ALDRICH

By shintasandani

137K 10.8K 2.7K

Aldrich Bagaskara. Julukannya penguasa jalanan, ketua geng motor terkenal di Jakarta. Si tampan bak dewa yang... More

VISUAL TOKOH
1 - Raja Jalanan
2 - New School
3 - Tatapan ketua Wynzelle
4 - Salah Sasaran?
5 - Hampir Jatuh
6 - Markas
7 - Duh Ketauan
8 - Heboh
9 - Saturday Night
10 - Aldrich vs Nindys
11 - Konsekuensi
12 - Serangan Ravens
13 - First Request
14 - Arsen Bertingkah
15 - Dinner
16 - Bagaskara Big Family
17 - TPU
18 - Cemburu
19 - Balas Dendam
20 - Mall
21 - Baper
22 - Sesi Curhat
23 - Insiden Pagi Hari
24 - Galium (Ga)
25 - Class Meeting
27 - Amarah & Pernyataan
28 - Tidak A6!
29 - ILY
30 - Yakali Gak Resmi
31 - 💖

26 - Loser

2.4K 249 271
By shintasandani

Seperti biasa sebelum baca vote dulu yeah. Jangan lupa share cerita ini ke temen kalian okee! <3

SEMOGA SUKA, AAMIIN. DAN SELAMAT MEMBACA PREN

“Perempuan itu makhluk paling manipulatif. Dia bisa bilang sayang banget sama seseorang padahal aslinya nggak ada rasa sama sekali,”

•••

"ALDRICH SAYANG SEGERA TURUN NAK. MAKAN MALAM YUK SI KEMBAR UDAH NUNGGU KAMU NIH,"

Aldrich menyahut dari lantai atas, tepatnya kamarnya berada. "Iya Mi sebentar,"

"Ih Aunty, dari tadi Abang jawabnya sebentar terus tapi nggak turun-turun. Lagi ngapain sih?" Alina menekuk mukanya menjadi cemberut, tidak lupa bibirnya maju ke depan nampak sangat menggemaskan.

"Aunty nggak tau. Biasanya dia langsung turun kalau sudah di panggil." Dara menyeletuk.

"Lina laper banget," dia merunduk menatap perutnya iba. "Cacing di perut aku pada demo."

Krukkk

"Nah kan bunyi,"

Alana memutar mata karena sikap Alina yang dramatis. Tapi kasihan juga dia. "Biar Lana susul Abang."

Beranjak berencana menaiki tangga Aldrich keburu muncul dengan langkah terburu-buru. Ia tersenyum melihat tiga pasang mata kompak tertuju padanya.

"Kenapa pada gitu ngelihatnya?"

"Lama. Adik kesayangan Abang nyerocos mulu kelaperan tuh," Alana melirikan mata pada Alina yang tetap setia cemberut.

Cowok itu terkekeh. Mendaratkan kecupan di puncak kepala Alana lalu bertukar pada Alina dan melakukan hal serupa sambil berbisik. "Sorry,"

Untuk beberapa hari ke depan si kembar memang menginap di rumahnya. Karena orangtua mereka ada perjalanan bisnis ke luar kota, biasanya dia di titipkan ke Oma tapi wanita paruh baya tersebut juga ikut pergi.

Dara tentu menerima dengan senang hati. Suasana rumah bertambah ramai dan ia tidak kesepian mengingat Aldrich sering pulang larut.

"Okey. Tapi kenapa Abang lama?" gadis itu menuntut tanya, matanya menyipit kepo memandang Aldrich. "Abis teleponan sama Kak Nindys ya?" tukas Alina.

"Nggak." Aldrich tergelak oleh tawa. Dalam hati menyambung, "Nggak salah lagi maksudnya."

Sejak kejadian di ruang olahraga hubungan mereka makin lengket sesuai niat awal Arsen. Ya meskipun belum ada status jelas namun Aldrich dan Nindys nyaman seperti ini. Bahkan terkadang panggilannya berubah jadi aku-kamu.

"Udah makan dulu. Setelah itu terserah kalian mau apa," lerai Dara mulai menyendoki nasi pada anak-anaknya.

"Selamat makan semua!" Alina memekik riang kemudian makan sangat lahap seakan kalau tidak cepat-cepat akan ada yang merebut jatahnya.

"Pelan-pelan Lina. Kamu kayak gak pernah di kasih makan aja!" ucap Alana pedas.

"Biarin." tanpa mengindahkan saudara kembarnya ia melanjutkan kegiatan.

Usai semuanya Dara dibantu asisten rumah membereskan piring-piring yang kotor sekaligus membawanya ke dapur. Kini sisa Aldrich dan si kembar di sana. Cowok itu mengernyit merasakan perubahan pada raut Alina. Wajahnya tiba-tiba murung.

"Alina," sebut Aldrich lembut.

"Alina mengantuk. Aku ke kamar duluan dan tolong bilang Aunty kalo nanyain. Selamat malam." dia menutup mulutnya yang menguap lebar seraya bangkit dari kursi.

Tatapan Aldrich sontak berpindah pada Alana. "Kalian nggak lagi marahan, kan?"

"Enggak."

"Terus Adik kamu kenapa kelihatan sedih?"

"Sebenernya ..." Alana menggantungkan ucapan antara ragu dan takut Aldrich marah kalau mengetahui kebenarannya. "Aku terlanjur janji sama Lina buat nggak kasih tau orang lain."

"Termasuk Abang?" Aldrich mengangkat alis memasang ekspresi kecewa yang dibuat-buat.

"Jadi kalian anggap Abang orang lain? Padahal Alana dan Alina udah seperti Adik kandung Abang sendiri,"

"Maksud Lana bukan gitu," menghela napas Alana meneruskan. "Fine aku bakal kasih tau. Tapi Abang harus jamin Alina jangan sampe marah sama aku,"

"Iya, Alana."

"Tadi di sekolah dia nangis."

"Kenapa? Ada yang ganggu kalian? Atau ada yang jahatin? Jujur coba sama Abang," pinta Aldrich tegas. Jika tebakannya benar orang tersebut harus menanggung akibatnya.

Reaksi Alana justru menggeleng cepat. Jarinya menggaruk tengkuk, jujur aslinya ia kurang paham. "Eum Alina tuh lagi potek."

"Hah?"

"Ck. Patah hati, Abang!"

"Alana dan Alina masih terlalu kecil. Belum waktunya cinta-cintaan." Aldrich mengusap wajah gusar.

"Coba Abang ngomong langsung ke Alina. Pasti dia ngejawab kan cinta datang tiba-tiba jadi bukan salah Alina dong," gadis itu menirukan suara Adiknya.

Membuang napas berat Aldrich pusing sendiri memikirkan hal itu. Pasalnya persoalan cinta saja dia belum begitu mahir. Bahkan dengan perasaannya sendiri pun masih bimbang. "Ya udah kamu susul dia masuk kamar. Udah malem."

"Okey. Selamat tidur, Abang."

•••

Esoknya menjelang siang, Gilang geleng-geleng memandang Arsen yang tengah memejamkan mata di bale sambil mendengkur keras. "Cita-cita pengen banyak duit. Kerjaan tidur mulu. Lawak lo broo!"

"Bangunin gih, Ting. Berisik bener pake ngorok segala." ujar Nathan.

"Mana bangun dia kalo cuma di teriakin." lalu pandangannya jatuh pada segelas air mineral di atas meja.

"Gue paham isi otak lo," Nathan manggut-manggut setelah Gilang menatapnya seakan meminta pendapat tentang rencananya.

Lantas Gilang menyambar gelas berisi air tersebut, menyelupkan tangan ke sana. Lalu menyiprati pada wajah damai Arsen. Cowok itu mengernyit dalam tidurnya mungkin mulai terusik. Namun tak kunjung melek.

Habis kesabaran cowok berambut keriting itu mengayunkan tangan hingga seluruh air tumpah mengguyur Arsen. Sontak dia terduduk tegap dengan mulut megap-megap.

"ANJING UJAN! JEMURAN MAK GUE BELOM DI ANGKATIN!" Arsen teriak gaduh.

Gilang terbahak. "Melek makanya buset,"

"Ah setan lo, Ting! Gak bisa apa sehari aja gak usah gangguin gue? Gue tuh semalem begadang dan sekarang pengen tidur dengan tenang."

"Jangan dulu dong, Sen. Gue nggak siap lo tinggalin," jawab Gilang salah tanggap membuat Arsen tambah emosi.

"Katanya sekolah tapi otaknya mana? Tolong dirubah pola pikirnya," cibir Arsen menyindir temannya lewat nyanyian.

"Anjeng lo!"

Arsen gantian terkekeh. Dia mengingat sesuatu. "Woy udah pada absen? Diem-diem bae. Hampir aja gue lupa."

"Lah kita-kita sih udah barusan minta tolong nitip ke Panji. Kalo lo mana tau. Siapa suruh molor," Gilang membalas santai tanpa melihat ekspresi Arsen.

"DIH ORANG MAH BANGUNIN ATO ENGGAK TITIPIN ABSEN GUE. YA ALLAH PUNYA TEMEN PADA GAK PEKAAN BANGET!" cowok itu meratapi nasibnya.

"AL!" Arsen bangkit mencari keberadaan sang ketua bermaksud mengadukan kelakukan mereka. "MASA GUE DI LUPAIN. PARAH NOH TEMEN-TEMEN LO,"

"Berisik, Sen." kegiatan mendengar musik Dimas terganggu suara melengking milik Arsen. "Al lagi ngobrol sama Babeh. Sana ah," usirnya.

Raut cowok itu berubah berkali lipat tambah cemberut. "Emang kayaknya kehadiran gue nggak di harapin."

Ia berjalan lesu menuju Aldrich dan Babeh nampak berbicang hal serius. Aldrich menggulirkan tatap, dahinya mengkerut heran. "Lemes bener. Tipes lo?"

"Kit ati. Cuma gue doang yang gak dititipin absen." adu Arsen merajuk.

Babeh menjawab. "Perasaan udah tong ama si Panjul,"

"Serius, Beh?" Arsen merubah posisinya menghadap orangtua itu sekaligus Aldrich. "Al, seriusan udah absen gue?"

"Iyaaa."

"ASIK EMANG LO DOANG DEH YANG GAK GENGSI DAN TERNYATA PEDULI SAMA GUE," Arsen memuji sekaligus nyindir secara halus.

Di luar secara reflek Nathan bertanya pada Gilang. "Nyesel gak sih bangunin dia?" dan direspon anggukan mantap cowok itu.

"Tidur berisik. Dibangunin malah makin berisik. Gini amat congor temen." sahut Gilang membuang napas kasar. "Kira-kira ada yang minat adopsi dia gak ya?"

"Tinggal buang ke panti ajalah, Ting."

"Panti apaan jir yang mau nerima tuh bocah?"

"Panti jompo."

Tawa Gilang meledak karena penuturan Nathan. Ujarnya. "Ahay Kakek Arsen,"

"EKHEM KUPING PANAS EUY. AGAKNYA ADA YANG GIBAHIN GUE NICH!"

•••

Di koridor, Nindys berjalan dampingan dengan Kayla dan Jeje. Hari ini tubuhnya terasa lemas sekali. Kebiasaannya datang bulan hari pertama. Untung tidak ada KBM, hanya absen saja makanya jam pulang lebih awal.

"Serius lo mau tetep ngendarain motor?" Kayla mengajukan tanya melihat muka Nindys pucat. Ketara dirinya sangat cemas.

"Iya, Kayla. Gue cuma lemes dikit. Dan mana mungkin motor gue di tinggalin gitu aja."

"Kalo nggak lo langsung pulang. Tunda dulu deh ketemu temennya. Bilang lo lagi kurang enak badan," saran Jeje sama cemasnya kayak Kayla.

"Gue terlanjur janji Je, nggak enak. Lagian udah ganti baju rapi gini masa di batalin?" jelas Nindys memberi pengertian. Sengaja dia bawa pakaian ganti, niatnya ingin mampir ke bengkel tempat Tara bekerja. Tanpa sepengetahuan Chrys tentunya.

"Terserah sih. Yang penting harus hati-hati pokoknya. Jangan kebut-kebutan lo." pesan Kayla serius.

"Siap. Lo sama Jeje juga take care. Byeee!" Nindys melambaikan tangan lalu menuju area parkir untuk menemui si merah. Dibalas lambaikan tangan serta kecupan jauh temannya.

Ponsel milik Nindys berdering. Jarinya spontan menggeser icon berwarna hijau saat Tara menelepon. "Iya ini mau otw,"

"Oke ditunggu. Bae-bae di jalan manisku."

"Hm." setelahnya Nindys mematikan sambungan. Sebelum menghidupkan motor tidak lupa membalut tubuh menggunakan leather black, jaket andalannya.

Sepanjang perjalanan Nindys meningkatkan laju. Ketika di perempatan refleks ngerem mendadak hampir menabrak salah satu dari tiga motor yang melintas sembarangan. Dibalik helm Nindys membelalak lebar. Itu Darka dan antek-anteknya.

Damn it!

Buru-buru ia menarik gas meninggalkan mereka. Matanya melirik was-was ke spion takut mereka mengejarnya. Double shit dugaannya benar. Darka pasti mengenalinya dan tidak bakal membiarkan Nindys lepas begitu saja.

Nekat, Nindys ngambil jalan asing yang terlihat sepi biar tidak menganggu pengendara lain karena dirinya mengendarai dengan ugal-ugalan. Pikirannya cuma satu, cara lepas dari kejaran Darka. Ditambah sakit di perutnya kembali menyerang tanpa beban.

Laju Nindys memelan. Oke, dirinya ingin menangis sekarang. Emosi dan mood-nya berantakan. Bagaimana tidak? Di depan sana jalan buntu. Tatapannya kosong ke depan, kesialan yang sangat komplit. Mau tidak mau mesti turun dan menghadapi cowok yang merupakan masa lalunya itu.

"Hai, mantan. Long time no see," Darka menyapa disertai sebuah senyum penuh makna. Entah apa maksud senyuman tersebut.

"Cie gak bisa ngehindar ya? Oh atau lo sengaja milih jalan buntu biar gue gampang nemuin lo?"

"Kangen kali dia sama lo Bos hahhaha!"

Melihat Nindys hanya bungkam alhasil Darka bersuara lagi. "Ah benar begitu? Do you miss me?"

"Dalam mimpi lo!" Nindys akhirnya menyetus. Manik matanya menajam memandang ke empat cowok itu sedang tertawa seolah ucapannya barusan sebuah lelucon.

"Andai lo nggak jual mahal jadi perempuan. Mungkin lo dan gue masih bersama. Dan hubungan kita baik-baik aja." harap Darka kepedean tingkat tinggi.

"Cih, gak sudi." desis Nindys menekankan setiap kata pada kalimat itu.

Tawa kecil Darka pun meluncur. "Awalnya sih keinginan gue gitu. Eh sekarang terlanjur benci lo. Aneh ya, biasanya orang-orang benci jadi cinta, tapi gue terbalik malah cinta jadi benci."

Untuk kesekian kalinya Nindys bungkam. Segan menanggapi orang gila sialan macam Darka. Mengangkat alis menunggu perkataan cowok itu selanjutnya.

"Tau kenapa gue bisa benci banget sama lo? Pertama, saat kita pacaran dulu lo lebih mentingin cowok yang berstatus sebagai sahabat daripada gue. Apa-apa Billy, dikit-dikit Billy. Ya elah gue muak!"

"Karena dia lebih paham caranya menghargai perempuan. Nggak kayak lo, kasar!" Nindys mengintrupsi cepat.

"Kedua, lo nampar gue di depan anak Ravens," dia memasang mimik seolah makhluk paling terzolimi di bumi. Bergerak maju hingga jarak mereka dekat. Tangannya mencengkeram dagu Nindys.

"Lo nginjek-nginjek harga diri gue, bangsat!" lanjut Darka menyentak.

Menepis kasar tangan Darka dari dagunya. Sudut bibir Nindys tertarik menampilkan senyum remeh. "Bukannya lo gak punya harga diri?"

Plak

Rasa panas langsung menjalar pada pipi kiri gadis itu. Bekas jeplakan telapak Darka tertera di sana. Sialan. Selama hidup, baru kali ini ada yang berani main tangan dengan Nindys. Jelas-jelas orang tuanya sekali pun tidak pernah berlaku demikian.

"Bibir lo yang cantik itu nggak pantes ngomong kasar, Nindys Arnetha."

"Padahal gue nanya loh, kok marah? Tandanya omongan gue bener dong," kekehan Nindys terdengar menjengkelkan. Makin gencar menyulut emosi Darka. Tanpa peduli rasa sakit yang dialaminya.

Skakmat. Darka menggeram, mendelikkan mata dan mengepalkan tangan seakan menaruh dendam besar. Mengisyaratkan ketiga anak buahnya untuk mengunci pergerakan Nindys.

"Berani sentuh gue, gue pastiin kalian nyesel!" Nindys memberi ultimatum ketika Ojan dan Vigo mendekat ingin memegang kedua tangannya.

"HAHAHHAHAHA," tawa kedua cowok tersebut justru menggelegar.

"Nyesel gimana? Jangan berharap superhero lo bakal datang. Billy udah nggak ada, Dys. UDAH MATI!" sentak Darka pada kalimat terakhir.

"Tutup mulut lo, brengsek!"

BUGH!

"Almarhum pasti bangga lihat lo," Darka mengelap ujung bibirnya yang mengeluarkan darah. "Pukulan lumayan kenceng juga ternyata,"

Nindys geleng-geleng kepala lalu terkekeh lucu. "Allan, seharusnya lo mikir. Lo tuh cowok ter-nggak tau diri yang pernah hadir dalam hidup gue. Dan dulu emang gue nerima lo karena apa? Karena kasihan Lan. Lo terus cari perhatian dari gue."

"Perempuan itu makhluk paling manipulatif. Dia bisa bilang sayang banget sama seseorang padahal aslinya nggak ada rasa sama sekali."

Kepalan Darka menguat. Tidak mampu menyangkal sebab pernyataan tersebut memang fakta. Dulu dirinya terlalu tergila-gila pada Nindys. Lebih memalukannya lagi sampai mengemis cinta.

"Gue jamin hidup lo gak tenang setelah ini!"

"BALES TUH CEWEK KURANG AJAR!" titah ketua Ravens tidak terbantahkan.

Karena emosinya ikut terpancing Nindys meladeni. Meski dia yakin hasilnya akan tidak maksimal mengingat tubuhnya dalam kondisi kurang fit. Sementara Darka menikmati aksi berkelahi sambil bersedekap dada.

Dengan gesit Nindys menghindar atau sekedar menangkis segala serangan yang ia dapatkan. Tidak mungkin langsung membalas karena percuma, yang ada nanti energinya terkuras habis. Maka, ia akan membuat lawan kelelahan terlebih dulu, baru setelah itu Nindys balas melakukan penyerangan.

Gadis itu mendengkus saat satu pukulan Vigo menghantam tulang pipinya. Tinggal sisa cowok itu, Ojan dan Ethan sudah terjerembab ke aspal terkena tendangan Nindys. Beralih menangkap kepalan Vigo yang berniat kembali meninjunya dan Nindys pelintir hingga dia mengerang kesakitan.

"Bodoh! Lawan satu cewek aja pada gak becus!" Darka bergumam pelan. Lalu bergegas ke sana.

DUGH!

Mendadak tubuh gadis itu terhuyung merasakan tendangan pada punggungnya. Otomatis menoleh untuk melihat sang pelaku. Darka. "Beraninya maen belakang, pecundang!" murka Nindys.

Diam-diam Darka meraih pisau lipat kecil yang tersimpan di saku bagian dalam bomber-nya, pergerakan itu secepat kilat sampai Nindys tidak menyadari. Lalu mengarahkan ke samping, di mana gadis itu berencana melayangkan pukulan. Alhasil pisau tersebut menciptakan luka goresan cukup dalam mengenai lengan bawah Nindys.

Darah segar mengalir deras dari sana. Bibir tipis Nindys meringis dan gemetar. Satu tangannya reflek menekan luka itu bermaksud menghentikan pendarahan.

"Ups, sorry. Gue sengaja." Darka menyeringai bak psikopat merasa puas dengan perbuatannya.

Tenaga Nindys hampir sekarat. Matanya yang mulai berkunang-kunang mengerjap. Ia mengepalkan tangan berusaha mempertahankan kesadarannya. Sumpah serapah terus keluar memaki Darka dalam hati lantaran bertindak diluar nalar.

Keadaan terpaksa meminta Nindys agar mencari bantuan. Tapi sebelum itu dia melayangkan tendangan, kebetulan mengenai aset berharga milik Darka. Membuatnya membungkuk kesakitan.

"LO SEMUA KENAPA DIEM AJA?! ARGH, KEJAR BEGO!" amuk Darka pada anak buahnya ketika Nindys berlari cukup cepat padahal gadis itu sedang terluka.

Mereka mengejar Nindys, disusul Darka walau langkahnya terpincang-pincang.

Ditengah lariannya dengan jemari gemetar Nindys mengeluarkan ponsel. Wajahnya sesekali nengok waspada ke belakang mengawasi jarak anak buah Darka yang mengejarnya. Lalu ia menekan nomor seseorang untuk di hubungi.

Berdering.

"Halo," sapa orang itu selepas panggilan tersambung.

Nindys to the point. "Jalan Ampera, please,"

"Shit. Lima menit gue sampe."

•••

PENASARAN?

250 comment for next bisa nggak? Sabi lah yaa, atau kalo lebih malah bagus. Fyi, aku udah ada drafnya. Skuy komen yang banyak pren 🤑💘

SEE U, AKS KEMBALI LAGI KALO UDAH TEMBUS TARGET YEAH

FOLLOW IG : @wynzelle_ofc

tertanda, —shinta

Continue Reading

You'll Also Like

845K 73K 46
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
628K 65.5K 39
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.6M 221K 67
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
5.6M 241K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...