Tortuous

By ambivalent46

8.6K 791 85

"Kita cuma temen kok, Vi. Ga usah lah pake acara cemburu gitu." "Kita juga awalnya temen, Mir. Sampai akhirny... More

Arc 1 - Dunia Serasa Milik Berdua -
Arc 2 - Siapa Dia? -
Arc 3 - Berlebihan(?) -
Arc 4 - Egois-
Arc 5 - Satu Hari Sebelumnya -
Arc 6 - Hari Bersamanya -
Arc 7 - Masih -
Arc 8 - Harus Nikmati Momen Ini -
Arc 9 - Tak Cukup Tangguh -
Arc 10 - Sadis -

Arc 11 - Komitmen -

619 70 13
By ambivalent46

Semenjak kejadian tempo hari, Chika sudah benar-benar berhenti menghubungi Mira. Kini tak ada satupun notifikasi dari Chika di ponsel Mira. Mira tahu ini adalah konsekuensi yang harus ia terima. Bahkan tamparan Chika di pipinya kala itu tak akan sebanding dengan sakitnya hati Chika karena perbuatannya.

Mira kini benar-benar sendiri. Tak ada teman dekat ataupun sahabat. Kadang dalam kesendirian seperti ini, Mira teringat tentang Vivi. Bagaimana sosok Vivi yang selalu bisa membuatnya tertawa. Khususnya pada saat-saat seperti ini. Berbicara tentang Vivi, Mira masih belum mendapati kabar tentangnya. Maka dari itu, sepulang latihan nanti Mira akan mampir ke rumah Vivi.

***

Dan disinilah Mira sekarang, di depan rumah Vivi yang tampak sangat sepi. Dengan bermodalkan keberanian dia mengetuk pintu depan rumah sang mantan.

Satu kali, tak ada yang menyahut. Dua kali, masih sama tak ada tanda-tanda jika pintu akan dibuka.

Mira mulai cemas, takut jika rumah ini kosong dan dia tak mendapatkan informasi apapun mengenai tempat dimana Vivi dirawat. Karena sejatinya saat ini dia hanya ingin bertemu dengan gadis itu dan berbicara sedikit mengenai banyak hal yang tak menyenangkan antara mereka belakangan ini.

Dengan helaan napas kasar, Mira mencoba mengetuk pintu itu sekali lagi. Beruntung, ada sahutan dari dalam dan langkah kaki yang terdengar. Menyadari itu membuat hati Mira langsung melega dan bibirnya refleks menyunggingkan senyum yang lebar.

Tak lama pintu terbuka, menampilkan salah satu orang yang bekerja di rumah Vivi. Mira tak mengenal dekat sosok perempuan paruh baya itu, dia hanya sebatas tahu saja.

"Eh non Mira?" Tanyanya dengan senyum yang merekah.

Mira tersenyum canggung kemudian mengusap lehernya sekilas. "Ah, iya bi, ini Mira." Salamnya yang membuat perempuan paruh baya itu tersenyum hangat.

"Ada apa non?"

Mira mencoba untuk biasa saja, meskipun sebenarnya gugup setengah mati. "Aku cuma mau tanya, katanya Vivi sakit ya bi?" Tanyanya yang tersirat nada kekhawatiran.

Bibi mengangguk pelan. "Iya non, non Vivi dibawa ke rumah sakit sama bapak dan ibuk." Jawabnya yang membuat Mira menundukkan kepala, entah kenapa rasa bersalah itu langsung memenuhi rongga dadanya.

"Kalo boleh tau, rumah sakitnya dimana ya bi?"

Bibi mencoba untuk mengingat nama rumah sakit tempat Vivi dirawat, namun tak berhasil. "Aduh saya lupa non nama rumah sakitnya," ucapnya dengan pandangan tak enak.

Bahu Mira melemas, rasanya jadi ingin menangis saja. Entah kenapa dia beberapa hari kebelakang terlihat sedikit lebih sensitif.

"Tapi saya inget non, itu rumah sakitnya deket sama kantor bapak. Dia kalo dari rumah, ada di sebelah kiri bersebrangan dengan kantor bapak yang ada di sebelah kanan." Ucap Bibi lagi yang berhasil membuat Mira menyunggingkan senyum lebarnya.

Mira menganggukkan kepalanya beberapa kali, mengetahui rumah sakit yang dimaksud bibi. "Ah, iya-iya aku itu dimana. Makasih banyak ya bi, maaf ngerepotin, aku ke umah sakit dulu ya bi." Pamit Mira pada perempuan paruh baya itu yang sudah menyunggingkan senyum ramah sambil mengangguk pelan.

"Hati-hati non."

***

"Ngapain lo disini?"

Mira menghentikan langkahnya kemudian menaikkan satu alisnya sambil memasang ekspresi tak tertebak. "Mau jenguk Vivi." Ucapnya santai.

Namun mendengar itu, tidak membuat lawan bicaranya jadi santai juga. Malah gadis itu terlihat menahan emosinya.

"Lo gak boleh nemuin Vivi." Tegasnya sambil melirik Mira sinis.

Mira mengernyit tak suka. "Apaan sih lo, gue ada perlunya sama Vivi bukan sama lo. Jadi, gak usah ikut campur urusan gue sama dia." Ujarnya dengan nada yang sedikit dinaikkan.

Emosi gadis dihadapan Mira ini makin terlihat. "Kalo gue bilang gak boleh ya gak boleh, sadar gak kalo Vivi bisa sakit kayak gini tuh karena lo?" Tanyanya dengan nada yang juga dinaikkan.

"Mau dia sakit karena gue ataupun bukan, tetep aja itu gak ada hubungannya dengan lo, Oniel. Jadi, stop ikut campur urusan gue." Ucap Mira sengit.

"Lo bener-bener ya kayaknya gak nger-"

Ucapan Oniel terpotong dengan suara pintu yang terbuka, menampilkan Vivi dengan wajah pucat dan tangan yang masih terpasang selang infus. "Suara kalian sampe ke dalem, berisik tau gak?"

Keduanya terdiam, namun tetap dengan mata yang saling memincing satu sama lain.

Vivi menghela napasnya kasar. "Lo kenapa kesini, Mir?" Tanyanya yang membuat Mira mengalihkan tatapan ke arahnya dan menunduk pelan.

"Gue mau jenguk lo, Vi."

"Yaudah, mau jenguk kan? Masuk ke dalam, jangan bikin keributan di depan pintu."

Mira menjulurkan lidahnya meledek Oniel, sedangkan Oniel hanya bisa mendengus kesal karena Vivi membela mantannya itu.

"Ada apa Mir?" tanya Vivi ketika sudah kembali berbaring di atas kasurnya.

"Lo sakit?"

"Lo buta ya? Udah tau dia diinfus, pake baju pasien, masih sok nanya 'lo sakit ya?', bego banget," bukan Vivi yang menjawab, melainkan Oniel.

"Gue nanya ama Vivi ya, bukan ama lo!" sungut Mira.

"Duh, please jangan pada berantem. Pusing gue dengernya,"

"Sorry,"

"Maaf,"

Ucap keduanya setelah mendapatkan omelan dari Vivi tadi.

"Iya, Mir gue sakit," jawab Vivi.

"Sakit apa?"

"Biasa, asam lambung gue naik lagi. Tapi kali ini cukup parah, lambung gue sampe luka," jelas Vivi.

"Makan lo pasti ga teratur lagi ya? Kan gue dah bilang jangan biasain nunda makan. Udah tau punya asam lambung, disuruh makan susah banget. Kalo dah gini kan kasian lonya,"

Mendengar omelan dari Mira tersebut Vivi hanya bisa terkekeh.

"Dibilangin malah ketawa,"

"Ya gimana? Lucu abisnya. Gue gini kan karena lo juga?"

Mira terdiam, masih bingung dengan ucapan Vivi.

"Semenjak kita putus, gue lebih banyak mikirin tentang lo ketimbang diri gue sendiri. Dan berakhir dengan seperti ini," jelas Vivi.

Mira merasa bersalah pada Vivi. Apalagi ia tahu kalau Vivi adalah tipe orang yang akan fokus pada sesuatu sampai benar-benar lupa dengan sekelilingnya, termasuk pada dirinya sendiri.

"Vi, ma-maaf,"

"Gapapa, gue udah mulai bisa nerima kok. Tapi ya gitu, agak lama. Makanya pake acara masuk RS kaya gini," ucap Vivi mencoba menepis rasa bersalah Mira padanya.

Bagaimana pun, Vivi masih sangat menyayangi Mira. Ia tak mau membuat gadis itu merasa bersalah dengan keadaannya saat ini. Meski memang penyakitnya kambuh karena Mira, tapi tetap saja Vivi lalai dalam menjaga dirinya sendiri.

Mira masih diam, wajahnya tertunduk. Terlihat bahwa ia merasa bersalah.

"Jadi lo ada apa lo kesini? Gue yakin lo ga cuma sekedar mau nengok gue kan?" tanya Vivi pada Mira yang membuat wajah gadis disebelahnya itu terangkat.

Mira mengangguk pelan, "iya. Ada yang mau gue omongin, tapi-" Mira menahan ucapannya dan melihat ke arah Oniel.

Vivi pun ikut melihat ke arah teman sekelasnya itu. Oniel yang tahu maksud dari tatapan dua orang tersebut hanya bisa pasrah.

"Oke gue keluar. Awas lo kalo macem-macem," ancam Oniel pada Mira sebelum akhirnya meninggalkan ruang perawatan Vivi.

"Oke, jadi kenapa?"

"Gue mau minta maaf sama lo,"

"Perasaan lebaran masih lama dah, Mir. Hari ini lo minta maaf mulu, heran gue. Kalo soal bikin sakit atau masalah lo mutusin gue, jujur gue udah mulai bisa terima kok,"

"Tapi bukan itu,"

"Terus?"

"Ini soal Ara,"

Vivi memutar matanya malas, "kenapa lagi tuh bocah?"

"Bener soal apa yang lo bilang tentang dia. Ara brengsek,"

Vivi hanya bisa tersenyum remeh mendengarnya, "kan gue dah pernah bilang sama lo,"

"Sorry waktu itu gue ga percaya sama lo,"

"Kali ini dia ngapain?"

Mira pun akhirnya menceritakan soal kesepakatannya dengan Ara. Tentang bagaimana Ara mengancamnya hanya karena gadis itu tak suka jika Mira dekat dengan Chika.

"Yaudah, mau gimana lagi. Seenggaknya sekarang lo dah tau sifat asli dia," komentar Vivi setelah mendengar cerita dari Mira.

"Iya, cuma gue kasian aja sama Chika. Dia ga salah apa-apa tapi mesti jadi orang yang paling banyak berkorban,"

"Lo suka ya sama Chika?" tanya Vivi tiba-tiba yang membuat hati Mira langsung berdegup cepat.

Mira hanya diam saja, ia bingung harus menjawab apa.

"Cepet banget move on-nya dari gue. Jadi dia alasan lo nolak balikan ama gue?"

"Vi, bu-bukan kok. Alasan gue nolak balikan ama lo beneran ga ada sangkut pautnya ama Chika,"

"Gue cuma ga mau terus-terusan nyakitin lo dengan sifat gue yang egois," tambah Mira.

"Ga usah ngomong soal sakit-menyakiti, Mir. Nyatanya lo ga sama gue aja bisa bikin gue masuk RS gini,"

"Vi,"

"Awalnya gue udah bisa nerima soal keputusan lo. Tapi kenapa setelah denger cerita lo, gue malah jadi pengen balikan lagi sama lo ya?"

"Vi," lirih Mira.

"Iya, iya, gue tau. Gue ga akan maksa kok,"

"Tapi, apa bener gue sama sekali ga ada di hati lo lagi?" tanya Vivi.

Vivi memandang Mira dengan tatapan yang begitu penuh harap.

"Lo selalu punya tempat di hati gue, Vi. Tapi udah ga kayak dulu,"

Tangan Mira terangkat, menangkup pipi Vivi. Ibu jarinya menghapus air mata Vivi yang menetes begitu saja setelah mendapat penolakan dari Mira.

"Lo pantes buat dapet yang lebih baik dari gue," ucap Mira.

"Siapa? Ga ada yang lebih baik dari lo,"

"Oniel,"

"Dia sayang sama lo, Vi. Dia bahkan ngejagain dari gue, sumber rasa sakit lo,"

"Tapi gue cuma anggep Oniel temen,"

"Kita juga dulunya temen,"

"Tapi gue ga suka sama Oniel,"

"Belum, bukan ga. Lagi pula dia sayang sama lo,"

"Tapi gue sayangnya sama lo,"

"Vi, kata orang, hidup dengan orang yang mencintai lo bakal lebih baik daripada hidup dengan orang yang lo cintai. Karena selamanya lo bakal terus merasa dicintai," jelas Mira.

Vivi menggenggam tangan Mira yang masih ada di pipinya. Tanpa sadar Mira pun ikut menangis karenanya.

Butuh waktu hampir sepuluh menit agar keduanya bisa sama-sama tenang kembali.

"Gue pamit ya. Lo sehat-sehat, gue kangen ketemu lo di sekolah," ucap Mira.

Vivi tak menjawab, ia hanya mengangguk. Keduanya pun berpelukkan sebagai salam perpisahan.

Begitu Mira keluar, ia sudah disambut oleh Oniel. Wajahnya terlihat begitu dingin sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Lama banget sih, awas kalo abis ini Vivi malah makin parah,"

Mira sama sekali tak berniat meladeni Oniel. Ia hanya tersenyum, "makasih ya, Niel. Gue titip Vivi sama lo, jaga dia baik-baik." Lalu pergi begitu saja tanpa membiarkan Oniel membalas ucapannya tadi.

Oniel yang heran pun langsung masuk ke dalam ruangan Vivi.

"Vi?! Lo-lo nangis?" kaget Oniel melihat mata Vivi yang merah dan sembab.

Vivi tak menjawab. Emosi Oniel seketika memuncak, "awas aja Mira," Oniel berniat menyusul Mira. Meminta pertanggungjawaban gadis itu karena telah membuat Vivi menangis.

"Niel," baru saja Oniel hendak keluar Vivi malah memanggilnya.

"Udah gapapa. Dia emang bikin gue nangis, tapi dia ga nyakitin gue kok," jelas Vivi.

Sebenarnya Oniel masih sangsi dengan ucapan Vivi. Tapi mau bagaimana lagi, ia tak mau Vivi malah semakin kepikiran.

"Sini duduk," pinta Vivi sambil menunjuk kursi di sebelahnya.

Entah kenapa, tiba-tiba saja hati Oniel menjadi berdebar. Ada perasaan tidak enak yang menyelimuti dirinya.

Oniel pun mengangguk dan mendudukan dirinya di kursi yang Vivi maksud.

"Makasih ya lo udah baik banget sama gue," buka Vivi.

"Tapi maaf, sampai saat ini gue belum bisa punya perasaan lebih selain temen sama lo,"

Deg

Dada Oniel seketika sakit. Jantungnya terasa seperti berhenti berdetak. Ia seakan tahu arah pembicaraan tersebut.

"Tapi, gue mohon lo jangan ninggalin gue,"

Pundak Oniel bergetar, "lo jahat Vi. Lo nolak gue tapi lo nahan gue, mau lo apa?"

Seketika Oniel pun menangis.

"Waktu lo jadian ama Mira, gue cuma bisa diem mendem perasaan ini. Sekarang, setelah lo ama dia putus, lo malah nolak gue sebelum gue jujur soal perasaan gue ke lo. Lo jahat, Vi. Lo egois,"

"Lo dengerin gue dulu,"

"Apalagi? Udah jelas lo nolak gue,"

"Niel, gue bilang belum bisa. Bukan ga bisa. Gue minta lo tetep disini karena gue mau supaya  lo bisa ajarin gue biar sayang sama lo, biar gue bisa cinta sama lo. Bimbing gue, Niel,"

Oniel hanya bisa menangis, ia bingung harus merespon apa. Vivi menangkup pipi bulat gadis itu.

"Gue dah cukup kehilangan Mira, gue gabisa kehilangan lo juga. Dan gue pastiin, ini bukan pelarian. Ini komitmen gue buat jatuh cinta sama lo. Tolong terus ada di sisi gue, buat rasa ini semakin besar setiap harinya. Buat rasa ini teus tumbuh setiap harinya. Lo mau kan?"

Oniel mengangguk. Vivi tersenyum lega, ia pun mencium kening Oniel lembut sebelum mendekapnya begitu erat.

***

gatau tetiba buka wp dan nulis banyak.

semoga tetep ada yang baca ff ini ya.

makasih.

Ambivalent46 x rentsaa

Continue Reading

You'll Also Like

369K 22.1K 79
Y/N L/N is an enigma. Winner of the Ascension Project, a secret project designed by the JFU to forge the best forwards in the world. Someone who is...
140K 2.8K 44
"You brush past me in the hallway And you don't think I can see ya, do ya? I've been watchin' you for ages And I spend my time tryin' not to feel it"...
168K 6.1K 92
Ahsoka Velaryon. Unlike her brothers Jacaerys, Lucaerys, and Joffery. Ahsoka was born with stark white hair that was incredibly thick and coarse, eye...
331K 11.6K 52
𝐈𝐍 π–π‡πˆπ‚π‡ Ellie Sloan reunites with her older brother when her hospital merges with his jackson avery x ellie sloan (oc) season six ━ season se...