SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

126K 19.6K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

06: Beside You

2.9K 504 55
By lnfn21

CHAPTER 6
Beside You

[Playlist: Beethoven - Moonlight Sonata]

***

Untuk beberapa saat lamanya, Jeffrey mengambil jeda berdiri di hadapan sepasang pintu kayu mahoni sebuah ruangan. Usai mengakhiri panggilan dengan Alice, sekuat hati ia menguatkan dirinya untuk kembali menatap mata perempuan yang nyaris membuatnya turut menjadi setengah gila.

Bayangan lekuk tubuh Rosé yang teramat indah masih membekas di benak Jeffrey, kini tengah menari dengan kurang ajar di kepala pria itu. Hasrat sebagai seorang laki-laki normal menyeret kegelisahan tersendiri, siapapun akan sama halnya dengan Jeffrey jika berada di posisi pria itu bukan?

Menggeleng pelan, Jeffrey berusaha menepis pikiran kotornya sebelum melabuhkan tiga kali ketukan pada permukaan pintu lalu mengayunkan gagangnya. Jeffrey teggelam kembali di dalam ruangan itu, memukan sesosok perempuan telah membalut diri dengan sweater merah muda terang dan celana pendek 'kurang bahan'-menurut Jeffrey sebab berjarak cukup jauh dari posisi lutut dan mengekspos sepasang kaki yang jenjang.

Duduk meringkuk di atas sofa dekat jendela, Rosé menekuk dua tungkak dan memeluk dua lututnya. Berikut, ia meletakan kepala di atas tumpukan lengan seraya melempar pandangan menerawang pada pemandangan butiran salju yang berjatuhan di luar sana.

Sementara itu, Jeffrey menyempatkan diri untuk menggulirkan atensi pada nampan di atas nakas. Mangkuk berisi sup daging masih utuh tak tersentuh. Jeffrey beralih memandang punggung yang tertimbun helaian rambut basah pula berantakan milik Rosé.

Mendekat pada sebuah meja rias, Jeffrey berinisiatif meraih sisir dan pengering rambut. Berjalan pelan menghampiri Rosé, suara derap langkah Jeffrey menyadarkan perempuan itu sehingga sosoknya kemudian mengangkat kepala dan memandang Jeffrey tanpa bicara.

Mengangkat dua benda di tangan, Jeffrey bertanya, "Mau kubantu mengeringkan rambut?"

Anggukan pelan yang Rosé berikan membuat Jeffrey kemudian mendudukan diri pada ruang kosong di sebelah perempuan itu. Tangannya kini dengan piawai menyisiri helaian surai lembut Rosé, pula mengoperasikan hairdyer untuk mengeringkannya. Jeffrey sadar bahwasanya Rosé terus menjatuhkan pandang padanya. Namun, sebisa mungkin Jeffrey bersikap biasa dengan menyibukan diri mengurusi rambut perempuan itu.

"Rambutmu panjang sekali." Suara pelan Jeffrey kembali menjadi pemecah keheningan di antara mereka berdua.

"Tidakkah kau berniat untuk memotongnya? Gaya rambut sebahu mungkin akan cocok denganmu." Jeffrey bertanya tanpa berniat menubrukan pandang ke dalam dua bola mata yang kini memandangnya kosong, ada sedikit gurat kebingungan yang terpancar.

Meski tak menjawab, sukma Rosé terus bertanya-tanya:

Kamu sebenarnya siapa?

Sebab Rosé tahu betul, Jaehyun menyukai rambut panjangnya. Pria itu pernah berkata bahwa rambut panjang Rosé adalah yang paling indah. Pernah sekali waktu ketika Rosé memotong pendek, Jaehyun secara terang-terangan memberikan pendapat bahwa ia tak suka dan berharap waktu bisa cepat berlalu sehingga ia bisa melihat Rosé dengan rambut panjang indahnya lagi.

Dan kini, mendengar kalimat yang bertolak belakang dari yang Rosé ketahui sebelumnya, ia tergulung bingung. Mengapa tiba-tiba banyak hal yang berbeda dari Jaehyun yang Rosé kenal?

Jaehyun yang Rosé kenal tak pernah bicara dengan nada tinggi, tetapi beberapa saat lalu, untuk kali pertama Rosé mendengar bentakan pria itu. Kini ia masih mencoba menerka, benarkah sosok di depannya sekarang adalah sang suami?

Pertanyaan lain serupa di mana selama ini Jaehyun berada dan mengapa meninggalkannya begitu lama menubruk benak Rosé. Di samping itu, pernyataan yang seringkali dilontarkan oleh Alice tentang kematian Jaehyun menghantarkan setumpuk dilematika. Namun, ketika matanya kembali memandang wajah laki-laki itu, ada rasa yakin bahwasanya itu memanglah Jaehyun sebab Rosé percaya sekali pemilik wajah itu hanya ada satu di dunia ini.

"Apa kau tidak merasa dingin?"

Jeffrey bertanya bersama mata yang sesekali melirik kaki seputih porselen milik Rosé. Cukup lama tak terdengar jawaban, Jeffrey tak berharap banyak. Pembicaraannya mungkin akan kembali menjadi obrolan sepihak, sama seperti beberapa saat lalu.

"Dingin."

Hingga suara rendah nan lembut memecah prasangka Jeffrey. Sejenak saling menuatkan pandang, Jeffrey kembali menjatuhkan atensi pada surai milik Rosé yang tengah ia sisiri. "Kalau dingin, mengapa pakai pakaian seperti itu? Tidakkah sebaiknya kau memilih pakaian yang lebih tertutup dan hangat di musim dingin seperti sekarang?"

Masih dengan dua netra yang seakan menelanjangi Jeffrey, suara lembut Rosé kembali mengalunkan tanggapan tak terduga, "Biar aku terlihat seksi."

"A-apa?" Jeffrey bertanya terbata. Barangkali telinga mendengar kalimat yang salah, ia hanya ingin memastikan. "Bukankah kau menyukai perempuan seksi?"

Kali ini sebuah pertanyaan dari Rosé tak mampu Jeffrey jawab dengan cepat. Pria itu terdiam cukup lama. Sampai kembali terdengar Rosé bersuara, "Aku hanya ingin menjadi seperti apa yang kau sukai. Dengan begitu kau bisa terus berada di sampingku."

Masih tak lantas Jeffrey berikan tanggapan. Pria itu kini terseret untuk menyatukan pandang di antara mereka dan tenggelam lebih dalam hingga ia menemukan ketakutan besar di balik pancaran mata Rosé di sana.

Mengakhiri aktivitas mengeringkan rambut Rosé, Jeffrey menyeret sehelai selimut yang kemudian ia gunakan untuk membungkus tubuh perempuan itu. Ia abaikan tatapan kaget dan keheranan dari Rosé. Ia menyibukan diri dengan memastikan benda tebal itu benar-benar menyelimuti tubuh Rosé dengan sempurna kecuali bagian kepala.

"Kalau boleh menyarankan, kau tidak harus menjadi seperti apa yang disukai seseorang. Jadilah seperti apa adanya kamu, sebab yang terpenting adalah kenyamanan dirimu. Perkara seseorang akan menyukaimu atau tidak, itu tidaklah penting. Dan lagi, seseorang yang benar-benar menyukaimu tidak akan meninggalkanmu meski kau tidak menjadi seperti yang mereka suka, sebab yang disukai mereka adalah segala yang ada pada dirimu."

Jeffrey benar-benar tak berpikir panjang saat mengatakan serentetan kalimat itu. Sebab Jeffrey pikir, Jaehyun ialah sebaik-baik manusia yang patut dicintai, maka ucapan bijaksana seperti apa yang baru saja keluar dari dari mulutnya bukanlah hal yang akan membuatnya dicurigai.

Namun, sosok Rosé yang terdiam tanpa tanggapan saat ini menjadi pemicu keresahan tersendiri. Jeffrey jelas tidak tahu, lika-liku yang telah dihadapi oleh Rosé selama mempertahankan hubungannya dengan Jaehyun. Yang jelas, petuah Jeffrey tadi menuai tatapan tanpa arti dari perempuan itu.

Beralih mengambil nampan berisi makanan, Jeffrey berakhir menyuapkan sesendok demi sesendok sup ke dalam mulut Rosé. Kondisi tangan kanan Rosé yang terlilit perban dan tak mungkin digunakan, menyeret insting pria itu untuk membantunya. Usai dengan kegiatan menyuapi Rosé, Jeffrey kini berkutat dengan botol obat tanpa menghiraukan dua mata Rosé yang melebar.

Jeffrey tersentak begitu Rosé menyambar botol obat di tangannya dan menggenggam erat-erat. "Ada apa?"

Perempuan itu nampak seperti menyimpan cemas. Ia menggeleng. Pandangannya kini berlabuh pada lengan Jeffrey. "Lenganmu basah. Gantilah pakaianmu di sana! Aku bisa minum obat sendiri." Rosé menunjuk pada bilik yang berfungsi sebagai ruang ganti, tempat pakaian dan aksesoris bermerek tertata rapi.

Awalnya Jeffrey terheran-heran, tetapi tetap mengangguk menanggapi ucapan pelan Rosé. Ia melangkah, menjauhi perempuan yang kini dengan tergesa membuka botol itu, lalu mengambil beberapa butir obat dan menggenggam segelas air. Ia melangkah mendekati jendela kamar, membuka kancing besi di sana hingga benda itu kemudian terbuka.

Segera, Rosé melemparkan butiran obat di tangan ke bawah sana, lalu meneguk air dari gelas yang ia genggam. Pandangannya menerawang bersama pikiran yang berterbangan menjauhi raga. Sekebat bayang sesosok pria yang tengah bercakap dengan seorang dokter menari samar di kepala perempuan itu, tetapi telinganya masih bisa menangkap dengan jelas isi percakapan mereka.

"Apa reaksi dari obat ini jika diberikan padanya?"

"Ini akan membuat sel-sel otaknya semakin rusak sehingga kecil kemungkinan untuk dia sembuh total. Dia akan terus berhalusinasi dan sering merasa nyeri di kepala. Efek konsumsi jangka panjang bisa menyebabkan kematian."

"Kalau begitu, pastikan dia untuk selalu meminumnya!"

Itu Rosé dengar beberapa hari lalu, saat ia masih berada di pembaringan ranjang rumah sakit. Rosé mengukung erat gelas di tangan ketika ia masih bisa mengenali betul sang pemilik suara. Menyadari kenyataan bahwa seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah Johnny, kekasih kakaknya, membuat Rosé disergap ketakutan yang teramat.

Suara derap langkah membuyarkan lamunan Rosé hingga ia menoleh dan mendapati sosok Jeffrey yang telah mengganti pakaiannya dengan kemeja polos hitam. Senyuman tipis Rosé berikan pada pria itu.

Jeffrey tak membalas. Ia bergegas mendekati Rosé dan menutup jendela kamar yang terbuka seraya berpetuah, "Angin malam tidak baik untuk kesehatanmu."

Bukan aoa-apa. Jeffrey hanya tidak ingin menjadi lebih repot lagi jika perempuan ini jatuh sakit. Maka segera ia menuntun Rosé menuju ranjang. "Tidurlah! Ini sudah malam sekali."

Berikut Jeffrey mengambil selimut dan menutupi tubuh perempuan itu. Hendak berlalu pergi, pergerakan Jeffrey terhenti begitu merasakan sentuhan lembut di pergelangan tangannya. "Kamu mau ke mana?"

Lupa satu hal, Jeffrey seolah kembali disadarkan perihal posisinya di sini yang merupakan suami dari Rosé. Seketika salivanya terteguk sukar. Jangan bilang sepanjang malam ia harus tidur di samping perempuan itu?

"Jangan pergi! Aku kedinginan. Aku ingin tidur dalam pelukanmu."

Jika sudah demikian, lalu Jeffrey harus apa?

Ia tak punya segelintir alasanpun untuk menolak. Sebagai pasang suami-istri tentu tidur bersama bukanlah hal yang menyimpang. Namun, Jeffrey hanyalah orang asing yang dipaksa situasi untuk membersamai perempuan itu. Meski tidur bersama perempuan sudah bukan hal yang baru lagi bagi Jeffrey, tetapi entah mengapa saat ini ia dirundung perasaan aneh. Setengah hatinya menolak, berteriak bahwa apa yang ia lakukan adalah salah.

Hingga kembali lagi ia mengingat peraturan yang telah ia sepakati dengan Alice. Berlaku selayaknya suami, asal tidak sampai meniduri Rosé, semuanya diperkenankan. Maka, daripada menuai kecurigaan jika menolak, Jeffrey akhirnya mengambil posisi di samping Rosé.

Perempuan itu tersenyum lagi, lalu tanpa permisi merapatkan tubuhnya pada Jeffrey dan memeluk pinggang Jeffrey erat. Debaran kaget tak bisa tereleakan dari menyelimuti dada pria itu. Aroma wangi rambut Rosé menusuk penciuman Jeffrey sebab puncak kepala Rosé berada di ceruk lehernya. Kehangatan perlahan merambat, menenggelamkan Jeffrey pada kenyamanan nyata sehingga ia pun mulai menfungsikan satu lengannya mendekap pinggang ramping Rosé.

Keheningan menemani dua insani di sana untuk beberapa saat.

"Jaehyun."

Sampai terdengar suara lembut Rosé memanggil satu nama. Jeffrey tak lantas menjawab, ia masih belum terbiasa dengan panggilan itu untuknya.

"Hm?" Dan, gumaman pelan akhirnya ia berikan sebagai balasan setelah diam selama sepersekian detik.

"Selama ini kau ada di mana?"

Mendadak, Jeffrey kembali merasakan jantungnya memompa lebih cepat usai terdengar pertanyaan Rosé. Ia dan Alice telah membuat alibi palsu jika Rosé mengajukan pertanyaan serupa sekarang. Namun, entah mengapa sulit bagi Jeffrey merealisasikannya di mulut, dan ia diam untuk waktu yang cukup lama.

"Mengapa kau pulang lama sekali?"

***

Petang berganti terang. Langit gelap semalam kini menghampar sejernih lautan. Surya beranjak naik perlahan, cahayanya menelisik lewat celah-celah dedaunan, pula hangatnya mampu mencairkan hamparan salju yang menyelimuti jalanan. Burung berterbangan menyapa angin yang berhembus tenang; berkicau tak cukup merdu, barangkali hanya ingin menandakan bahwa dirinya sedang tak sebaik waktu-waktu yang lalu.

Di balik dinding bangunan kokoh sebuah rumah mewah, seorang perempuan terbangun dari lelapnya. Lalu, beranjak ia segera melangkah pelan keluar dari ruang bernuansa gading semu jingga. Kaki telanjangnya terseret letih, jemari lentiknya berpegangan pada tralis kala mencoba menuruni satu per satu anakan tangga.

Hingga sampai ia pada ambang pintu sebuah dapur, tempat sosok pria tengah berkutat dengan dengan alat masak dan bahan makanan seadanya.

Rosé pikir semalam itu hanya mimpi. Dimandikan sang suami, lalu dibantu mengeringkan rambut pula menyisirnya, disuapi makan, dan dibawa dalam dekapan ketika hendak tidur. Namun, ketika pagi ini ia kembali mendapati sosok itu di sana, sepertinya yang semalam bukan sekedar ilusi belaka.

Mencoba untuk membuang keraguan, Rosé kembali mengurai langkah dan menggapai posisi di belakang pria yang belum menyadari keberadaannya sebab sedari tadi sibuk tenggelam bersama aktivitas mengaduk sup di dalam panci. Sejenak Rosé memandangi punggung tegak nan lebar pria itu, ia lantas bergerak melingkarkan dua lengan pada pinggang pria yang dibuat tersentak akibat ulahnya.

Jeffrey terdiam.

Lagi-lagi ia harus berperang dengan batin yang tengah menyumpah serapah sentuhan tiba-tiba yang ia terima. Dua lengan halus yang mengukung pinggangnya dengan indah itu, Jeffrey pandangi lamat. Lalu, ia rasakan hembusan napas meniup pada punggungnya, pula sebuah kepala yang bersandar nyaman di sana.

"Kau semalam tidur di mana?" Suara lembut Rosé mengalunkan tanya, Jeffrey seketika meneguk ludah dengan payah. "Aku terbangun dan tak melihatmu di tidur sampingku. Kupikir yang semalam itu hanya mimpi."

Memang, semalam usai memastikan Rosé terlelap, Jeffrey yang tadinya dipaksa situasi untuk berlaku selayaknya suami-tidur di samping Rosé dan memeluk perempuan itu-segera beranjak kembali ke ruang perpustakaan. Niatnya untuk mengistirahatkan diri tetapi malah berakhir tak bisa tidur sama sekali. Ia memutuskan untuk mandi, lalu menyiapkan sarapan sebab pelayan yang biasa bertugas meminta ijin langsung pada Jeffrey untuk cuti hari ini.

Mencoba menetralisir perasaan aneh yang berkecambuk di dada, Jeffrey mengecilkan api kompor. Melepaskan lengan Rosé, ia membalikan badan dan menghadap perempuan itu. Senyuman tipis ia berikan. "Aku pergi mencari udara segar sebentar, lalu berakhir tidur di ruang perpustakaan."

"Ruang perpustakaan?"

Rosé mengerutkan dahinya heran. Penyebutan ruang perpustakaan cukup terdengar aneh baginya. Dan ia pikir rumah ini tak punya ruang seperti yang disebutkan pria di hadapannya sekarang.

"Ya. Ruangan yang luas di lantai dua." Jeffrey memutar bola mata seraya tangannya terangkat ke menunjuk ruangan di lantai dua.

"Eoh, Cadenza*."

"Cadenza?"

Rosé mengangguk pelan. "Kau yang memberinya nama dulu saat pertama kali kita datang kemari. Kau lupa?"

Mendadak Jeffrey merasa dirinya seakan menyandang predikat sebagai manusia paling bodoh sedunia. Ia tak tahu menahu soal ini dan tak ada satu orang pun yang membertahu, baik Alice atau Mingyu. Gugup menggulung dirinya ketika ia mencoba mencari alibi yang tepat untuk menanggapi pertanyaan Rosé.

"Ah ya. Banyak hal yang kupikirkan, jadi aku agak sedikit pelupa akhir-akhir ini."

Hening menyapa untuk beberapa saat lamanya sampai terdengar Rosé bersuara, "Itu pasti karena kau menghabiskan enam bulanmu di atas ranjang rumah sakit."

Jeffrey tersenyum tipis. Semalam ia menceritakan kebohongan tentang di mana ia selama ini. Berangkat dari arahan Alice tentu saja, ia mengatakan bahwa setelah kecelakaan tragis di Venesia enam bulan lalu, ia koma dan dirawat di sebuah rumah sakit tanpa seorang pun tahu. Ia juga mengatakan bahwa mayat yang ditemukan polisi dan diidentifikasi sebagai dirinya adalah palsu.

Semua sandiwaranya berjalan sempurna hingga saat ini. Rosé menampakan raut percaya atas tipu daya Jeffrey. Meski sedikit terbesit rasa bersalah di dalam jiwa Jeffrey, ia jelas tak punya pilihan lain selain menjalankan tugasnya.

Terlarut dalam lamunan, Jeffrey kembali dikejutkan dengan sentuhan lembut dari jemari Rosé yang berlabuh di satu sisi wajahnya. Raut cemas tertampil di wajah perempuan itu seraya bertanya, "Apa kamu sekarang baik-baik saja?"

Jeffrey tersenyum dan mengangguk. Sentuhan Rosé menghantarkan sejumlah rasa menggelitik di dalam perut. Ia berharap perempuan itu segera menyingkirkan tangannya, tetapi ternyata tak demikian. Ibu jari Rosé mengusap lembut pipi Jeffrey. "Benar-benar baik-baik saja? Tidak ada yang sakit?"

Senyuman Jeffrey perlahan menjadi kaku tatkala matanya menubruk sepasang hazel jernih yang seolah menenggelamkan dirinya. Tak ingin menyalami perasaan aneh yang datang tiba-tiba, Jeffrey meraih jemari Rosé lalu menyingkirkan pelan.

"Aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir."

Jeffrey benggulirkan atensi pada panci di mana asap telah banyak mengepul, pria itu kemudian mematikan api kompor. "Supnya sudah matang. Ayo sarapan!" tukasnya seraya bergegas mengangkat panci.

Kini keduanya telah duduk di atas dua kursi yang saling berhadapan. Makanan terhidang sederhana di atas meja. Rosé terdiam cukup lama. Sebab tangan kanan perempuan itu terlilit perban, ia menggunakan tangan kirinya guna menggenggam sepasang sumpit meski agak kepayahan.

Jeffrey yang menyadari hal itu sempat terdorong untuk membantu, tetapi hatinya meragu. Kali ini Rosé menggenggam erat sendok untuk mengambil sup, yang mana tak berakhir masuk ke dalam mulutnya melainkan berceceran di atas meja.

Menghela napas pelan, Jeffrey meraih sehelai tisu guna membersihkan meja berikut ia meraih tangan Rosé dan membersihkannya pula. "Jika kau merasa kesulitan, minta tolonglah pada orang di sekitarmu!"

Jeffrey mengambil alih sendok milik Rosé, lalu mengambil kuah sup dan menyodorkannya ke depan mulut perempuan itu. Tanpa banyak bicara, Rosé menurut. Ia membuka mulutnya menerima suapan kuah sup dari sendok dalam genggaman Jeffrey.

Dua alis Rosé bertaut usai menelan. Dan, Jeffrey cemas menanti Rosé yang barangkali akan melontarkan komentar negatif perihal rasa dari masakan yang dibuatnya. Namun, tanpa diduga, apa yang terlontar dari bibir perempuan itu bukanlah komentar negatif, melainkan sepatah kalimat bernada introgratif.

"Sejak kapan kamu pandai membuat sup?"

Dan, menurut Jeffrey, itu lebih buruk lantaran ia kini seolah diseret agar tenggelam dalam pikiran, mencoba memutar akal untuk menjawab. Ia terlempar dalam bisu cukup lama, terlupa perihal fakta bahwasanya Jung Jaehyun punya skill memasak di bawah rata-rata. Mustahil membuat sup senikmat buatan Jeffrey sekarang.

Mencoba untuk bersikap santai di situasi yang sedemikian menyulut ketegangan, Jeffrey menyendok sup lalu mencobanya. "Eum. Kurasa percobaanku berhasil. Aku melihat resep di internet tadi."

Jeffrey melihat kedua alis Rosé perlahan mencipta jarak, pertanda jawaban yang Jeffrey berikan lebih dari cukup untuk membayar rasa penasaran perempuan itu. Setidaknya untuk sekarang, sebab Jeffrey tak akan tahu pertanyaan-pertanyaan apa lagi yang akan Rosé berikan padanya nanti.

[]








[SILHOUTTE: After A Minute]

***

***

Thakyou for always support me ^.^

Continue Reading

You'll Also Like

240K 24.4K 27
COMPLETED All characters belong to J.K Rowling. Jika Hermione Granger bukan seorang muggleborn semua ini tak akan terjadi. Jika Draco Malfoy b...
46.3K 5K 53
[complete, revisi] berhenti membuang waktu dengan menyukai ku, pergilah.
156K 9.1K 16
Terjemah Bahasa Indonesia Novel Naruto The Last Novel yang berisi kisah cinta sang tokoh utama yakni Uzumaki Naruto Novel akan memberikan penjelasa...
1.7M 65.2K 96
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...