Ineffable

By Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... More

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

36 | Uncle Rafka

1.8K 391 221
By Ayyalfy

Hai, Ayy kembali~
Maaf ya ngaret update :((
Sedikit kehilangan motivasi untuk nulis, jadi semangatin aku yuk pakai vote dan komen dari kalian sebanyak-banyaknya 🥺🥺

Komen 200+ aku bakal langsung update next chapter, oke?

Happy reading ✨
Ini partnya panjang bat btw~

• • •

ALFY

Mataku terbuka perlahan, mencoba beradaptasi dengan cahaya sekitar yang tampak bukan seperti kamarku. Saat aku mencium bau obat-obatan, aku jadi teringat bahwa aku sedang di rumah sakit. Aku mengerang, leher dan pinggangku terasa sangat pegal karena ternyata aku tertidur dalam posisi duduk.

Kepalaku seperti sedang bersandar dengan sesuatu yang keras namun hangat dan jelas ini bukan bantal. Hal terakhir yang aku ingat adalah semalam aku dan Pak Rafli membawa Mbak Ratna ke rumah sakit, menemani laki-laki itu bergadang semalaman dan ketiduran di ruang tunggu setelah sembayang subuh.

Aku melirik ke sebelah, Pak Rafli tengah duduk di sebelahku dan dia juga tertidur dengan kepala bertumpu di kepalaku. Oh, jadi bantal keras dan hangat itu ternyata bahu Pak Rafli.

Hah, Pak Rafli?!

"ALFY!!!"

Aku terperanjat saat mendengar seseorang memanggilku dengan keras, begitupun dengan Pak Rafli. Dari kejauhan aku melihat Rafka bergegas ke arahku dengan wajah penuh emosi. Tatapannya lurus menatap kami berdua. Aku sudah tidak lagi bersandar di bahu Pak Rafli, tapi sepertinya Rafka sempat melihat momen itu.

Aku masih sangat mengantuk untuk meladeni kecemburuan Rafka. Aku berakhir menggumamkan namanya sambil menguap, "Rafkwa?"

Tidak sampai sepuluh detik dia sudah menggeser Pak Rafli menjauh dan ganti duduk di sebelahku. Dia menatap kakak laki-lakinya dengan sangsi lalu beralih menatapku dengan sorot kesal yang kekanak-kanakan. "By, kok kamu sandaran sama dia, sih?" rengeknya sambil menarik-narik ujung bajuku.

Aku menatapnya malas. "Ya namanya juga orang tidur, nggak sadar."

"Tapi kenapa harus sama dia coba?"

"Terus sama siapa lagi? Satpam rumah sakit?" sahutku asal sambil melihat kerah kemejanya yang berantakan. Dengan telaten aku merapikannya dan membenarkan rambutnya yang juga tak kalah semrautnya. "Nggak usah kek enak kecil deh. Kamu sekarang udah jadi om tau."

Rafka menatapku bingung. "Om?"

Kepalaku mengangguk. Rafka memang belum diberitahu soal keponakannya yang sudah lahir, Pak Rafli memintaku untuk merahasiakannya sampai dia datang. "Iya, om. Tuh, Kakak kamu udah jadi ayah. Ucapin selamat atau apa kek! Ini main ngamuk-ngamuk aja."

Ekspresi laki-laki itu langsung berubah. Tiga detik setelahnya dia menubruk Pak Rafli dan memeluk kakak laki-lakinya itu dengan antusias. Saking antusiasnya dia sampai menggelantung di tubuh kakaknya seperti anak kecil. "Lo udah jadi ayah, Kak?! Selamat ya! Astaga gue terhura!"

Pak Rafli sama sekali tidak terganggu dengan tingkah adiknya, malah balas memeluk dan membiarkan Rafka memutar-mutar badannya seperti baling-baling. "Terima kasih, Rafka."

Aku ikut tertular dengan kegembiraan yang mereka rasakan. Ini fenomena langka, aku tidak ingin kehilangan momen ini dan segera merekamnya lewat ponsel untuk bisa diungkit sewaktu-waktu. Sayangnya momen itu tidak berlangsung lama. Rafka teringat kembali dengan rasa kesalnya dan langsung melerai pelukan mereka lalu mengambil jarak.

"Gue masih marah ya sama lo karena lo deket-deket sama Alfy," sungutnya sambil menunjuk kakaknya dengan sorot mengancam.

Laki-laki itu kembali duduk di sebelahku dan kali ini sambil mendaratkan kepalanya di bahuku. Tangannya menempel di lenganku seperti tentakel. "Makasih ya atas kadonya," ujarnya kemudian. "Aku suka banget."

Aku tersenyum karena dia memamerkan pergelangan tangannya di depanku dengan bangga. Jam tangan dan gelang hitam pemberianku telah tersemat di sana. "Badan kamu udah mendingan? Masih panas, nggak?" tanyaku kemudian sambil menyentuh keningnya. Semalam dia tidur sangat nyenyak, aku tidak sampai hati membangunkannya untuk ikut pergi ke rumah sakit.

"Udah sembuh dong! Dikasih hadiah sama pacar langsung hilang semua sakitnya," sahutnya bersemangat lalu melirik kakaknya dengan sombong. "Ekhem, gue punya jam baru."

Pak Rafli hanya melirik sekilas, tampak tidak tertarik sedikit pun. "Baru jam, udah dikasih bunga mawar putih belum?"

Rafka mendecih. "Yaelah, baru mawar. Gue pernah dikasih kulit ayam KFC sama dia," balas Rafka tak mau kalah.

"Baru kulit ayam KFC, pernah dikasih ceker mie ayam dia belum?"

Wait-wait, mereka berdua sedang apa, sih?!

Rafka tertawa sinis. "Ceker mie ayam? Gue udah dikasih hatinya kali. H-A-T-I."

Tidak mau kalah, Pak Rafli kembali membalas. "Baru hati, udah dibikinin cerita Wattpad sama buku belum?"

Aku tidak menyangka mereka akan sekanak-kanakan itu. Pak Rafli juga, kenapa dia buang-buang tenaga untuk meladeni sifat adiknya itu? Aku tahu ini tidak akan berakhir dengan baik, apalagi raut wajah Rafka sekarang sudah bisa dibilang sangat keki abis.

Tiba-tiba Rafka tersenyum miring. "Baru dibikinin cerita Wattpad sama buku, gue dikasih first ki—mmph!"

Aku langsung membungkam mulut Rafka dengan tanganku lalu memolotinya. Tidak perlu ditanya seberapa malunya aku di depan Pak Rafli sekarang. Meski kalimat Rafka terpotong, aku yakin Pak Rafli dapat menangkap maksudnya dengan jelas.

"Kamu gila?" bisikku pada Rafka.

"Sedikit," sahutnya sambil menyeringai. "Abis dianya yang mulai, By. Aku kan pacar kamu, masa kalah sama dia?"

Karena gemas, kucubit saja lengannya dan dia mengaduh.

Beruntungnya kami diinterupsi oleh kedatangan dokter yang menangani Mbak Ratna. Dia meminta salah satu dari kami untuk berbicara dengannya. Pak Rafli langsung mengikuti dokter itu dan meninggalkan aku dan Rafka berdua di ruang tunggu.

"Kamu tuh harusnya hibur kakak kamu tau. Walaupun kelihatannya tegar kayak gitu, dia pasti lagi sedih banget," ujarku, mengingat selelah apa Pak Rafli semalam. Dia mencari stok golongan darah O ke rumah sakit pusat tengah malam karena kondisi Mbak Ratna yang sangat kritis. Itulah alasan kenapa aku tidak pulang. Aku tinggal di rumah sakit untuk menunggui Mbak Ratna.

Ah, aku belum cerita tentang kejadian semalam. Mbak Ratna terjatuh di ruang makan dan perutnya tanpa sengaja membentur ujung meja. Aku dan Pak Rafli langsung membawa Mbak Ratna ke rumah sakit karena Mbak Ratna pingsan tak sadarkan diri setelah itu. Darah mengucur deras dari balik kakinya dan saat itu juga kami sadar bahwa ada dua nyawa dalam kondisi bahaya. Tepat saat adzan subuh berkumandang, suara bayi perempuan terdengar. Detik itu juga aku melihat sang ayah langsung bersujud penuh syukur. Pak Rafli meneteskan air matanya, melihat dari balik kaca pintu ruang operasi dengan bibir mengucap tahmid tiada henti.

"Alfy, saya sudah jadi ayah," ucapnya saat itu dengan suara bergetar.

Aku mengangguk dan tersenyum. Tanpa sadar air mataku juga ikut meleleh. Masa-masa tegang dan sarat putus asa telah dilewati laki-laki itu. Dia terlihat sangat bahagia dan aku membiarkannya memelukku, sebelum dia masuk ke ruangan isolasi dan mengumandangkan adzan untuk putri kecilnya.

"Emang kenapa, By? Persalinannya lancar, kan?" tanya Rafka berubah khawatir.

"Alhamdulillah lancar kok, keponakan kamu juga lahir selamat tanpa cacat. Tapi kondisi Mbak Ratna yang belum membaik. Kakak kamu baru tahu kalau ternyata selama ini Mbak Ratna sakit parah, dia punya kelainan jantung. Kamu tahu kan risiko melahirkan dengan riwayat penyakit jantung? Itu yang bikin Mbak Ratna masih kritis sampai sekarang."

Penjelasan panjangku membuat Rafka terhenyak. Sama seperti kakaknya, dia juga pasti terkejut setelah mengetahui kondisi dari kakak iparnya. "Kenapa nggak operasi saesar aja, sih? Risikonya lebih kecil, kan?"

Aku menghela napas. "Iya, tapi Mbak Ratna nolak. Meskipun akhirnya berhasil, tapi itu berdampak ke salah satu dari mereka dan Mbak Ratna yang sekarang kritis."

"Tapi kemungkinan besar Mbak Ratna bisa pulih lagi kan, By?"

Aku mengangguk yakin. "Insya Allah, kita doain aja."

Apa aku masih membenci Mbak Ratna setelah kejadian ini? Jawabannya adalah tidak atau lebih tepatnya aku mungkin tidak pernah membencinya. Terlepas dari apa yang telah dia lakukan, aku percaya kalau dia pasti memiliki alasan di balik itu semua. Aku yakin Rafka juga pasti berpikiran sama denganku.

"Anyway, kamu mau pulang? Ada kuliah siang, kan? Aku antar, ya?" tawar Rafka.

Aku baru ingin menjawab iya, tapi perasaanku langsung tidak enak saat melihat kedatangan seseorang. "Kayaknya kamu nggak bisa nganter aku," ucapku dengan tatapan lurus ke depan.

Rafka mengikuti arah pandangku, lebih tepatnya melihat sosok Bella yang sedang melangkah ke arah kami. Cewek mungil itu sudah berseragam lengkap dan aku bisa menebak kalau dia pasti akan nebeng dengan Rafka ke sekolah.

Tapi ada yang aneh sekarang. Bella sama sekali tidak melihat ke arah kami, bahkan melirik satu detik pun tidak. Dia langsung mendekati Pak Rafli yang baru saja keluar dari ruangan dokter.

"Kak, keadaan Mbak Ratna sekarang gimana?" tanya gadis itu khawatir. "Bayinya sehat-sehat aja, kan? Tante sama Om lagi di luar kota, mereka lagi dalam perjalanan ke sini, tapi aku udah kabarin kerabat yang lain, kok."

Pak Rafli mengusap bahu Bella, menenangkan. "Bayinya sehat, kok. Sekarang dia lagi di ruang inkubator. Kalau Mbak Ratna ... kita doakan aja ya, semoga dia bisa cepat siuman."

Bella terlihat sangat menyesal. Entah karena apa. "Maafin aku ya, Kak, karena nggak cerita soal penyakit Mbak Ratna. Aku nggak punya pilihan lain karena Mbak Ratnanya sendiri yang minta aku untuk rahasiain ini dari Kakak dan keluarga."

Jadi Bella sudah tahu?

"Iya, Bella. Yang penting sekarang Mbak Ratna sudah dirawat." Pak Rafli bisa merespons setenang itu, aku speechless. "Oh, ya, kamu mau berangkat sekolah?"

Kepala cewek itu mengangguk. Aku sudah mewanti-wanti dia akan menyebut nama Rafka setelah ini, tapi ternyata tidak. "Iya, Kak. Maaf ya Bella nggak bisa temanin Mbak Ratna sekarang, karena hari ini Bella ada ujian dan nggak ada susulan."

"Iya gapapa. Kamu berangkat sama ..." Pak Rafli terlihat ragu. Dia melirik Rafka yang sudah geleng-geleng kepala sedari tadi. Tapi, keajaiban, Bella tidak minta diantar oleh Rafka.

"Aku bareng sama teman, Kak. Kayaknya dia udah sampe deh."

Rafka di sampingku membuang napas lega, tapi tidak denganku. Bukankah hari ini Bella tampak bukan seperti Bella? Oh, mungkin karena saraf otaknya kembali benar setelah jenggutan keras yang kuberikan padanya waktu itu.

Sepeninggal Bella aku langsung berbisik pada Rafka. "Yang tadi beneran Bella?"

Laki-laki itu mengendikkan bahu. "Entah. Aku baru mau pamer gelang dari kamu di depan dia."

Baguslah kalau akhirnya Bella bukan lagi menjadi masalah untuk hubungan kami. "By, kamu mau lihat keponakan kamu, nggak?" tanyaku pada Rafka yang langsung ia respons dengan anggukan antusias.

Kami berdua mendatangi ruang NICU. Karena tidak bisa masuk, aku dan Rafka hanya berdiri di luar dan melihat keponakan barunya itu lewat kaca ruangan yang transparan. Beruntungnya keponakannya itu berada tidak jauh dari posisi jendela, sehingga kami bisa melihatnya dengan mudah.

"Dia cewek ya, By?" tanya Rafka yang kujawab dengan anggukan kepala. "Halo, keponakan Om yang gemoy dan cantik tapi masih cantikan pacar Om."

Aku terkikik mendengar ocehannya.

"Eh, jangan panggil Om, deh. Panggil Uncle aja." Rafka meralat. "Kamu cepet besar, ya. Nanti Uncle ajarin gimana caranya dapet cowok seganteng dan sekeren Uncle. Kamu nggak boleh nolep kek bapak kamu, ya. Jangan ikutin jejak dia, pokoknya kamu harus berguru sama Uncle."

Aku geleng-geleng kepala. Ingatkan aku untuk menjauhkan Rafka dari keponakannya nanti. Dia berpotensi membawa pengaruh buruk untuk keponakannya sendiri. Itu tidak bisa dibiarkan.

"By, dia melek, By! Ya Allah, gemoy banget!" Rafka memekik antusias di sebelahku. "Kamu mau punya kayak gitu juga nggak, By? Aku siap jadi bapaknya."

Tempurung kepalanya kuhadiahi jitakan pelan. "S2 aja dulu selesain," sahutku yang langsung membuatnya merengut kecewa. "Eh, aku ke kantin bentar ya. Beli kopi buat ngilangin ngantuk."

Rafka mengacungkan jempolnya dan aku pun meninggalkannya di sana.

Di tengah perjalanan menuju kantin rumah sakit aku berpapasan dengan Pak Rafli yang sepertinya baru selesai mencuci muka. Dia terlihat pucat dan lelah. Matanya yang sayu menatapku dengan dalam. Tidak perlu dia ungkapkan, aku sudah dapat menebak kesedihan sedalam apa yang dia sembunyikan di sana.

"Boleh saya peluk kamu?"

Aku terpaku.

Ini terasa dejavu untukku, atau mungkin juga untuk laki-laki itu. Dulu dia mengatakan hal yang sama dengan wajah putus asa yang tidak jauh berbeda. Aku jelas tahu apa arti tatapan itu. Tatapan takut kehilangan yang dulu pernah ia tujukan padaku.

Hingga akhirnya kakiku sendiri yang memberikan jawaban dengan menepis jarak di antara kami tanpa sisa. Samar aku mendengar lirihan kata terima kasih dari bibir laki-laki itu.

"Terima kasih, Alfy."

• • •

RAFKA

"Kak Rafka?"

Gue menggeleng. Itu nggak berarti apa-apa. Gue nggak harus mempermasalahkan hal itu.

"Kak Rafka?"

Tapi kalau habis ini mereka dekat lagi gimana? Nggak-nggak! Cukup Han Ji-pyeong sama Han Seo-joon yang jadi sad boy, Han Rafka nggak boleh.

Hingga akhirnya sesuatu menepuk pundak gue, menyadarkan gue dari lamunan. Eh, tunggu, sejak kapan ada murid cewek di depan gue?

"Serius banget, Kak, melamunnya, padahal udah dipanggil dua kali."

Gue meringis pelan. "Biasalah. Ada apa ya, btw?"

Murid cewek itu langsung terlihat gugup. "Itu, Kak, saya mau pulang tapi ..."

"Tapi apa?"

"Tapi motor saya didudukin sama Kakak."

"Hah?" Gue langsung mengeceknya dan benar, bukan Jaguar yang gue duduki sekarang. Gue segera turun dengan perasaan malu. "Oh, maaf-maaf. Saya kira ini motor saya."

Murid cewek itu mengatakan tidak apa-apa lalu pamit pergi dan meninggalkan gue di parkiran dengan sisa-sisa rasa malu yang tertinggal. Gue mengusap wajah dengan kasar. Hari ini pikiran gue benar-benar berantakan banget. Ini semua gara-gara adegan menyandar di bahu yang gue lihat tadi pagi. Juga pelukan itu.

Shit!

Kalau yang pelukan Mang Enjun sama istrinya sih gue nggak peduli. Tapi ini pacar gue sama kakak gue sendiri! Gimana kepala gue nggak berasap coba?

Kekesalan gue diinterupsi oleh notifikasi pesan masuk. Panjang umur, yang sedang dipikirin langsung balas chat gue. Tapi isi pesannya malah makin memperburuk suasana hati gue.

Calon Makmum 24434
Iya, aku udah tau dari kakak kamu tadi, katanya Mbak Ratna udah siuman.
Mau ke rumah sakit lagi buat lihat Mbak Ratna?

See? Mereka bahkan kabar-kabaran di belakang gue. Ingin rasanya gue balas dengan "Mau lihat Mbak Ratna atau lihat si Rafli?" tapi gue masih punya akal sehat. Alfy pasti akan menceramahi gue dengan bilang gue kekanak-kanakan dan sebagainya. Padahal kan cemburu itu wajar! Terlebih ke kakak gue sendiri yang notabenenya masa lalu dia.

Belum sempat gue balas, Alfy kembali mengirim pesan baru. Yang isinya langsung membuat gue lupa dengan kemarahan gue padanya.

Calon Makmum 24434
Btw, aku udah kelar kelas nih
Jemput aku ya by

Muhammad Rafka
OTW! BIAR DAPET VERSI OFFLINENYA

Calon Makmum 24434


Gue langsung tancap gas untuk menjemputnya. Sesampainya di pintu masuk kampus, gue melihat pacar gue tengah berdiri di pinggir jalan. Dia melamun sambil mengamati lalu lalang kendaraan di depannya. Gemes banget ekpresinya, watados gitu. Beda banget sama penampakan dia kalau lagi pms. Yang ini bawaannya bukan pengen bacain ayat kursi, tapi pengen bacain ijab kabul terus resepsi.

Dia sudah lebih dulu menyadari kedatangan gue sebelum gue sampai di hadapannya. Dia tersenyum. Manis banget. Walaupun kantuk berat kentara sekali di wajahnya.

"Hai, Ngab!"

Rasa kagum dan senang gue langsung menguap tak bersisa. "Nggak ada sapaan yang lebih bagus dikit apa?"

Alfy terkekeh. "Yuk, berangkat! Nanti keburu kemaghriban."

"Cium offlinenya mana?" tagih gue.

"NIH!" Wajah gue malah kena timpuk dengan plastik berisi nasi kotak. "Nggak usah ngadi-ngadi, deh."

Gue mengambil bungkusan nasi kotak itu karena mencium bau yang enak dari sana. "Ini buat aku, By?" tanya gue sambil menebak-nebak makanan apa di dalamnya.

"Bukan, buat kakak kamu."

Langit sore terlihat cerah dan baik-baik saja, tapi di dalam hati gue suara geledeg terdengar bersahut-sahutan. Gue menatap Alfy dengan wajah pias. Ini gue beneran jadi sad boy masa?

"Lauk di warteg langganan aku enak banget, terus kepikiran buat beliin Pak Rafli rendang sambel ijonya. Kasian kalau dia harus beli makan di kantin rumah sakit. Kurang enak gitu rasanya."

Dengar sesuatu, nggak? Kalau dengar, itu suara hati gue yang potek belah dua.

"Ih, malah melamun!" Alfy menampol lengan gue. Dia mengambil kembali bungkus nasi kotak itu lalu naik ke boncengan gue. "Kita makan mie ayam dulu, ya? Kangen banget makan mie ayam bareng kamu."

Gue langsung mesem-mesem. Persetan dengan rendang sambel ijo, mie ayam nggak ada lawan!

Setelah mengisi perut dengan mie ayam ceker kesukaan Alfy, kami berdua ke rumah sakit. Saat masuk ke ruang perawatan Mbak Ratna, Rafli ternyata ditemani kedua mertuanya. Mbak Ratna yang sudah siuman tengah mengobrol ringan bersama mereka.

Gue memperkenalkan Alfy kepada mereka. "Ini Alfy, Om, Tante. Calon istri Rafka."

Sikutan tajam Alfy langsung bersarang di perut gue.

Kami tidak mengobrol lama, Om Indra dan Tante Lina tidak bisa bermalam di rumah sakit karena baru saja tiba dari luar kota. Gue dan Rafli memaklumi juga menyarankan kepada mereka untuk sebaiknya istirahat di rumah. Biar kami berdua yang bermalam di sini.

Gue mengantar Alfy pulang setelah itu. Kasihan pacar gue, matanya sudah lima watt. Bahkan sekarang dia sudah tertidur di boncengan gue. Jaguar sengaja gue bawa pelan, takut-takut dia terjengkang ke belakang nggak ketahuan. Maklum badannya tipis, kalau jatuh pasti nggak kedengeran.

Mungkin seperti ini yang dia rasakan kemarin, saat memboncengi gue yang tertidur. Bukan tidur sih, itu simulasi mati kalau menurut gue. Karena gue tidak terbangun sama sekali sampai subuh.

Sedikit lebih lama dari biasanya, akhirnya gue tiba di depan rumahnya. Sengaja, gue tidak langsung membangunkan dia. Kapan lagi kan bisa dipeluk sama dia tanpa dibilang modus.

Tapi nggak gue, nggak dia, kalau tidur sama-sama kek orang mati. Dia nggak bangun meski sudah gue tepuk-tepuk pipinya berulang kali. Sempat gue kira pingsan, tapi saat mendengar dengkuran halusnya gue langsung tersenyum geli.

"Pules banget ya, Mpok?"

Gue langsung menggendong dia. Agak kesusahan, sih, karena posisinya kami sama-sama masih di atas motor. Tapi nggak ada hasil yang mengkhianati usaha. Gue berhasil menggendong dia dan membawa dia masuk. Beruntungnya camer gue belum tidur, jadi ada yang membukakan pintu.

"Emang suka nyusahin anaknya. Tadinya tinggal aja dia di teras, Rafka," kata camer gue yang kontan membuat gue tertawa.

"Jangan dong, Tante, nanti ada yang ambil. Yang kayak gini kan cuma ada satu di dunia. Langka kayak badak jawa," canda gue.

"Badak jawa mah kebagusan, Rafka." Tante Lia membukakan pintu kamar Alfy. "Tapi karena cuma ada satu, jadi dijaga baik-baik ya, calon mantu."

Langsung salah tingkah gue mendengarnya. "Hehe, siap, Tante. Aman sampe pelaminan."

Tante Lia membantu gue memindahkan Alfy ke kasurnya lalu pamit untuk membuatkan minum padahal gue sudah bilang tidak akan tinggal lama.

Gue berakhir memandangi wajah polos Alfy yang tengah terlelap. Sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk mengagumi dia. Tapi lumayan sih, dia masih masuk ukuran cantik walaupun dengan mulut sedikit mangap.

"Sleep tight, By," bisik gue setelah mencium keningnya dengan lembut.

Gue pamit pulang pada Tante Lia setelah mengobrol sebentar dan menyesap teh buatannya. Sebelum kembali ke rumah sakit gue menyempatkan untuk mampir ke rumah, mengambil barang-barang titipan Rafli dan membersihkan diri serta mengganti pakaian.

Sekitaran jam sebelas gue baru sampai ke rumah sakit. Setibanya di depan ruang rawat Mbak Ratna, gue menghentikan langkah karena mendengar percakapan dari balik pintu yang tidak tertutup sempurna.

"Kenapa kamu nggak terus terang soal itu dari awal, Ratna? Kalau Rafka tahu hal ini sekarang, aku nggak bisa bayangin akan sehancur apa dia."

Jantung gue mencelus.

Shit! Apalagi ini?!

• • •
TBC!
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 67.3K 30
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1M 81.2K 49
Sebuah perjodohan yang membuat Alvian dan Adiva harus terikat hubungan pernikahan tidak berjalan mulus. Faktanya, Alvian sama sekali tidak menyetujui...
3.1K 639 38
πŸ’œLavenderWriters Project Season 06πŸ’œ ||Kelompok 04|| #Tema; Past Time β€’Ketua : Amanda β€’Wakil Ketua : Tiara --- Orang bilang senyumnya indah, tatapan...
13.1M 849K 69
Cerita ringan untuk menemani karantina kalian. Start: 7 Mei 2020 End: 22 Juni 2020 [Masih suka update meskipun udah tamat] ❄❄❄ "Emang kalau saya mau...