Rain In You

By rikhawp_

7.7K 1.2K 415

[π’‡π’π’π’π’π’˜ π’”π’†π’ƒπ’†π’π’–π’Ž π’Žπ’†π’Žπ’ƒπ’‚π’„π’‚] [π‘―π’‚π’“π’ˆπ’‚π’Š π’Œπ’‚π’“π’šπ’‚ π’‘π’†π’π’–π’π’Šπ’” π’…π’†π’π’ˆπ’‚π’ 𝒄𝒂𝒓𝒂 𝑽... More

Prelude
(1) A Jerk
(2) Pelukan Kecil
(3) Keraguan
(4) Sewaktu Masih Indah
(5) Dompet Lipat
(6) Akhir Buruk?
(7) Brownies Cake
(8) Not A Good Dream
(9) Tukang Gamelan
(10) Daffa Abimanyu
(11) Servis Motor
(12) Teman Baru
(13) [Not] The Last Time
(14) I'm (not) Okay
(15) Pupus
(16) Operasi
(17) Older
(18) Toko Sepatu
(19) Video Call
(20) Baikan Lagi
(21) Thank You, Baby
(22) Family Time
(23) Lamaran
(25) Pacar
(26) Kena Marah
(27) Paket Pecah
(28) Akhirnya Pindah
(29) Kena Skorsing
(30) Numpang Sholat
(31) Minta Restu
(32) Perang Mulut
(33) Berawal Dari Kotak Bekal
(34) Gara-gara Bina
(35) Kata Dokter
(36) Tara Kabur
(37) The Worst Secret
(38) Runtuh
(39) Kemungkinan Terburuk?
(40) Terciduk
(41) Ke Semarang
(42) Di Rumah Kopi
(43) Meet You Again
(44) Tamparan Cinta Pertama
(45) Perang Dingin
(46) Hampir Saja
(47) Bermalam Di Rumah Tersayang
(48) Malam Tahun Baru
(49) Confession, Failed!
(50) Terbongkarnya Rahasia Tara
(51) Perang Dingin Sesi Dua
(52) Indirect Confession
(53) Peluang dan Pilihan
(54) Please, Stay With Me!
(55) Daffa's Way
(56) A Letter
(57) Terimakasih Sudah Kembali
(58) Titipan
(59) Kemarahan Daffa
(60) Permintaan Pertemuan
(61) You And I, Will Be Us?
(62) Again, Will We Be?
(63) Yes, We'll Be!
(64) Does Destiny Colliding Us?
(65) But In The End, He's Gone
(66) Melepas Dan Ikhlas
(67) Choice To Leave
(68) End Of The Journey
𝑨𝒏𝒐𝒕𝒉𝒆𝒓 π‘±π’π’–π’“π’π’†π’š; π‘Ύπ’Šπ’•π’‰ π‘―π’Šπ’Ž

(24) Daffa itu siapa?

129 20 3
By rikhawp_

—Happy reading—

please vote if you know how to respect author's work!

••••

"Areta."

"Iya?"

"Kamu marah kalo aku pergi?"

"Pergi kemana dulu."

"Pergi jauh."

"Jauh kemana?"

"Jauh sampe kamu nggak bisa nemuin aku."

Areta menatap pria di depannya dengan sorot mata sedikit tajam. Agak tidak suka dengan pembahasan yang sedang pria itu coba singgung. Tangannya bergerak menggenggam tangan pria itu, menggenggam seerat yang ia bisa.

"Aku nggak suka kalo kamu ngomong kayak gitu lagi. Maksudnya apa sih tiba-tiba ngomong gitu?"

"Karena aku sayang kamu, dan aku nggak mau kamu terlalu kecewa nantinya. Aku mau kamu siapin diri."

"Aku nggak akan sedih dan kecewa kalo kamu tetep disini sama aku. Tolong, jangan bikin takut."

Namun, pria itu malah tersenyum kecil. Balas mengelus punggung tangan Areta menggunakan ibu jarinya.

"Mulai sekarang siapin diri, ya?"

"Kalo aku nggak mau?" Areta menatap pria itu sendu, matanya mulai penuh dengan binar kesedihan.

"Harus mau. Ya?"

Tapi Areta tetap menggeleng. "Enggak."

"Iya. Please.."

"So please, jangan paksa aku untuk siap karena aku nggak akan pernah bisa siap untuk ditinggal lagi."

"Bisa."

"Enggak..."

"Areta."

"Please. Jangan paksa aku. Jangan. Aku nggak mau kamu pergi lagi. Ya?"

"Ret."

"Ya?"

"Areta." Kepalanya diusap. Rambut kecil yang menutupi wajahnya disilakkan ke belakang telinga. Wajahnya diusap oleh sosok pria yang sedang ia tangisi saat ini.

"Nggak mau."

"Oke, aku disini. Tenang."

"Jangan pergi."

"Iya, aku disini. Kamu kenapa, sih, kok malah nangis."

"Enggak."

"Kenapa?"

"Enggak.. enggak.. jangan pergi."

"Hey, you okay? Areta."

"Jangan—"

"Hey, kenapa?"

Tubuhnya serasa ditarik paksa ke kenyataan. Begitu matanya telah terbuka, napasnya sudah sedikit tersengal. Bola matanya bergerak gelisah menatap sekeliling, lalu jari tangannya yang tak bisa diam menggenggam satu sama lain. Setelah menarik napas dalam dan panjang, Areta buang beberapa detik kemudian secara perlahan. Begitu mulai sedikit tenang, Areta memfokuskan pandangan pada sisi pria yang tengah menampakkan wajah panik seraya mengelus kepalanya lembut.

"Kak Tara?"

"Iya. Belum berdoa apa sebelum tidur, sampe mimpi buruk kayak gitu."

Areta menatap Tara dengan tatapan sendu. Tanpa sadar dirinya bangun dengan sendirinya, lalu langsung mendekap erat tubuh Tara disana. Bukan Tara, pria dalam mimpinya tadi bukan Tara. Tapi Areta juga tak tahu siapa sosok pria yang selalu izin pergi kepadanya lewat mimpi karena sosok itu selalu hadir dalam bentuk siluet. Wajahnya tidak jelas, tapi setiap genggaman tangan, elusan di kepala, atau kontak fisik mereka terasa begitu nyata.

"Udah tenang?" Tara membuka suara lagi, membuat Areta secara perlahan melepaskan pelukannya.

Areta mengangguk kecil. "Udah lama disini?"

"Satu jam yang lalu apa, ya? Sekitaran itu." Balas Tara.

"Nggak takut sama Ayah apa main masuk ke kamarku?"

"Om kan belum pulang kerja." Tara nyengir tanpa dosa. "Tapi udah izin Tante Ira, kok. Lagian pintu kamar kan aku buka."

"Terus sedari tadi itu..." Areta melirik pada laptop milik Tara yang menyala. "Cuma nungguin aku sambil nyambi skripsi?"

Tara hanya mengangguk sambil memberikan senyum manis yang jujur, membuat Areta seketika langsung mengulum senyum. Mata Tara terlihat sangat lelah, kayaknya pacarnya itu selalu begadang setiap malam. Entah itu karena mengerjakan skripsi, atau karena main game di hp. Areta tak tahu mana yang benar. Tapi dia berani yakin seratus persen kalau Tara memang suka begadang.

Areta ikut turun dari kasur, lalu duduk lesehan di atas tikar gulung yang digelar Tara. "Udah sampe bab berapa sih, yang?" Areta bertanya sembari mengambil ikat rambut untuk mencepol rambutnya.

"Bab empat. Tadi baru aja dapat revisi, langsung aku benerin. Boleh kok di doain bisa sidang bulan depan."

"Aamiin." Areta menepuk kepala Tara seakan-akan Tara adalah anak kecilnya. "Istirahat jangan lupa. Matanya udah kayak mata panda."

"Kelihatan emang?" Tara kembali menatap layar laptop miliknya dan menge-save file skripsinya.

"Banget." Sahut Areta sambil terkekeh, lalu tangannya menekan perutnya sendiri.

"Tiduran aja."

"Udah mendingan, kok. Oh iya, aku punya sesuatu." Tara berdeham. Lalu Areta mulai sibuk membuka laci yang ada di kamarnya, tepatnya di bawah meja belajarnya. Begitu kotak kecil itu sudah ia genggam, Areta kembali mendekat kearah sang pacar dan duduk di sampingnya. "Nih."

Seraya tersenyum Tara menerima. "Buat aku?" Areta mengangguk. "Dalam rangka?"

Tapi Areta malah cemberut yang mana mengundang gelak tawa dari pria di hadapannya. Gadis itu tambah menggerutu sebal tatkala Tara malah iseng mengacak-acak rambutnya menggunakan tangannya secara brutal.

"Yang, ih!!"

"Lucu, sih."

Areta mendengus sebal. Lalu malah merebahkan diri di lantai dengan hp di tangannya. Intinya, Areta tengah merajuk. Tara tidak peduli, dia malah mulai membuka kotak kecil itu dengan hati yang amat senang. Begitu dibuka, matanya langsung berbinar. Ditatapnya wajah sang pacar yang masih cemberut. Bukannya jelek, jatuhnya malah menggemaskan.

"Kalo kamu ngasih aku ear piercing, aku juga ada dong sesuatu buat kamu."

"Dalam rangka apa?!" Jawaban Areta yang kelewat pedas malah membuat Tara tertawa ngakak lagi.

Tara Berdiri dan berjalan ke sudut ruangan, tepat di samping lemari milik gadisnya, Tara mengambil kresek hitam. Meski luarnya hanya dibalur kresek hitam, tapi itu sudah menarik perhatian Areta. Pasalnya, berbeda dengan barang yang ia kasih ke Tara, barang dari Tara ini ukurannya jauh lebih besar. Areta bangun dengan sendirinya, menatap kresek hitam yang masih talian.

"Nih." Tara menyodorkan kresek hitam itu, namun malah mengundang kekehan kecil Areta. "Why?"

"As expected from Tara Mahendra. Aku udah hias kotak itu pake pita-pita, dan kamu cuma dibuntel kresek?"

Tara tidak menjawab, jadi Areta memilih langsung membuka tali simpul pada kresek hitam di tangannya. Seketika senyum lebar tercetak jelas di wajah gadis itu, sebuah boneka pinguin dari miniso berwarna abu-abu dan putih ternyata adalah isinya. Areta memang sempat curhat pada Tara, kalau dia pengen boneka pinguin itu tapi yang ukurannya gede. Biar bisa dipeluk pas tidur. Tapi karena dia sayang uang hanya untuk beli boneka, jadi Areta tidak jadi membelinya dan berakhir curhat pada sang kekasih. Namun siapa sangka, boneka keinginannya bisa berada di tangannya sekarang.

Areta menatap Tara dengan senyum ramahnya, sedikit geli dan malu. Jadinya, dia tutup sebelah wajahnya dengan boneka baru miliknya.

"You like it?"

"So much." Areta menjawab. "Thank you."

Gadis itu masih mencari-cari sesuatu di dalam kresek hitam itu, soalnya tadi sempat melihat sekilas secarik kertas disana. Benar-benar Tara banget, alih-alih dibuat romantis, hadiah hanya dimasukkan begitu saja di dalam kantong kresek. Areta sudah menduga kalau itu adalah sebuah surat. Jadi, dia buka kertas itu dan terpampanglah tulisan tangan Tara di atas kertas binder warna krem muda.

"Boleh aku baca keras-keras?" Areta menatap Tara.

"Buat apa? Toh aku udah tau isinya."

"Pokoknya mau aku baca keras-keras." Areta kukuh. Dan Tara seperti tidak ingin menghalangi gadisnya juga.

"Dari Tara, untuk wanita yang paling Tara sayang, Areta Zayba Almira." Areta menatap Tara lagi, kali ini dengan sorot mata kalem tapi penuh makna. Tidak biasanya juga Tara menjadi se-clingy ini. "Sebenernya nggak tau sih, mau nulis apa. Kamu tau aku nggak begitu ekspresif. Iya aku tau, banget—" Areta tertawa sebentar sebelum kembali membaca suratnya. "—happy third anniversary, Sayang. Nggak nyangka ya, udah tiga tahun kita sama-sama. Surat ini nggak bakal panjang. Intinya aku cuma mau bilang makasih dan maaf. Makasih karena udah mau sabar dan bertahan sama aku sampe sekarang. Meski aku sering banget bikin kamu nangis. Tapi bukan itu keinginan aku, aku nggak pernah niat dan aku sering marah sama diri aku sendiri karena aku pengecut banget. Juga, maaf.. karena selama ini aku banyak banget nyakitin kamu. Bi, kamu tau kan aku sayang banget sama kamu. Aku pengen kamu bahagia. Entah itu nantinya sama aku, atau enggak. Don't get me wrong, tentu aku pengennya berakhir sama kamu sampe akhir, tapi yang ngatur itu kan Tuhan, kita nggak bisa atur itu. Aku banyak kesalahan, bahkan sampe detik ini. Aku minta, apapun yang menimpa kamu kelak, kamu bakal terima itu dengan lapang. Bahagia, jangan banyak nangis. Ayo kita sama-sama tumbuh dewasa, cari kebahagiaan kita bareng-bareng. I wish you blessed with a full of happiness in this world. I love you, I really do. Once again, selamat hari jadi yang ke tiga tahun, Sayang. Ps.. aku kasih boneka yang kamu mau. Semoga kamu suka. Nggak seberapa, tapi jangan pandang seberapa-nya. Pandang ketulusannya ya, eaakkk. Apasih kok eaak-eaak segala—" Areta tertawa sebentar sambil menatap Tara yang sedadi tadi hanya menunduk dan memainkan hp nya. Mungkin malu. "Makasih, Kak Tara. I love you, too."

Tara kini mengangkat kepalanya. Memandang binar bening mata Areta. Senyuman manis ia tampakkan, tangannya mengelus kepala Areta penuh kasih.

"I love you more. Happy third anniversary, Sayang."

"Happy third anniversary, too, Sayang." Jawab Areta langsung. "Aku juga kasih surat. Dibawah bantalan kecil dalam kotak. Tapi bacanya pas di rumah aja. Aku malu."

"Curang." Tara menjepit hidung Areta menggunakan dua jarinya.

"Biarin." Areta malah menjulurkan lidahnya. "Sini, aku pasangin ear piercing nya."

Tara memberikan ear piercing itu kepada sang kekasih, dan tak lama Areta mendekat kearahnya lalu menyentuh daun telinganya. Memasangkan tindik dalam bentuk anting itu di kedua telinganya. Bentuk anting, karena modelnya bulat seperti anting yang biasa bayi gunakan begitu baru saja dilubangi telinganya.

"Biasanya cowok kalo pake piercing bakal keren, maco. Tapi kamu malah lucu."

"Terserah."

Areta tertawa ngakak karena ekspresi Tara yang kelewat sebal setelah dibilang lucu padahal posisinya sudah memakai tindik. Namun, hal yang Areta lakukan setelahnya berhasil membuat Tara jadi ikut-ikutan tertawa karena gadis itu lantas menubruk tubuhnya dan memeluknya.

"Jangan terlalu berekspektasi tinggi sama aku mulai sekarang."

Dahi Areta berkerut. "Kenapa?"

"Aku takut bikin kamu kecewa. Satu hal yang perlu kamu tau Areta, kalo aku tulus sayang sama kamu."

"Oke." Balas Areta masih memeluk tubuh Tara. "Ayo foto berdua. Sekali-kali pamer ke sosmed. Bentar, aku peluk penguinnya dulu."

"Aku mukanya di tutup, ya?"

"Jangan, ih! Mau pamer kok ditutup!"

Areta tak menggubris lagi dan menyerahkan hp nya kepada Tara. Menyuruh lelaki itu yang mengambil foto mereka berdua. Meski tadi meminta wajah di tutup, Tara sekarang malah tersenyum lebar sampai memperlihatkan gigi-giginya yang katanya mirip kelinci itu, merangkul Areta yang mana menyenderkan kepalanya di bahu Tara sambil memeluk boneka pinguin barunya. Berbeda dengan Tara, Areta malah memejamkan mata tapi bibirnya tersenyum.

"Kirimin ke aku."

"Owkayyy." Areta puas dengan hasil jepretan Tara. Dan tak lama berakhir foto itu ia unggah ke instastory juga status WhatsApp.

"Aku mau bikin mie. Mau nggak?"

"Kuah kayaknya enak."

"Yaudah tunggu sini. Aku ke bawah dulu."

"Emang bisa jalan."

"Heh! Aku cuma datang bulan bukan lumpuh!"

Setelah Areta menghilang di balik pintu kamarnya, yang Tara lakukan hanyalah menghela napas panjang. Senyumnya terukir, tapi hatinya tak tenang.

Di dapur, Areta bertemu dengan Bundanya yang sedang mengupas kentang menggunakan peeler. Kayaknya sih menu makan malam akan ada kentang-kentangnya. Setelah menyapa sang Bunda, Areta membuka lemari di atas kompor dan mengambil dua bungkus mie instan. Kuah untuk Tara, dan goreng untuknya.

"Seneng nih yang habis dikasih boneka."

"Bunda tau?"

"Tadi ngintip." Feira terkekeh. "Bunda seneng lihat kamu seneng. Selamat ya, udah tiga tahun aja hubungan kalian."

"Doain langgeng ya, Bun."

"Bunda selalu doain yang terbaik buat anak-anak Bunda."

Sembari menunggu air dalam panci mendidih, Areta duduk di samping Bunda. Sedangkan Feira masih lanjut mengupas kentang dengan tenang sebelum nantinya akan dipotong-potong dadu.

"Azril belum pulang? Udah jam empat padahal."

"Jadwal bimbelnya maju. Harusnya besok, tapi tadi bilang kalo tentor nya besok nggak bisa ngulang."

Areta mengangguk sebagai tanda dia paham. Lalu kembali berdiri dan menuangkan mie ke dalam panci. "Ayah udah otewe belum, ya?"

"Kenapa? Mau titip sesuatu?"

"Enggak, charger hp ku ilang, mungkin ketinggalan di kampus. Kalo belum pulang mau suruh lihatin aja. Hehehe."

"Kebiasaan."

"Itu makanya aku nggak pernah mau bawa charger ke kampus. Tapi sama Ayah, sama Kak Tara, malah dimarahin."

"Ya kalo nggak mau bawa cas ke kampus ya pastikan daya hp nya full. Jangan sampe mati. Kalo ada apa-apa kan nggak ada yang tahu. Kayak nggak tahu Ayahmu aja gimana dia protektif banget ke kakak sama adek."

"Ck! Iya iyaa."

"Dibilangin kok malah..."

"Iya Bunda ya Allah..."

Sementara Areta menyelesaikan membuat dua mie instan, Feira pun lanjut mengupas kulit kentang. Hingga beberapa saat kemudian, Areta telah kembali ke kamar dengan membawa nampan berisikan satu mangkok dan satu piring berisikan mie, sudah siap untuk menyantap hidangan, namun sepertinya harus ia tunda sedikit lebih lama. Areta menghela napas, langkah kakinya membawanya ke meja kecil yang ada di kamarnya untuk menaruh nampan yang ia bawa.

Baru setelah itu, Areta kembali duduk di atas tikar. Tepat di sebelah Tara yang tertidur. Wajahnya damai, namun tetap bisa kelihatan sarat lelahnya. Jari telunjuknya terulur untuk mengabsen wajah sang pacar. Jangan salah, hobi Areta selain berenang—meski d dan bernyanyi adalah menyentuh wajah sang pacar seperti ini. Alis, hidung, pipi, Areta diam-diam tersenyum saat dirasa Tara sedikit terusik dengan pergerakan jarinya dan membuat pria itu memiringkan kepalanya seperti menghindar. Berganti dari wajah, Areta mengelus surai lebat nan halus milik Tara.


"Halo. Apakah saya mengganggu suasana?"

Areta menolehkan kepalanya saat mendengar suara dari ambang pintu kamarnya. Ternyata Azril baru saja pulang dari bimbel. Pakaiannya masih mengenakan seragam sekolah.

"Kenapa?"

"Eh, ada mie. Pengennn." Azril berujar seraya masuk ke kamar kakaknya.

"Mau?" Tawar Areta.

"Loh, bukannya buat Kak Tara?"

"Emang. Tapi orangnya tidur. Nggak tega gue, kecapekan habis skripsian. Lo makan aja, nanti dia bangun gue bikinin lagi."

"Ashiaapp!!"

"Ya ganti baju dulu sana! Bau keringat. Bau matahari." Areta menepuk pantat sang adik.

"Oops, dah pewe." Azril langsung mengambil mangkok dari atas nampan, lalu ikut duduk lesehan di kamar kakaknya.

Areta mendengus kecil, namun setelahnya mengikuti jejak Azril yaitu mulai memakan mie instan miliknya sebelum mie itu mengembang dan menjadi dingin. Kalau dilihat lucu juga, dua orang menikmati makan di depan orang yang tertidur pulas sambil terlentang.

"Boneka pinguinnya siapa, tuh?!"

"Gue lah!"

"Dari si dia?"

"Kepo amat!"

"Kak... gue mau jujur."

Perkataan Azril yang kelewat kalem membiat Arsta lantas menoleh seraya menyedot mie panjang itu. Bau-baunya sih, kalau sudah kayak gini dia habis melakukan sesuatu yang kurang baik. Kata 'jujur' yang disematkan pada kalimatnya itu biasanya adalah kejujuran yang buruk.

"Apa?" Areta mencoba untuk tetap tenang.

"Gue takut Ayah marah."

"Kalo berkaitan dengan Ayah, kayaknya sih masalah sekolah. Iya enggak?" Azril mengangguk lesu. "Kenapa?"

"Gue takut."

"Iya, takut kenapa adekku yang ganteng?"

"Tadi, ah sumpah gue mau ngomong aja takut. Lo kan sebelas-dua belas kayak Ayah kalo marah!"

"Mending cerita ke gue apa ke Ayah langsung?" Mata gadis itu melotot tajam.

"Mending ke Bunda. Tapi Bunda pasti ngadu ke Ayah."

Sudahlah, Areta muak. Tak lagi menunggu Azril cerita, dirinya justru enak-enak makan. Menunggu Azril malah jadi emosi sendiri. Sudah kepo akan kesalahan yang Azril lakukan, tapi yang cerita malah memberikan sebuah PHP semata.

"Gue kan anak SMA ya, kak? Anak SMA pasti gak jauh-jauh dari sifat nyeleweng. Apalagi gue cowok. Tadi gue kayak gitu di sekolah."

Areta tak langsung menanggapi. Membiarkan Azril bercerita sampai tuntas.

"Jadi ada anak baru kan, kelas sebelas. Kebetulan, anak baru itu adeknya temen gue, si Tian. Tadi anak baru itu ke kelas gue, buat nyerahin flashdisk ke Tian. Karena dia bisa dibilang cantik, emang sih iya, jadi hampir semua cowok cuit-cuit gitu. Termasuk gue." Azril menghela napas berat sebelum kembali melanjutkan omongannya. "Ah, sumpah. Gue tuh malu banget, Kak. Gue iseng kan, godain dia. Toh Tian nya juga biasa-biasa aja. Gue deketin dia kan, niatnya pengen megang pundak. Tapi—HAH—dia tiba-tiba balik badan. Jadinya gue gak jadi pegang pundak, tapi—ahhhh gue malu. Gue kaget, terus oleng kesandung kaki gue. Jatuh deh, nubruk dia. Dianya ikut jatuh, karena dia hadap ke gue jadi jatuhnya posisinya ambigu banget. Tau kan, bisa lo bayangin sendiri. Mana semua temen sekelas gue cuma ketawa doang. Sialan emang. Dirasa belum cukup, kepala sekolah kebetulan lewat di depan kelas gue. Beliau lihat! Berakhir gue disidang tadi di BK. Gue udah jelasin, adeknya si Tian juga udah bilang itu karena kecelakaan nggak sengaja. Tapi kepala sekolah pengen orang tua—which is mean itu orang tua kita—dateng ke sekolah. Kak, bantuin gue. Udah kebayang nih wajah Ayah yang murka ke gue."

Areta berdecak heran sambil geleng-geleng kepala menatap Azril. Entahlah, Azril memang kadang bisa seabsurd itu tingkahnya. Kadang konyolnya sampai yang konyol banget dan berakhir membuat dirinya malu sendiri. Contohnya ya yang barusan Azril ceritakan ini.

"Terus lo mau gue gimana?"

"Lo aja yang datang ke sekolah. Keep this secret just for two of us. Jangan biarin Ayah sama Bunda tahu."

Azril meletakkan mangkok kosong itu di atas nampan. Lalu membuka resleting tas nya untuk mencari botol minum disana. Azril menatap mata sang kakak penuh harap, agar yang ditatap mau membantunya kali ini saja. Sedangkan Areta, dia tenang tanpa ekspresi di wajahnya. Sibuk menghabiskan mie goreng miliknya.

"Kak."

Areta menatap Azril. Kasihan juga kalau dilihat. "Oke. Gue bantu."

"Beneran?" Mata Azril yang tadinya redup kini berubah sangat cerah.

"Hmmm."

"Ih sumpah, makasih, Kak."

"AH—AZRIL!"

"Pokoknya makasih! Dah ya, bye, gue mau mandi dulu."

Areta terkekeh kecil. Apa baru saja Azril mencium pipinya? Hanya karena ingin dibantu menutupi kebohongan kepada orang tua mereka? Areta kembali berdecak. Adiknya itu memang benar-benar. Namun, kalau dipikir-pikir lagi sudah lama juga dia dan Azril tidak saling cium-mencium seperti tadi. Dulu waktu mereka masih kecil, mereka tidak akan malu untuk menunjukkan afeksi seperti mencium satu sama lain, berpelukan, atau bahkan tidur bareng di atas satu ranjang yang sama. Tapi namanya juga semakin tumbuh dewasa, keduanya jadi suka malu untuk menunjukkan sesuatu yang seperti itu. Namun kini, Areta kembali merasakan ciuman Azril di pipinya. Kangen juga rasanya.

Karena Tara masih belum bangun, Areta pun memilih untuk keluar kamar dan turun ke lantai satu. Menaruh piring dan mangkuk kotor itu ke wastafel untuk ia cuci langsung. Sang Bunda masih ada disana, tapi bukan lagi mengupas kulit kentang menggunakan peeler, tapi memotong tahu putih menjadi bentuk dadu dalam ukuran kecil. Sedangkan kentang tadi sudah terpotong menjadi dadu duluan.

"Mau masak apa sih, Bun?"

"Sayur kentang campur tahu. Sama nanti mau goreng ayam."

"Tumben ayam."

"Azril pengen ayam goreng."

Areta hanya ber-oh ria. "Ayamnya mana?"

"Masih di freezer. Boleh minta tolong diambilin, Kak? Terus taruh di wastafel, krannya dinyalain kecil aja. Biar nggak keras banget dagingnya."

"Oke."

Alhasil, Areta malah membantu sang Bunda masak dan meninggalkan Tara di atas sendirian. Toh, orangnya tidur. Lebih baik melakukan hal lain kan, daripada berdiam diri melihat orang tidur. Memang sih, nyeri di perutnya karena datang bulan masih terasa sedikit, tapi untungnya sudah bisa berdiri dan jalan-jalan. Tidak seperti kemarin yang total hanya tiduran di kasur, bahkan sampai pingsan.

Tiga puluh menit, Areta masih belum kembali ke lantai atas. Juga saat Ayahnya pulang dari kampus juga Areta masih di dapur berkutat dengan wajan dan spatula. Menggoreng ayam untuk lauk makan nanti malam.

"Nih, charger. Kebiasaan." Jaehyun tahu-tahu sudah menyodorkan charger hp kepada sang anak. Membuat Areta tertawa lebar.

"Kok Ayah bisa tau? Kan aku nggak jadi chat Ayah."

"Bunda kamu yang suruh Ayah ambilin." Jawab Jaehyun lalu tanpa malu memeluk dan mencium sang istri tepat di depan anak perempuannya.

"Bisa enggak, mesra-mesraannya nggak di depan aku." Areta melongos lalu fokus lagi pada wajan di depannya.

"Bisa." Balas Jaehyun. "Tapi Ayah lagi pengen peluk Bunda sekarang."

"Terserah." Areta berdecak. Lalu mengangkat ayam yang sudah matang dan meniriskan minyaknya.

"Bangunin si Tara, Kak. Udah mau Maghrib, loh." Ucap Feira yang mana langsung membuat Jaehyun memelototkan matanya.

"Tara disini? Tidur? Dimana?"

"Di kamarku." Jawab Areta santai. Namun langsung melanjutkan perkataannya sebelum Ayahnya sukses memberikan berbagai macam pertanyaan yang aneh-aneh. "Kak Tara tuh tadi kesini, tapi aku nggak tau kalo dia dateng soalnya aku bobo. Katanya sih udah izin Bunda buat ke kamarku. Toh pintunya dibuka terus selama dia di dalem kamar. Nungguin aku bobo dia skripsian. Pas aku bangun, kita langsung ngerayain hari jadi—hehehe, terus aku bikin mie ke bawah buat kita, eh pas naik dia malah ketiduran di lantai. Kasihan, Yah, jangan dimarahin."

"Terus mie nya kamu makan sendirian?" Feira bertanya.

"Enggak, lah. Dimakan Azril tadi." Tentu Areta tidak menyinggung soal masalah Azril di sekolah tadi. Dia sudah janji akan membantunya.

"Oh, nggak macem-macem kan tapi?"

"Macem-macem gimana dulu, nih?"

"Kakak..."

"Ayah tuh orangnya kaku amat. Enggak. Cuma pelukan aja soalnya lagi ngerayain hari jadi yang ke tiga tahun. Tepat hari ini. Terus tuker hadiah, terus foto bareng. Udah."

"Kakak dapet penguin besar, Yah." Suara Azril terdengar, bocah itu sudah mandi dan berjalan turun dari lantai atas. "Masa Kak Reta ngasih Kak Tara anting. Nggak ada romantis-romantisnya emang."

"Biarin. Toh dia seneng."

"Ya, ya, ya."

"Yaudah, bangunin si Tara. Ayah mau mandi. Gerah."

"Okeee." Areta menyahut semangat. "Anyway makasih Yah udah diambilin cas nya."

"Lain kali jangan ceroboh, ya?"

"Kalo nggak lupa." Lagi-lagi, Areta nyengir lebar. Sedangkan yang lain hanya geleng-geleng kepala.

~••~

Malam ini, Areta sudah siap rapi karena ada janji dengan Tara. Untuk merayakan hari jadi mereka yang ke-tiga tahun, Tara mengajak Areta jalan-jalan keluar. Karena tadi katanya Tara mau mengendarai mobil, jadi outfit yang dipakai Areta adalah mini dress warna putih gading, yang dipadukan dengan jaket denim sebagai luaran, lalu flatshoes warna coklat moka, tak lupa dengan tas selempang kecilnya yang hanya diisi dengan dompet dan hp. Rambutnya dibiarkan tergerai tapi dia sedia karet di tas nya kalau sewaktu-waktu dia gerah dan pengen dikuncir. Karena sebenarnya Areta orangnya tak tahan panas sedikitpun.

Tadi memang Tara langsung dibangunkan oleh Areta. Selain sudah mau Maghrib, Tara juga harus pulang karena sudah seharian berada di rumah Areta. Makanya, sekarang Areta masih menunggu kedatangan sang kekasih untuk menjemput.

Azril yang melihat kakaknya sudah rapi karena mau kencan pun hanya mendengus sebal. Dia juga pengen sebenarnya keluar bersama gebetan, tapi kewajibannya untuk belajar harus ia kerjakan. Ayahnya ada di rumah, duduk di sampingnya dan mengawasi dirinya — persis seperti waktu dirinya masih kecil — jadi dia tak bisa kabur begitu saja. Nasib menjadi siswa yang akan ujian ya begitu.

"Tadi ada kurir dateng nggak, nda?" Tanya Jaehyun pada Feira.

"Enggak, tuh. Pesen apa emangnya?" Feira yang baru saja duduk di samping Areta bertanya.

"Bahan untuk praktek mahasiswa."

"Loh, itu kan harusnya pihak kampus, Yah. Kok jadi Ayah yang beli, sih? Nggak bener nih kampus. Tuntut aja!" Areta berujar dengan menggebu-gebu.

"Kalo ngomong sukanya nggak disaring dulu." Jaehyun membalas. "Itu Ayah beli pake dana kampus, ya! Karena Ayah penanggung jawabnya jadi Ayah yang beliin. Tapi uang dari kampus."

"Oohhh... kirain—eh, pacarku udah jemput." Katanya saat mendengar suara klakson mobil. "Aku pergi dulu." Areta salim kepada Ayah dan Bundanya. Lalu berdiri dan berjalan menuju pintu.

"Pulangnya jangan kemalaman ya, Kak. Nggak boleh lebih dari jam sepuluh." Pesan Jaehyun agak teriak.

"Siap Ayah! Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

Areta menutup kembali pintu rumahnya, dan melihat mobil Tara masih putar arah di depan rumahnya. Saat mobil Tara sudah siap, baru Areta masuk ke kursi penumpang samping kemudi dan Tara langsung tancap gas.

"Sampe jam sepuluh, kan?" Tanya Tara yang sudah tahu pasti Areta tak boleh pulang malam-malam.

"Iya. Nggak boleh lebih. Ayah udah wanti-wanti."

Keduanya tertawa selanjutnya.

Tujuan mereka adalah mall. Terdengar klasik dan biasa-biasa saja, tapi kalau dijalani bersama pacar ya tentu mau apa saja kemana saja jadi luar biasa. Mereka sudah mengincar satu film untuk mereka tonton. Selain romantis karena menonton film bersama, Tara juga tahu kalau Areta ini penggila film. Jadilah mereka pergi ke bioskop yang ada di salah satu mall di Jakarta.

"Udah makan?" Saat mobil berhenti di lampu merah Tara bertanya.

"Belum lah.."

"Makan dulu apa nonton dulu?"

"Terserah, lah. Tapi aku lagi pengen itu lho, yang, seblak yang ada di samping kampus yang katanya lagi rame."

"Mbok ya dilihat sekarang jam berapa." Tara menyahut santai.

"Enggak. Kata Ailyn tuh buka sampe malem."

"Mau itu?"

"Mau."

"Nggak jadi nonton berarti." Sahut Tara lagi, dan Areta langsung menatap Tas heran.

"Kok gitu?"

"Kalo makan seblak kan nggak mungkin dimakan di mobil. Film nya aja mulai tiga puluh menit lagi."

"Yaahhh.. yaudah besok aja makan seblak nya. Kebab aja lah, buat ngganjel perut. Nanti habis nonton baru beli mekdi."

Tara mengangguk setuju dengan tatapan fokus pada jalanan. Hingga lima belas menit kemudian mobil Tara sudah memasuki area parkiran mall. Keduanya lantas turun, berjalan bersisihan memasuki gedung besar itu. Karena ingin menghemat waktu, mereka memutuskan untuk berpisah. Tara membeli tiket film, sedangkan Areta membeli kebab untuk mereka berdua. Setelah kebab sudah ada di tangannya, Areta melanjutkan langkah menuju gedung bioskop dan menghampiri Tara yang sudah menunggu di luar pintu masuk. Cowok itu tengah berdiri sambil bersedekap dada, menatap pada outlet yang ada di dekat sana — outlet sepatu.

"Nih—" Areta menyerahkan satu kebab untuk Tara, namun ekspresi cowok itu malah seperti sedang kebingungan. "—kenapa?"

"Udah mau tayang lho filmnya.. kebabnya gimana?"

"Oohh.." Areta menyahut santai, dan setelahnya malah membuka sling bag nya dan memasukkan kebab itu kesana. Tara benar-benar dibuat tak habis pikir, ceweknya ini benar-benar cewek unik. Sementara Tara sudah tak tahu harus merespon apa selain geleng-geleng kepala, Areta sudah cengengesan sendiri.

"Diem aja. Ngga bakal ada razia tas kok. Nanti makannya pas lampu udah mati aja."

"Pacarnya siapa, sih?"

"Aditya Tara Mahendra." Areta menjawab sambil nyengir.

"Mau caramel apa asin?" Tara lantas bertanya sambil keduanya mulai memasuki dalam gedung bioskop. Areta menggandeng lengan kiri Tara.

"Mau beli popcorn juga? Kan udah ada kebab?"

"Mau nggak?"

"Asin aja deh, hehe.."

"Duduk aja disitu—" Tara menunjuk bangku panjang yang masih ada sisa space disana. Disebelah dua orang cewek dan cowok juga. "—minumnya?"

"Cola."

"Nih tiketnya."

Areta menerima tiket masuk hall cinema dari tangan Tara, lalu berjalan menjauh menuju sofa panjang yang tadi cowok itu tunjuk. Sembari menunggu Tara, Areta membuka hp. Melihat apa saja yang bisa ia lihat, juga membalas kalau ada pesan yang masuk. Dan saat Tara baru duduk di sebelahnya, Ailyn mengiriminya pesan. Teman sekelasnya itu bertanya tentang riset untuk skripsi yang ujung-ujungnya malah membuat Areta mendesah lelah. Memang sih, Ailyn itu tipikal mahasiswa yang lumayan rajin. Jadi Areta sudah tak heran lagi kalau Ailyn bertanya tentang hal itu padahal juga masih awal-awal penyusunan proposal. Areta saja baru mulai menggarap bab satu.

"Siapa?" Tanya Tara.

"Ailyn. Bikin kepikiran aja tuh anak."

"Kenapa?"

"Dia masa udah nanya-nanya tentang riset penelitian buat skripsi besok. Lah aku aja bab satu belum beres." Areta menghela napas di akhir kalimatnya.

Tara terkekeh geli. "Terus ambil datanya kamu datengin sekolah-sekolah gitu?"

"Iya. Mungkin SMP aja deh, mau pake data sekunder tapi takutnya nanti ada sesuatu yang kelewat. Yaudah, aku pake data primer aja dateng langsung. Tapi ntar masih lama kalo proposal udah acc."

"Jangan film terosss." Tara sedikit menyindir sambil nyemil popcorn yang baru ia beli, lalu Areta malah mendengus kecil.

"Hiburan! Kecuali kamu mau punya pacar gila!" Dengusnya, Tara malah tertawa diam-diam.

Pertikaian mereka terinterupsi oleh suara yang keluar dari speaker yang memberikan informasi bahwa pintu hall cinema mereka telah dibuka. Mau tak mau mereka jadi diam, lalu berdiri dan antri masuk ke dalam ruang bioskop. Film yang mereka akan tonton itu film romcom. Sengaja, karena mereka tak ingin berpikir yang berat-berat dulu. Pengen have fun dan ketawa-ketawa saja.

Durasi film itu tidak sampai dua jam, hanya satu jam empat puluh menitan saja. Dan selama itu keduanya sibuk baper-baper ria diselingi oleh tawa. Diam-diam makan kebab yang mereka bawa masuk, popcorn juga minuman soda yang tadi Tara beli. Romcom memang genre terbaik untuk membangkitkan mood setelah stress seharian. Saat film berkahir di jam sepuluh kurang dua puluh menit, keduanya memilih duduk sebentar di bangku yang disediakan sana. Tepatnya di jajaran yang menjual makan ringan.

"Aku mau pipis." Tiba-tiba Areta berujar.

"Kenapa bilang ke aku? Mau dianter?"

"Luwes banget itu mulut. Sampe pengen aku jahit!" Areta mendumal sebal seraya berdiri dan menitipkan tas nya beserta hp. "Jangan kemana-mana. Hp ku di kamu."

"Paling cuma aku tinggal balik dulu."

"Silahkan kalo mau di sidang sama Ayah."

Setelah bilang itu, Areta lantas pergi menjauh. Meninggalkan Tara yang sudah tertawa cekikikan sendiri. Tas yang Areta titipkan ia letakkan di samping pantatnya, lalu hp gadis itu juga ingin ia taruh di dalam tas mini itu sebelum niat Tara sirna ketika ada pesan masuk di hp gadisnya. Tara bukan tipe pacar yang posesif, tapi melihat nama yang tertera di layar begitu asing dan kayaknya itu seorang cowok, Tara jadi super penasaran.

Lewat pop up message itu, Tara melihat kontak bernama Daffa dalam kurung pwt itu mengirim beberapa bubble message. Dan yang paling terkahir yang bisa Tara lihat hanya emot senyum yang ada peluhnya di pelipisnya dengan jumlah tiga. Tara tak ingin membuka, takut Areta marah dan menuduhnya tak bisa menghargai privasi orang. Jadi, Tara terpaksa mematikan hp Areta lalu memasukkan benda elektronik itu ke dalam tas mini milik sang pacar.

Beberapa lama menunggu, Areta kembali dan duduk lagi di sampingnya. Meminta tas nya untuk ia cangklong kembali.

"Yuk pulang. Hampir jam sepuluh."

"Telat sedikit boleh nggak?" Tanya cowok itu dan ikut berdiri.

"Mau kemana lagi?" Areta mengernyitkan dahi.

"Beli martabak buat Om Jaehyun. Yakin deh, Ayahmu itu pasti ngarep oleh-oleh." Tara sedikit bercanda. "Jangan bilang Om Jaehyun tapi, bisa-bisa izin buat jadi calon mantu jadi terhambat."

Areta tertawa sambil memegang perutnya. "Yaudah. Ayo."

Tara dan Areta berjalan keluar dari mall menuju lahan parkir. Suasana sudah lumayan sepi, hanya ada beberapa kendaraan saja yang tersisa disana. Begitu keduanya sudah ada di dalam mobil, Tara masih pelan-pelan melajukan mobilnya karena antri untuk bayar parkir. Cowok itu menoleh pada Areta yang sibuk bernyanyi kecil sambil mencetuti jari-jarinya sendiri, lalu yang ia lakukan hanya tersenyum sambil mengusak kepala gadisnya sayang. Membuat Areta menoleh dan berakhir melempar senyum.

"Bi.." Tara membuka suara.

"Hm?"

"Aku nggak lagi bermaksud posesif. Tapi rasa penasaran ku udah nggak bisa aku tekan lagi."

Areta mengulum bibir bawahnya, lalu menyamankan posisi duduknya, menyenderkan punggungnya pada jok dan menatap Tara.

"Penasaran tentang apa?"

"Daffa itu siapa?"

Dan tiga kata dari Tara membuat Areta sedikit tersentak, dan dia tak tahu alasan kenapa dirinya begitu kaget kata-kata itu keluar dari mulut pacarnya.

°°°

epilog:

Tara sudah sampai di rumahnya lagi setelah seharian menghabiskan waktu bersama pacarnya. Masuk ke kamar, bersih-bersih badan, ganti baju tidur, dan begitu sudah pewe tiduran di atas kasur, dirinya baru ingat kalau masih ada satu surat dari Areta yang belum ia baca. Makanya, Tara bangkit lagi untuk mengambil kotak kecil wadah piercing untuk mengambil surat yang katanya disimpan dibawah bantalan kotak.

Kertasnya berwarna putih, berisi tulisan tangan Areta yang tidak bagus-bagus amat.

Isinya:

Berhubung kertasnya kecil, jadi isinya singkat aja. Cuma mau bilang kok, kalo aku sayang Kak Tara banget. Makasih ya, udah mau jadi pacar aku selama tiga tahun meski aku tahu... sikap kekanak-kanakan aku kadang diluar batas. Aku banyak cemburu sama Diva, aku banyak nuntut ini-itu, aku juga manja kadang... tapi ya gimana lagi, cause I'm that kind of person. Aku tau kamu punya alasan, aku cuma mau kita terbuka satu sama lain, Kak Tara. Udah tiga tahun, dan selama itu banyak banget kenangan bahagia yang aku punya. Makasih udah mau sayang dan sabar banget sama aku, Kak Tara. There's nothing else to say, just that. The last but not least, I love you more than three thousand <33333.

Dan apa yang Tara lakukan setelahnya, melipat kertas itu lagi, ia masukkan lagi ke tempat semula, lalu untuk pertama kalinya, ia menangis untuk Areta. Kekasih yang sangat ia cintai.

••••

note:

Panjang, ya? Banget. Tanganku juga sampe keju wkwk..

Aku sangat apresiasi bgt buat kalian yg mau vote.. kalian baik. Semoga yg lain juga terinspirasi buat vote.

See you next time.

••••

To be continued

Don't forget to vote and comment
Thank you 😊

Continue Reading

You'll Also Like

148K 9.8K 58
#252 In Teenfiction (12/06/2018) #55 In Teenlit (25/07/2018) 17+ TAHAP REVISI [Part 45 sampai akhir akan di privat acak untuk menghindari adanya peni...
46.8K 2.1K 31
"Siapa lo?! Mau apa lo dirumah tante gue!" tanya Hana gugup. Cogan itu menatap Hana sambil mengangkat sebelah alisnya "seharusnya gue yang nanya ke e...
39.1K 1.1K 7
Setelah menikah dengan Baek Seung Jo (Kim Hyun Joong), Oh Ha Ni (Jung So Min) kini menjadi seorang istri, mantu, dan juga kakak ipar. Banyak hal baru...
10.2K 1.2K 27
"Kita backstreet dulu yah Fi, gpp?" tanya Dowoon. "Oiya. O-Oke kak" jawab Alfi gugup. *** Cover by tiadesign_