SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

12: So Care(less)

1.9K 372 40
By lnfn21

CHAPTER 12
So Care(less)

[Playlist: Hodge – In My Little Mind]

***

Ramalan cuaca tidaklah selalu akurat. Hari ini misalnya.

Deretan alfabet yang terpampang pada layar ponsel dalam genggaman seorang perempuan terbaca 'hujan salju ringan'. Namun, nyatanya langit di atas sana menghampar sedemikian biru bersama matahari yang bersinar tiada malu.

Sungguh, Rosé tak benar-benar ingin bermain papan luncur. Ia sempat melambungkan harapan agar salju turun dengan deras sehingga ia tak perlu mengunjungi tempat itu—Elysian Gangchon, tempat ski terbaik di negerinya. Menggulung diri di dalam selimut dan terlelap di pelukan hangat sang suami, tidak ada yang jauh lebih Rosé dambakan ketimbang itu.

Sayang, suaminya terlanjur percaya bahwa ia teringin bermain papan luncur sehingga di sinilah Rosé berada sekarang dengan perlengkapan berseluncur lengkap yang melekat pada tubuhnya.

"Berdiri!"

Duduk di atas sebuah kursi besi, Rosé mendongak usai mendengar perintah sosok pria dalam balutan jaket tebal. Tak lantas patuh, Rosé mengambil kesempatan untuk menoleh dan memandangi orang-orang yang tengah belajar bermain ski didampingi petugas. Nampak terjatuh beberapa kali, tetapi setelahnya mereka menikmati kegiatan itu setelah berhasil berdiri di atas papan tanpa bantuan dan meluncur menuruni lereng.

"Tidak mau?"

Melihat Rosé yang tak mereaksi, Jeffrey bertanya lagi sehingga atensi wanita itu kembali teraih, menghunusnya tanpa arti sebelum mengedip dua kali.

"Mau. Tapi ...," lirih Rosé kemudian menjeda panjang. "Aku tidak terlalu pandai bermain ski. Jadi, kau saja yang bermain, aku akan melihatmu dari sini."

Rosé tak sepenuhnya berbohong. Seperti apa yang Alice katakan tempo hari, ia hanya akan berakhir membuat boneka salju ketika kakeknya membawa Rosé kecil ke wahana papan luncur. Terlalu malu untuk mengatakan alasan sesungguhnya bahwa ia takut tergelincir, Rosé menggigit bibir bawah ketika melihat raut dingin Jeffrey usai ia memberinya alibi lain.

"Berdirilah!"

"Tapi ...."

Sekali lagi, Rosé tak meneruskan ucapannya lantaran jemari berbalut sarung tangan Jeffrey terulur di depan wajahnya. "Aku akan mengajarimu," tutur pria itu sepersekon kemudian.

Melabuhkan sepasang irisnya pada tangan Jeffrey yang menengadah dan wajah rupawan sang pemilik, Rosé dipeluk bimbang. Alih-alih menjabat uluran tangan Jeffrey, Rosé justru menunduk lalu dengan lirih mengucap, "Aku takut jatuh."

Mendengar itu, Jeffrey akhirnya menarik kembali jemari yang tak bersambut. Helaan napas Jeffrey mengudara pelan menimbulkan kepulan asap keluar dari mulut pria itu. Ski memang bukan hal yang sering Jeffrey lakukan, Ia hanya pernah mencobanya sekali bersama Mark saat libur musim dingin beberapa tahun silam, di Venesia sana. Dan, menurut Jeffrey, berseluncur tidak sesulit yang dibayangkan. Kalaupun jatuh, timbunan es akan meminimalisir rasa sakit yang didapat.

Sayangnya, Jeffrey terlalu malas berdebat, tetapi tak ingin membuat kedatangannya kemari berakhir sia-sia tanpa mencoba wahana yang menanti di depan mata. Jadi, ia memutuskan untuk meraih lengan perempuan itu tanpa ijin sang pemilik seraya berucap, "Tidak akan kubiarkan kamu terjatuh. Percayalah, kau aman bersamaku!"

Nyatanya, kalimat sederhana itu mampu menjungkir balikan perasaan Rosé seketika, mampu menghapus pula kebimbangan yang sempat dirasakan perempuan itu. Rasa percaya pada Jeffrey tumbuh perlahan-lahan dalam jiwa Rosé. Ia bahkah tak menyadari benar sejak kapan dirinya beranjak dari kursi, lalu berjalan mengikuti langkah pria yang menggenggam lengannya erat.

Helm dipasangkan Jeffrey pada kepala Rosé, berikut ia mengecek kaitan besi pada sepatu ski yang dikenakan wanita itu. Terakhir, ia meletakan dua tongkat ski dalam genggaman tangan Rosé.

"Kakiku seperti mati rasa. Kau yakin aku tidak akan terjatuh?" Rosé lagi-lagi memberikan pertanyaan untuk Jeffrey yang hanya membalas, "Hm. Tidak akan."

"Okay, bersiap! Kita meluncur sekarang."

"Sekarang?"

Debaran akibat rasa gugup menerkam Rosé saat Jeffrey mengaungkan peringatan cukup tegas. Ia menoleh ke samping, Jeffrey telah bersiap di atas papan luncurnya dengan raut antusias. "Sekarang."

"Hitungan ketiga, condongkan tubuh agak ke depan dan dorong tongkatmu kuat-kuat. Mengerti?"

Merapatkan bibirnya erat, Rosé mengangguk cepat dengan pandangan lurus. Di bawah sana orang-orang ternampak bagai miniatur yang tak tertata, Rosé sedikitnya takut jika saja ia akan berakhir menabrak salah satu dari mereka, atau lebih parahnya lagi berakhir menabrak batang pohon cemara di sekitar. Menepis segala pemikiran buruk yang berseliweran, Rosé menggelengkan kepala pelan.

"Satu ... dua ... tiga. Sekarang!!!"

Tepat usai Jeffrey menyuarakan aba-aba, Rosé refleks mendorong kuat tongkat hingga papan tempat ia menapak kini meluncur cepat di atas timbunan es yang menjelma lereng gunung. Pekikan tak bisa ia tahan.

"Gunakan tongkatmu lagi!"

Mendengar satu seruan Jeffrey, Rosé menoleh ke belakang dan mendapati pria itu juga mulai meluncur dengan papannya. Rosé tak menjawab, tetapi mengikuti instruksi Jeffrey sehingga ia mulai bisa mengendalikan permainan itu dan menikmatinya. Angin menerpa wajah, pun sedikit menerbangkan helaian rambut Rosé di sana,

Ini tak seburuk yang Rosé pikir. Dua sudut bibir wanuta itu mulai melukiskan senyuman yang kadang ia lembarkan pada Jeffrey di belakang sana.

Melihat itu, Jeffrey turut tersenyum samar. Sayangnya, senyuman Rosé tak berlangsung lama sebab wanita itu mulai kehilangan kontrol atas papan yang mengarak dirinya dengan kecepatan tak terkira. Tak juga bisa mengoperasikan dua tongkat di tangan dengan benar sebagaimana fungsinya, kini Rosé dilanda panik.

"Astaga, bagaimana ini! Aku tidak bisa berhenti."

Jeffrey yang menyadari Rosé dalam masalah segera mengayunkan tongkat kuat berupaya menggulirkan papan lebih cepat. "Tenangkan dirimu! Gunakan tongkatnya, tancapkan itu di atas es di depan sana." Jeffrey berseru lagi.

Namun, alih-alih menjadi tenang, Rosé justru kian tak bisa berpikir benar. Jantungnya berdegup kencang ketakutan dan tak tahu mesti berbuat apa sebab dua tangannya kini serasa bak susunan baja. "Aku tidak bisa."

Melihat ke bawah sana dan menemukan seseorang tengah berdiri tanpa menyadari permasalahannya kini, Rosé kian dibuat risau. Otaknya seakan telah mentarotkan situasi bahwa ia akan menabrak orang itu dalam beberapa detik ke depan sebab tak bisa menghentikan laju papan. "Bagaimana ini? Aku takut."

Jeffrey membanting arah papan luncurnya agar mendekat pada Rosé yang kian dirundung kepanikan. Membuang satu tongkat dalam genggaman, Jeffrey menfungsikan tangan kosongnya guna meraih lengan Rosé tanpa aba-aba sehingga perempuan itu tersentak.

Papan keduanya bertabrakan menimbulkan bunyi yang tak lirih, tubuh sepasang insani kini terguling di atas timbunan salju dalam posisi Rosé terbalut dua tangan kokoh yang memeluknya erat. Ringisan pelan terdengar dari mulut mereka sebelum keduanya bisu kala saling menubrukkan pandang.

Di antara gemuruh yang menyergap dada tiba-tiba, Jeffrey menyempatkan diri bertanya, "Kau baik-baik saja?"

Tiada jawaban. Yang ada hanya tatap kosong Rosé, menghunusnya cukup lama sebelum wanita itu menguntai sekalimat pelan, "Pembohong."

Jeffrey kebingungan sekaligus kalut. Barangkali, dari jarak di antara wajah mereka yang tak seberapa, Rose menemukan sesuatu berarti yang membedakan Jeffrey dengan sang suami secara fisik.

"Kau berbohong. Kau bilang aku tidak akan terjatuh."

Sampai kemudian kalimat yang keluar dari bibir Rose berikut menabur perasaan lega ke dalam diri Jeffrey. Dilihatnya lekat, wajah yang kini terliputi muram dan sisa ketakutan. Jeffrey merasakan pula, jemari Rose yang mencengkram kuat ujung jaketnya.

Merasakan dingin es yang mencium punggungnya menusuk sampai ke tulang, Jeffrey tanpa sadar mengeratkan dekapan pada tubuh Rosé guna mencoba mencari setitik kehangatan seraya bibir pria itu mengucap, "Setidaknya kau tidak jatuh sendirian."

"Kau tidak terluka, bukan? Sudah kubilang, kau aman bersamaku. Tidak perlu khawatir."

Rosé tak mampu menyangkal lagi. Ia menunduk, tenggelam di balik dada bidang Jeffrey. "Tadi itu menakutkan. Rasanya aku seperti menjemput maut," celoteh Rosé membuat Jeffrey hanya bisa menghembuskan napas pelan.

Kini keduanya kembali berjalan menuju tempat pengembalian peralatan. Sepanjang membantu Rosé melepaskan sepatu ski, telinga Jeffrey tiada henti disuguhi runtukan wanita itu. "Huh, memang lebih baik membuat boneka salju saja," ujar Rosé seraya melabuhkan pandang pada sekumpulan anak-anak yang tak jauh dari tempat ia duduk sekarang.

Jeffrey yang berjongkok sempat mengikuti arah pandang Rosé, sebeluma akhirnya bangkit berdiri. "Tunggu di sini! Jangan ke mana-mana!" perintahnya yang hanya diangguki oleh Rosé tanpa perempuan itu balas menatap.

Memboyong keseluruhan alat yang mereka pinjam, Jeffrey mengembalikan itu dan membayar biaya sewa. Sekembalinya Jeffrey ke tempat di mana ia meninggalkan Rosé tadi, sosok itu tak berada di titik yang sama. Kursi besi di sana kosong. Jeffrey pikir, Rosé tak akan pergi ke mana-mana dengan kaki telanjang sebab sepatu boots milik gadis itu ada padanya, baru saja Jeffrey ambil dari tempat penitipan.

Jeffrey membuang napas kasar menatap sepasang sepatu dalam genggaman. Sepertinya Rosé punya kebiasaan tidak mengindahkan peringatan orang lain. Memencarkan pandang ke sekitar, Jeffrey menemukan perempuan berbalut mantel merah gelap tengah berada di antara sekumpulan anak-anak.

Mengurai beberapa langkah mendekat, Jeffrey kini bisa melihat Rosé yang tersenyum cerah saat membuat bulatan-bulatan dari timbunan salju sambil sesekali berbincang dengan anak-anak itu. Dan, satu hal lagi yang Jeffrey sadari pasti, Rosé tak mengenakan alas kaki.

Sungguh ceroboh.

Segera tungkak Jeffrey berayun cepat.

"Eoh, Jaehyun-ah, sini! Ayo kita buat boneka salju." Lantas, ayunan Jeffrey melamban seiring telinganya kembali mendengar satu nama keluar dari mulut Rosé. Sampai detik ini, jujur saja, Jeffrey belum juga menjadi biasa dengan panggilan itu.

Berjongkok seraya meletakan sepasang sepatu boots coklat tua di dekat Rosé, Jeffrey berucap, "Pakai! Kau ini sudah kusuruh jangan ke mana-mana tetap saja keluyuran."

Lagi-lagi Rosé tak terlalu memperhatikan ucapan Jeffrey, ia hanya tersenyum tanpa dosa dan segera membalut kakinya yang terasa membeku dengan sepatu yang Jeffrey bawakan. Kembali, ia fokus dengan kegiatan membuat bulatan dari salju.

Menyadari Jeffrey yang diam saja, Rosé menoleh pada pria itu lantas mengambil posisi jongkok di hadapannya. Dua tangan Jeffrey diraih tanpa aba-aba oleh Rosé, diposisikan agar menengadah. Timbunan es Rosé ambil dengan tangannya lalu ia tuangkan di atas telapak tangan Jeffrey.

"Aku akan mengajarimu cara membuat boneka salju yang cantik," ujar wanita itu dengan wajah berhias senyuman semanis biasa, cukup banyak mencuri atensi Jeffrey selain jemari kecil Rosé yang kini membungkus tangannya tak sempurna.

Dua boneka salju telah selesai dibuat. Rosé membubuhkan beberapa ranting sebagai pengganti tangan dan hidung pada benda itu sebelum akhirnya mengeluarkan ponsel guna memotret. Menoleh pada Jeffrey, tanpa segan Rosé kembali menarik lengan pria itu agar berdiri di antara sepasang boneka salju buatan mereka.

"Bersiap! Akan kupotret." Rosé berseru. Jeffrey mengerutkan alis kebingungan, enggan bergaya, mencegah Rosé menekan tombol capture pun tak bisa. Alhasil, Jeffrey berpose ala kadarnya.

"Wah, lucu sekali."

Jeffrey refleks menarik tangan Rosé yang baru saja menyerukan pujian guna melihat hasil potret perempuan itu. Tak buruk, ia masih nampak tampan meski tak membuat ekspresi yang berlebihan apalagi menorehkan senyum norak seperti orang-orang kebanyakan.

"Aku mau." Rosé berucap antusias. Jeffrey yang tak paham kemudian bertanya, "Mau apa?"

"Difoto."

Setengah mulut Jeffrey terbuka bersama kepala yang mengangguk pelan. Segera ia ambil alih ponsel di tangan Rosé, sedang perempuan itu berlari kecil berdiri di tempat Jeffrey tadi. Bedanya adalah Rosé tak sekaku Jeffrey saat berpose, tak enggan pula untuk mengeluarkan senyuman yang bukannya norak, tetapi justru menambah kadar kecantikan wanita itu berkali-kali lipat.

"Cantik, tidak?" Rosé bertanya saat melihat Jeffrey memperhatikan layar ponsel begitu lama. Sedikit terkesiap, Jeffrey mengangguk segera, "Cantik."

Melihat raut yang tak meyakinkan Jeffrey, Rosé berjalan menghampiri guna memastikannya sendiri. Tak buruk, tak juga sempurna. Tapi Rosé menyukainya.

"Ayo foto berdua!" Kembali lagi, Jeffrey dibuat tak bisa berkata-kata menanggapi tingkah Rosé. Wanita itu menyeret lengannya agar mereka merapat sebelum mengarahkan ponsel agar menangkap gambar keduanya beserta sepasang boneka salju di belakang sana.

Beberapa pose diambil dengan gaya Jeffrey yang nyaris tak ada perbedaan dan Rosé yang beberapa kali berganti pose. Cukup lucu, Rosé tersenyum kecil saat memasang salah alah satu foto menjadi tampilan utama layar ponselnya.

Kini mereka tengah berada diperjalanan untuk pulang ke resort, kembali berjalan seiringan. Sampai suatu ketika, wajah Rosé tak lagi memasang senyuman sebagaimana beberapa waktu silam. Kebahagiaan yang sempat bertandang seakan terenggut tiba-tiba ketika wanita itu merasakan pening menghantam kepala.

Jeffrey yang menyadari sosok Rosé tak lagi berjalan di sampingnya kemudian berhenti menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Ia melihat Rosé tertinggal beberapa langkah darinya. "Apa yang kau lakukan?"

Mendengar pertanyaan Jeffrey, Rosé berusaha tampil tak mencemaskan. "Bukan apa-apa."

Ia memaksakan seuntai senyum seiring tungkaknya kembali berlari kecil menyusul Jeffrey, meski ia mati-matian menahan kepalanya yang seakan berputar.

Rosé yakin, ini adalah efek dari obat yang ia minum setiap harinya. Sebagaimana permintaan yang pernah Rosé sampaikan pada Jeffrey, pria itu selalu ada di dekat Rose dan benar-benar memastikannya menelan butiran obat—yang akan mengakibatkan nyawa merenggang dari raga, cepat atau lambat.

Dan, sebagaimana hari-hari sebelumnya, hari ini pun berakhir sama. Rosé duduk, menelan butiran obat dalam pantauan mata Jeffrey.

***

Surai panjang selayaknya tumpahan madu tengah disisir pelan, setiap helaiannya memantulkan cahaya mentari yang menerobos jendela ruangan pagi itu. Sebuah pita disampulkan usai keseluruhan rambut perempuan itu dikumpulkan di perpotongan kepala bagian belakang dan leher.

Jeffrey tak menyadari, sejak bila menata rambut wanita menjadi keahliannya. Berikut, pria itu memutar tubuh Rosé yang sedari tadi menghadap cermin. Sesuai instruksi Alice yang ia dapat dari pesan singkat baru-baru ini, Jeffrey mulai mengaplikasikan beberapa produk perawatan kecantikan di wajah Rosé: toner, serum, essense, pelembab, krim tabir surya, dan sedikit bedak.

Terakhir, Jeffrey mesti mengaplikasikan pula lipbalm pada bibir wanita itu. Dan sebagaimana dahulu, Jeffrey berakhir tak bisa bernapas dengan benar saat matanya menangkap sepasang bibir yang merona alami di depan matanya, nampak manis dilahap jika Jeffrey tidak dalam kondisi waras.

Agenda di hari kedua kegiatan liburan mereka adalah mengunjungi Pulau Nami. Mengarak langkah seirama menapaki stapak penuh oleh timbunan salju yang menyelimuti pula dahan-dahan pepohonan tinggi menjulang dan berjajar rapi di tepian, lalu berfoto dengan beberapa karya seni abadi, salah satunya patung-patung yang menjadi ikon istimewa tempat itu.

Dan kini, mereka tengah duduk berdampingan di atas kursi sembari makan ubi bakar yang mereka beli dari lapak pedagang kecil.

Rosé mengamati Jeffrey yang begitu mudah mengupas kulit ubi dan memakannya lahap meski asap masih mengepul dari sana. Tak seperti Rosé yang kebingungan atas apa yang mesti ia perbuat dengan ubi di tangannya sekarang. Melihat itu, Jeffrey berucap, "Kau tidak makan?"

Terkesiap sesaat, Rosé segera terlempar pada kesadaran penuh. Tak hendak mengganggu aktivitas makan Jeffrey meski dalam hati teringin meminta bantuan, Rosé melepaskan sarung tangan, mengupas ubi dalam genggaman.

"Sini!" Tak sampai benar-benar menanggalkan keseluruhan kulit ubinya sebab benda itu lebih dulu beralih tangan pada Jeffrey.

Tak juga seperti pergerakan tangan Rosé yang payah dan cenderung lamban dalam mengupas, Jeffrey melakukannya seolah ia terbiasa dengan hal itu. Tak sampai satu menit, Jeffrey telah menyuguhi Rosé ubi yang terkupas sempurna setelah sempat meniup kepulan asap di sana.

"Makanlah!"

Rosé tersenyum begitu sumringah menerima. Perhatian kecil Jeffrey membuat jiwa perempuan itu dijajaki kehangatan yang membuat dua pipinya turut menghangat pula sehingga sedikit rona jingga menampakan diri di sana.

Usai dengan kegiatan berkeliling Pulau Nami seharian, Jeffrey dan Rosé melakukan perjalanan pulang. Terlalu lelah untuk berjalan kaki, Rosé tanpa ragu melambai pada sebuah mini truck yang melintas dan bicara pada seorang lelaki berumur yang mengendarainya. "Ahjussi, boleh kami menumpang sampai persimpangan di depan?"

Lelaki itu tersenyum lebar. "Tentu saja, Nona. Duduklah di sini!"

Benar kata orang-orang, penduduk pulau ini memang memiliki kecendurangan ramah pada wisatawan. Alih-alih menuruti ucapan sang sopir yang menyuruh mereka duduk di depan bersamanya, Rosé segera menyangkal, "Kami naik di belakang saja."

Langkah Rosé berayun riang saat palang di bagian belakang mobil bak itu dibuka oleh sang pemilik. "Silakan naik!"

Jeffrey sempat menahan. "Ayo kita naik taksi saja."

Perintah Jeffrey hanya diabaikan bagai angin lalu sebab pria itu dengan segera mendudukan diri di atas sebuah balok kayu setelah menaiki mobil. Alhasil, Jeffrey hanya bisa menghela napas pelan sebelum turut naik dan duduk di sebelah Rosé.

Angin berhembus kencang seiring laju mobil yang tak lagi pelan. Sedikit menggigil, dua lengan Rosé memeluk tubuhnya sendiri seraya mulutnya tanpa sadar berkeluh, "Aish, dingin sekali."

Mendengar itu, Jeffrey menoleh. Di dalam akal pria itu, menari sebuah ingatan ketika ia duduk beberapa waktu lalu dan melihat seorang pemuda tengah meniupkan napas pada sepasang tangan sang kekasih guna memberikan sedikit kehangatan.

"Sini tanganmu!" Dan, Jeffrey tak pikir panjang saat meluncurkan satu perintah untuk Rosé. Sempat menautkan alis keheranan, pada akhirnya Rosé mengulurkan satu tangan.

"Dua-duanya." Lantas, mengulurkan lagi tangan yang lain usai Jeffrey berucap demikian. Kini sepasang tangan Rosé terbungkus sempurna dalam kukungan tangan besar Jeffrey, dibawa mendekat pada mulut pria itu. Napas hangat menyapa permukaan kulit tangan Rosé, sekaligus mencecap pula relung perempuan itu.

Dua bola mata Rosé terpaku pada wajah pria yang berupaya menyajikan setitik kehangatan untuknya. Di dalam dada wanita itu, kini tumbuh bunga-bunga bahagia yang tak terhitung jumlahnya. Rosé seperti menemukan kasih sayang yang sempat menghilang beberapa tahun belakangan. Jaehyun-nya benar-benar berubah, seperti kembali ke masa-masa di mana mereka memulai sebuah pendekatan. Perhatian kecil Jaehyun adalah sesuatu yang selalu Rosé butuhkan, yang mana hal itu perlahan menghilang seiring waktu berjalan.

Rosé sempat berpikir, alasan Jaehyun menikahinya hanya karena mereka telah lama berpacaran sehingga merasa saling berketergantungan satu sama lain untuk beberapa urusan, salah satunya urusan ranjang.

Merasa tatapan Rosé tertumpah keseluruhan pada dirinya, Jeffrey sedikit mengangkat kepala dan menggerakan bola mata sehingga manik mereka kini beradu. Jeffrey tak bisa mengartikan benar arti sorot Rosé kala itu, antara sendu atau rindu. Jeffrey tak tahu.

Jalanan yang tak mulus dan cukup berkelok membuat pergerakan mobil oleng ke kanan dan ke kiri tanpa perkiraan, sopir kerap pula menginjak rem dadakan. Seperti sekarang yang alhasil membuat tubuh Jeffrey terdorong ke depan, melahirkan satu kejadian yang tak diinginkan serupa bibir Jeffrey yang tanpa sengaja jatuh permukaan pipi kanan Rosé.

Bukan hanya mengejutkan Rosé, Jeffrey pun turut terkesiap dan meniti jarak segera. "Ahjussi, berkendaralah dengan hati-hati!" ujar Jeffrey cukup kencang kepada sang sopir di depan sana. Sebentuk tingkah yang seolah menandai bahwa apa yang baru saja terjadi adalah bentuk ketidaksengajaan.

Lain halnya dengan Jeffrey yang diterpa gugup, Rosé tertampil sedemikian tenang.

Dan, belum habis menetralkan jantung yang berdegup tak normal, Jeffrey kembali merasakan aliran darahnya seakan tersumbat lantas berdesir hebat ketika sesuatu yang lembut menyapa permukaan bibirnya. Samar, Jeffrey melihat sepasang mata indah perempuan terpejam.

Jeffrey sadar, Rosé tengah menciumnya. Ciuman yang begitu tiba-tiba sehingga pria itu tak tahu harus apa selain menikmati sensasi yang terasa. Pergerakan teramat pelan yang dihadirkan oleh Rosé membuat Jeffrey turut memejamkan mata, pula perlahan-lahan balas menyapu lembut bibir manis Rosé di sana.

Di atas mobil bak yang melaju membelah jalanan lengang, dua insani itu tenggelam dalam percumbuan ringan yang tak dipungkiri mampu menyajikan kehangatan lebih ketimbang sebuah genggaman tangan. Jeffrey terbuai oleh sentuhan jemari Rosé yang berlabuh pada wajah, sesekali menyentuh leher bagian belakang dan punggungnya.

Sungguh, Jeffrey tak menyadari benar, sejak bila dua lengannya membungkus pinggang ramping Rosé, mendekapnya tak erat dengan menyisakan sedikit jarak untuk bisa leluasa bergerak saling memagut bibir satu sama lain.

Entahlah. Barangkali, keseluruhan isi jagat raya yang menjadi saksi tingkah Jeffrey saat ini tengah mengajukan petisi pada Tuhan agar menghukum berat dirinya. Atau, barangkali pula Jaehyun di atas sana tiada henti memakinya yang tak tahu diri.

Jeffrey tak perduli.

[]


[SILHOUTTE: After A Minute]

***

***

hello, did you enjoyed this part?

yap, karakter Jeffrey sudah mulai bergeser nih wkwk. Gak tau bisa dibilang perkembangan atau bukan, tapi mungkin begitu. sesuai rencana, saya akan membuat character development Jeffrey sedikit demi sedikit, biar lama-lama jadi bukit wkwk.

yailah cringe, i'm sorry guys.

thankyou for reading this part and i'm so waiting for your apreciation, lovely.

see you on the next part and enjoy your day ;)

***

Continue Reading

You'll Also Like

4K 491 13
capek capek kasianin dia ternyata lebih kasian lagi gue - [name]
1M 83.5K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
154K 14.3K 39
[COMPLETED] Hermione Jean Granger dijuluki sebagai Miss-Know-It-All, lulusan terbaik dari sekolah sihir terkenal Hogwarts. Karena terlalu muda untuk...
103K 6K 22
This is about TaeTzu story• Aku harap kalian suka. Yes, ini genre dewasa. Ada smut dan kekerasannya. But, FYI guys. This story is not my created by...