Love For Eleanor

By FatimahIdris3

1.1K 807 528

Kutulis kisah ini untuk banyak orang. Untuk mereka yang pernah terluka dan ragu untuk kembali membuka hatinya... More

BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 22
BAGIAN 23
BAGIAN 24.1
BAGIAN 24.2
BAGIAN 25
BAGIAN 26
BAGIAN 27
BAGIAN 28
BAGIAN 29
BAGIAN 30
BAGIAN 31

BAGIAN 14

20 14 2
By FatimahIdris3

         Yuuuuuuuuhuuuuuuu..... Ma'afkan ya author lama kagak muncul. Buat yang masih setia sama cerita ini... Makasi bangetzzzz😘😘

       Btw masih ada yang penasaran kagak sih sama ending ini cerita??

      Kuy dibaca aja... Tapi jangan lupa vote dan komentnya ya...

🌺🌺🌺

         Matahari begitu terik menyinari bumi siang ini. Rasanya ingin sekali berendam dengan air dingin. Kalau bisa, seharian hanya menghabiskan waktu didalam ruangan ber-ac. Sayangnya, itu tidak bisa dilakukan oleh El.

        Wanita itu sejak pagi sudah mondar-mandir menemui klien dan beberapa koleganya. Hingga tidak sadar olehnya bahwa sejak keluar dari apartement, perutnya tidak terisi makanan. El hanya minum segelas kopi yang dibelinya disebuah kedai.

      Jika Ahra tau El minum kopi sebelum makan nasi, dapat dipastikan bagaimana marahnya dia. Haruskah El bersyukur, bertemu dengan seorang adik yang begitu perhatian padanya.

"Fyuuuuuuuuuuuuh, melelahkan sekali hari ini"

        El meletakkan tas selempangnya diatas meja. Saat ini dia sudah berada di restoran Fai. Tidak ada tempat yang ditujunya selain tempat ini. El mengambil ponselnya yang sengaja ia biarkan meski beberapa kali berbunyi.

       Ada banyak panggilan dari sang ibu. Beberapa pesan yang sejak semalam dia abaikan. El menghembuskan nafasnya. Baru saja dia ingin memasukkan ponselnya kembali, sudah ada telepon dari nomer yang sama. El tidak ingin peduli, namun seseorang dengan cepat merebut ponsel itu dari tangannya.

"Fai...!!!! Berikan itu padaku!" El berdiri ingin mengambil kembali ponselnya dari tangan Fai. Namun tinggi badan Fai yang melebihinya, membuat El kesulitan meraih ponsel digenggaman Fai.

"Kenapa tidak menjawab panggilan dari ibumu? Dia pasti sudah berulang kali menelepon dan kau mengabaikannya... Lagi?"

      El kembali duduk sambil memutar matanya jengah. Bagaimanapun, kedua sahabatnya tidak pernah setuju jika dia mengabaikan telepon dari sang ibu.

"Ayolah El, hari ini peringatan kematian ayahmu, ibumu pasti ingin kau ada disampingnya, aku tau kau membencinya tapi sampai kapan?" Tanya Fai sambil mendudukkan tubuhnya dikursi depan El.

"Sudah cukup kau menghukumnya El, dia pasti sangat merindukanmu" sambung Fai.

"Entahlah, aku hanya belum siap bertemu dengannya" Kata El tidak bersemangat. Lalu meletakkan kepalanya dimeja.

       Fai menatapnya iba. Tidak tau harus dengan cara apalagi membujuk El agar berdamai dengan ibunya.

"Faaaaaaaaai!!!!" Dari arah pintu masuk, Ahra berlari sambil berteriak heboh.

"Setidaknya ada satu orang yang menuruti perkataanku walau sedikit kekanakan" Gumam Fai sambil menolehkan kepalanya pada Ahra.

     Ahra berdiri didepan Fai dengan tas ransel dipundaknya, persis anak tk.

"Kau akan pergi kemana dengan tas begitu?" Tanya Fai penasaran.

"Menginap di tempat kost" Jawab Ahra terlihat bahagia.

"Bukankah besok pagi kita juga akan mengunjungi ayah El? Jadi aku sudah siap" Lanjutnya bersemangat.

      Fai tersenyum melihat betapa bersemangatnya Ahra. Wanita termuda diantara dirinya dan El itu sibuk meletakkan barang-barang bawaannya dibawah meja. Lalu duduk sambil memainkan ponselnya.

"Sejak kapan El tidur disini?" Tanya dia sesaat setelah memperhatikan orang yang menelungkupkan wajahnya dimeja itu adalah El.

"Beberapa menit sebelum kau datang" Jawab Fai sekenanya.

"Ada apa dengannya? Apa ibunya menelepon, memintanya untuk menghadiri peringatan kematian ayahnya lagi?" Tanya Ahra penasaran.

"Kau tau tanpa harus kujawab" Fai beranjak dari duduknya.

"Kau mau kemana?"

"Mengambil makanan, kau pasti lapar kan?"

"Waaaaaaaah baik sekali, terima kasih" Ahra kembali bertingkah seperti anak kecil.

        Sepeninggal Fai, Ahra memperhatikan El. Entah sahabatnya itu benar-benar tidur atau hanya berpura-pura.

"Tidurlah El, mungkin dengan tidur kau akan lebih baik" Kata Ahra sedikit berbisik sambil mengelus rambut kecoklatan milik El.

      El tidak benar-benar tidur. Dia dengar semua yang dikatakan Ahra. Dia mendengar setiap obrolan Ahra dan Fai. Bahkan dia merasakan tangan mungil Ahra yang seperti biasa mengelus rambutnya. Namun dia memilih tetap memejamkan matanya. Hanya itu satu-satunya pelarian yang membuatnya melupakan masalahnya.

🌺🌺🌺

        "Hooooaaaaaaaaaaaaaam" Ahra menguap lebar sambil mengeratkan sweater berwarna pinknya.

        Udara dingin terasa menusuk hingga ketulang. Tempat itu sepi seperti biasa. Hanya ada Ahra, Fai dan El yang baru saja menginjakkan kaki ditempat peristirahatan terakhir para manusia itu. El melangkah lebih dulu setelah menguatkan hatinya.

       Fai dan Ahra mengikutinya dari belakang. Sudah beberapa tahun terakhir, inilah yang ketiganya lakukan. Datang ketempat yang tidak banyak orang ingin mengunjunginya di pagi buta. Bukan karna takut diketahui orang. Tapi lebih pada rasa khusuk dan penghormatan yang begitu mendalam.

"Apa kabar, paman" Sapa Ahra dengan senyum khasnya yang tidak pernah pudar setiap mengunjungi tempat ini.

       Ahra meletakkan bunga krisan putih diatas gundukan dengan nisan bertuliskan nama seseorang yang pernah menjadi cinta pertama sahabatnya, El.

"Ma'af selalu datang pagi-pagi, Ahra harap paman tidak merasa terganggu dan ma'af selalu berisik ya paman, heheheh" Lanjutnya masih dengan keceriaannya. Ahra memejamkan matanya dan mengangkat kedua telapak tangannya sampai dada. Berdo'a sejenak seperti biasa setiap dia kesini. Fai melakukan hal yang sama setelah meletakkan bunga mawar merah disebelah bunga krisan milik Ahra.

       Ahra dan Fai sudah selesai berdo'a dan memilih untuk memberi waktu untuk El berdua dengan sang ayah. Fai memang tidak banyak bicara. Dia cukup berdo'a tanpa harus repot-repot berbasa-basi.

"Kami akan menunggu ditempat biasa" Kata Fai sambil menepuk pundak El.

         Fai dan Ahra melangkah menuju gubuk yang ada didekat pintu masuk pemakaman. Biasanya keduanya memang menunggu El ditempat itu. Mengawasi El dari tempat itu sampai selesai.

"Huft seperti biasa, kita terlihat menakutkan ditengah-tengah pemakaman" Gumam Fai sambil duduk dipinggiran gubuk.

"Apanya yang menakutkan? Tidak ada hantu yang imut sepertiku, kau selalu saja mengeluh" Kata Ahra yang juga ikut duduk disamping Fai.

"Heh siapa yang mengeluh? Aku hanya mengatakan kenyataan, setiap tahun kita kesini untuk menemani El memperingati kematian ayahnya, dipagi buta dengan udara yang menusuk sampai ketulang, aku heran kenapa harus sepagi ini dia kesini?"

"Dia tidak ingin siapapun tau kedatangannya, dia terlalu keras kepala untuk mengalah bertemu ibunya lebih dulu"

"Pasti ada sedikit keinginan dihatinya untuk kembali kekehidupan lamanya"

         Ahra tidak menimpali perkataan Fai. Sekarang wanita itu disibukkan dengan snack yang sengaja dibawanya.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Fai dengan mengerutkan dahinya.

"Daripada memikirkan apa yang ada diotak El, lebih baik menikmati cemilan ini, mau?" Ahra mengulurkan snack yang dibawanya pada Fai. Mulutnya sudah penuh dengan snack. Fai hanya geleng-geleng kepala. Tapi tetap mengambil snack yang diberikan Ahra padanya.

         Sementara itu, El berdiri didepan nisan sang ayah. Masih menggenggap erat bunga mawar merah ditangannya. Masih ada taburan bunga diatas tempat peristirahatan ayahnya. Bunga-bunga itu pasti sisa acara peringatan kemarin. El berjongkok, meletakkan bunga yang dibawanya tepat disebelah bunga krisan milik Ahra dan Fai.

        Perlahan wanita itu mengusap nisan bertuliskan nama sang ayah. Lalu mulai bermonolog sendiri seolah sang ayah ada dihadapannya.

"Apa kabar ayah? Ma'af mengganggu istirahatmu dipagi buta begini" El tersenyum simpul.

"Aku mungkin sudah mendapat predikat anak durhaka dari ayah jika ayah masih disini, aku tidak mendengarkan setiap perkataan ibu, membiarkan dia sendirian dirumah dan berkeliaran diluar rumah, jika ayah berfikir aku menyesal, jawabannya tidak, aku sama sekali tidak menyesali semua hal yang kulakukan"

"Ayah tau itu, aku sudah mengatakannya berulang kali setiap aku datang, apa ayah tau, lagi-lagi aku patah hati karna laki-laki, huft... Tidak, sebenarnya ini adalah patah hati pertamaku, aku meletakkan harapan begitu tinggi pada pria ini, namanya Billy"

       El berhenti sejenak. Tenggorokannya seolah terasa kering saat ingin menceritakan kisah cintanya dengan Billy. Entah mengapa begitu sulit melupakan pria itu. Padahal sudah beberapa bulan berlalu, hatinya sudah baik-baik saja. Namun saat ingin membaginya pada sang ayah, luka lamanya seolah terbuka kembali. El menarik nafasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan.

"Dia pria yang baik... Begitu yang kulihat saat pertama berkenalan dengannya. Kami memiliki kesamaan meski tidak sepenuhnya aku tau semua tentang dia. Salahku yang terlalu cepat mempercayakan hatiku untuknya. Aku terlalu terbuai kebahagiaan sementara. Lalu saat dia mengatakan ingin menjalin hubungan lebih dari sekedar teman, tanpa berpikir panjang aku menerimanya. Ayah... Saat itu aku tidak berfikir bagaimana kehidupanku setelahnya, bagaimana dia atau seperti apa lelaki yang menjadi kekasihku. Saat itu hatiku benar-benar tertutup dan aku dibutakan dengan rasa yang disebut cinta. Aku lemah dan mengabaikan semua orang disekitarku"

          Airmata yang entah sejak kapan membasahi kedua pipi El, semakin mengalir tanpa bisa dibendung. El terisak, dadanya sesak.

"Dia orang yang kupercaya tidak akan menyakitiku dan menjadi orang terakhir untukku bersandar, nyatanya menorehkan luka yang cukup dalam. Dia... Mengkhianatiku ayah... Dia menghancurkan semua harapanku, dia..." El tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Rasa sesak didadanya begitu menyiksanya.

"Soal ibu, aku belum bisa bertatap muka dengannya apalagi tinggal satu atap dengannya lagi. Aku ingin menata hatiku yang hancur dulu. Aku sudah mema'afkan perbuatannya. Aku hanya butuh waktu untuk benar-benar memulai semua dari awal dengannya. Terima kasih ayah... Sudah bersedia mendengar keluh kesahku. Aku janji setelah keluar dari sini, aku akan melupakan Billy atau siapapun yang membuat hatiku lemah"

        El mengusap airmatanya kasar. Lalu berdiri sambil mengelus nisan sang ayah.

"Seperti biasa, setelah ini tidak ada Eleanor yang lemah, hanya ada El yang kuat dan tidak ada satupun yang bisa menghancurkan hatinya lagi" El menarik kedua sudur bibirnya. Tersenyum sedikit dan mulai berbalik arah meninggalkan area pemakaman.

        Dalam hatinya El bertekad untuk memulai menata hatinya yang sempat berantakan karna kisah cintanya bersama Billy berakhir buruk. El akan membuang semua hal buruk yang terjadi dalam hidupnya. El tidak akan membiarkan siapapun dengan mudah memasuki hatinya. Setelah hatinya kembali membaik, dia akan berusaha untuk berdamai dengan sang ibu.

🌺🌺🌺

           Diaz menatap jijik pada wanita didepannya ini. Pantas saja sampai saat ini wanita itu belum juga mendapat pasangan atau dekat dengan pria. Melihat bagaimana wanita itu makan, sudah dipastikan semua pria langsung kabur.

"Pak Diaz tidak makan?" tanya wanita itu yang tidak lain adalah sekretaris Sharga, Sikha.

       Diaz hanya menggelengkan kepala. Selera makannya sudah hilang sejak melihat Sikha makan dengan lahapnya.

"Waaaaaaah sering-sering ya pak mentraktir saya, heheheheh" Kata Sikha sambil melahap makanan terakhirnya.

"Kalau bukan atas perintah Sharga, mana mau aku mentraktirmu, kau tidak sadar sudah membuatku malu?"

      Sikha mengernyit, tidak mengerti apa yang dikatakan bosnya itu.

"Tidak bisakah kau makan dengan benar?"

"Saya makan dengan benar, apanya yang salah?"

"Sudahlah lupakan, kau sudah selesai kan? Kita harus kembali ke kantor" Diaz melangkah mendahului Sikha setelah membayar makanan yang tadi dipesannya bersama Sikha.

       Saat berjalan menuju mobil, Diaz dan Sikha berpapasan dengan Billy. Awalnya Diaz tidak ingin menghiraukannya. Apalagi pria itu sudah tidak lagi berhubungan dengan El. Namun suara Billy mengintrupsinya.

"Aku fikir kau benar-benar serius dengan El" Sindir Billy.

      Diaz membalikkan badannya. Menatap tajam kearah Billy. Sikha yang berdiri dibelakang Diaz menatap kearah pria yang berdiri tepat dihadapan atasannya itu. Wanita itu mengingat-ingat siapa pria itu dengan dahi berkerut.

"Apa kau baru saja bicara padaku?" Tanya Diaz santai.

"Apa ada orang lain disini selain aku, kau dan... Kekasihmu?" Bukannya menjawab, Billy malah balik bertanya dengan nada sarkasnya. Dia melirik kearah Sikha yang dibalas oleh wanita itu dengan melototkan matanya.

"Ekhem... Aku tidak sepertimu, sobat. Jika hatiku memilih satu wanita, tidak ada tempat bagi wanita lain" Kata Diaz dengan memamerkan smirk andalannya.

      Billy tidak bisa membalas perkataan Diaz. Dia sudah kehabisan kata-kata. Diaz membalik badannya ingin melanjutkan langkah menuju mobilnya. Tak ingin lama-lama dengan orang yang menurutnya tidak terlalu penting. Sikha mengikuti bosnya itu, tapi sebelum itu dia mengatakan kata-kata pedas untuk Billy.

"Jika tidak mengetahui faktanya, jangan asal bicara. Mulutmu harimaumu, kau mengerti" Sikhapun berlalu, menyusul Diaz yang sudah masuk kedalam mobil lebih dulu.

       Billy yang masih berdiri ditempat itu sangat geram. Kedua tangannya mengepal hingga kukunya memutih. Dia memang salah tapi sebagian dari dirinya tidak menerima orang lain memiliki El.

🌺🌺🌺

      Terdengar alunan lagu milik stray kids- god's menu direstoran milik Fai. Jangan tanya siapa yang memutar lagu itu selain Ahra sang k-poper. Sambil menggerakkan badannya mengikuti alunan lagu, Ahra tidak menghiraukan siapapun disekitarnya. Wanita itu begitu menikmati waktunya tanpa kehadiran Sharga disampingnya.

         Sementara dihadapannya, ada El yang sibuk mengerjakan entah apa itu dengan laptop kesayangannya. Sesekali El akan mengerutkan dahinya seolah berfikir keras. Disisi lain Fai sibuk dengan masakannya. Jika melihat ketiganya saat ini, pasti tidak akan menyangka bahwa mereka bisa bersahabat.

         Mereka berasal dari profesi yang berbeda. Tapi entah mengapa, ada sesuatu yang membuat ketiganya bisa bersama.

"Fai, aku istirahat sebentar ya" Kata Aro meminta ijin.

       Fai hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengalihkan tatapannya pada makanan yang tengah dibuatnya. Aro menghembuskan nafasnya. Jika boleh jujur, Aro ingin sesekali mengajak Fai makan siang bersama. Hanya berdua tanpa Ahra, El atau orang lain. Tapi rasanya sulit, mengingat Fai seolah membentengi dirinya.

         Aro melangkah menuju area belakang restoran. Ada ruangan khusus untuk para pekerja disana. Biasanya para pekerja restoran beristirahat dirungan itu. Ada kursi panjang didepan rungan itu. Aro mendudukkan dirinya dikursi tersebut.

"drdddddrrrrrtttttt" Ponsel disakunya bergetar. Ada panggilan masuk dari orang tersayangnya. Tidak ingin orang itu menunggu lama, Aro langsung menjawab telepon tersebut.

"Halo my queen?" Sapanya sambil membayangkan wajah orang yang meneleponnya.

"...."

"Iya, aku janji akan datang, tidak perlu khawatir"

"..."

"Aku baik-baik saja disini, bukankah sudah kukatakan jika aku dikelilingi orang baik disini, mereka sudah seperti keluargaku, aku lebih nyaman disini dibanding ditempat itu"

"..."

"Iya aku tau, sebisa mungkin aku tidak akan membiarkan kakek menyentuh apalagi melukai mereka, terima kasih sudah mengkhawatirkan aku"

"..."

"Baiklah, jangan banyak menangis dan jaga kesehatan ya my queen" Aro mematikan sambungan teleponnya. Dia tersenyum sekilas sambil memandangi layar ponselnya. Ada foto seseorang yang begitu dicintainya. Cinta pertamanya yang memberinya begitu banyak kasih sayang.

      Seseorang membuka pintu, membuat Aro mengalihkan pandangannya kearah pintu. Disana Fai berdiri dengan segelas moccacino ditangannya.

"Apa aku mengganggu?" Tanya Fai sambil menunduk.

      Aro tidak menjawab. Melihatnya salah tingkah membuat jiwa jahil Aro bangkit.

"Sepertinya menyenangkan jika sedikit menggodanya" Batin Aro.

"Kenapa melihatku begitu?" Sinis Fai.

"Aku punya mata apa salah jika dipakai untuk melihat?"

"Tidak salah, hanya saja..."

"Apa ini, aku minta ya" Belum selesai Fai dengan perkataannya, Aro sudah lebih dulu bicara.

        Aro mengambil gelas ditangan Fai dan langsung meminum isinya hingga tidak tersisa.

"Tapi itu kan..." Fai tidak melanjutkan perkataannya setelah Aro mengembalikan gelasnya yang sudah kosong.

"Terima kasih" Kata Aro sambil mengacak rambut Fai sebelum melangkah pergi dari tempat itu.

        Fai masih diam ditempatnya. Perlahan tangannya menyentuh kepalanya. Lalu tersenyum mengingat perlakuan Aro.

🌺🌺🌺


      Tidak ada yang lebih indah dari menikmati udara pagi hari. Diaz merentangkan tangannya, memejamkan matanya lalu menghirup udara segar yang memenuhi paru-parunya. Kebiasaan itu yang selalu dilakukannya dipagi hari. Rasanya sangat damai dan tenang.

        Namun ketenangannya terganggu saat suara berisik mengganggu aktifitasnya. Suara itu berasal dari balkon disebelah kamarnya. Disana sepasang kekasih tengah bermesraan. Diaz menatap keduanya tidak suka. Mereka masih asik sendiri tanpa menyadari Diaz yang sudah terlanjur kesal.

        Sampai akhirnya si pria mencium si wanita yang membuat Diaz semakin muak. Harusnya dia tidak melihat adegan itu dipagi hari. Awalnya, Diaz ingin pergi dan tidak ingin menyaksikan adegan itu berlama-lama. Namun si wanita sudah terlanjur melihatnya dan langsung mendorong tubuh si pria. Lalu membalik badan si pria agar menghadap pada Diaz.

"Owh... Hai Diaz" Sapa si pria yang terlihat salah tingkah. Sementara si wanita sudah masuk kedalam kamar dengan pipi yang sudah dipastikan seperti udang rebus.

"Ckckck apa kau selalu tidak ingat tempat saat bermesraan dengan Ahra?" Tanya Diaz tanpa menjawab sapaan Sharga.

       Ya tentu saja, pria dan wanita yang tadi bermesraan tidak lain adalah Ahra dan Sharga.

"Saat kau jatuh cinta, tidak peduli dimanapun asal dengan orang yang kau cintai, maka tempat itu begitu indah" Jawab Sharga sambil tersenyum sendiri.

Diaz mendengus "Aku rasa mulai sekarang aku harus mulai membiasakan diri jika melihat kalian bermesraan, tapi aku fikir Ahra akan lebih berhati-hati karna dia pasti malu karna ketahuan olehku tadi"

"Huh kau menyulitkan aku" Keluh Sharga.

        Keduanya saling diam. Sibuk dengan fikirannya masing-masing.

"Bagaimana hubunganmu dengan El? Ada kemajuan?" Tanya Sharga tiba-tiba.

"Masih tetap ditempat, sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu dengannya, aku terlalu sibuk" Jawab Diaz sambil menyandarkan punggungnya pada pagar pembatas balkon.

"Ku lihat kau sering pergi makan siang dengan Sikha, sebenarnya ini bukan urusanku dan tidak seharusnya aku mengatakannya"

"Apa maksudmu?"

"Kau dan Sikha terlalu dekat sebagai atasan dan bawahan, jika orang lain yang melihat pasti mereka berfikir kalian sepasang kekasih, aku tau kau tidak memiliki perasaan lebih pada Sikha, tapi kau jangan lupa Sikha seorang wanita, sikapmu itu bisa disalah artikan olehnya. Jika kau memang menyukai El, dekati El dan jangan memberi harapan pada wanita lain"

"Aku bicara begini karna aku sahabatmu, aku tidak ingin kau terjebak diantara Sikha dan El. Sebelum terlambat ambillah keputusan. Jangan sampai salah satu dari mereka tersakiti olehmu"

        Setelah mengatakan kata-kata yang panjang lebar, Sharga masuk kedalam menyusul Ahra. Diaz merenungkan perkataan Sharga. Ada benarnya semua yang dikatakan Sharga. Kalau boleh jujur, dia masih ragu dengan hatinya sendiri. Sejak awal dia memang mencintai El. Entah sejak kapan cinta itu tumbuh dihatinya.

      Diaz tidak tau bagaimana mengungkapkannya. Karna setiap berada didekat El, jantungnya berdetak begitu cepat. Ada rasa nyaman dan ingin selalu ada disamping wanita itu. Sementara dengan Sikha, dia tidak merasakan hal itu. Sikapnya selama ini murni karna menganggap wanita itu adik sendiri.

         Tidak pernah sekalipun dia berniat membuat Sikha menyukainya. Diaz juga tidak yakin jika Sikha akan menyukai pria seperti dirinya. Namun Sharga benar, Sikha seorang wanita yang jika terus mendapat perhatian akan luluh juga. Diaz akan mengejar cintanya. Cinta seorang El.

🌺🌺🌺

       Seorang wanita paruh baya menatap nanar frame foto ditangannya. Diusapnya frame yang terdapat potret seorang gadis remaja dengan senyum menawan. Dia merindukan senyuman itu. Senyum milik anak semata wayangnya. Anak yang sudah lama tidak bisa ditemuinya lagi.

         Jika dia bisa memutar waktu kembali, dia akan mencegah kepergian anaknya dari rumah ini. Jika masalalunya tidak hancur, mungkin masa tuanya juga tidak akan seperti sekarang. Setetes air mata membasahi frame ditangannya.  Dadanya sesak mengingat semua orang terdekatnya satu persatu pergi meninggalkannya.

        Sejak pertengkarannya yang membuat semua kebohongannya dan suaminya terkuak, anak kesayangannya memilih pergi dan menjalani hidupnya seorang diri. Dia terpukul, bahkan hampir setiap hari menangis. Bukan dia tidak berusaha mencari keberadaan anaknya. Namun sang anak seolah tidak ingin melihatnya lagi. Anak kesayangannya itu menghindar hingga dia lelah dan membiarkannya. Yang terpenting anak itu tidak pernah memblokir nomer ponselnya.

        Selang beberapa waktu, suaminya meninggal karna sakit parah yang ternyata disembunyikan darinya selama ini. Lagi-lagi hatinya hancur, hatinya sakit dan terpuruk. Dia memang tidak mencintai suaminya dan hanya menjadikan suaminya ayah untuk anak yang tengah dikandungnya saat itu. Tapi sungguh tidak pernah sedikitpun ada kebencian pada pria itu. Bahkan saat dia tau pria itu menikah diam-diam dibelakangnya.

"Nyonya..." Suara salah satu pelayan dirumah itu menyadarkannya dari ingatan masalalunya itu.

"Ada apa?" Tanya wanita paruh baya itu sambil mengusap air matanya.

"Hmm... Ma'af nyonya, saya hanya ingin menyampaikan bahwa tadi pagi saya melihat nona Eleanor dan dua temannya mengunjungi makam tuan besar" Jawab pelayan itu penuh kesopanan.

       Wanita paruh baya itu tersenyum. Dia tau sebenci apapun anaknya tetap saja ada kebaikan didalamnya. El tidak mungkin tidak datang keperingatan meninggalnya sang ayah.

"Terima kasih, kau boleh kembali bekerja"

"Baik nyonya, permisi" Pelayan itu keluar dari ruangan sang majikan.

        Wanita paruh baya yang tidak lain adalah ibu dari El itu beranjak dari duduknya. Dia melangkah mendekati sebuah frame foto yang terpasang didinding.

"Kau lihat, dia sangat menyayangimu dibanding aku ibunya sendiri. Dia mau menemuimu sementara aku disini sendiri..." Kembali air mata ibu El menetes. Tapi dengan cepat dia menghapusnya.

"Tidak apa-apa, kau sudah banyak berbuat baik untuknya. Kau bahkan begitu menyayanginya padahal kau tau dia bukan anakmu, terima kasih. Mungkin memang inilah karma yang harus kuterima dari kesalahan yang kulakukan dimasalalu..."

🌺🌺🌺

Jangan lupa vote dan komentnya ya....

Makasi muaaaaaaaaaachhhhh

😘😘😘😘😘

Continue Reading

You'll Also Like

796K 29.4K 33
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
9.8M 882K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
STRANGER By yanjah

General Fiction

289K 33.1K 37
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...