SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

09: Bittersweet

2.3K 428 35
By lnfn21

CHAPTER 9
Bittersweet

[Playlist: Samuel Seo – Pain or Death]

***

"Jaehyun akan mengambil cuti dari perusahaan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Selain demi pemulihan tubuhnya, dia juga berniat mendedikasikan dirinya untuk merawatmu."

Suara lembut sosok wanita bergaris mata tebal melempar satu pernyataan. Alice tersenyum tipis, meletakan sepotong daging di piring milik Rose yang duduk di sebelahnya.

Kala itu sebuah meja persegi diisi oleh hidangan makan malam yang disiapkan pelayan rumah. Empat manusia menyantap dengan suasana cukup tenang. Pengecualian untuk Jeffrey yang merasakan kecanggungan tanpa seorang pun tahu.

Pikiran Jeffrey sedari tadi tak pada tempat di mana ia berada sekarang. Melanglang jauh memikirkan banyak perkara. Salah satunya perihal surel yang ia kirim kepada Mark dan Lucas di Italia sana. Jeffrey sudah mengeceknya siang tadi, tetapi tak satupun dari mereka Jeffrey dapatkan balasannya. Entah mereka begitu sibuk atau memang sudah tak bernyawa. Jeffrey tak menemukan keterangan pasti, sama halnya dengan Alice yang masih berusaha mencari keberadaan Mark dengan bantuan beberapa orang suruhannya.

"Terus menerus di rumah mungkin akan membuat kalian bosan. Bagaimana jika kalian menghabiskan waktu beberapa hari untuk pergi berlibur?"

"Berlibur?"

Dalam duduknya Rose membeo lirih saat mendengar saran dari Alice. Raut penuh semangat tertampil dari wajah Alice tatkala mengangguk. "Bagaimana menurutmu Jef—" Menggulirkan pandang pada sosok pria yang sedari tadi mengatup bibirnya rapat, wanita itu nyaris menyebut nama yang tidak seharusnya.

"—maksudku, Jaehyun?" Sepersekian sekon kemudian, Alice meralat.

Merasakan seluruh atensi tertuju padanya, Jeffrey yang sedari tadi tak terlalu mengikuti arus perbincangan pun menjadi sedikit kalap. "A-apanya?" Ia bak murid terbelakang yang kebingungan saat dilimpahi sebuah persoalan.

Alice menghembuskan napas perlahan seiring tangannya meletakan sepasang sumpit di atas meja. Kali ini, fokus matanya menyergap Jeffrey serius. "Begini, untuk membantu pemulihanmu dan Rose, aku menyarankan agar kalian menghabiskan waktu dengan berlibur. Mungkin satu atau dua minggu. Bagaimana menurutmu?"

Berlibur bersama Rose dalam waktu dekat sama sekali tak pernah terlintas di benak Jeffrey. Akalnya berperang aktif menimbang putusan. Mengurus Rose di rumah saja sudah membuat Jeffrey sedikit kepayahan. Ia tak bisa bayangkan bagaimana jadinya liburan mereka. Sepertinya Jeffrey tak akan menikmati itu.

"Entahlah. Aku tak tahu pasti apakah itu cukup membantu," jawabnya tenang setelah tak menemukan kepastian untuk menolak atau mengiyakan saran Alice. Namun seakan tak puas dengan jawaban Jeffrey, Alice bergulir memandang Rose dan bertanya, "Apa ada tempat yang ingin kau kunjungi, Rose?"

Gelengan pelan Rose berikan setelah beberapa detik berpikir. "Atau mungkin kau ingin melakukan sesuatu?" Alice kembali menanyai Rose yang nampak memilah jawaban sesaat. Perempuan itu tak punya keinginan untuk melakukan hal lain selain bersama suaminya setiap waktu. Cukup picisan memang. Maka, nyaris saja Rose berkata 'tidak ada'.

"Ski. Dia ingin mencobanya."

Namun, suara berat nan lembut Jeffrey mengudara lebih dulu. Menyeret Rose untuk menubrukan sepasang hazel jernihnya pada bola mata kelam Jeffrey di sana. Bukan apa-apa, Jeffrey hanya teringat ucapan Rose di kafe, pagi tadi.

"Ski? Kau benar-benar ingin mencobanya?" Alice memastikan. Raut keheranan tertampil jelas. Seumur hidup, Alice tahu Rose tak pernah sekalipun berdiri di atas papan ski. Saat kakek mereka mengajak pergi ke tempat ski, Rose hanya akan berakhir membuat boneka salju tanpa mencoba meluncuri timbunan es. Alasannya karena ia takut terjatuh dan terluka. Begitu klise.

Merasa dituntut untuk segera memberi jawaban kendati pemikirannya masih berperang, Rose hanya tersenyum canggung lalu berucap, "Tidak begitu ingin."

Kali ini Alice berganti menaruh perhatian pada sosok pemuda bersetelan rapi serupa kemeja dan dasi yang masih menggantung di kerahnya tak miring sedikit pun. "Kau tahu tempat ski yang bagus, Asisten Kim?"

Mingyu meletakan sendoknya segera. Mengangkat kepala hingga pandangannya tepat mengenai sosok Rose yang juga tengah menantinya menjawab. Sejenak terpaku pada wajah yang dulu sempat pernah ia kagumi itu, Mingyu bergeser cepat memandang Alice lantas menjawab, "Ada banyak tempat ski bagus di Korea. Jisan Forest adalah yang terdekat dari Seoul. Atau, Elysian Gangchon juga bagus tapi cukup jauh."

Pendapat Mingyu tak lantas Alice terima bulat-bulat. Wanita berusia awal tiga puluhan itu nampak mengangguk-angguk pelan tetapi siapa tahu isi kepalanya yang tengah memikirkan banyak pertimbangan.

"Kurasa New Zealand punya tempat ski yang jauh lebih bagus," ungkapnya kemudian menatap Jeffrey dan Rose bergantian seakan meminta pendapat mereka. "Atau mungkin, Paris? Kau ingin sekali berkunjung ke Paris, bukan?"

Rose yang menjadi sasaran pertanyaan Alice masih terdiam dalam bisu bersama mata yang berpencar resah. Ia menangkap raut datar Jeffrey yang seolah menyiratkan rasa tak antusias. Maka dari itu, Rose hanya mengusap lengan kakaknya pelan. "Itu terlalu jauh, Eonnie."

"Benar." Dan, Jeffrey menyahut. Ia menunjuk Mingyu. "Aku setuju dengan Asisten Kim. Jisan Forest Forest atau Elysian Gangchon. Tidak akan sampai satu atau dua minggu, cukup dua atau tiga hari."

Pupil mata Alice melebar, menyorot Jeffrey kesal sebab pria itu bicara setengah asal. Namun, persetan dengan itu, Jeffrey bersikap tenang dengan kembali menyendok sesuap nasi. Sementara, Rose di sana tersenyum kecil. "Jisan Forest mungkin pilihan yang cocok. Hanya empat puluh menit naik bus."

Alice menggeleng tak setuju. "Elysian Gangchon yang terbaik di negeri ini. Hanya satu setengah jam perjalanan. Kalian bisa sekalian berkunjung ke Pulau Nami."

Pada akhirnya semua mesti menerima keputusan Alice. Baik Rose maupun Jeffrey tak lagi berdalih menyuarakan pendapat mereka, meski sama-sama tak berkeinginan datang ke sana. Sama halnya Mingyu. Meski pria itu menyimpan perasaan risau bilamana Rose pergi berdua bersama Jeffrey, ia tak bersuara apa-apa. Bagaimanapun Jeffrey adalah pria asing. Mingyu masih belum bisa percaya secara penuh. Namun, sepertinya Alice tak sepakat dengan pemikirannya.

Di antara keheningan yang kembali tersemat, suara lembut Rose membelah ringan, "Jika Jaehyun harus cuti, siapa yang mengurus perusahaan kami?"

Pertanyaan itu ditujukan untuk Alice. Sosoknya tersenyum tenang. "Aku akan mengurus JR untuk sementara. Pacarku akan mengambil alih tugasku di AA."

"Pacar?" Rose membeo lirih. Dan, Alice mengangguk lagi. "Eum, Johnny. Kau lupa kakak punya pacar?"

Rose tak menjawab pertanyaan retoris kakaknya. Ia hanya hening bersama raut bertabur sedikit kelam. Nama yang Alice sebut barusan memicu debaran kencang dalam dada Rose bersama ketidaktenangan yang ia sembunyikan.

JR Cosmetics and Parfume dan AA Fashion and Mode dulunya adalah satu kesatuan dari Park Group, perusahaan yang dirintis oleh kakek Rose dan Alice, lalu dikembangkan oleh kedua orang tua mereka yang meninggal tak lama kemudian setelah Park Group menuai kejayaan. Dua cabang perusahaan itu kemudian diserahkan kepada Rose dan Alice. JR untuk Rose, dan AA untuk Alice.

Rose yang awalnya tak tertarik terjun ke dunia bisnis, mengambil jurusan kimia murni saat masuk universitas. Ia bertemu dengan Jaehyun, mahasiswa jurusan manajemen bisnis, yang punya segudang keterampilan dan cakap dalam banyak hal. Kakek Rose sangat menyukai Jaehyun dan menyuruhnya mengembangkan JR bersama Rose.

Sementara, Alice memang telah memiliki basic sebagai seorang pimpinan perusahaan karena mengeyam pendidikan beberapa tahun di luar negeri, di jurusan yang serupa dengan Jeffrey. Ia tak keberatan saat kakeknya melimpahkan kewenangan untuk memimpin AA. Alice hanya butuh pelarian dari segala kejenuhan. Bar menjadi tempat yang kerap Alice kunjungi, meneguk beberapa botol alkohol dirasanya mampu menyingkirkan pemikiran ruwet di kepala meski hanya sementara.

Dan, tempat itu juga lah yang digadang-gadang sebagai titik mula dimulainya hubungan Alice dan seorang pria bernama Johnny Seo beberapa tahun belakangan ini.

Rose tak mengerti betul seluk beluk pacar kakaknya itu. Sedari awal Alice memperkenalkannya, jujur saja Rose menyimpan rasa tak suka entah atas alasan apa. Dan, setelah mendengar sebuah percakapan di rumah sakit kala itu, ia semakin yakin, bahwa Johnny sesungguhnya bukanlah manusia yang pantas bersanding dengan sang kakak.

"Oh iya. Sebentar lagi aku dan Johnny mungkin akan menyusulmu." Atensi Rose kembali terseret tatkala kakaknya bicara dengan penuh keceriaan.

"Menyusul?" Lagi-lagi Rose hanya mengulang ucapan yang tak ia mengerti pasti. Alice mengangguk semangat. "Kami akan menikah."

Saat itulah raut muram Rose tertampil begitu ketara. Dan, sosok Jeffrey mampu menangkapnya. Ia pikir Rose menyembunyikan sesuatu yang kakaknya tidak tahu. Namun, Jeffrey sadar ini bukan ranahnya bercampur tangan. Maka dari itu, diam sambil menyantap sup dengan tenang menjadi pilihannya, alih-alih menyambung pembicaraan. Sebagaimana Mingyu.

***

"Apa Jaehyun menjagamu dengan baik?"

Kendati beberapa hal terasa aneh dan janggal, Rose mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Alice yang kala itu tengah membantu mengoleskan beberapa produk perawatan di wajahnya.

Alice tersenyum tipis. Jeffrey bisa diandalkan, pikir wanita itu. "Tentu saja. Jaehyun harus selalu menjaga adikku yang cantik ini. Astaga, aku merasa iri. Bahkan tanpa riasan apa pun kau selalu secantik ini. Kau mirip sekali dengan Ibu," ujarnya dalam konteks memuji.

Jemari lentik Rose menyentuh tangan Alice. Ia mengurai senyum membalas. "Eonnie lebih cantik dari siapa pun. Seperti selebriti." Matanya tak berbinar. Rose menuai nada lirih saat mengucap, "Johnny Oppa, kupikir Eonnie bisa mendapatkan seseorang yang lebih dari dia. Lebih tampan dan tentunya lebih baik."

Dahi Alice berkerut dalam. Tak pernah ia temukan raut semacam itu dari Rose sebelumnya: raut yang menyimpan kegundahan seperti tengah meniti langkah di tepian jurang. "Kau menyuruhku mengencani pria lain di saat kami sepakat untuk menikah dalam waktu dekat?"

Tak ada jawab Rose selain bisu. Di kepalanya tengah menari dua cabang pemikiran yang meminta dipilih. Antara harus bercerita perihal apa yang didengarnya di rumah sakit atau tetap bungkam sehingga Alice bisa tetap tak tergoyahkan. Menikah dengan sang kekasih yang ia cintai adalah impian Alice. Rose pikir, bercerita tak akan merubah tekad sang kakak begitu mudah. Ia hanya akan mengacau jikalau melakukan hal itu tanpa memikirkan perasaan kakaknya.

Sebuah usapan lembut berlabuh di kedua bahu Rose. Alice menarik dua sudut bibirnya. "Jangan terlalu menunjukan ketidaksukaan pada seseorang, Rose! Johnny tidak seburuk yang kamu pikir."

Jika sudah demikian maka, diam menjadi titah mutlak untuk mulut Rose dari logikanya yang masih menyimpan separuh waras. Alice beranjak keluar dari ruang kamar setelah memberikan sebuah petuah, "Jangan lupa minum obatnya sebelum tidur!"

Rose menatap botol-botol pula kablet-kablet obat yang teronggok di atas nakas. Beberapa bulir telah disiapkan, diletakan kakaknya di atas sebuah piring kecil. Rose hanya tinggal menelan itu. Namun, ia perlu waktu lantaran benaknya memekik ragu.

Sementara itu, ruang tengah yang cukup luas terisi oleh dua sosok pria yang menghuni sofa sewarna karamel. Perbincangan sempat terjadi di antara keduanya, sebelum sosok Alice muncul dan menyuruh Mingyu untuk segera pulang bersamanya. Untuk sementara waktu, Alice membutuhkan Mingyu guna mendampinginya mengelola JR Cosmetics and Parfume.

Setidaknya sampai Rose sembuh dan siap kembali bekerja. Alice tak mungkin menyeret Jeffrey untuk turut menduduki kursi kepemimpinan yang selama ini dipegang Jaehyun selagi ia tak tahu seberapa cakap seorang Jeffrey Anderson yang ia ketahui SMA saja tidak lulus.

"Oh iya." Menghentikan tapakan kaki, Alice kembali menoleh ke belakang dan memandang Jeffrey yang berdiri menautkan alis, menanti kelanjutan penjelasan dari perempuan itu.

"Aku sudah menemukannya," ujar Alice tak gamblang menyebabkan dahi jeffrey kian berkerut dalam.

"Mark Lee, pemuda yang konon katanya sudah kau anggap seperti keluarga. Aku sudah mengurusnya. Lantai dua puluh dua gedung apartemen Corte Contarina San Marco di pusat kota Venesia sebagai tempat tinggal. Fasilitas lengkap dan layanan sarapan gratis serta keamanan yang dijaga ketat. Dekat dengan kampusnya, sepuluh menit jika berjalan kaki. Biaya kuliah telah dibayarkan sampai dia lulus. Uang bulanan juga sudah ditransfer ke rekeningnya. Lima juta lebih dari cukup untuk membeli makanan sehat siang dan malam. Kalau dia sedikit berhemat mungkin bisa digunakan untuk mengajak gadisnya berkencan di akhir pekan, jika dia punya pacar."

Alice kemudian memperjelas dengan seretetan keterangan yang membuat Jeffrey ternganga tak percaya sekaligus lega. Jeffrey sungguh tak bisa menebak seberapa hebat wanita itu. Menyeludupkan Jeffrey yang seorang buron dan memberikan penghidupan pada Mark melampau layak. Jeffrey bertanya-tanya, pada jajaran ke berapa nama Alice Park tersemat dalam daftar manusia paling berpengaruh sedunia?

Tinju yang tak keras dari kepalan tangan Alice mengenai lengan atas Jeffrey. "Kau tak perlu khawatir. Aku akan menjamin hidupnya selagi kamu menjaga adikku dengan baik, Jeffrey."

Benar. Sedari awal relasi di antara mereka memang bersifat mutualisme, saling menguntungkan. Maka, tak ada lagi alasan untuk Jeffrey berperilaku setengah hati. Alice sudah bertindak sejauh ini, manusia yang kerap berperilaku tanpa nurani seperti Jeffrey setidaknya mesti paham arti balas budi.

Memandang sebuah mobil yang menghilang usai tertelan pagar besi tinggi menjulang, Jeffrey lantas masuk kembali ke dalam hunian megah yang menyisakan dirinya bersama Rose sebagai penghuni. Para pelayan telah pulang usai menyiapkan makan malam.

Lagi-lagi gemuruh bertandang di dalam dada Jeffrey kala mengurai langkah pelan nyaris mencapai anak tangga terbawah. Ia mendongak, dari sana sebilah pintu kokoh sebuah kamar terindra nyata. Menyajikan sekelumit bayang-bayang kala ia dan Rose berada di sana beberapa waktu silam, saat Rose membantu mengoleskan lip balm pada bibirnya dan saat dua pasang mata mereka saling menubruk dalam diam.

Tanpa sadar jemari Jeffrey menggapai bibir bawah, dan perasaan pria itu masih sama berdebar saat mengingat senyuman manis yang Rose suguhkan padanya tadi.

Jeffrey tak tahu pasti sejak kapan tungkaknya meniti anakan tangga hingga kini ia telah sampai di lantai dua rumah, tengah berjalan cukup hati-hati menggapai kamar Rose—ralat, mungkin sekarang Jeffrey bisa menyebutnya menjadi kamar mereka. Lantaran, Jeffrey telah berniat sungguh bersikap selayaknya seorang suami. Ia mesti tidur di sana setiap malam bersama Rose, memeluk hangat perempuan itu tanpa alasan apa pun selain menjalankan sebuah 'kewajiban' dalam rangka balas budi.

Gagang pintu diraih, lalu diayun pelan. Daunnya perlahan terbuka tanpa suara, mempersilakan mata Jeffrey memandang punggung sosok perempuan yang berdiri di dekat jendela terbuka tak menyadari keberadaannya. Jeffrey sedikit merasa cemas jikalau angin malam akan membuat Rose kedinginan, sebagaimana tempo hari, ia hendak melangkah segera teringin menutup jendela itu.

Ayunan sepasang kaki Jeffrey sempat terhenti kala matanya terbelalak melihat Rose mengulurkan tangan keluar jendela, lalu menjatuhkan butiran obat dari genggamannya. Tak mengerti mengapa Rose membuangnya alih-alih meminum sesuai anjuran, Jeffrey melesat cepat nyaris setengah berlari menyergap lengan Rose dan memegangnya kuat.

"Apa yang kau lakukan?" Tak butuh pikir panjang, Jeffrey mencecar. Menghiraukan sosok Rose yang tersentak kaget. "Mengapa kau membuangnya?"

Perempuan itu nampak gugup, pula sedikit takut ketika tatapan Jeffrey menghunusnya tajam. "Apa selama ini kau selalu membuangnya?" Ini adalah pertanyaan ketiga Jeffrey yang dijawab dengan kebisuan oleh Rose di sana.

"Jawab!" Maka, satu kata bernada tinggi tak elak melesat dari mulutnya. Jeffrey tak punya porsi banyak kesabaran. Menunduk dalam-dalam, Rose sedikit merintih sakit saat cengkraman tangan Jeffrey pada lengannya kian mengerat.

"Kau tahu kakakmu selalu menyuruhmu meminum obat ini. Katanya agar kau bisa cepat pulih. Tapi, apa yang kau lakukan? Kau membuangnya? Kau mau terus bersama penyakitmu tanpa keinginan sembuh?!"

Marah dan kecewa berbaur menubruk benak Jeffrey hingga pria itu tak sadar akan apa yang ia ucap. Jeffrey menyimpan rasa tak ingin membersamai perempuan itu terlalu lama. Kesembuhan Rose adalah apa yang Jeffrey semogakan setiap detik. Kian tak terkendali kala Rose masih tak menuai tanda-tanda merespon; masih enggan mengangkat kepala dan membalas tatapannya, Jeffrey menarik Rose berjalan cepat mendekati nakas lalu menghempaskan tangannya kasar.

Terdiam dengan perasaan ketakutan dan rasa bersalah, Rose mengamati Jeffrey yang bergegas menuangkan beberapa butir obat dari botol setelah sempat meneliti dosis yang tertulis di sana. Jeffrey mengulurkan tangan di mana butiran obat beraneka macam bentuk dan warna berada saat ini ke hadapan Rose bersama segelas air di tangannya yang lain. "Minum!"

Tak lantas menuruti perintah Jeffrey, Rose menatap nanar lalu menggeleng pelan.

"Mengapa?" Dan, Jeffrey sekali lagi bertanya.

"Sebab aku akan mati cepat atau lambat jika meminumnya." Batin Rose memekik menjawab. Sayangnya tak sampai hati merealisasikan di mulut. Ia hanya bisa berucap lirih, "Pahit. Itu sangat pahit. Meminumnya membuatku ingin muntah."

Rasonan suara Rose yang teramat pelan masih dapat Jeffrey tangkap. Dua bola mata Jeffrey memandang tak percaya. "Kau tidak mau meminumnya hanya karena ini pahit? Apa kau anak kecil, hah?"

Untuk ke sekian kali, Jeffrey meninggikan suara. Raut ketakutan semakin tersemat nyata di wajah Rose kala tertunduk. "Maafkan aku," lirihnya kembali. Dua sudut mata Rose telah menyimpan setumpuk cairan bening yang tak Jeffrey tahu.

Pria itu masih tak juga tersadarkan akan situasi yang ia buat sedemikian menegangkan, masih menuruti emosi yang menjulang. Meletakan gelas kaca dalam genggaman ke tempat semula dengan pergerakan yang menuai bunyi cukup keras, Jeffrey tak punya pilihan lain. Ia akan mencoba metodenya.

Mata berkaca-kaca milik Rose melebar saat Jeffrey memasukan sebulir obat ke mulutnya sendiri. Dalam hitungan detik pria itu telah mengambil selangkah maju, meraih tengkuk Rose dan mempertemukan bibir mereka.

Itu terjadi begitu cepat dan seolah tak terbaca. Rose membeku dengan dua pupil yang kian membelalak saat merasakan benda kecil ditransfer masuk ke dalam mulutnya, dilesatkan oleh lidah pria yang kini seakan menikmati apa yang ia lakukan kendati Rose dengan terpaksa harus menelan pil yang terlanjur berada di dalam ujung kerongkongan.

Jeffrey memejam kala menyapu lembut sepasang bibir milik Rose. Bukan apa-apa, Jeffrey hanya berniat mencegah Rose memuntahkan obat yang susah payah ia salurkan lewat sebuah ciuman. Hanya itu motifnya di mula. Namun, ketika rasa manis tercecap oleh lidah Jeffrey, ia terdorong untuk mencumbu perempuan itu sedikit lebih lama.

Tak naif, Jeffrey menikmatinya.

Seakan dunia terhenti sesaat demi mempersilakan Jeffrey tenggelam dalam rasa mendebarkan yang menyapa tiba-tiba, yang mana itu tak berlangsung lama sebab Rose mendorong dada Jeffrey pelan. Ia tak menyukai itu. Rasa manis yang tertinggal akibat ciuman sesaat mereka tak lantas menyingkirkan pahit yang menerkam ujung lidah Rose, pula relungnya.

Tak sekalipun, ia jumpai Jaehyun bersikap seperti ini. Kasar dan tak manusiawi.

"Bagaimana? Apa aku harus selalu menggunakan cara yang sama untuk membuatmu meminum obat ini?"

Sempat diterkam kecanggungan, Jeffrey mencoba bersikap tenang saat bertanya demikian. Sedangkan Rose yang masih menyimpan sejumput rasa takut oleh karena tutur kata dan tingkah laku Jeffrey hanya diam. Rose menunduk, dan Jeffrey sedikit terkesiap begitu Rose memegang tangannya dengan tetiba dan mengambil alih semua obat yang ia genggam.

Perempuan itu melangkah menjauhi Jeffrey, berdiri di dekat nakas untuk kemudian memasukan seluruh obat di tangan ke dalam mulutnya. Berikut, ia menyambar air bening dalam gelas lalu meneguk tanpa sisa.

Menoleh pada Jeffrey yang terdiam, Rose mengucap, "Tidak perlu. Itu akan sangat merepotkanmu. Mulai sekarang aku akan meminumnya sendiri."

Detik itu juga Jeffrey disergap rasa berdosa. Rose berjalan pelan kembali mendekatinya. Dan, Jeffrey menyadari seberkas cairan yang menyelimuti sepasang bola mata perempuan itu, pula perih yang terpancar dari sana kala bibir basah Rose bergerak menguntai satu kalimat. "Jika tidak keberatan, berdirilah selalu di sampingku! Pastikan dengan mata kepalamu sendiri kalau seluruh resep obat masuk ke dalam mulutku."

"—dan peluklah aku saat diriku mati di hadapanmu."

Satu kalimat terakhir hanya teruntai di benak, sementara mulut Rose terkatup kembali bersama mata yang menyorot Jeffrey sendu. Sebulir air mata menuruni pipinya, tak elak dari tangkapan netra Jeffrey.

Jeffrey sadar benar tingkahnya telah melewati batas dan keterlaluan. Rose mungkin saja terluka sehingga ia menangis seperti sekarang. Perempuan itu menunduk begitu dalam, lalu bahunya terguncang sepersekon kemudian.

Meraup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-paru yang mendadak kosong, Jeffrey meraih dua lengan Rose sebelum akhirnya membawa tubuh perempuan itu ke dalam rengkuhan.

"Aku minta maaf." Demikian, Jeffrey bertutur lirih. Didekapnya erat kala Rose tak lagi bicara apa-apa lagi. Tangis adalah satu-satunya yang keluar dari mulut perempuan itu, mengisi keheningan ruangan, pula menciptakan gelenyar sesak yang mencecap relung hati Jeffrey. []







[SILHOUTTE: After A Minute] 

***

***

Halo pembaca Silhoutte, apakah kalian menikmati chapter ini?

This is make you very-very bored, yes? 

But, terima kasih banyak yang sudah berkenan mampir kemari hehe :)

***

Continue Reading

You'll Also Like

122K 10K 65
[SEVENTEEN TWICE STORY] "Ketika rasa itu datang dan bermuara." Ini kisah tiga belas pria yang dipertemukan dengan sembilan gadis. Takdir membuat mere...
1M 84.7K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
48.4K 6.9K 93
[LENGKAP] Perjanjian telah dibuat, pernikahan harus terjadi, Luna Lovegood dan Draco Malfoy terikat bersama karena secarik perkamen. Tak satu pun dar...
153K 15.3K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...