Langit & Laut

By planetsenja

5.1K 969 2.2K

[ SHORT STORY ] Teruntuk nona yang mampu membasuh pilu, menetaplah lebih lama dari matahari yang lenyap dimak... More

[ 01 ] ― ❛ Pembukaan ❜
[ 02 ] ― ❛ Melanglang Bandung ❜
[ 03 ] ― ❛ Malam Temaram ❜
[ 05 ] ― ❛ Tercerai-berai ❜
[ 06 ] ― ❛ Kalah Bertaruh ❜
[ 07 ] ― ❛ Temu itu Semu ❜
[ 08 ] ― ❛ Transplantasi Hati ❜
[ 09 ] ― ❛ Surat Penamat ❜
[ 10 ] ― ❛ Penutupan ❜

[ 04 ] ― ❛ Diagnosis si Manis ❜

374 96 315
By planetsenja

Lantunkan; Tulus - Monokrom.

Bandung, 08 Desember 2020.

Hari ini, tepat sepekan Sea seringkali merasa nyeri pada perut bagian atas, penglihatannya tak dapat lagi menjangkau jauh, sklera netranya kian menguning, dan berat badannya pun menurun. Akhirnya, ia memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter dengan paksaan sang Bunda. Dokter yang menanganinya mengatakan bahwa hasil pemeriksaannya akan rampung besok.

Kini, Sea sedang rebah di atas ranjang kecilnya dengan kedua manik netra yang masih terbuka sempurna. Sudah pukul sebelas malam, namun pelupuknya tak kunjung menutup, pikirannya seolah masih ingin berkelana melanglang buana. Ia membuka jendela kamarnya, membiarkan semilir angin malam menemaninya berbincang sebentar, dan ditemani pula dengan bulan purnama yang sedang merengkuh jutaan bintang yang terjaring rapi pada langit malam.

Tiba-tiba benda pipih yang berada di atas nakasnya berdering. Sea meraih ponsel genggam tersebut, ternyata panggilan dari Langit. Untuk apa ia menghubungi Sea larut malam begini?

"Halo?"

"Halo? Ini Sea, 'kan?"

"Iya, terus siapa lagi?" tanya Sea balik.

"Ya ... siapa tahu kuntilanak lagi cosplay jadi kamu," jawab Langit asal.

"Kenapa telepon larut malam kayak gini? Kamu nggak tidur?"

"Nggak mau tidur."

"Lho, kenapa nggak mau? Terus mau begadang, gitu?

"Maunya kamu."

Sea tak menjawab. Ia menahan kedua sudut bibir ranumnya untuk terangkat, meskipun di seberang sana Langit tidak akan tahu bagaimana ekspresi wajah Sea, namun ia tetap memaksa dirinya untuk tidak salah tingkah.

"Kamu jangan begadang, jangan senyam-senyum kayak orang gila, jangan mikirin aku juga," cerocos Langit seolah sudah paham betul dengan tingkah Sea.

"Kenapa nggak boleh mikirin kamu?"

"Nanti kamu tambah sayang," katanya, ia tertawa pelan.

"Kalau gitu, kurangin gantengnya bisa nggak?"

"Bu, kata Chelsea gantengnya Langit bisa dikurangin nggak?" lapor Langit sembari sedikit berteriak.

"Ih, dasar tukang ngadu!" Sea berdecak.

Terdengar lagi suara kekehan dari seberang sana. Sea sangat candu mendengar suara tawa Langit yang terdengar begitu merdu dibandingkan kicau-kicau burung gereja di pagi buta.

"Lang, aku nggak bisa tidur," keluh Sea. Sebenarnya netranya sudah terkantuk-kantuk, namun pikirannya terus terjaga.

"Ya udah, sini aku dongengin. Bentar, ya."

"Hah? Mau ke mana?" Sea bingung, kedua alisnya saling tertaut.

"Bentar, jangan hilang, ya. Nanti aku nangis."

Sepersekian sekon kemudian kembali terdengar suara di seberang sana, sepertinya Langit sedang memetik gitarnya dengan asal.

"Mau nyanyi?"

"Iya, mau nyanyiin lagu sebelum tidur buat calon istri. Sekarang matiin lampunya, tarik selimut, baca doa, terus maafin semua orang yang udah nyakitin kamu. Oke?" Jelas Langit yang sudah seperti seorang ibu yang menyuruh anaknya untuk segera tidur.

Sea menciptakan kurva bulan sabit pada wajahnya sembari mengangguk, meskipun Langit tidak akan melihatnya. Sebelum itu, ia kembali menutup jendela kamarnya dan mematikan lampu. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang miliknya, menarik selimut sebatas dada.

"Udah," jawab Sea.

"Oke. Pokoknya kamu nggak boleh ngomong ya, cukup dengerin aja."

Sea berdeham.

Langit mulai memetik gitarnya, Lagu Monokrom dari Tulus bergema di lorong-lorong telinga Sea, rasanya ia ingin menghentikan waktu dan terus mendengar suara Langit berulang-ulang. Pelupuknya mulai menutup, sebentar lagi peri dini hari akan menjemputnya di alam mimpi.

Tiba pada detik-detik lirik akhir, Sea kembali terbangun.

"Jika aku pergi lebih dulu jangan lupakan aku ...."

"Ini lagu untukmu, ungkapan terima kasihku ...." Langit masih setia menyanyikan lagunya untuk Sea, berupaya mengeluarkan suara terbaiknya.

"Lang ...." Sea kembali bersuara.

"Lho, nggak tidur?"

"Kayak gini terus, ya?"

"Kayak gini gimana?" jawab Langit yang terkemas menjadi tanya balik.

"Sama aku terus, Lang." Suara Sea terdengar sayup-sayup, namun Langit masih dapat mendengarnya dengan jelas.

"Ya udah, sekarang tidur, ya? Besok kita mau ajuin judul skripsi, 'kan?"

Lagi-lagi Sea hanya berdeham sebagai jawaban.

"Eh, tapi tunggu dulu, sayang. Aku ada sesuatu buat kamu, buka WhatsApp-nya, ya."

Sea mematikan panggilannya dengan Langit dan membuka aplikasi hijau itu, terdapat pesan baru dari Langit. Lantas ia membuka dan membacanya.

Love 💙

Hai Nona yang membuatku tak bisa berhenti memikirkan segalanya perihalmu. Jangan tidur dulu, ya? Izinkan aku menuliskan sajak yang timbul secara acak di dalam kepalaku.

Kelak, jikalau kau bertanya bagaimana aku jatuh hati padamu, maka biarkan kedua mataku yang menjawabnya. Ia akan berbicara bagaimana sorot netramu menatapku, bagaimana bibir ranummu berkelakar, bagaimana surai hitammu terbawa desiran angin, dan bagaimana tangan lembutmu bertautan dengan tanganku.

Kelak, jikalau kau bertanya bagaimana aku jatuh hati padamu, maka biarkan kedua mataku yang menjawabnya. Ia akan berbicara bagaimana pipimu memerah, bagaimana kakimu melangkah, bagaimana raut wajahmu ketika marah, dan bagaimana kedua alismu saling bertaut ketika resah.

Sayang, melalui larik-larik sajak ini, aku ingin memeluk dan menjagamu. Sekarang, tuntun pelupukmu untuk menutup, aku ingin mengecup keningmu lewat sajak ini.

Selamat tidur, laut.
23.21

⋆ ˚。⋆୨୧˚ ✧ ˚୨୧⋆。˚ ⋆

Besoknya, Langit dan Sea berangkat ke kampus bersama untuk mengajukan judul skripsi. Langit meminjam mobil ayahnya lagi, sebab langit Bandung sedang mendung sedari tadi pagi.

"Kamu agak kurusan, ya." Langit membuka suara saat mereka berdua sedang berjalan menuju parkiran mobil. Seperti biasa, Langit menautkan jari-jemarinya dengan Sea.

"Masa, sih? Belakangan ini aku emang nggak enak badan, jadi males makan," jawab Sea seadanya.

Setibanya di parkiran, Langit membukakan pintu penumpang untuk Sea. "Oh iya, mau jalan-jalan dulu nggak?" tanya Langit sebelum menutup pintunya.

"Enggak usah, Lang. Hari ini hasil pemeriksaan aku keluar, temenin aku ke rumah sakit aja, yuk?" ajak Sea.

"Lho, kamu sakit apa?"

"Enggak, cuma periksa doang. Soalnya belakangan ini dadaku sering sesak aja, tapi nggak apa-apa kok." Sea tersenyum sembari menampakkan deretan giginya.

"Pasti karena kamu cinta banget nih sama aku, sampai sesak napas jadinya," canda Langit.

Terus terang saja, Sea sama sekali tak tertarik dengan gurauan Langit kali ini. Namun karena dia adalah Langit, Sea tetap tertawa tanpa suara.

"Ya udah, aku antar ke rumah sakit. Habis itu antar calon istri pulang ke rumah ibu negara," ujar Langit.

Sesampainya di rumah sakit, Langit memilih untuk menunggu di dalam mobil saja. Sea memasuki ruangan serba putih dengan ambu obat-obatan yang menyeruak pada indra penciumannya. Ia duduk di sebuah kursi tepat di depan seorang dokter wanita paruh baya dengan penutup kepala bermotif bunga menutupi kepalanya.

Sea menggigit bibir bawahnya. Gugup. "Jadi, hasil pemeriksaan saya kemarin gimana, Dok?" tanyanya.

Sea berharap ia hanya kelelahan saja, lagi pula ia merasa sangat sehat.

Dokter Ajeng―dokter yang menangani Sea―mengembuskan napas cukup panjang. "Dari hasil pemeriksaan, Mbak Chelsea divonis mengidap Hepatitis B yang bisa dibilang sudah cukup parah. Sepertinya gejala yang timbul sering diabaikan, ya?" terkanya.

Sea mengangguk kecil. "Tapi, saya ngerasa sehat-sehat aja, Dok."

"Memang, beberapa orang, terutama untuk yang usianya masih muda, jarang mengalami gejala apa pun. Tapi, ini harus ditangani secepatnya. Karena kalau tidak, Hepatitis B bisa berkembang menjadi kronis dan membahayakan nyawa Mbak Chelsea sendiri."

"Terus penanganannya gimana, Dok? Apa ada kemungkinan terburuknya?"

Dokter Ajeng tersenyum, entah apa maksud dari senyuman itu. "Saya nggak mau menerka-nerka kemungkinan terburuknya seperti apa, karena saya cuma dokter, bukan Tuhan. Tugas kami cuma melakukan yang terbaik buat pasien-pasiennya, 'kan dokter juga manusia."

"Dan, karena infeksi hati yang dialami Mbak Chelsea ini sudah termasuk tingkat kronis, satu-satunya pengobatan yang paling efektif adalah transplantasi hati," lanjutnya.

"Transplantasi hati?"

"Iya, nanti saya akan kasih surat persetujuannya, dan tolong ditanda tangani oleh salah satu keluarga Mbak Chelsea, ya. Saya harap secepatnya."

Sea memijat dahinya pelan, bagaimana bisa ia persetan dengan penyakitnya selama ini?

Continue Reading

You'll Also Like

7.2K 582 65
[Sajak/Puisi] kepada malam-malam panjang, netra yang sulit untuk terpejam, memori masa lalu yang menyelinap masuk memenuhi isi kepala, dan untuk hal...
511K 5.5K 26
Hanya cerita hayalan🙏
138K 272 9
Gadis polos yang terjerumus suasana malam club, menceritakan cerita seorang influencer yang terkenal dikalangan remaja berusia 16 tahun. cerita lengk...
963K 61.4K 37
SLOW UPDATE Kisah tentang seorang bocah 4 tahun yang nampak seperti seorang bocah berumur 2 tahun dengan tubuh kecil, pipi chubby, bulu mata lentik...