My Perfect Psikiater

By Istiayu19

32.2K 4.3K 857

Lentera Gulita. Gadis berumur 16 tahun yang kehilangan masa remajanya. Di saat teman sebayanya menghabiskan m... More

Prolog
1. Dia Kenapa?
2. She's Not Okay
3. I Can See You
4. Kejanggalan
5. Karena Kamu Lentera
6. Saya Manusia Biasa
7. Cctv?
8. Kecurigaan
10. Anda Menginginkan Permainan?
11. Apalagi Ini?
12. Mari Bekerja Sama
13. Cokelat Jawaban
14. Pelaku?
15. For Us
16. Cerdik-Cerdik Licik
17. Don't Be Affraid
18. Dia, Senjana Dan Luka
19. I Will Protect You
20. Semangat Ya Senjana
21. Ingkar
22. Do it, Lentera.
23. You Deserve It
24. Bertahan ya?
25. Perjanjian
26. Kilas Balik Trauma
27. Kantor Utama RSJ Kasih Beta
28. Kebijakan Kasih Beta
29. "Gue Tandain Lu, Gavin!"
30. Dunia Ini Bukan Hanya Milik Lentera
31. See You, Lentera
32. Hi, Tingker Bell!
33. Praduga
34. Kau Menyukainya, Tuan?
35. Jadi, sebenarnya?
36. Kuncup Bunga Tulip
37. Merekah bak Mawar Berduri

9. She's Look Pretty

1K 149 9
By Istiayu19

Thankyou buat kalian yang menemukan cerita ini dan jatuh cinta dalam kisah Lentera dan Alwi. Pokoknya jangn bosan ya. Kedepannya akan lebih seru❤🦕🦋

Jadi, kalian bisa baca cerita My Perfect Psikiater ini berawal dari mana/siapa?

***

"Bang, ada tamu loh, temen SMA sekaligus Kuliah Abang di UI. Tuh liat aja." Antari menyambut Alwi yang baru saja memarkirkan mobilnya. Wajah laki-laki itu tampak sayu, kedua netranya merah. Seharian ini ia benar-benar dibuat ekstra lelah hati dan pikiran.

"Siapa, Ri?" Alwi menyuramkan kedua matanya. Sesekali menguap, mengulurkan map berisi dokumen penting. "Boleh minta tolong bawakan ini nggak? Saya capek banget. Btw, jam sembilan gini ada tamu?"

Antari berdecak kesal. "Kan tadi udah dibilangin. Itu tamu Bang Alwi. Buruan liat!" ujarnya geram.

Alwi bertanya-tanya. Langkahnya lebar memasuki ruang tamu. Dan, pandangan pertama yang Alwi dapati adalah dua orang yang baru saja meletakan cangkir, lantas keduanya sedikit kaget akan kedatangan Alwi.

"Al, akhirnya lo pulang, gue kira lo lupa jalan rumah." celotehnya.

Alwi tersenyum samar. Jenis senyum yang ia sendiri tidak tahu untuk apa. Tapi memang seharusnya Alwi menampilkan itu untuk tamu istimewanya.

"Sini, nak. Malah bengong. Mereka udah dari tadi loh. Kamu di telpon susah banget." gerutu Mamanya.

"Hp saya lowbat, Ma." jawab Alwi lirih.

"Lo seformal ini, Al? Ck. Lo nggak kangen kita?" tanyanya.

Alwi mengangguk. Ia merangkul tubuh yang setara dengannya. Gagah dan berwibawa. Lalu, Alwi tampak canggung di hadapan salah satu tamu yang bertahun-tahun ia rindu kehadirannya. Dan malam ini adalah momen jumpa yang membuat Alwi merasa itu mimpi.

"Han," sapanya sesaat. Setelah itu ia terusik oleh anak kecil di pangkuan perempuan yang baru saja ia sapa. Anak itu tertidur pulas. Dengkuran halusnya menggelitik jiwa kosong Alwi.

"Anakmu tertidur," reflek berucap itu. Pundak Alwi ditepuk. Ia menoleh pada laki-laki seumurannya itu. Dia—pemilik hati perempuan yang saat ini tengah memangku anak kecil berumur tujuh tahun berparas tampan.

"Lo boleh mandi dulu, biar nggak ngantuk, kita bisa nunggu." ucapnya.

"Tapi kalian udah nunggu gue lama, emangnya nggak pa-pa kalo gue mandi dulu?" tanyanya.

"Kayak sama siapa aja lo, kita jauh-jauh ke sini buat ketemu lo, Al. Jadi kita bakalan nunggu. Buruan mandi, lesu banget wajahnya."

"Nak Hanny, kalau capek, tidurin anak kamu di kamar tamu ya. Saya rasa tangan kamu pegal menahannya." ucap Mama Alwi.

"Nggak apa-apa, Tante." sahut Hanny.

"Begitu ya, saya tinggal dulu ya. Sebentar lagi suami saya datang. Iya kan, Al? Papamu udah jalan pulang kan?"

"Iya, Ma." jawabnya datar. Alwi menatap kedua tamunya. "Gue mandi bentar ya. Sepuluh menit." reflek keduanya mengangguk.

Tapi, ketahuilah. Alwi tidak benar-benar membersihkan diri. Yang dilakukan laki-laki itu hanyalah berdiam diri di kamar mandi. Menatap pantulan dirinya pada cermin. Ia baru saja ditampar kenyataan sekeras-kerasnya. Sampai rasa sakit itu begitu ia rasakan pada sekujur tubuhnya.

Kedatangan Hanny—perempuan di masa lalu yang masih menempati hatinya itu, tiba-tiba datang bersama suaminya. Beserta anak kecil yang bagi Alwi sangat lucu dan tampan. Kenyataan itu pahit. Alwi tidak sanggup menelannya.

"Kamu udah benar-benar bahagia, Han? Aku turut senang melihatmu seperti itu." senyum palsunya terlukis. Tampak muak dan Alwi juga membenci senyumnya.

"Masih sama, cantik, aku berdosa memujimu seperti ini. Tapi aku nggak bisa menyangkalnya. Aku sangat merindukanmu, Han." ungkapnya dalam hati.

"Abang! Udah lebih dari sepuluh menit!" Alwi di kagetkan oleh pekikan Antari. Buru-buru membasuh wajah. Lalu mengganti pakaiannya.

***

Mereka duduk di teras. Menikmati suasana malam yang terang akan cahaya bintang.

"Jadi lo udah dinas di Rumah Sakit Jiwa?" tanya Yoga.

"Iya. Belum genap satu bulan sih, itu juga permintaan bokap. Tadinya gue mau magang di Prancis." ucap Alwi.

"Kejauhan, Al." sahut Hanny. Ia berdiri menimang anaknya yang sesekali menangis karena merasa tidak nyaman dengan posisi tidurnya.

"Iya, lo kan udah harus berumahtangga. Kita semua nunggu lo nyusul. Kita pengin lo ikut kumpul terus bawa anak masing-masing. Lo nggak kangen sama Predator?" tanya Yoga.

Alwi termenung. Ia menekuri sandalnya. Perkataan Yoga barusan membuat dadanya nyeri. Memangnya Alwi tidak ingin menikah dan memiliki anak seperti teman-teman seperjuangan di masa remajanya itu? Tentu saja Alwi ingin. Tapi hatinya mati rasa. Ia seperti belum ikhlas dengan takdirnya. Perempuan yang ia sayangi sepenuh hati sudah menjadi milik Yoga dan perempuan itu kini tengah menatapnya dengan sendu.

"Nggak usah buru-buru kalau emang lo belun siap, Al. Yoga bercanda kok, toh kita semua juga jarang kumpul. Terakhir kali kapan ya, lupa." ujar Hanny mencairkan suasana.

"Sori, bro. Gue bercanda. Kita di undang ya kalo lo udah siap nikah." timpal Yoga.

"Pasti." Alwi tersenyum getir.

"Mau coba gendong Pandu nggak?" tawar Hanny.

"Biar lo nggak kaget pas nanti punya anak. Oh iya gue berterimakasih sama lo, Hanny udah cerita waktu itu telpon dan curhat masalah Pandu yang lagi sakit, terus gue lagi kerja di luar kota. Thanks, setidaknya Hanny bisa tenang karena saran-saran dari lo." Yoga menepuk pundak Alwi. Tatapannya tulus.

"Santai aja." balas Alwi. "Gue boleh gendong anak kalian?" tanyanya.

"Boleh lah. Anak kita kan anak lo juga, Al. Gue bakal ceritain kisah-kisah kita ke Pandu, kelak kalau udah dewasa, Pandu juga bakal panggil lo Papa. Lo kan pernah menjadi bagian penting di hidup Hanny, dan lo adalah laki-laki terbaik yang pernah Hanny miliki." ungkapan Yoga membuat dada Alwi semakin sesak. Ia semakin merasa tersakiti akan kenyataan itu.

Bahkan sampai sekarang, Hanny masih penting di hidup gue, Yog. Gue minta maaf udah lancang. Maaf kalo gue masih sayang sama Hanny.

"Al," panggil Yoga.

"Kenapa, Yog?" jawabnya.

"Kelak, Pandu akan bangga sama lo."

Alwi tersenyum haru. Rasanya ia tidak sabar menunggu Pandu dewasa. Ia ingin bercengkrama lalu memeluk anak itu layaknya anak kandungnya sendiri.

***

"Bang Alwi, boleh masuk nggak?" Antari mengetuk pintu kamar Alwi yang ia yakini laki-laki itu belum tidur. Padahal sudah pukul 01.15 dini hari. Antari juga baru menyelesaikan drakornya.

Pintu itu terbuka. Menampilkan laki-laki jangkung dengan rambut acak-acakan. Wajahnya tampak sayu. "Kamu kebangun? Mimpi buruk?" tanyanya.

"Antari belum tidur. Marathon drakor hehe." jawabnya nyengir.

"Nggak baik begadang terus." ujar Alwi.

"Boleh ngobrol sebentar nggak, Bang?" tanya Antari.

"Ke balkon aja. Saya juga lagi nggak bisa tidur." sudah Antari duga. Laki-laki itu pasti tidak akan bisa terlelap setelah kedatangan dua orang di masa lalunya.

Keduanya berdiri di balkon. Sama-sama menumpukkan lengan pada pembatas besi. Meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Lantas saling pandang dengan sorot yang berbeda-beda.

"Antari jadi sedih, tadi denger pembicaraan kalian." ucapnya. "Jadi ... Itu yang namanya Hanny?"

Alwi menunduk sebagai jawabannya. Laki-laki itu lantas mengulas senyum simpul yang menandakan ia sedang tidak baik-baik saja.

"Pasti sedih ya, Bang?" Antari memegang lengan Alwi. "Kak Hanny beruntung bisa deket sama Abang. Walaupun akhirnya dia udah punya pilihan sendiri."

Alwi mengangguk. Ia mengusap puncak kepala Antari. "Seandainya kamu dikasih dua pilihan. Menunggu laki-laki yang belum pasti kedatangannya, atau menerima lamaran laki-laki yang bahkan kamu nggak menyukainya. Pilih mana?"

"Antari pilih yang udah pasti. Walaupun belum kenal terus belum ada perasaan suka. Karena bagi Antari, perempuan cuma butuh satu hal, kepastian." ungkapnya.

"Seperti itu yang terjadi diantara kami, saya menyayangi Hanny sepenuh hati, kami saling berkomitmen tapi Papa merusak semuanya. Saya di paksa putus dan pindah kuliah bahkan prodi juga harus ganti. Itu semua nggak mudah, saya melakukannya karena saya nggak mau dianggap durhaka. Tapi di sisi lain, ada hati perempuan yang saya patahkan walaupun nggak secara langsung, tapi sudah pasti menyakitkan baginya."

Antari menahan genangan air matanya. Sungguh, ia tidak mengira cerita masa lalu Abangnya itu menyedihkan. Harapan dan cita-citanya diatur oleh orangtua. Bahkan untuk masalah asmara juga diganggu gugat.

"Abang jangan sedih ya. Kak Hanny kan udah bahagia. Antari yakin kok, Kak Hanny nggak akan benci sama kisah yang akhirnya selesai secara menyakitkan."

"Iya, saya tahu, Hanny nggak akan benci ataupun menyesali. Saya juga yakin, Yoga adalah laki-laki terbaik yang menjadi pilihannya."

"Apa dia orang terdekat kalian?" tanya Antari.

Alwi mengangguk. "Yoga itu mantan kekasih Hanny saat SMA. Hubungan keduanya cuma berjalan satu minggu. Setelah itu kami dekat, saya dan Hanny memulai hubungan dan berjanji untuk jangka waktu yang sangat panjang. Tapi, ketahuilah, saya merasa mereka memang berjodoh. Kami tetap berteman sampai ke bangku kuliah, kami selalu bertiga dan Yoga menjadi partner terbaik, atau menjadi pelindung kedua untuk Hanny ketika saya sedang ada kepentingan lain."

"Abang bakalan dapet jodoh yang terbaik. Antari doain kok, semangat ya!" ucapnya ceria.

"Terimakasih. Masuk yuk, langsung tidur ya." Antari tersenyum. Setidaknya ia sudah meringankan beban yang terlihat begitu berat di pikiran Alwi.

Benar. Kedepannya semua akan membaik. Seperti biasa dan tidak akan ada apa-apa sekalipun Alwi masih hidup dalam bayang-bayang masa lalunya.

***

Weekend kali ini Alwi tetap bekerja. Namun santai, bahkan pagi ini Antari ikut ke Rumah Sakit Jiwa. Ia merasa bosan, akhirnya ia menjadi ekor Alwi, kemanapun laki-laki itu pergi, Antari mengikuti.

"Duduk aja di kantor, nonton tv, saya masih banyak kunjungan pasien." ucap Alwi. Ia menoleh lantas menghela napas ketika adik keponakannya itu masih tetap mengikuti.

"Bosen, habis ini ke pasien apa? Dia sakit jiwa kayak yang tadi nggak?" ucapnya antusias.

"Masih tiga pasien penyakit jiwa. Tapi saya mau ke rungan Lentera. Sebaiknya kamu jangan ikut, dari tadi ngikutin saya terus, nggak capek?" Antari menggeleng cepat. Gadis itu tampak ceria dan bersemangat.

"Minum dulu, nanti dehidrasi." Alwi mengulurkan air mineral yang ia bawa saat-saat bekerja menangani pasien.

"Antari nggak haus kok," tolaknya.

"Minum walaupun nggak haus. Saya tahu kamu capek." ujar Alwi sedikit memaksa.

Antari berdecak kesal. "Abang kan tahu sendiri aku tuh paling males minum, dikit aja tapi ya?"

"Harus di habiskan, dari pagi kan belum minum air putih. Badan kamu perlu cairan, Antari." Alwi membuka tutup botolnya.

"Pemaksaan." gerutu Antari dengan raut cemberut. Ia meneguk air minum dengan malas. Bahkan tidak dihabiskan sesuai perintah Alwi.

"Jangan ngikut lagi, kamu ke kantor aja." ucap Alwi.

"Ikut, Antari nggak mau di kantor. Sepi banget." ujarnya kesal.

"Ya sudah ayo." Alwi merengkuh bahu Antari. Keduanya berjalan menuju lorong Blok B yang menghubungkan ke rungan Lentera.

Antari menatap kanan kirinya. Ia merasa sedikit aneh. Lantas mendongak pada Alwi dengan kening berkerut ringan. "Kok ke sini? Ruangannya banyak yang kosong ya, jadi serem." ungkapnya.

"Iya, kamu takut?" sahut Alwi dengan tatapan lurus.

"Enggak. Tapi kita mau ke ruangan siapa sih? Kenapa ke lorong sepi kayak gini, jauh sama keramaian." ujarnya.

"Ke ruangan pasien khusus." jawab Alwi.

"Dia gila?" tanya Antari.

Alwi menggeleng lantas melukis senyum simpul. "Sama sekali enggak. Dia cuma sedang berjuang dari traumanya." jawab Alwi.

"Kalau nggak gila, kenapa ada di sini? Bukannya di sini cuma buat orang-orang sakit jiwa?" ujar Antari.

"Dia memang harus di tempat ini, dia harus mendapat perawatan dan perhatian khusus." ucap Alwi.

Antari manggut-manggut. "Gitu ya? Dia perempuan atau laki-laki?"

"Tadi saya sudah menyebut namanya, kamu lupa?" Alwi menunduk pada Antari. Kedua alisnya naik-turun.

"Siapa? Kayaknya Bang Alwi belum ngomong deh." Gadis itu menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

Alwi menghentikan langkahnya. Laki-laki itu menghela napas panjang. Tatapannya lurus ke depan, menerawang bayangan seorang gadis berpakaian baju tidur dengan rambut panjang yang selalu kusut. Wajah dan netranya sayu, kulit putih susunya tak jarang menjadi memar serta lebam karena ulahnya sendiri, suara kecil nan halus yang selalu terdengar lucu. Lalu sikap berubah-ubahnya. Dia—Lentera Gulita.

"Namanya Lentera." final Alwi setelah sibuk dengan pikirannya beberapa detik.

"Unik juga namanya, dia kenapa?" ucap Antari.

"She's fine but not." sahut Alwi.

"Antari yakin deh, dia punya mental yang lagi nggak baik-baik aja. Makanya dia ada di Rumah Sakit Jiwa." ujarnya.

"Betul." ucap Alwi.

"Terus dia gimana? Cantik nggak?"

Alwi menerawang sebentuk bayangan gadis yang sebelumnya ia ciptakan dalam imajinya sendiri. Senyumnya terbit, Alwi mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Antari.

"She's look pretty." ungkapnya.

"Jadi penasaran, ayo ke sana, Antari pengin liat Lentera." ajaknya bersemangat.

"Tapi saya hanya menjenguknya dari luar. Jadi kita nggak bisa sembarangan bertemu Lentera." jelas Alwi.

"Kenapa? Bukannya Abang mau sembuhin dia?" tanyanya.

"Lentera bukan pasien saya. Dia ditangani secara khusus oleh Dokter Gavin. Saya hanya menjenguknya dan sesekali memberikan terapi otak sebagai pemulihan diri." balas Alwi.

"Oh jadi bukan pasien Bang Alwi, ruangannya yang mana?"

"Ruangan yang itu," Alwi menunjuk lurus tepat pada pintu kayu yang tertutup rapat.

"Jam segini, dia lagi ngapain?" tanya Antari sembari menggandeng lengan Abangnya.

"Saya kurang tahu, biasanya dia bermain di luar, atau tetap di ruangannya." ucap Alwi.

"Kasihan, Antari jadi sedih, dia nggak akan terganggu kalau kita jenguk?"

"Semoga tidak."

Keduanya sampai. Sama-sama terdiam memandang ruangan itu. Tidak sesunyi biasanya. Terlihat dari kaca itu, seorang gadis tengah terkikik dengan cairan berwarna merah melumuri wajahnya. Di hadapannya—seorang berjas Dokter berjongkok. Dari samping, Alwi mengamati itu lekat-lekat. Dari jarak yang tidak dekat, ia bisa tahu bahwa—Lentera tidak benar-benar terkikik. Alwi menajamkan netranya. Reflek mengepal di sisi Antari. Lentera menangis namun juga tertawa.

Tubuh Alwi kaku. Mulutnya membisu. Sejurus kemudian ia terusik oleh tarikan tangan dari Antari. Keduanya menatap bingung dan curiga.

"Abang, dia kenapa?" tanya Antari lirih.

Final. Alwi menarik Antari menjauh dari sana. Bukan karena ia tidak ingin mencari tahu sedang apa Dokter itu dan apa yang terjadi dengan Lentera. Alwi sudah tidak ingin berpikir rumit di depan ruangan Lentera.

"Kok malah pergi, itu tadi Antari nggak salah liat kan ya? Ada darah di wajah dia?" ujarnya.

Alwi mengabaikan Antari. Laki-laki itu menunduk. Meredam gejolak emosinya. Tidak biasanya ia bersikap emosional seperti itu. Tapi semenjak mencurigai Dokter Gavin, ia mulai menanamkan sikap emosinya.

"Dia pelakunya." gumam Alwi.

"Hah? Maksudnya apa, Bang?" sahut Antari.

Alwi menggeleng. Ia yakin dengan segala praduga tentang Dokter Gavin, jawabannya sudah ia dapatkan saat ia menyaksikan pemandangan tadi secara nyata.

Karena Alwi tahu, tadi itu bukan jenis tangisan biasa bagi Lentera. Apalagi darah itu menjadi bukti yang sangat mencolok. Kalau Lentera melakukan hal-hal konyol menyakiti dirinya sendiri, lantas mengapa Dokter Gavin tidak menangani? Mengapa malah tertawa di hadapan Lentera?

"Kamu pulang ya, Antari. Saya ada urusan mendadak. Saya pesankan taxi. Kemasi barang bawaan kamu jangan ada yang ketinggalan."

***

Hallo! Kangen nggak sama Alwi-Lentera?

Part ini udah cukup buat seneng belum? Seneng karena Alwi udah mulai mendapat jawaban dari kecurigaannya?

See you next part!❤❤

Thankyou udah suka dan baca cerita ini😭🤗❤

Continue Reading

You'll Also Like

396K 22.1K 29
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
975K 89.6K 53
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
2.9M 304K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
624K 27.3K 42
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...