekitar sampai Rose berkata begitu.

Kini Rose telah kembali duduk di hadapan Jeffrey tanpa menjawab pertanyaan yang tadi sempat Jeffrey berikan. Merasakan kejanggalan ekspresi yang Rose tampilkan, Jeffrey meraih tangan perempuan itu lalu meletakan sepasang sumpit di sana seraya berucap lembut, "Jangan terlalu menghiraukan mereka. Makanlah dengan tenang sebelum makanannya dingin!"

Senyuman tipis terlukis dari bibir Rose kemudian, menyeret Jeffrey agar tersenyum pula. Kini mereka tenggelam bersama aktivitas menyantap hidangan di atas meja yang membatasi posisi duduk keduanya.

"Ngomong-ngomong, bagaimana jika kita ketinggalan kereta?" Sampai suatu ketika Rose mengajukan satu pertanyaan. Jeffrey menunda tegukan pada teh hangat di gelasnya demi menjawab, "Bukankah masih ada kereta lain? Itu bukan satu-satunya kereta menuju Seoul, 'kan?"

Belajar dari pengalaman yang didapat tempo hari kala Rose membeli tiket kereta lain, Jeffrey menyimpulkan hal serupa bisa menjadi pilihan bagi mereka saat ini. Rose sekali lagi tersenyum, "Entahlah. Bagaimana jadinya kalau tidak ada?"

Kali ini Jeffrey mesti mengambil jeda cukup lama untuk memikirkan jawaban. Sementara Rose di sana memangku dagu dengan satu tangan menanti jawab Jeffrey dengan tenang. Tak kunjung terdengar suara, maka Rose kembali mengajukan satu penawaran, "Haruskah kita menginap semalam lagi di sini?"

Jeffrey sama sekali tak menampilkan ekspresi resah, meski dalam dada pria itu bertandang gemuruh kala kepalanya tanpa sengaja menyeret ingatan semalam. Hampir saja, Jeffrey melampau batas. Sentuhan wanita itu, begitu menghanyutkan. Jeffrey tak bisa memastikan dirinya tak tenggelam jika momen serupa kembali terulang.

"Tapi ... bukankah dia terlihat familiar?"

"Ah, bukankah dia pengusaha muda yang sukses itu? Jung Jaehyun? Pimpinan JR Cosmetics & Parfume?"

Hening terisi kembali oleh suara-suara manusia di sekitar mereka, yang mana kali ini kembali mengusik ketenangan Rose.

"Ah, benar. Tapi, bukankah dia dikabarkan meninggal karena kecelakaan di Italia? Kudengar mobilnya tenggelam di dasar danau, tubuhnya ditemukan dalam keadaan mengenaskan."

"Astaga? Lalu apa yang kulihat sekarang ini adalah hantu? Roh? Jelmaan? Atau jangan-jangan dia hidup lagi?"

"Mustahil sekali dia selamat dari kecelakaan itu. Jelas-jelas mobilnya saja hancur. Apa dia memiliki tujuh nyawa?"

"Tapi dia yang di sana benar-benar mirip Pimpinan Jung. Ini gila!"

Tak ada lagi senyuman yang singgah di wajah, muram adalah satu-satunya emosi yang Rose tampilkan usai telinganya disuguhi kalimat-kalimat yang sedemikian banyak dan berpotensi melukai hati.

Jeffrey pun kali ini tak bisa menganggapnya angin lalu. Ia mengambil beberapa jumput ramyun dengan sumpitnya, lalu meniup pelan guna menyingkirkan kepulan asap sebelum ia sodorkan ke depan mulut Rose. "Makanlah!"

Sama sekali tak berkutik, Rose bak patung manekin sehabis terenggut jiwanya. Tak ada pijar di mata, yang ada hanya kekosongan belaka. Dan, alih-alih menerima suapan Jeffrey, perempuan itu justru merapal pelan, "Mengapa kita harus datang kemari?"

Jeffrey mengerutkan dahi tak mengerti. "Seharusnya Alice Eonnie tak mengirim kita kemari. Kita bahkan tak separah itu sakitnya. Memang lebih baik ada di rumah saja. Sekarang orang-orang akan bergosip tentangmu."

Mendengar runtaian kalimat yang terucap dari mulut Rose, pada akhirnya Jeffrey menyingkirkan tangan yang sedari tadi mengudara. Ia tak tahu harus bagaimana menyikapi Rose yang kini seakan menjelma manusia paling rapuh sedunia.

"Kita baik-baik saja, bukan?" lirih Rose bersama dua manik yang beranjak padam. "Kau baik-baik saja, begitupun aku. Aku tidak sakit lagi, sungguh. Aku benar-benar telah ...."

sembuh.

Satu kata terakhir yang hendak Rose ujarkan hanya mampu tertahan di tenggorakan sebelum akhirnya kembali tertelan saat sakit lebih dulu datang. Begitu hebat pening yang menerkam kepala perempuan itu sehingga ringisan perih tak elak meluncur dari bibirnya yang kini bergetar.

Dalam duduknya, Jeffrey disergap cemas. "Rose?" Ia memanggil pelan. Kian tak terkondisikan raut Jeffrey tatkala mendengar Rose terus merintih seraya memegangi kepalanya. Maka, tanpa pikir panjang, Jeffrey mendorong kursi dengan kasar hingga timbul decitan keras. Segera ia menghampiri Rose, merendahkan tubuhnya dan meraih dua sisi lengan perempuan itu.

"Kau baik-baik saja?" Jeffrey bertanya. Sebab Rose menyembunyikan wajah di balik dua lengan dan juntaian rambut yang sesekali dijambaknya keras, Jeffrey tak bisa melihat sekacau apa perempuan itu sekarang.

"Kau sakit? Di mana? Di mana yang sakit?" Berusaha menyingkirkan lengan Rose pun berakhir percuma, sosoknya seakan enggan menunjukan rupa pada Jeffrey. Tak ada pula jawaban yang keluar dari mulut Rose, membuat Jeffrey kian tertimbun kegelisahan.

"Kau tidak baik-baik saja. Ayo kita pergi ke rumah sakit!" Ia menyimpulkan. Akalnya berupaya memikirkan penanganan terbaik yang bisa disegerakan, tetapi Rose bersikukuh menyingkirkan tangan Jeffrey dari menyentuh seraya bicara susah payah. "T-tidak mau. Aku ... aku baik-baik saja."

"Rose!" Jeffrey berucap nyaris putus asa.

"Tidak mau." Dan, Rose di sana masih teguh pada egonya.

"KAU TIDAK BAIK-BAIK SAJA!!!"

Maka, Jeffrey tak lagi memiliki alang-alang yang cukup untuk meredam bentak. Bukannya marah. Jeffrey hanya dipeluk kekhawatiran yang begitu erat. Napas pria itu memburu, di saat bersamaan juga tercekat.

"Kau sakit. Berhenti menjadi keras kepala! Kumohon!"

Atau Jeffrey akan berada dalam bahaya sebab tak becus menjaga perempuan itu. Maka, usai bertutur demikian, Jeffrey melambungkan tinggi harapan agar Rose menurutinya. Tak ada tanggapan. Justru bahu perempuan itu kini terguncang hebat bersama tangis.

Mencoba menyingkirkan kecambuk dalam jiwa, Jeffrey berakhir mengiba. Ia tak tahu harus apa selain mendekap Rose yang kini menenggelamkan wajah di balik perut datarnya. "Ayo kita ke rumah sakit!" Dan, sekali lagi Jeffrey menyuarakan titah yang sama.

Menunduk, Jeffrey mendapati gelengan pelan dari Rose. Perempuan itu menggenggam ujung sweater Jeffrey erat. Tawa miris terumbar dari mulut Jeffrey menyadari Rose yang masih saja keras kepala. "Rose!"

"Jangan!" Suara parau Rose menyambangi pendengaran Jeffrey.

Sekali lagi, sosoknya berucap lirih, "Jangan pergi ke mana-mana!" Kali ini bersama dua lengan yang melingkari pinggang Jeffrey.

"Kamu sakit." Jeffrey menegaskan, untuk yang kesekian kali. Dan, ia resmi menyerah tepat setelah Rose menjawab.

"Tidak apa aku sakit, asalkan kamu bersamaku. Aku baik-baik saja."

Nyatanya, Rose bukan hanya setengah gila, tetapi benar-benar gila. Iya. Perempuan itu tergila-gila oleh karena cinta. Oleh karena Jaehyun yang sialnya serupa-sepawakan dengan Jeffrey.

Kini, tiadalah yang bisa Jeffrey perbuat selain mengeratkan dekapan terhadap perempuan itu. Menghiraukan orang-orang sekitar yang mengharu biru seakan tengah menonton film romansa berdarah, yang kemungkinan besarnya berakhir pedih.

Entahlah. Barangkali semesta sudi menyajikan akhir yang bahagia pada dua tokoh utama.

[]



[SILHOUTTE: After A Minute]

***

***

sampai di sini, apakah kalian masih antusias menunggu Silhoutte

harapannya selalu antusias sampai akhir ya wkwk entah bagaimana nanti akhirnya. 

Oh iya, kemarin siapa yang minta dibuatin playlist nih?

dengan bangga saya persembahkan, playlist yang bisa kalian nikmati selama membaca Silhoutte sekarang sudah tersedia di Spotify dengan judul SILHOUTTE by LINASWORLD. Akan selalu di-update mengikuti chapter di book ini. Untuk akses bisa klik link di bio.

selamat berkunjung dan terima kasih :)

***

Continue Reading

You'll Also Like

4K 500 13
capek capek kasianin dia ternyata lebih kasian lagi gue - [name]
313K 8.1K 62
SAHABAT RASA PACAR Kadang persahabatan itu bisa dibumbui dengan rasa pacar. Itu hanya berlaku buat yang persahabatan nya antara cewek dan cowok...
103K 6K 22
This is about TaeTzu story• Aku harap kalian suka. Yes, ini genre dewasa. Ada smut dan kekerasannya. But, FYI guys. This story is not my created by...
16.1K 2K 24
Nama ku Bianca, seorang yatim piatu yang memiliki kakak kembar bernama Brian. Hidup kami berubah ketika bertemu dengan Potter Bersaudara. Dan pertemu...