A or A [New Version]

Bởi fairytls

1.4M 135K 2.6K

[PRIVAT, FOLLOW UNTUK BACA LENGKAP] Aku menemukan kehidupan baru setelah mengalami kecelakaan yang tidak pern... Xem Thêm

P R O L O G U E
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
New Story

Chapter 16

30.8K 3.3K 22
Bởi fairytls

Wajahku terasa panas menjalar sampai ke telinga manakala mendengar perkataan ambigu yang baru saja Sean lontarkan. Bangkit dari atas kasurnya, aku sesegera mungkin menyusul Sean namun sampai di pelataran mansion, aku melihat Sean bersama motornya telah menghilang di balik tingginya pagar tembok mansion.

Aku menatap sebal ke arah gerbang dengan bibir agak mengerucut. Aku berbalik ingin masuk ke dalam rumah pada awalnya namun suara nyaring motor berknalpot racing memasuki runguku.

Sean melepas helm untuk kemudian turun dari atas kendaraannya lantas melenggang ke arahku.

"Kenapa balik lagi?"

Dia tak menggubris terus berjalan melewati tubuhku sembari menatap singkat melalui ekor matanya, side eyes.

Aku tersenyum jahat tatkala sebuah ide melintas di kepalaku. Menatap sejemang ke arah pintu untuk memastikan keberadaan Sean lantas aku mengayunkan tungkai menuju motor sport laki-laki itu.

"Ngapain lo duduk di motor gue?"

Sopran Sean memasuki runguku, laki-laki itu telah berdiri di tempat aku berpijak sebelumnya dan membuatku terkesiap kala langkahnya mendekat.

"Turun!"

"Nggak mau! Kasih tahu dulu lo mau pergi ke mana?" Aku bertanya.

"Lo nggak harus tahu gue mau ke mana."

Sebuah jawaban dengan intonasi datar. Kali ini aku dapat merasakan jika aku benar-benar seperti orang asing baginya, padahal aku adik kandungnya. Bukan, maksudku tubuh ini adalah tubuh adik kandungnya— Leta.

Kepalaku tertunduk canggung dan mengalihkan pandangan ke arah lain namun indra pendengaranku masih mengait pada gerak-gerik Sean.

Helaan napas Sean dapat ku dengar. Seketika aku menarik jaket Sean pada pinggangnya saat lelaki itu naik ke atas motor dengan tak santai.

"Jadi gue boleh ikut?" cetusku namun Sean membungkam bibirnya seperti tak acuh mendengar pertanyaanku.

Gelap menggantung di langit kota, siang telah berganti malam, temperatur yang turun terasa menerpa epidermis kulitku.

Berjam-jam Sean melajukan motornya membuat pantatku mulai mati rasa. Namun rasa sakit pada pantatku lenyap begitu saja ketika mataku melihat gedung 50 lantai yang baru saja dilewati oleh motor Sean—kantor Papa.

Aku merindukan pria itu, aku merindukan Papaku. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk menemuinya. Di atas motor Sean yang melaju dengan kecepatan sedang air mataku mengalir begitu saja. Apa yang sebenarnya aku tangisi sekarang? Nasib sial yang menimpaku atau rasa rinduku kepada Papa?

Tubuhku terdorong ke depan kala Sean menghentikan motornya kemudian laki-laki tersebut menoleh kepadaku.

"Lo nangis?"

Aku menggeleng, sialnya isakanku masih tidak bisa kuredam.

"Kenapa? Perasaan sebelum pergi lo baik-baik aja."

"Mau pulang," cicitku. Berbohong karena tidak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya kenapa aku menangis.

Sean mendelik kesal. "Dasar nyusahin!"

Motor sport Sean telah berhenti di pelataran mansion, aku lekas turun dan masuk ke dalan mansion untuk pergi ke kamar.

Kota dan keramaiannya dua hal yang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Embus angin malam terasa hambar, kerlip bintang pun tak menunjukkan eksistensinya. Benar-benar menyedihkan. Tiba-tiba pikiran dan perasaanku campur aduk malam ini.

Di kursi balkon kamarku, air mata kembali mengalir tanpa bisa dicegah. Kuangkat kedua lutut, memeluknya. Kurebahkan kepalaku di atas lutut. Seandainya aku tidak dikuasai rasa emosi mungkin kecelakaan hari itu tak akan pernah terjadi.

"Mau pulang," lirihku dengan tangis penuh nelangsa.

"Lo udah pulang, mau pulang ke mana lagi?"

Aku bergeming karena tahu suara itu milik Sean. Kenapa laki-laki ini harus datang di saat keadaanku begini?

"Keluar, gue mau sendiri," ucapku pelan.

"Kenapa nangis?"

Sean berusaha mengangkat kepalaku, namun segera aku tepis tangannya dengan kencang.

"Kenapa, Alleta? Jawab pertanyaan gue!" teriak Sean membuatku tertegun sesaat.

Tangisku mulai mereda. Kupejamkan mata ini, mencoba melupakan masalah dan situasi yang aku hadapi kini.

"Lihat gue."

Kali ini aku tidak menolak saat Sean mendongakkan kepalaku yang sejak tadi tertunduk. Dia menggenggam tanganku, memintaku untuk berdiri, aku mengikutinya. Sorot intens Sean membuatku sedikit ragu untuk membalasnya. Terkesiap, saat kurasakan jemarinya menari di wajahku, menghapus sisa air mata di sana lantas menangkup kedua pipiku hingga aku kembali mendongak tinggi membalas tatapan laki-laki itu.

"Jangan nangis," ujar Sean. "Kalau lo nangis karena gue marah dan melarang lo pacaran sama Gara, maka sekarang gue udah nggak marah, lo boleh pacaran sama dia," sambungnya.

Aku mengeleng ribut. "Bukan karena itu."

Kerutan tercipta di antara alis Sean. "Terus?"

"Mau pulang, nggak suka di sini," lirihku yang justru terdengar seperti merengek.

Sudah lama aku terjebak ditubuh Leta namun sampai detik ini aku tak bisa menerima kenyataannya.

Sean menarikku ke dada bidangnya lalu menepuk-nepuk pelan kepalaku. "Udah ya nangisnya, nanti gue belikan ice cream, mau?"

"Mau, sama pabriknya, ya?"

Sean terkekeh kecil. "Dikasih hati minta jantung," ucapnya seraya mengacak-acak rambutku, kemudian ia melepaskan pelukannya.

"Biarin," balasku mencebikkan bibir.

***

"Potong bawangnya." Aku menyuruh Sean memotong bawang bombay.

Kami berdua sedang berada di dapur hendak memasak pasta untuk makan malam.

"Auh shhh."

Aku yang akan merebus pasta seketika terhenti manakala mendengar Sean meringis, aku langsung mendekat padanya lantas meraih tangan Sean, menatap jari laki-laki itu yang telah mengeluarkan darah segar.

Tanpa berpikir panjang aku memasukkan jari telunjuk Sean ke dalam mulut untuk menghentikan pendarahan, setelah mengulum jari Sean selama lima detik aku langsung meludah di wastafel.

Aku tarik tangan Sean ke wastafel lantas membasuh jarinya. "Darahnya udah berhenti," ucapku seraya melepaskan tangan Sean.

"Um." Sean membalas dengan gumaman sembari mengamati jarinya yang teriris pisau namun tidak lagi berdarah.

"Lain kali hati-hati, potong bawang aja sampai berdarah-darah."

Sean membalas tatapanku dan berkata. "Siapa yang suruh gue potong bawang?"

"Gue."

"Itu artinya gue luka salah siapa?"

"G-gue, tapi 'kan lo yang—"

"Nggak ada tapi-tapian, pointnya gue luka salah lo," sela Sean.

"Maaf," ujarku sambil berjalan melewati Sean, kembali melanjutkan aktivitasku, merebus pasta, kemudian memasaknya.

Kami duduk berhadapan, makan malam dalam keheningan. Ketika pasta dipiringku telah habis, aku berdiri dari kursi, meletakkan piring kotor ke wastafel. Selanjutnya aku membuka laci dan mengambil sebuah plester luka dari dalam sana.

Aku melangkah ke arah Sean, meraih tangannya dari atas meja. Ku pasang plester ke telunjuk Sean secara hati-hati, karena aku takut menyakitinya.

Jari-jari Sean jauh lebih besar dari jariku, ada uratnya juga. Tidak tahu kenapa aku sangat suka melihat tangan lelaki yang besar dan berurat, bagus.

"Tangan lo bagus ya."

"Um."

Plesternya sudah selesai aku pasang dijari Sean, saat akan melepaskan tangannya, laki-laki itu justru menggenggam jemariku.

"Alleta."

"Kenapa?"

Sean tak langsung menjawab sehingga aku menatapnya lama.

"Cepat ngomong, kenapa sih?" cetusku.

Di tengah-tengah pandangan kami yang terkunci, hal tak terduga terjadi. Tiba-tiba Sean berdiri dari duduknya dan mencium bibirku.

Sesaat waktu seakan berhenti, tubuhku menegang, ujung jari-jari mendadak dingin, dan jantungku berdetak sangat cepat seolah baru menyelesaikan lari jarak jauh.

"Ba-barusan apa?" Aku bertanya dengan gugup. Sebab, otakku mendadak tak berfungsi, bingung.

"Ciuman," balas Sean santai seakan hal barusan bukanlah apa-apa.

"Iya, maksud gue, lo kenapa cium gue?"

Sean menjawab perkataanku di detik itu juga tanpa ragu. "Gue nggak sengaja."

"Maksudnya gimana?"

Aku tatapi Sean secara intens namun laki-laki itu justru membuang muka lantas berbalik badan, membelakangiku.

"Abang nggak sengaja." Setelah berkata demikian, Sean mulai melenggang gagah meninggalkan ruang makan.

"Emang boleh se nggak sengaja itu, Bang?" teriakku, entah dia dengar atau tidak.

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

925K 13.5K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
6.6M 759K 61
{🍓𝗞𝗮𝗿𝘆𝗮 𝗔𝘀𝗹𝗶 𝗧𝗮𝗵𝗮𝗿𝗮 𝗗𝗲𝗹𝗶𝘃𝗶𝗮 🍓} 📌SUDAH DITERBITKAN 🍓𝑓𝑜𝑙𝑙𝑜𝑤 𝑎𝑘𝑢𝑛 𝑎𝑢𝑡ℎ𝑜𝑟 𝑑𝑢𝑙𝑢 𝑦𝑢𝑘, 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎𝑡 𝑚𝑒�...
840K 84.7K 56
[ SEGERA TERBIT ] Cerita tentang seorang gadis cantik yang harus menutupi kecantikannya atas perintah ibunya. Bahkan di sekolahnya ia di namai si...
536K 49.4K 52
𝐋𝐞𝐭 𝐦𝐞 𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐲𝐨𝐮, 𝐛𝐞𝐟𝐨𝐫𝐞 𝐢 𝐝𝐢𝐞. [RE-PUBLISH] • • Ohai mahkluk bumi.. Ify all, sedikit penyampaian mengenai cerita ini. Mungkin s...