SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

11: Big Consequences

1.9K 400 37
By lnfn21

CHAPTER 11
Big Consequences

[Playlist: Kevin Oh – No More Flight]

***

Seberkas cahaya mulai menyinari ruang dalam gerbong, mengusik lelap salah seorang perempuan yang bersandar nyaman di bahu pria di sampingnya. Di depan sana stasiun tujuan telah melambai pada kereta yang melaju kian pelan. Deru mesin perlahan dimatikan, pintu-pintu kaca dibuka dan satu persatu penumpang mulai berhamburan—keluar.

Dua pasang kaki manusia berbalut boots kini kembali menapaki peron, berjalan seirama bersama pandang yang menyapu sekitar tempat mereka berada. Udara Kota Chuncheon di musim dingin begitu menelisik raga insani yang bukan penduduk asli, sebagaimana Jeffrey.

Pria itu merapatkan mantelnya, sedikit menggigil terbelai angin yang bertiup cukup kencang. Namun, sosok perempuan yang berjalan di sebelahnya seakan tak terusik. Nampak tenang menikmati sajian pemandangan serupa pepohonan rindang di tepi jalanan, pematang perkebunan yang membentang, dan tanah-tanah subur diliputi ilalang liar yang bergoyang selaras dengan arah hembusan angin.

Rosé. Mata perempuan itu menyipit bersama senyum yang menghias indah wajahnya ketika mendongak dan memandang burung beterbangan di langit abu-abu; atau ketika menyorot anak-anak kecil berseragam rapi keluar dari bus dan berlarian menuju bangunan taman kanak-kanak.

Jeffrey menjadikan sosoknya sebagai labuhan pandang sesekali di sela-sela ayunan langkah dan aksi mengamati layar ponsel. Ia tengah mencoba mencari tahu letak resort tempat mereka menginap nanti. Menurut lamat yang Alice kirim itu tidaklah jauh dari stasiun, hanya perlu sepuluh menit berjalan kaki. Namun, karena langkah Rosé yang cenderung lamban, sepertinya mereka akan tiba melebihi waktu perkiraan.

"Aaa... Sakit."

Lenguhan pelan terdengar menyeret atensi Jeffrey dan Rosé. Seorang anak kecil yang berlarian mengejar ketertinggalannya dari teman-teman tak sengaja menabrak satu sisi tungkak Jeffrey sehingga berakhir menggaduh pula meringis mengusap-usap dahinya. Tubuh mungil itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan figur jangkung dan kokoh Jeffrey.

"Kau baik-baik saja?"

Rosé adalah yang pertama memecah hening yang bertandang selama beberapa saat setelah bocah laki-laki di hadapannya mendongak dan memandang Jeffrey takut-takut. Tak ada jawaban, anak itu menggigit bibir bawahnya resah.

"Maaf," cicitnya begitu lirih nyaris tak terdengar.

Ucapan itu ditujukan untuk Jeffrey, dan Rosé menjadi sedikit tak enak hati ketika melihat Jeffrey yang diam tanpa ekspresi. "Ah, tidak apa-apa." Rosé memberikan senyum termanis yang ia punya, berjongkok lalu mengulurkan tangan mengusap dahi anak yang ia ketahui bernama Yoo Jinwoo dari nametag yang terpasang di seragamnya.

"Sakitnya di bagian ini, bukan?"

Anggukan pelan Jinwoo berikan pada Rosé, sedangkan pada Jeffrey, ia melirik harap-harap cemas. "T-tapi, paman ini terlihat marah." Jinwoo kembali bicara seperti membisik.

"Ah, tidak kok. Dia tidak marah. Benarkan?" Masih dengan sisa-sisa senyum di wajah, Rosé menjawab kecemasan Jinwoo seraya mendongak pada Jeffrey pula. Ia berharap kali ini Jeffrey tak diam saja atau anak itu tak akan mempercayai ucapannya barusan.

"Eum. Masuklah! Nanti kau terlambat."

Sayangnya, meski Jeffrey telah mengeluarkan suara, rautnya tak menampilkan perubahan sekecil apa pun sehingga bocah laki-laki itu nampak ragu kembali memandang Rosé. Satu senyuman Rosé berikan seraya mengusap surai cepak kecoklatan yang hampir serupa dengan miliknya.

"Benar. Masuklah!" titah Rosé lembut, tetapi tak lantas menyingkirkan keraguan pada pancaran mata Jinwoo. Anak itu justru menunduk untuk kemudian tangan kecilnya meraih ujung jemari Jeffrey. Sebuah miniatur karakter kartun pahlawan kesukaannya, spiderman, ia letakan di atas telapak tangan Jeffrey.

"Ini adalah mainan kesukaanku. Aku memberikannya untukmu, Paman. Jangan marah lagi, ya!"

Mendengar penuturan lugu si anak, Jeffrey berkedip beberapa kali. Ia memadang bergantian benda di tangan dan sepasang hazel yang menyorot penuh ketulusan sebelum akhirnya mengambil napas sejenak sebelum turut menyamakan tinggi badan dengan Jinwoo. Meraih tangan kecil Jinwoo, Jeffrey kembalikan benda yang tadi sempat anak itu berikan padanya.

"Jika ini mainan kesukaanmu, kau tidak boleh memberikannya pada siapapun. Jaga dan jangan biarkan orang lain mengambilnya. Dan juga, aku tidak marah padamu. Hanya, lain kali perhatikan langkahmu, tubuhmu sangat kecil dan gampang jatuh. Paham!"

Anggukan pelan Jinwoo berikan seusai Jeffrey berpetuah. Ia memandang mainan yang kini kembali dalam genggamannya lalu mengukung erat-erat seolah memang tak ingin kehilangan benda itu.

Rosé yang sedari tadi mengamati interaksi mereka pun turut mengembangkan dua sudut bibir. Kali ini sebuah bungkusan kecil permen jeli dikeluarkan Jinwoo dari kantung seragamnya, kembali ia ulurkan ke hadapan Jeffrey.

"Kalau begitu, aku akan lega jika Paman menerima ini." Ia bersuara cukup nyaring.

Maka, sebab tak ada lagi alasan bagi Jeffrey menolak, ia meraih bungkusan permen jeli dari Jinwoo. Tak bisa pula untuk tidak membalas sebuah senyum yang diberikan oleh Jinwoo sebelum anak itu berjalan pelan tenggelam di antara gerbang sekolahnya.

Dua pasang mata insani di sana bertemu. Jeffrey resmi menanggalkan senyuman yang sempat menoreh di wajahnya kala tahu Rosé tak melewatkan barangkali sedetik pun dari memperhatikan pria itu. Dengan pergerakan yang agak kaku Jeffrey bangkit lalu mengulurkan bungkusan permen di tangannya. "Untukmu."

Rosé tak lantas menerima. Kerutan muncul di dahi wanita itu sebelum bertanya, "Mengapa? Anak itu memberikannya padamu."

"Aku tidak suka jeli."

Dan, pernyataan Jeffrey berikutnya tak juga membuat raut bingung Rosé menghilang. Di dalam benak wanita itu, rasa keheranan kian bertumpuk. Ini kali pertamanya melihat seorang Jung Jaehyun bersikap kaku pada orang lain sebagaimana yang terjadi beberapa saat lalu, padahal Jaehyun selalu begitu ramah pada siapa saja terlebih seorang anak kecil. Lalu sekarang, Jaehyun bilang tak suka permen jeli, padahal dulu mereka kerap berebut makanan itu. Meski pada akhirnya Rosé yang lebih banyak menghabiskan.

Memandang wajah sosok yang berdiri di hadapannya kini, Rosé lagi-lagi ditubruk perasaan aneh. Ada segelintir ragu perihal benarkah sosok itu adalah suaminya. Rosé mencoba menyingkirkan spekulasi yang agaknya tak masuk akal. Terlebih mengingat fakta sebuah kecelakaan yang menyebabkan pria itu melupakan banyak hal. Sekali lagi Rose menegaskan pada diri sendiri agar tak terlalu mempermasalahkan jika nantinya ia kembali menemui sebuah perbedaan di antara suaminya sebelum dan setelah tragedi enam bulan silam.

"Terima kasih."

Mengambil bungkusan di tangan Jeffrey, seuntai senyum kembali Rosé persembahkan untuk pria itu. Sedikit kesulitan kala membukanya, Rosé sempat menoleh pada Jeffrey yang kinikembali mengoperasikan ponsel dan sibuk meneliti sekitar.

Jeffrey tengah mencari alamat resort mereka, Rosé tahu sehingga ia tak hendak mengganggu pria itu dengan permasalahan kecilnya. Mungkin nanti ia bisa membuka permennya menggunakan gunting atau pisau saat tiba di resort. Ia hendak memasukan benda itu ke dalam saku mantel, tetapi urung ketika merasakan sebuah jemari kokoh mengambil alih.

Rose tak menyadari sejak kapan Jeffrey telah mengantongi ponselnya dan kini berkutat membantu membuka bungkusan permen yang tadi ia berikan pada Rose. "Ini," tukas Jeffrey, mengulurkan kembali benda di tangannya untuk Rose.

"Terima kasih." Senyuman kecil kembali menghias wajah cantik Rosé kala menerima, kian melebar ketika rasa manis permen jeli menyentuh lidah. Tak ada jawaban dari Jeffrey. Keduanya kini kembali melangkah tanpa obrolan.

"Anak itu, bukankah dia lucu?" Sampai akhirnya Rosé kembali menajadi orang pertama yang membelah keheningan. "Eum. Lucu." Jeffrey membalas singkat. Rosé menoleh memandangnya yang menatap lurus ke depan.

"Benar. Anak laki-laki selalu menggemaskan. Kalau menurutmu, anak pertama akan lebih baik laki-laki atau perempuan?"

Mendengar pertanyaan Rosé, Jeffrey mengambil jeda sejenak untuk berpikir. Seumur hidupnya, tak pernah sekalipun Jeffrey memikirkan hal itu. Ini bukan perkara sulit untuk dijawab, tapi entah mengapa ia butuh waktu yang tak sebentar sehingga ia memilih melempar kembali pertanyaan yang serupa demi mengulur masa. "Bagaimana menurutmu?"

Tak keberatan meski Jeffrey tak lantas menjawab rasa penasarannya, Rosé dengan antusias menanggapi, "Anak laki-laki. Sebagai anak pertama, dia lebih bisa diandalkan. Jika ayahnya pergi sangat jauh, dia bisa menjaga ibu dan adik-adiknya."

"Sama saja, anak perempuan juga punya naluriah seperti itu jika dalam kondisi yang sama. Bukankah selama ini kakakmu menjagamu lebih baik dari siapapun?" Jeffrey membalas tenang. Sedang, Rosé hanya meringis tak menyangkal. Satu hal yang Rose pahami dan hendak ia pastikan, "Kau lebih suka anak pertama perempuan?"

Jeffrey menoleh sebentar sebelum menggulirkan sepasang bola matanya asal.

"Aku pernah berkeinginan memiliki kakak perempuan jika aku lahir di kehidupan selanjutnya. Bukan perkara bisa diandalkan atau tidak, kalau hanya untuk itu kami bisa saling mengandalkan. Aku hanya berpikir kakak perempuan jauh lebih menyayangi keluarga, terutama adik-adiknya. Saat SMA aku punya teman yatim piatu, kakaknya perempuan. Kadang kala dia seperti ibu, hangat dan penuh kasih sayang. Kadang juga seperti ayah, rela mencari nafkah dan banyak mengomel saat temanku berulah."

Runtaian kalimat yang Jeffrey ucapkan terserap begitu cepat ke dalam akal Rosé. Terdengar seperti ungkapan kerinduan akan kasih sayang yang telah lama hilang, meski sosok Jeffrey tak menampilkan ekspresi pedih di wajahnya.

"Tapi tetap saja, entah laki-laki atau perempuan, anak pertama seharusnya menjadi pelindung keluarga dan teladan bagi adik-adiknya."

Kali ini Rosé mengangguk menyetujui ucapan Jeffrey. Ia menunduk, menatapi langkah mereka yang begerak sejajar. Dalam hati ia sedikit merasa lega, suaminya tak banyak menuntut seperti laki-laki di luaran sana yang kebanyakan menginginkan seorang putra sebagai anak pertama.

"Maaf ya," lirih Rosé kemudian.

Jeffrey menautkan alis bingung. "Maaf untuk apa?"

Sejenak terdiam, Rosé menatap Jeffrey begitu dalam sebelum bibirnya bergerak mengucap, "Baik anak laki-laki maupun perempuan, aku belum bisa memberikannya untukmu. Maafkan aku."

Tanpa mengetahui, bahwasanya pikiran Jeffrey seakan terpencar ke mana-mana ia tak suka.

***

"Eoh, Mingyu. Kau masih di sini?"

Sosok pria bersetelan rapi yang duduk di atas sebuah sofa satu unit resort kini mengangkat kepala tepat setelah suara seorang perempuan menyebut namanya dan mengalunkan bertanya. Ada jeda sebentar sebelum ia menguntai senyum tipis.

"Akhirnya kalian sampai." Pandangan Mingyu bergulir menuju sosok Jeffrey sebelum membungkuk singkat pada pria itu.

Dua buah koper di dekat Mingyu menjadi objek pandang Rosé. "Kau menunggu kami datang?" Perempuan itu bertanya dan mendapat balasan anggukan kepala. "Astaga. Seharusnya kau kembai ke Seoul setelah meletakan koper itu. Kami tiba sangat terlambat, kau pasti menunggu lama."

Kali ini Mingyu menggeleng, masih dengan sisa-sisa senyum yang menghias di wajah, "Tidak. Tidak apa-apa. Aku senang kalian tiba dengan selamat."

Sekali lagi pandangan Jeffrey dan Mingyu beradu. Entah mengapa suasana di antara keduanya mendadak menjelma kaku padahal tempo hari mereka masih sempat bercengkrama. Jeffrey tak melupakan niatnya bertanya perihal hari spesial: hari jadian Rosé dan Jaehyun, hari pernikahan, tanggal lahir Rosé, dan sedikit tentang selera seorang Jung Jaehyun. Jeffrey telah mengantongi cukup banyak informasi dari Mingyu.

Menyelami pancaran mata Mingyu yang berhias binar-binar saat bicara dengan Rosé, Jeffrey mulai menyadari adanya perasaan tersembunyi dari dalam diri Mingyu teruntuk perempuan itu. Jeffrey tak bodoh, satu sudut bibirnya terangkat sedikit getir. Mengingat Rosé yang memanggil nama Mingyu tanpa segan, Jeffrey mulai ditubruk rasa penasaran akan seperti apa hubungan mereka di masa lalu.

"Kalau begitu, selamat berlibur. Aku permisi, pulang."

Mingyu kembali membungkuk, lantas berjalan melewati Jeffrey yang bisa menangkap keraguan langkahnya kala mereka bersitatap dalam jarak singkat.

"Mingyu ...."

"Ya?"

Sekali lagi Rosé memanggil nama itu. Sosoknya berhenti melangkah dan menoleh. Sementara mata Jeffrey mengikuti pergerakan Rosé yang berjalan pelan memungut sebuah kartu identitas dan dompet yang tergeletak di atas meja, kemudian mengurai langkah mendekati Mingyu. Ia sedikit berjinjit, mengalungkan kartu identitas Mingyu di leher pria itu.

"Kerja bagus, Asisten Kim. Lain kali jangan suka meninggalkan benda-benda berharga. Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan sampai ceroboh begini?" Kekehan kecil nampak meliputi aur muka Rose saat mengucap. Berikut, Ia meraih pergelangan tangan Mingyu dan meletakan dompet pria itu di sana.

Jika boleh berkata jujur, isi pikiran Mingyu adalah perempuan yang berdiri di hadapannya sekarang. Mingyu masih belum bisa menyingkirkan spekulasi buruk yang mungkin terjadi bilamana ia meninggalkan Rosé berdua bersama Jeffrey di sini. Saat matanya kembali menubruk retina kelam Jeffrey, Mingyu tahu kesempatan untuk menjawab pertanyaan Rosé tidaklah benar-benar terbuka.

Maka, ia memilih hanya mengurai senyum dan mengusap puncak kepala Rosé lembut. "Aku pergi dulu."

Rosé mengangguk. "Hati-hati di jalan," tukasnya kemudian. Ia memandang punggung Mingyu yang perlahan menjauh dan hilang.

Kini ruangan luas yang memuat satu ranjang di tengah, lemari, bufet, dan sofa panjang hanya menyisakan dua manusia sebagai penghuni. Mereka tak saling bicara untuk beberapa saat lamanya.

Jeffrey bergerak lebih dulu menuju dua koper dan membongkarnya dengan pergerakan yang cukup tergesa. Entahlah, Jeffrey cukup merasa kesal. Ia jelas bisa menemukan ketidakpercayaan yang memenuhi sorot mata Mingyu, seakan-akan Jeffrey adalah seburuk-buruk manusia yang tak segan membuat Rose celaka nantinya.

Tak hendak berdiam diri di tempat, Rosé beranjak mendekati Jeffrey guna membantu pria itu menata baju-baju ke dalam lemari.

"Ada masalah di antara kalian?" Rosé bertanya, Jeffrey menoleh bersama dahi yang berkerut bingung. "Siapa?'

"Kau dan Mingyu?"

Sepertinya Rosé cukup peka sehingga menangkap gelagat kaku Mingyu saat menyapa Jeffrey tadi. Tak tahu harus menjawab apa, Jeffrey tergulung keheningan. Dan, tak hendak Rosé berspeskulasi macam-macam, Ia memilih mengajukan satu pertanyaan, "Boleh aku bertanya satu hal?"

Duduk di atas sofa seraya berkutat dengan beberapa pakaian milik Jeffrey sehabis menggantung keseluruhan pakaiannya di lemari, Rosé mengangguk menanggapi. Sedang Jeffrey kala itu duduk di tepian ranjang, menghadap Rosé di sana bersama mata yang bergulir memperhatikan setiap gerak-gerak perempuan itu.

"Seperti apa hubunganmu dengan Asisten Kim di masa lalu?"

Pergerakan Rosé terhenti sejenak sebelum ia mengangkat kepala bersama seulas senyum manis. "Kami hanya teman kelas saat SMA. Kemudian, Mingyu pergi perguruan tinggi yang sama denganku, meski beda jurusan. Dia masuk ke jurusan yang sama denganmu, bahkan kalian satu kelas. Entah bagaimana awal mula kau mengenalnya, yang kudengar kalian pernah tinggal di satu panti asuhan yang sama."

Benar. Hubungan Rosé dan Mingyu dulu memang hanya sebatas teman kelas, tak lebih dan tak juga kurang. Mingyu adalah penyuka musik, sebagaimana Rosé. Setelah mengetahui itu, keduanya perlahan-lahan menjadi cukup dekat. Kerap berbagi obrolan seputar musik di kelas maupun di aplikasi pengiriman pesan, atau dengan iseng menyanyikan lagu bersama-sama saat jam kosong tiba. Saat keduanya dipilih mewakili kelas pada ajang perlombaan menyanyi, Rosé mengajak Mingyu ke rumahnya, lalu mereka menghabiskan waktu berjam-jam dengan perbincangan tanpa arah di sela-sela latihan. Tampil di kafetaria dan mendapat bayaran pun seringkali Rosé lakukan bersama Mingyu dulu.

Tanpa segan, mulut Rosé berceloteh, mendongeng banyak perihal masa lalunya dan Mingyu kepada Jeffrey. Perempuan itu seakan tak memiliki sedikit saja niat berbohong atau menabur kebohongan dalam tuturannya. Senyum tipis dan sorot cemerlang beberapa kali nampak di wajahnya yang cantik. Menceritakan kisah manis dengan pria lain tanpa mempertimbangkan seseorang yang mungkin terluka karenanya. Jeffrey yakin Jaehyun tak akan menyukai hal itu, sebagaimana dirinya sekarang yang sedikit mencicipi menu kecemburuan.

"Tunggu, apa kau juga melupakan Mingyu?" Satu pertanyaan Rosé berikan pada Jeffrey yang sedari tadi hanya diam. Mengangkat kepalanya pelan, Jeffrey menjawab, "Eum. Aku hanya tahu kami adalah teman baik."

Rosé mengangguk. "Benar. Kau mengenal Asisten Kim jauh sebelum aku mengenalnya." Ia beranjak, menggantung pakaian-pakaian Jeffrey. "Tapi, tidakkah kau menyadari bahwa Asisten Kim seperti memiliki perasaan khusus padamu?"

Pertanyaan yang mengudara sangat lirih dari Jeffrey tak dapat didengar jelas oleh Rosé di sana. "Kupikir, dia menyu ...."

Dan, ucapan Jeffrey berikutnya tertahan begitu menoleh dan mendapati Rosé yang berjinjit sedikit kepayahan mendorong sebuah selimut cadangan yang ia bawa dari rumah pada ruang dalam lemari yang melebihi jangkaunnya. Insting Jeffrey bergerak cepat memerintah tungkak untuk mendekati perempuan itu dan berdiri di belakangnya, mengulurkan tangan guna membantu meletakan selimut yang sedari tadi berusaha Rosé masukan.

Memutar tubuh seraya bertanya, "Kau bicara apa tadi?" Rosé menuai nada pelan di penghujung kata kala matanya tepat menubruk sepasang retina kelam milik Jeffrey. Wajah ternampak rupawan meski tanpa ekspresi kini hanya berjarak beberapa ruas jari dari pandangan perempuan itu.

Tiba-tiba saja rasa dalam dada Rosé menggelora. Kebersamaannya dengan Jaehyun bukanlah singkat, dan ia tak semestinya berdebar begitu hebat hanya karena hal sesederhana saling bertatapan. Jika mengulur waktu ke belakang, ia dan Jaehyun telah melakukan banyak hal yang lebih daripada itu. Tetapi entah mengapa, saat ini ia seperti kembali merasakan sebuah euforia seolah-olah dirinya tengah jatuh cinta pada pria yang sama untuk kedua kalinya.

Sedang Jeffrey tertunduk, membiarkan matanya berpuas diri menyalami pandangan Rosé pula meneliti ornamen indah yang Tuhan bubuhkan pada sosok perempuan di hadapannya sekarang. Tanpa sadar deru napas Jeffrey melamban, berbeda dengan jantung yang berpacu kian kencang dan terus ia coba tenangkan. Satu tangan Jeffrey perlahan terulur menuju pelipis Rosé guna menyingkirkan sedikit anak rambut wanita yang kini terdiam menikmati sensasi atas sentuhan kecil Jeffrey.

"Kim Mingyu, apa kau menyukainya?"

Suara rendah nan pelan Jeffrey menyapa pendengaran Rosé, cukup membuatnya tertegun. "Maksudku, adakah perasaan spesial yang kau punya untuk laki-laki itu?" Jeffrey mengulang dalam konteks memperjelas pertanyaannya yang mungkin sedikit kurang bisa dipahami.

Sungguh, Jeffrey tak punya motif apa pun selain hanya ingin memastikan bahwa selama ini Jaehyun memang pemilik perasaan Rosé satu-satunya. Namun, jikalau pada akhirnya hati perempuan itu terbuka untuk pria lain suatu saat nanti, Jeffrey jelas tak punya hak untuk melarang. Justru hal itulah yang semestinya ia panjatkan dalam doa karena sesungguhnya itu juga akan membawa suatu kebaikan bagi banyak orang, khususnya bagi Rosé maupun diri Jeffrey sendiri. Dengan begitu mereka bisa saling melepaskan, Rosé lepas dari Jeffrey dan jeratan bayang-bayang Jaehyun, sedang Jeffrey akan lepas dari perempuan itu dan kembali ke kehidupan gelapnya sebagaimana dulu kala.

"Tentu saja tidak."

Jawaban Rosé entah bagaimana mampu membubuhkan rasa lega ke dalam diri Jeffrey. Setidaknya untuk saat ini. Dengan itu, Jeffrey tahu bahwa Rosé memang benar-benar mencintai Jaehyun tanpa mencurangi apa pun, apalagi membagi perasaannya pada orang lain. Sungguh, dicintai wanita cantik dan setia, Jeffrey pikir, Jaehyun ialah seberuntung manusia di dunia

Kali ini Jeffrey menggeser usapan lembutnya pada puncak kepala Rosé. "Kalau begitu jangan biarkan dia menyentuhmu!" ucapnya kemudian, tanpa sadar. Ia masih mengingat jelas kala Mingyu dengan ringan mengusap kepala Rose beberapa saat lalu.

"Mengapa?" Rosé bertanya pelan, terkesan penuh keraguan. Dan, Jeffrey yang masih nampak tenang menjawab, "Aku tidak suka." Jeffrey tak berbohong. Ia sendiri tak mengeri bagaimana rasa tak suka itu hadir tanpa alasan ketika melihat interaksi manis di antara Rose dan Mingyu.

Sepasang kelopak berhias bulu mata lentik bergerak cepat, berkedip beberapa kali. Raut polos nan lugu tersemat di wajah Rosé kala kembali bertanya, "Apa kau cemburu?"

Mendengar itu, Jeffrey menarik dua sudut bibir lalu tersenyum samar. Mata Jeffrey kembali menyelami netra jernih yang membingkai bayangan dirinya. Gerakan mengusap surai Rosé telah ia hentikan seiring mengambil jeda sebelum menjawab, "Benar. Aku cemburu."

Jeffrey yakin, Jaehyun akan mengatakan hal itu jika berada dalam situasi yang serupa dengannya. Raut terkesiap hinggap pada Rosé sesaat. "Mengapa reaksimu begitu? Apakah menjadi sesuatu yang salah jika seorang suami cemburu saat pria lain menyentuh istrinya?"

Entahlah. Mulut Jeffrey telah betindak jauh di luar nalar. Ia hanya merespon setiap stimulus yang nampak di depan mata. Gelengan pelan Rosé berikan sebagai jawaban atas pertanyaan Jeffrey sebelumnya. Ia tertunduk sebentar menyembunyikan senyum yang tak bisa ia tahan dan rona yang tak elak menjajaki wajahnya, meski sia-sia sebab Jeffrey jelas bisa melihat itu.

Tanpa sadar, kedua sudut bibir Jeffrey pun terkembang. Rasa gemas yang mendadak hadir menyeretnya kembali menggerakan jemari mengusap surai Rosé. Pelan-pelan Rose mengangkat kembali kepala sehingga lagi-lagi dua pasang mata insani di sana bertemu tatap.

Satu kecupan terlabuh pada ujung hidung Jeffrey, lambat laun menanggalkan lengkungan pada bibir Jeffrey lalu tergantikan oleh sebentuk garis biasa. Sementara sang pelaku yang membuat Jeffrey sukar menata rasa di dalam dadanya kini justru tersenyum begitu lebar, kemudian membisikan kata yang tak pernah sekalipun Jeffrey dengar seumur hidupnya.

"Aku hanya mencintaimu, dan sampai kapanpun akan selalu begitu."

Mendadak isi pikiran Jeffrey menjadi kosong. Ia hanya menaruh perhatian pada dunianya yang mendadak berputar lamban, mempersilakan dua netra Jeffrey merekam baik-baik pemandangan indah serupa bibir ranum Rosé yang masih terkembang, pula sepasang mata yang menyipit sebagai penanda adanya sebuah ketulusan dari apa yang diucapkan perempuan itu barusan.

Meski Jeffrey tahu, pernyataan yang memicu debaran itu bukanlah untuknya.

Saat ini yang Jeffrey inginkan adalah menampar diri sendiri agar sadar segera, bahwa ia tak seharusnya menjadi sedemikian terlena di saat segalanya masih terlalu jauh dari tujuan yang telah ditetapkan. Apa yang ia lakukan beberapa hari ini belum apa-apa, bahkan belum setengah jalan. Masih terlalu dini masanya untuk jatuh cinta.

Dan, sekali lagi akal Jeffrey menegaskan, mencintai perempuan itu adalah hal terlarang baginya, meski tak tercantum pada poin manapun dalam peraturan yang ia sepakati dengan Alice. Sebab konsekuensi jika melanggar telah tergambar nyata di benak Jeffrey.

Konsekuensi yang sangat berat dan seolah tiada ampun. Jeffrey tak ingin berakhir menerimanya, hanya demi merasakan sejumput bahagia yang sementara dan cinta yang fana adanya.

[]





[SILHOUTTE: After A Minute]

***

***

Halo, cantik. 

Coba tebak, kira-kira Jeffrey bakal falling in love gak sama Rose?

Udah ketebak ya. But, kira-kira tahu gak konsekuensi apa yang bakal Jeffrey dapet? 

Dan, terakhir. Mau ngucapin terimakasih banyak buat yang selalu support book ini. Love you. Jumpa nesxt part ya mwehehe.

***

Continue Reading

You'll Also Like

119K 9.9K 52
Hermione menangis meratapi kebodohan Ronald Weasley yang mengantarkan rumah tangganya kepada jurang perceraian. Ia mengingat - ingat apa yang salah p...
51.8K 6.9K 63
Hoshi bertemu tetangga pemurung itu lewat balkon apartemen Kakaknya. Tetangga pemurung yang selalu bernyanyi dan bercocoktanam di balkon apartemennya.
171K 19.4K 39
VOTE DAN COMMENT JANGAN LUPA, TERIMA KASIH. Naruto Namikaze itu kejam, suka sekali membully Hinata yang polos. Menurut Naruto itu balas dendam. Ever...
389K 4.2K 84
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...