A or A [New Version]

Autorstwa fairytls

1.4M 135K 2.6K

[PRIVAT, FOLLOW UNTUK BACA LENGKAP] Aku menemukan kehidupan baru setelah mengalami kecelakaan yang tidak pern... Więcej

P R O L O G U E
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
New Story

Chapter 25

23.9K 2.5K 26
Autorstwa fairytls

"Lo kenapa sih mau cepat-cepat pulang, masih jam sembilan juga. Mana gue belum coba semua jajanan di sini."

"Naik," perintah Sean.

"Nggak mau."

"Naik sayang!" titah Sean jelas, singkat, padat dan tak memedulikan perasaanku sebagai lawan bicaranya jika ia berkata demikian.

Mendengar penuturan Sean, pipiku memanas. Dasar, murahan sekali pipi ini, dipanggil sayang aja langsung panas. "Apaansih? Ingat lo abang gue! Nggak usah gombal. Geli." Aku langsung naik ke atas jok motor sebelum diperintah untuk yang ketiga kalinya.

"Kok ke sini?" tanyaku manakala Sean menghentikan kendaraannya di depan mall.

"Katanya mau jajan."

Di dalam mall yang menyediakan berbagai kebutuhan pokok, aku mengayunkan tungkai perlahan di depan rak makanan, niat hati ingin membeli banyak untuk persediaan di rumah.

"Udah cukup, lo udah kebanyakan masukin pringles sama chitato ke dalam sini," tegur Sean.

Aku yang ditegur cuek-cuek aja. Tak memedulikannya yang sedang mendorong troli belanjaan di belakangku.

Aku meraih mie instant dari rak lalu memutar tubuh ke belakang ingin menaruhnya ke dalam troli. Dan aku sadar kalau pringles beserta chitato berbagai rasa yang tadi aku masukkan ke dalam troli tersisa masing-masing satu.

Aku tak menghitung pasti berapa jumlah pringles dan chitato yang aku masukkan, tapi yang pasti BANYAK!

"Lho? Kok makanan gue ilang?"

Sean mengangkat bahu acuh membuatku memicing curiga ke arahnya, sudah jelas ia pelakunya akan tetapi tak mau mengaku.

"Pasti lo 'kan?"

"Enggak."

"Bohong, ih! Nggak mau tau pokoknya lo ambil lagi. Gue udah capek-capek masukin malah lo kembaliin lagi ke rak." Aku menghentakkan kaki kesal setengah mati.

"Nggak baik berlebihan. Lo udah makan snack itu terlalu sering, nggak bagus buat kesehatan nanti lo sakit karena tubuh lo terpaksa nyerap bahan pengawet," jelas Sean panjang, tak lupa raut wajah datarnya.

Bukannya marah, atau apa, aku justru menatap Sean takjup. "Uuuu ... lo sekarang perhatian banget semenjak bilang mau jadi abang yang baik buat gue."

Sean berdecak kemudian mendorong troli mendahuluiku. "Yahh, dia ngambek."

"Gue nggak ngambek," tukas Sean jutek.

"Iya-iya nggak ngambek, ayo kita ke sana, gue mau cokelat."

Kami kembali melanjutkan acara belanja dengan khitmad. Aku mengambil satu batang dark chocolate dan satu batang cokelat matcha. Sedangkan Sean setia mengikuti ke mana aku pergi dengan troli yang ia dorong.

"Eh, Kak Sean, Kakak belanja juga?"

Repleks aku balik badan saat mendengar suara yang aku kenali baru saja menyapa Sean begitu ramah.

"Kok Leta ikut?" lontar Karin. Dilengan gadis itu tergantung keranjang plastik berisi barang belanjaannya.

"Maksud lo? Lo berharap gue nggak ada di sini, gitu?"

"Bukan gitu."

"Halah alasen, lo-"

"Jangan ribut, ini tempat umum." Sean menegur.

"Tuh dengerin apa kata Kak Sean, Leta, kamu kan sering ngeyel."

Ku tatapi Karin dengan tatapan permusuhan. "Dih! Apaan lo? Nggak usah sok dekat deh."

"Kita emang dekat, iya 'kan, Kak?" Karin mendongak melihat Sean.

Sean terperangah sesaat, ia menoleh cepat, matanya dan Karin bertemu selama tiga detik sebelum Sean kembali menatap lurus ke depan seraya berdeham. "Ayo ke kasir," ujarnya.

Kami berada di belakang Karin, entah kenapa Sean menyuruh Karin membayar lebih dulu karena katanya belanjaan gadis itu sedikit.

"Totalnya 197.900, Kak," lontar gadis penjaga kasir selesai menghitung nominal harga semua barang.

Karin kelabakan menggeledah isi tas selempangnya. "Aduh, di mana sih? Kok nggak ada ya?" gumamnya.

"Gimana, Kak, bisa bayar atau nggak?" tanya Kasir mendesak, aku memahaminya sebab di belakang kami masih ada antrean dan Karin menjadi penghambat.

"Aku lupa bawa dompet." Karin berucap pelan.

"Kalau begitu saya minta tolong sama Kakak buat kembaliin barang-barang ini ke rak, tolong ya?" Si kasir meminta dengan sopan disertai senyum ramah, ia tidak sinis, marah, ataupun menghina.

"Hitung punya saya sekalian punya dia," tukas Sean.

Gadis Kasir mengalihkan atensinya dari Karin. "Baik, Mas. Saya totalin dulu belanjaan, Mas."

"Totalnya jadi 550.900 sama belanjaan Kakak ini." Ia menunjuk Karin menggunakan kelima jarinya yang mana posisi telapak tangan menghadap ke atas, sangat sopan!

Sean meraih credit card dari dalam dompet dan menyodorkannya ke gadis kasir. Sean tidak mengeluarkan black card bukan berarti ia tak punya, tapi karena para konglomerat sesungguhnya jadi kaya bukan terlihat kaya. Intinya makin kaya dan makin banyak aset maka makin besar pula pajak yang harus dibayar. Dengan tidak mencolok orang tidak akan tahu aset apa saja yang para konglomerat miliki dan yang terpenting bebas dari pajak.

Lihat saja pada kenyataan yang ada bahwa orang kaya lebih nyaman mengenakan kaos polos, celana pendek, sendal jepit, dan membawa kresek hitam berisi uang saat menyetornya ke bank.

***

"Makasih ya, Kak. Besok aku ganti uangnya," cetus Karin.

Sean tak menggubris.

"Lo langsung ke motor aja, bawa ini." Sean menyerahkan dua totebag berukuran sedang ke tanganku. Untung ringan, karena sebagian besar isinya snack.

Aku menurut saja-tapi boong. Aku balik badan memperhatikan Sean mengajak Karin entah ke mana karena jiwa kepo meronta-ronta, ku ikuti saja mereka.

"Kakak kenapa ngajak aku ke tempat sepi gini?" Karin melihat sekeliling hingga kepalaku yang melongok dari balik tembok otomatis mundur, bersembunyi.

"Oh aku tau, pasti Kakak mau ngigetin aku seminggu lagi hari apa, kan? Kakak tenang aja, aku masih ingat kok!"

"DIAM!"

Aku tersentak kala Sean membentak. Why? Sepertinya ia begitu marah.

"Jangan pernah ungkit apa pun di depan gue maupun orang lain, termasuk di depan adek gue!"

"A-ku, aku cuma-"

"GUE BILANG DIAM!"

Samar-samar isak tangis Karin terdengar.

"Ingat kata-kata gue barusan! Ngerti?" tekan Sean.

"Ngerti nggak!"

"I-iya."

"Bagus," lontar Sean. "Uang yang tadi nggak usah diganti," sambungnya.

Aku bergegas pergi tatkala Sean balik kanan dan melenggang santai ke arahku.

Mereka berdua kenapa sih? Kalau saja Alleta memberikan semua ingatannya padaku pasti aku tidak akan sepenasaran ini.

"Lama banget sih? Ngapain aja sama Karin?" sungutku begitu Sean sampai di parkiran.

Diriku setia mendongak menunggu Sean yang masih diam tak merespon, akan tetapi beberapa celetukan pengunjung mall berhasil menyita perhatianku.

"Eh, cowok itu ganteng banget, sih!!"

"Iihh, iya! Sumpah ganteng, kece lagi. Tapi sayang udah punya pacar."

"Masa' sih itu pacarnya? Gimana kalau itu adeknya? Liat aja orangnya pendek gitu."

"Iya, keliatan yang cewek kayak adeknya, mukanya agak mirip."

"Aaaa ganteng banget! Jadi pengen kenalan."

"Yaudah, sana!"

Aku mendengus, lalu ditelitiku penampilan Sean. Mulai dari rambut, sampai ujung sepatu yang dipakai.

Walaupun hanya memakai setelan basket berwarna hitam ditambah bandana putih, anehnya ketampanan laki-laki itu justru bertambah berkali-kali lipat dari biasanya.

"Sialan! Emang beneran ganteng," desisku sebal.

"Apanya?" Sean bertanya.

"Nggak! Nggak ada apa-apa." Aku berujar sinis. "Sini pindah ke samping gue."

"Ngapain?"

"Udah sini, nggak usah banyak tanya!" Ku tarik lengan Sean paksa.

Tak rela jika ada perempuan lain membicarakan Sean. Apalagi sampai memujinya ganteng. Yah, walau itu fakta.

"Ekhm, Kak, boleh minta nomer teleponnya?"

Emang benar-benar nih cewek. Niat banget mau ngajak Sean kenalan, cih.

"Ngga pu-"

"Maaf, saya udah punya istri." Sean menyela perkataanku.

Aku spontan menginjak kaki Sean kuat-kuat. "Nggak usah ngomong aneh-aneh please. Gue malu."

Sean menampilkan raut wajah datar, mencoba untuk tetap stay cool walau kakinya baru saja ku injak.

Perempuan itu tampak kikuk. "Oh, udah punya istri. Istrinya mana? Kok nggak di ajak juga? Malah adeknya yang diajak."

"Maaf, Kak, kami permisi dulu ya. Saya sama suami saya mau pulang." Aku menekankan kata suami.

"Lho? Lo istrinya? Kok muka kalian mirip?" ujarnya terkejut.

"Yah karena kita mirip, makanya jodoh," balasku jutek.

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

1.4M 163K 46
[BUKAN NOVEL TERJEMAH] Rubyaala, gadis manis lulusan sarjana gizi harus meninggal di usia muda, tepat di saat umur dua puluh satu tahun. "Mungkin kar...
1.2M 147K 51
MULAI REVISI PELAN-PELAN ************* Alicia menyukai semua bacaan fiksi. Mulai dari novel sampai komik. Menyukai semua genre mulai dari horror samp...
1.6M 137K 59
17+ Gadis itu bernama Rachel, semua orang sangat memuji otaknya yang sangat cerdas dan parasnya yang cantik dengan senyuman yang seindah sunflower. H...
2.6M 130K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...