SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

126K 19.6K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

08: The Things You Like

2.4K 441 31
By lnfn21

CHAPTER 8
The Things You Like

[Playlist: Saltnpaper - Look At]

***

Dua bilah pintu lebar gereja terbelah. Kemunculan sepasang muda-mudi dari sana disambut oleh butiran salju yang berderai perlahan menyelimuti aspal jalanan, sebagian bertengger manis pada dahan-dahan pepohonan.

Langit abu-abu di atas sana menjadi objek pandang dua manusia yang berdiri di pelataran gereja sebelum akhirnya satu sama lain saling menatap. Keberangkatan mereka kemari tak berbekal sebuah payung. Baik Rosé maupun Jeffrey seolah terlupa bahwasanya awal musim dingin memungkinkan terjadinya hujan salju tanpa diduga-duga. Padahal pagi tadi langit begitu cerah seakan menandakan jikalau hari baik akan berjalan sesuai harapan.

Barangkali, baik bagi sebagian orang: bagi pemilik kafe yang menjual kopi hangat atau pemilik kedai sup misalnya. Namun, tidak begitu baik bagi sosok perempuan bersurai layaknya tumpahan madu dan sosok pria jangkung yang tenggelam di dalam mantel hitam selegam rambutnya.

"Kita terabas saja!"

Rosé. Perempuan itu membunyikan suara. Mengungkapkan sebentuk ide tak masuk logika sebab siapapun tahu, menerabas hujan salju sederas itu tanpa alang-alang apa pun akan berakibat fatal: demam atau mungkin hipotermia.

Melihat lelaki di sebelahnya hanya diam tanpa tanggapan, Rosé menggigit bibir bawah. Ia sungguh tak bisa memikirkan cara lain tetapi ingin segera mengusaikan keberadaan dari sana. Selain karena udara dingin menggelitik sebagian paha hingga betisnya yang tak tertutup gaun atau kakinya yang terasa pegal akibat menumbu badan terlalu lama, Rosé membutuhkan sesuatu yang hangat untuk tubuhnya yang membeku.

Sementara itu, Jeffrey tengah memikirkan alternatif lain selain harus membiarkan tubuh mereka berjibaku dengan timbunan salju. Sepersekon kemudian, mantel ia tanggalkan dari tubuhnya, lantas ia gunakan untuk memayungi dua kepala.

Rosé cukup dibuat terkesiap sesaat setelah dirinya dibawa bernaung di bawah mantel yang Jeffrey genggam. Jeda di antara wajah keduanya kala saling memandang tak lebih dari satu jengkal, sedikit menyajikan debaran ke dalam hati masing-masing.

"Ayo!" Suara Jeffrey nyaris tak terdengar. Namun, Rosé turut menapakan sepatu boots-nya di atas aspal seiring dengan langkah Jeffrey yang berayun cukup cepat. Gereja jaraknya tak cukup jauh dari rumah, tetapi tak memungkinkan rasanya jika sepanjang jalan pulang mereka berteduh di bawah mantel yang tak seberapa tebal. Untuk itu, sebuah minimarket di tepi jalan menjadi tempat singgah yang Jeffrey pilih.

Menghela napas lega saat dua pasang kaki menapak pada ubin minimarket, Jeffrey menghempaskan butiran salju yang menimpa mantelnya lalu menyodorkan benda itu pada Rosé. "Pakailah! Aku akan masuk dan membeli payung."

Mengerjapkan mata beberapa kali, Rosé tak lantas menerima. "Lalu kamu?" Ia bertanya pelan, "kamu akan bertahan dengan pakaian tipis begitu?" Dibandingkan dirinya, Rosé lebih mengkhawatirkan Jeffrey yang hanya memakai kemeja tanpa luaran apa pun.

"Aku baik-baik saja." Jeffrey menjawab. Ini belum seberapa. Jeffrey pernah harus bertelanjang dada di tengah badai salju saat menjalani pelatihan untuk memasuki salah satu kelompok gangster paling mematikan di Italia.

Namun, seolah tak mendengar ucapan Jeffrey, Rosé mengambil mentel itu lalu sedikit berjinjit, hendak memakaikannya di tubuh Jeffrey tetapi mata Rosé membulat begitu pria itu justru turut melakukan hal serupa dengannya: berjinjit lebih tinggi sehingga Rosé menjadi kesulitan.

"Kamu yang pakai!" titah Jeffrey sekali lagi.

Dan, Rosé lagi-lagi berlagak tuli. Ia berusaha menggapai kedua bahu Jeffrey dan mendorongnya turun. Namun, tenaganya yang tak seberapa jelas tak membuahkan hasil. Ia menghela napas. Sementara, Jeffrey mengambil kesempatan untuk mengambil lagi mantel di tangan Rosé. Tak hendak memberikan perintah untuk yang ketiga kali, Jeffrey memilih mengurung Rosé dengan dua lengannya yang kokoh, untuk kemudian membungkus tubuh Rosé dengan mantel hitam miliknya.

Wajah dingin Jeffrey membuat Rosé bungkam. Ia mendongak menatap pria itu dengan kedua matanya yang jernih. Sungguh, tak pernah sekalipun Rosé melihat ekspresi demikian tersemat pada wajah Jaehyun seumur hidup. Lagi-lagi ia merasakan sebuah keasingan. Sebab memperhatikannya terlalu lama, Rosé menangkap butiran salju jatuh dan bertengger di atas bahu Jeffrey. Maka, tak butuh waktu lama untuk perempuan itu mengulurkan tangan guna membantu membersihkan dengan hempasan pelan.

Pergerakan Rosé tak luput dari tangkapan dua netra Jeffrey yang tajam. Menyadarkan pria itu akan jari jemari Rosé yang turut tenggelam dalam balutan mantel kebesaran. Dan, tak butuh waktu yang lama pula untuk Jeffrey meraih tangan kanan Rosé lalu menggulung lengan mantel hingga sebatas pergelangan, berikut ia lakukan hal serupa pada tangan Rosé yang lain. Lagi-lagi atensi Rosé berjatuhan pada wajah Jeffrey yang tertampil begitu serius. Anehnya, meski tak ada kehangatan yang tersimpan di sana, Rosé merasa jiwanya turut menghangat menerima perlakuan Jeffrey yang demikian.

"Tunggu di sini sebentar!"

Rosé mengangguk patuh menanggapi Jeffrey yang meninggalkannya bersama sebuah petuah untuk kemudian tenggelam di balik pintu kaca minimarket.

Tak seperti kebanyakan orang yang membalut diri dengan baju hangat berlapis-lapis dan sarung tangan tebal, baik Rosé maupun Jeffrey sungguh tak mempersiapkan diri dengan benar saat keluar di tengah musim dingin seperti ini. Tadi saat membantu menggulung lengan mantel, Jeffrey sempat melihat jemari Rosé yang memucat. Maka, usai menyambar sebuah payung, Jeffrey turut mengambil dua pasang sarung tangan lalu keluar dari minimarket setelah melakukan transaksi.

"Ini pakai!" Jeffrey memberikan sepasang sarung tangan berwarna merah muda pada Rosé yang kemudian berkomentar pelan, "Merah muda terlalu mencolok."

Jeffrey melebarkan sedikit mata saat telinganya masih bisa menangkap suara Rosé. Melihat perempuan itu menampilkan wajah tak senang, Jeffrey kemudian meraih sarung tangan yang ada pada Rosé lalu memberikan miliknya yang berwarna abu-abu. "Pakai itu!"

Rosé mengedipkan matanya berkali-kali bersama setengah mulut yang terbuka tetapi tak ada kata yang keluar. Ia hendak kembali menggapai sarung tangannya pada Jeffrey tetapi pria itu lebih dulu memasukannya ke dalam saku dan kini sibuk membentangkan sebuah payung. Dipandang dengan menggunakan dua bola mata yang kelam, Rosé yang tersadar sedari tadi hanya diam tanpa melaksakan perintah Jeffrey sedikit terkesiap. Cepat-cepat ia memakai sarung tangan yang Jeffrey berikan tadi.

Kembali keduanya melangkah sejajar di bawah naungan payung bening dalam genggaman jemari pucat Jeffrey. Sesekali Rosé melarikan ekor matanya pada sang pemilik, atau memandangi tungkak mereka yang menginjak timbunan salju. Kadang kala berpendar ke sisi-sisi jalan yang mereka lewati guna memperhatikan kasak-kusuk orang-orang dan lalu lalang kendaraan.

Saat melewati sebuah kafe bergaya retro, indah oleh sebab lampu-lampu berpijar jingga menggantung di beberapa titik, Rosé memperhatikannya begitu lama. Dan, Jeffrey menyadari derap langkah perempuan itu sedikit lebih lamban dari sebelumnya. Sosok muda-mudi yang bercengkrama di depan kafe sambil menyesap dua gelas kopi, Jeffrey tahu Rosé melihat ke arah mereka.

Mencoba memahami tatapan yang seolah menginginkan hal serupa mereka yang di sana, Jeffrey meraih lengan Rosé, menarik perempuan itu masuk ke dalam kafe lalu mendorongnya ke hadapan meja pemesanan. Sebab tak ingin salah memilih lagi karena tak tahu-menahu selera perempuan itu, Jeffrey bertanya, "Kamu mau apa?"

Rosé terdiam begitu lama. Runtaian nalar menyeret fokus Rosé demi menyemai pemikiran yang mendadak sedikit berantakan. Bertahun-tahun bersama tentu membuat Jaehyun paham betul apa yang Rosé suka dan apa yang ia tidak dia suka. Bertanya pasal apa yang Rosé mau saat mengunjungi kafetaria yang menyimpan banyak kenangan itu agaknya sedikit tak bisa diterima logika, Rosé pikir. Namun, ketika ia kembali disadarkan perkara sebuah kecelakaan dan Jaehyun di sampingnya yang melupakan banyak hal, Rosé mencoba memahami satu perihal bahwa seleranya menjadi bagian yang Jaehyun lupa.

"Chocolate Cake dan secangkir Hot Cappuccino," ujar Rosé kemudian pada seorang pelayan yang segera mengetikkan pesanannya lalu menggulirkan fokus menanti Jeffrey memesan pula.

Menilik menu yang terpampang sesaat, Jeffrey bertukas, "Secangkir Americano hangat."

Lalu ia membayar menggunakan sebuah kartu kredit tanpa limit pemberian Alice. Benar. Fasilitas finansial tiada batas yang Alice berikan adalah pemicu ketenangan tersendiri dalam diri Jeffrey. Ia semestinya tak perlu repot menimbang-nimbang harga dari apa yang ia beli, tetapi rasanya bukan hal yang pantas jika Jeffrey menjadi boros dengan uang yang seolah bukanlah miliknya utuh. Maka dari itu, secangkir Americano dengan harga yang tak terlalu menjulang tak juga terlalu murah adalah cukup baginya. Paling tidak untuk menabur kehangatan di dalam raga yang tergulung dinginnya udara.

"Selain melupakan banyak hal, ternyata banyak juga yang berubah darimu."

Jeffrey berhenti menyesap cairan hitam pekat dari cangkir dalam genggaman tatkala Rosé bersuara. Ia mendongak memandang perempuan itu dengan dua alis bertaut.

"Dulu kau tidak suka Americano karena beberapa orang menganggap itu seperti air comberan."

Menyantap potongan cake dari piring, Rosé melihat Jeffrey yang meletakan kembali cangkir di atas lempengan keramik berukiran bebungaan cantik yang khas menguak kesan kuno sebagaimana gaya tempat ini.

"Benar. Aku melupakan banyak hal. Aku bahkan tidak ingat yang kusukai dan yang kubenci dulu." Jeffrey melempar atensi pada pemandangan di luar kafe lewat kaca jendela berkelambu putih pudar yang memiliki coretan abstrak. Mencoba bersikap tenang di tengah intimidasi yang ia dapat dari sorot mata Rosé, Jeffrey berucap lagi, "Kamu pasti terluka, banyak hal tentangmu yang aku lupa."

Sepasang sarung tangan coklat yang telah Rosé tanggalkan menjadi tempat pandangan Jeffrey bergulir. "Warna merah muda, kau tidak menyukainya bukan?"

Tak ada jawaban dari Rosé selain bungkam karena apa yang dikatakan Jeffrey adalah benar. Ia turut mengikuti arah pandang Jeffrey. "Maaf karena aku tidak mengingatnya dengan benar." Kemudian dua bola mata Rosé bergeser lagi pada sosok pria di hadapan. Ia merasa ditubruk rasa bersalah sebab sempat memendam kekecawan atas Jeffrey yang banyak lupa tentangnya. Semestinya, dapat duduk dan melihat pria itu dalam keadaan baik-baik saja sudah cukup membuat Rosé memanjatkan beribu-ribu syukur pada Tuhan.

Kembali meminum Americano dari bibir cangkir, Jeffrey memandang Rosé lamat-lamat. Ia meraup napas cukup banyak, lalu menghembuskannya pelan. Satu perkara hendak Jeffrey tanyakan kepada perempuan itu. "Jika kamu tidak keberatan, bisakah kamu memberitahuku tentangmu, tentangku, dan tentang kita?"

Hening menyapa tatkala Rosé membisu. Dan, Jeffrey seakan tersapu gugup. Ia sesungguhnya tak yakin penuh atas apa yang ia tanyakan barusan. Ia pikir itu mungkin menyulitkan perempuan di hadapannya. "Ah, tidak. Hanya beritahu aku tentangmu saja!" ralatnya kemudian. "Beritahu aku, apa yang kamu suka dan apa yang tidak kamu suka!"

Raut memohon tertampil di balik dua netra kelam Jeffrey kala menyorot pada Rosé. Sementara perempuan yang di ajaknya bicara menyempatkan diri untuk menunduk guna menyantap potongan kecil cake-nya.

"Cake ini dan juga Cappucinno adalah kesukaanku."

Rasonan suara lembut Rosé membelah belenggu canggung di antara keduanya. Senyuman manis Ia terbitkan tanpa segan saat mulai menyebutkan banyak hal tentang dirinya. "Aku suka makanan manis, film romantis, dan warna yang tidak terlalu mencolok seperti putih atau biru muda. Aku suka bau kayu, beberapa parfumku mengambil tema itu."

Sempat mendatangi sebuah ruangan dengan banyak botol parfum yang berjajar, Jeffrey memahami bahwa Rosé adalah seorang peracik parfum. Ia mengangguk setelah mendengar dengan seksama segala yang keluar dari mulut Rosé.

"Aku suka musim semi. Bau udara sehabis hujan menurutku begitu menenangkan. Kita juga bertemu saat musim semi, di kafe ini," ujar Rosé lagi dengan pandangan yang berpendar ke segala penjuru kafe lalu berhenti di salah satu sudut. "Saat itu aku adalah mahasiswa. Aku duduk di sana bersama teman-temanku. Dan kamu adalah salah satu penyanyi yang diundang kemari mengisi panggung di sana."

Runtaian memori kala dua pasang mata bersirobok saling menatap, menyapa ingatan Rosé. Senyuman manis dari sosok pemuda rupawan yang menunggu jeda untuk menyanyikan bait lagu berikutnya tersuguh untuk Rosé. Itu adalah bagian yang tak pernah bisa Rosé lupa. Ia yang dulunya tak percaya perkara cinta pada pandangan pertama, keyakinannya digoyahkan saat itu juga.

Rosé hampir menyangkal, menyingkirkan debaran yang datangnya begitu tiba-tiba, tetapi semesta seolah tak memiliki kehendak yang sama. Semesta seakan mendukung dimulainya jalinan kasih di antara keduanya tatkala sosok pemuda jangkung berpakaian sederhana serupa kaos oblong putih dipadu kemeja hitam polos dan celana jeans itu mendatangi mejanya, berdiri di dekatnya, tersenyum sembari mengulurkan tangan.

"Jung Jaehyun. Siapa namamu?"

Senyuman kecil terbit di sepasang bibir Rosé saat mengingat kenangan manis itu. Mereka baru pertama bertemu tetapi pembawaan Jaehyun begitu hangat. Dia pandai bergaul dengan siapa saja, bahkan nyaris seluruh teman-teman Rosé waktu itu teringin menjadi dekat dengannya. Waktu bergulir cepat, dan Rosé mulai tahu bahwa Jaehyun adalah salah satu mahasiswa di kampusnya meski tak satu jurusan. Tahu pula perihal Jaehyun yang memiliki segudang prestasi, dan juga-

laki-laki pemain hati.

Banyak mahasiswa cantik di kampus begitu mengagungkan parasnya, tak segan mengungkapkan rasa dan sudi diajak bermalam bersama meski tahu hubungan mereka tak akan bertahan lama. Jaehyun akan mengakhirinya, barangkali esok atau lusa. Pesetan dengan segala hal buruk tentang Jaehyun, Rosé memilih menjadi salah satu dari sebagian banyak perempuan Jaehyun sata tak mampu menolak pesona yang menyebar tiada ampun ke dalam dirinya. Meski Rosé tahu, terluka menjadi hal yang bisa ia rasakan sewaktu-waktu.

Salju di luar sana masih belum menuai tanda-tanda reda, Rosé menjadikannya labuhan pandang saat sendu tertampil di wajahnya. "Tapi, sekarang aku lebih menyukai musim dingin," ucapnya sedikit menyajikan senyuman.

"Mengapa?" Jaffrey bertanya tanpa raut penasaran.

Karena musim semi menyimpan sebuah tragedi. Sebuah kecelakaan yang menyebabkan Rosé mesti melewati seorang diri, bersama sepi, kadang menjadi gila sendiri sebab hari-hari terasa begitu panjang dan malam-malam terasa sunyi. Namun, sebab enggan mengungkapkan alasan yang sesungguhnya, Rosé memilih menggulirkan atensi menuju cairan coklat yang mengisi setengah cangkirnya lalu menjawab,

"Hanya, menjadikan cappuccino ini lebih nikmat. Dan juga, salju selalu menjadi hal yang istimewa bagi orang-orang. Aku setuju. Kita bisa membuat boneka salju atau mencoba bermain outdoor ski."

***

Sepasang tangan besar nampak sedikit kaku kala menyisir surai panjang nan halus berwarna kecoklatan, mengumpulkan, dan mengikatnya ekor kuda. Sebuah cermin melukiskan bayangan wajah perempuan yang masih nampak cantik meski tanpa riasan, dan bibir yang merona alami meski tanpa polesan. Sweater putih melekat manis berpadu rok tiga perempat yang tak menyentuh mata kaki.

Lewat cermin itu pula, Rosé mampu melihat bayangan sosok Jeffrey. Seperti akhir-akhir ini, wajah itu nampak tak punya ekspresi yang berarti.

Beberapa ketukan pelan berlabuh pada pintu. Suaranya menyeret etensi dua manusia di dalam ruangan bernuansa gading semu jingga. Tak butuh waktu lama atau ijin penghuninya, duan pintu terbuka. Sosok Alice muncul dan tersenyum hangat di sana.

"Eonnie." Rosé menyapa dengan pandangan berbinar. Sementara itu, Jeffrey sedikit mengerutkan dahi. Alice tak bilang akan berkunjung. Ia menjadi sedikit canggung dan gugup tiba-tiba.

Alice menghampiri, ia memperhatikan Rosé yang duduk di kursi rendah menghadap cermin beberapa saat sebelum melempar sorot pada Jeffrey. Menghembuskan napas, Alice meraih sebuah lip balm dari atas susunan meja rias, lalu menunduk dan mengaplikasikannya pada bibir Rosé sembari berkomentar, "Bibirmu kering sekali."

Pergerakan Alice terhenti setelah dua kali oles oleh sebab ponselnya berdering. Ia meraih itu dan menatap nama nama si pemanggil. Itu kekasihnya, Johnny Suh. Maka, Alice yang belum selesai dengan aktivitas mengolesi bibir Rosé dengan lip balm segera menoleh pada Jeffrey.

Memberikan benda berbentuk tabung kecil itu pada Jeffrey, Alice berucap, "Oleskan ini!"

Sedetik kemudian Jeffrey mengerjapkan matanya yang melebar, mulut pria itu setengah terbuka nyaris memprotes tetapi urung sebab Alice telah lebih dulu hengkang dari ruangan. Kini tersisa Jeffrey, memandang benda di tangannya dan juga Rosé yang duduk dengan tenang seolah tak keberatan.

Lagi-lagi gamang menenggelamkan Jeffrey. Kecanggungan terasa sungguh di antara mereka, atau mungkin hanya Jeffrey saja yang merasakannya. Namun, mencoba bersikap biasa dan menyingkirkan segemuruh rasa yang tiba-tiba menyapa dada, Jeffrey akhirnya melangkah kembali mendekati posisi Rosé. Ia berlutut di hadapan perempuan itu dengan jemari yang sedikit bergetar memegang ujung lip balm, perlahan ia ulurkan menuju sepasang bibir milik Rosé.

Napas Jeffrey tertahan seiring jemarinya mengaplikasikan benda itu dengan hati-hati. Jarak yang terlampau singkat di antara wajah keduanya membuat mata Jeffrey begitu jelas melihat pahatan sempurna tanpa cela, terutama bentuk bibir yang nampak begitu manis.

Dalam bayangan Jeffrey mendadak menari sebuah pemikiran liar serupa dirinya yang mengecup singkat, mencicipi agar tahu seberapa manis bibir itu. Namun, saat kesadaran menerkam, dengan segera Jeffrey menghempaskan segala bayang yang bertandang dengan amat kelewatan.

Saat hendak kembali meletakan lip balm ke atas meja, Jeffrey terheran begitu Rosé menahan tangannya dan mengambil alih benda itu. "Mau kubantu pakai juga?"

"Apa?"

Dan, mulut Jeffrey refleks bersuara ketika telinganya disuguhkan dengan sebuah tawaran. "Bibirmu juga nampak kering. Pasti terasa tidak nyaman." Kala itu Jeffrey sudah menegakan setengah tubuhnya, tetapi hangat yang menyapa kulit lengan kala Rosé menggenggam membuat Jeffrey pada akhirnya kembali pada posisi semula. Berlutut.

Jeffrey kini menatap lurus pada wajah yang nampak serius kala mengolesi bibirnya dengan lip balm di tangan. Lantas, bergulir perlahan tatapan Jeffrey menuju satu tangan Rosé yang bertumpu pada bahu kanannya. Terasa mendebarkan, dan sekali lagi, mungkin hanya dia yang merasakan sebab ini adalah pertama kali bagi Jeffrey diberi perlakuan demikian.

Usai dengan akvitasnya, Rosé tak lantas menciptakan jarak di antara wajah mereka, malah perempuan itu menyuguhi Jeffrey seuntai senyuman sembari jemarinya sedikit merapikan surai Jeffrey yang berantakan. Sungguh, perlakuan itu sedikitnya menyebabkan Jeffrey hilang kendali atas dua buah serambi yang berpacu serasa berkejaran dengan dentingan jarum jam. Terlebih lagi ketika suara lembut Rosé dengan lirih mengucap,

"Tampan."

Tidak bisakah Rosé menyimpan pujian itu tanpa harus menyuarakannya? Sebab kini satu kata itu seakan menggema di dalam telinga Jeffrey tanpa henti. Dunianya melambat, mempersilakan Jeffrey merekam dengan baik setiap guliran bola mata Rosé yang memancar penuh cinta. Dan, batin Jeffrey turut memuji,

"Indah sekali,"

-meski tak ia suarakan.






[SILHOUTTE: After A Minute]

***

Jung Jaehyun when Rose meet him for the first time~

***




Continue Reading

You'll Also Like

10.2K 1.6K 26
Sinb menatap jengah dua pria di depannya. Ia tidak memiliki firasat apapun tentang pertemuan ini sebelumnya. Sampai mereka saling melempar kode lalu...
18.9K 2.5K 55
[selesai] "Andai saja soal matematika semudah jatuh cinta. Maka bukan Bumi yang aku cintai, tapi buku jelek tak terurus disudut meja belajar!" Jatuh...
71.3K 9.2K 42
Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji ak...
2.8M 129K 37
(#35 in romance per. 10.10.17) BELUM REVISI *tanda baca dll masih belum rapi* " Aisyah seorang wanita berhijab yang menjadi sekertaris seorang lelak...