SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

05: Romantic in Traumatic

3.1K 535 60
By lnfn21

CHAPTER 5
Romantic in Traumatic


[Playlist: d.ear ft. Jaehyun - Try Again]

***

Butiran-butiran salju yang bergerak turun dan jatuh menimpa setumpuk benda serupa dirinya di mana saja masih menjadi hal yang semesta sajikan selain kegelapan malam berteman kesunyian. Udara yang sedang dingin-dinginnya menyeret nyaris seluruh insani untuk bergegas menyimpan raga dalam gulungan selimut, berendam dengan air hangat, atau duduk di depan perapian sembari menyesap secangkir kopi.

Namun, di dalam ruangan bernuansa gading dengan kelambu penutup kusen jendela sewarna jingga, dua insani menyajikan kehangatan dengan cara yang berbeda. Masih setia saling berdekapan sejak beberapa menit lalu.

"Ya. Ini aku. Jung Jaehyun-suamimu."

Sehabis mulutnya bertutur demikian, Jeffrey merasakan kehangatan yang semakin membungkus raga kala dua lengan perempuan mengukungnya lebih erat. Merasakan pula hangat pada bahu yang basah oleh air mata Rosé yang tumpah merembes melalui celah-celah kecil sweater hijau yang Jeffrey kenakan.

Dan, tiada yang bisa Jeffrey lakukan selain mengusap punggung Rosé yang terguncang kelewat hebat. Bahkan, di kala perempuan itu meluncurkan beberapa pertanyaan dengan nada suara yang bergetar:

"Kau habis dari mana?"

"Mengapa kau pergi lama sekali?"

Jeffrey masih mengatup dua belah bibirnya rapat tanpa jawab. Lagi-lagi ia terbelenggu oleh jiwa yang sepenuhnya mengiba, turut merasakan betapa panjang penantian yang dilakukan oleh Rosé sampai detik ini, dan betapa perempuan itu teramat kesepian selama ini.

"Aku merindukanmu, Jaehyun. Sangat merindukanmu." Kembali lagi pedih dihadirkan pada setiap tuturan yang Jeffrey dengar dari Rosé. "Jangan pergi lagi! Tetaplah di sini bersamaku, dan jangan pergi ke manapun. Kumohon!"

Perempuan itu masih menangis, kali ini isakannya seolah mampu meruntuhkan dinding relung hati siapa saja yang mendengar. Menarik napas dalam-dalam, Jeffrey mencoba menenangkan segala rasa yang berkecambuk tak berkesudahan sebelum akhirnya memberikan sejumlah jawaban tegas.

"Aku di sini. Sampai kapan pun akan tetap di sini bersamamu. Dan tidak akan pergi ke manapun. Jadi, berhentilah menangis!"

Seperti sebuah mantra paling mujarab, isakan tangis musnah membuat ruangan menghening seketika. Rosé beranjak meniti jarak, hendak mengusap sisa air mata yang masih menggenang di pelupuk dengan satu tangannya. Namun, pergerakan perempuan itu ditahan oleh Jeffrey. Sebab Jeffrey jelas melihat darah masih menjejaki tangan Rosé, maka ia mengulurkan jemari miliknya untuk membantu perempuan itu menyeka air mata sembari bicara, "Jangan melukai dirimu sendiri, dan jangan berpikir untuk mati lagi!"

Menekan bibir mendatar, anggukan pelan Rosé berikan sebagai tanggapan atas petuah Jeffrey.

Kini sebuah sofa Panjang di dekat jendela menjadi tempat dua manusia duduk dalam ketenangan. Jeffrey dengan hati-hati membersihkan darah di telapak tangan Rosé menggunakan sapu tangan setengah basah, berikut ia balut luka perempuan itu dengan kain kasa.

Rosé tak mereaksi apa pun, meski perihnya luka masih bisa ia rasa. Perempuan itu memilih sibuk mengamati wajah Jeffrey, setiap pahatan yang begitu ia agungkan: dahi yang cukup lapang tertutup poni rambut segelap malam, alis tebal yang menukik tajam, sepasang netra kelam yang juga cemerlang di saat bersamaan, hidung proposional dan sepasang bibir tipis yang kini bergerak menyuarakan ucap.

"Ini pasti sangat sakit."

Rosé menunduk memandangi tangannya yang tengah dililit perban oleh jemari penuh bekas luka yang bisa terindra cukup jelas. Maka, sebuah tanggapan meluncur pelan dari Rosé. "Itu juga pasti sangat sakit."

Jeffrey tertegun. Ia membuang tatap pada objek yang sama dengan Rosé. itu adalah bekas goresan saat Jeffrey mencoba meremukan pistol yang digunakan untuk menembak Daniel waktu itu. Gelagapan, Jeffrey khawatir bila Rosé akan bertanya lebih jauh perihal dari mana ia terima luka-luka itu. Jadi, segera Jeffrey menarik tangannya usai selesai membalut luka milik Rosé.

Namun, siapa sangka, perempuan itu justru kembali meraih tangan Jeffrey lalu mengamati begitu lamat. Jeffrey terbelenggu debaran yang datang setiba-tiba usapan lembut yang ia rasakan dari jemari perempuan di sebelahnya. Bersama itu sebuah tuturan tak kalah lembut terdengar, "Sebenarnya aku tidak ingin kamu terluka. Tetapi, mau bagaimana lagi. Anggar adalah kesenanganmu. Aku hanya bisa berpesan, berhati-hatilah saat memainkan pedang."

Sejumlah rasa lega menyapu relung Jeffrey. Ia teringat akan informasi yang Mingyu berikan perihal Jung Jaehyun yang memang menyukai olahraga anggar. Luka-luka di bebukuan jemari adalah hal yang biasa didapat oleh para pemain olahraga itu setelah menggerak-ayunkan pedang panjang. Setidaknya fakta tersebut membuat Jeffrey tak perlu repot-repot menyiapkan alibi tersendiri.

Dan, ia cukup hanya terdiam membiarkan Rosé menunduk, mengusap-usap lembut bebukuan jemarinya. "Kamu tahu? Bagian yang paling kusukai darimu adalah tanganmu."

Mengerjapkan kelopak mata dua kali, Jeffrey bertanya pelan, "Mengapa?"

Rosé mengangkat pandang, mempertemukan dua pasang mata keduanya pada satu titik sebelum menjawab, "Karena tanganmu besar."

"Benarkah?" Jeffrey berucap lagi. Sebelum ini, Ia tak pernah memperhatikan ukuran tangannya baik-baik. Ia merasa itu senormal pria pada umumnya.

"Eum. Lihat!" Rosé berhenti mengusap jemari Jeffrey dan berganti menengadahkan tangan di atas telapakan milik Jeffrey seakan tengah membandingkan ukuran keduanya, terlihat perbedaan yang cukup kentara.

Sunggingan senyum menoreh pada bibir Jeffrey ketika memandang telapak tangan Rosé, dan tanpa sadar ia bicara, "Tanganmu kecil sekali."

Kemudian senyum itu tanggal tatkala Jeffrey kembali menjatuhkan pandang pada sang pemilik retina yang kala itu juga tengah menatapnya secara terang-terangan. Perempuan itu hanya diam, tetapi tingkahnya mampu membuat Jeffrey kewalahan menyingkirkan debaran yang datang tanpa undangan.

Seperti sekarang, saat di mana Rosé dengan tiba-tiba membalikan tangan dan mengisi ruang kosong di antara jari-jari besar Jeffrey. Kemudian, bisa Jeffrey lihat untaian senyum di bibir perempuan itu. Cukup manis. Cukup pula menyeret rasa candu dalam diri Jeffrey untuk kembali melihat itu.

***

Air telah mengisi setengah ruang dalam sebuah bathub.

Menenggelamkan tangan untuk mengecek suhu air tersebut, Jeffrey kemudian mematikan kran ketika menurutnya tingkat kehangatan air sudah cukup untuk digunakan berendam. Berjalan pelan keluar dari kamar mandi yang menyatu dengan ruang kamar bernuansa gading, Jeffrey menghampiri Rosé yang duduk di atas ranjang.

"Aku sudah menyiapkan air hangat. Mandilah segera!" tuturnya lalu menjatuhkan pandang pada tangan Rosé yang terlilit perban. "Dan, jangan basahi perbannya!" Jeffrey berpetuah lagi.

Tanpa menunggu jawaban, Jeffrey beranjak pergi sesegera mungkin. Ia berniat menyiapkan asupan untuk Rosé. Tak begitu repot sebab ia hanya perlu memanaskan sup daging yang telah dimasak oleh pelayan rumah dan mengambil semangkuk nasi hangat dari penanak. Berikut, ia sajikan di atas sebuah nampan bersama segelas air putih dan beberapa kablet obat milik Rosé yang Alice berikan sebelum pulang siang tadi. Katanya itu untuk mempercepat penyembuhan sel-sel otak yang rusak, Jeffrey tak begitu yakin tetapi tetap menuruti perintah Alice untuk memastikan Rosé meminum itu.

Meniti anakan tangga, Jeffrey kemudian mengetuk sebanyak tiga kali pintu kayu mahoni di depannya sekarang. Ia sungkan untuk masuk begitu saja sebab rumah ini jelas bukanlah huniannya.

Tak ada jawaban, Jeffrey menghela napas pelan. Mungkin tidak masalah jika ia masuk tanpa permisi, tetapi ketika nyaris mengayunkan gagang pintu, benaknya mendadak ditubruk ragu sebab muncul sekelebat pemikiran akan Rosé yang mungkin saja belum selesai beraktivitas di dalam sana.

Maka, Jeffrey putuskan untuk sejenak menunggu. Setidaknya sepuluh belas menit ia berdiri, sesekali melirik arloji di lengan kirinya. Kembali melabuhkan ketukan pada pintu, masih sama seperti beberapa saat lalu, jawabannya adalah kosong.

Merasa jengah, Jeffrey akhirnya mencoba meyakinkan diri sendiri atas posisinya di sini yang merupakan suami dari perempuan itu, meski hanya sebatas pura-pura. Maka masuk ke kamar tanpa ijin dan melihat Rosé telanjang bukanlah sesuatu hal yang akan menjadi masalah nanti. Bersama keyakinan tersebut, Jeffrey kembali masuk ke dalam ruang kamar yang nyatanya kosong tanpa penghuni. Pintu kamar mandi masih tertutup rapat, sepertinya Rosé masih berada di dalam sana.

Meletakan nampan di atas nakas, Jeffrey putuskan untuk duduk di salah satu sisi ranjang. Sesekali melabuhkan pandang pada pintu di sudut ruangan dan berharap agar seseorang segera keluar dari baliknya, sesekali menunduk memandang lantai marmer dan sepasang kaki berbalut sandal rumah.

Kalau dipikir-pikir, ini sudah lebih dari satu jam perempuan itu menghuni kamar mandi. Dan telinga Jeffrey yang tak sedikitpun mendengar aktivitas seseorang di dalam sana menjadikannya mulai cemas. Beranjak berdiri, Jeffrey melangkahkan kaki mendekat pada pintu dan mengetuk pelan sembari mulutnya bicara, "Kau masih di dalam?"

Lagi-lagi Jeffrey tak menerima jawaban. Ia tak habis pikir, Rosé begitu banyak bicara tadi, bagaimana bisa perempuan itu sekarang tak mengeluarkan suara barang sepatah saja setidaknya untuk memberitahu Jeffrey bahwa ia masih hidup sehingga Jeffrey tak perlu menjadi risau.

Lagi-lagi Jeffrey mesti berperang dengan akal yang enggan memastikan dengan memaksa masuk ke dalam kamar mandi, serta hati yang terus diterkam gelisah tiada henti jika saja ia hanya terus berdiam diri. Dan, Ia tak tahu sejak kapan jemarinya bergerak tanpa instruksi mengayunkan gagang pintu yang ternyata tak terkunci.

Melalui celah yang tercipta, Jeffrey masih tak bisa menemukan tanda-tanda kehidupan wanita di dalam sana. Maka dari itu, ia resmi menanggalkan sepenuhnya rasa enggan, membuka pintu lebar-lebar dan melangkah cepat bersama pandang yang berpencar dan berhenti pada satu sudut di mana sosok wanita terduduk meringkuk.

"Apa yang kau lakukan? Mengapa belum juga mandi?"

Tersulut sedikit rasa kesal setelah berjam-jam menanti wanita itu keluar, tapi nyatanya Rosé masih dalam keadaan serupa sebelumnya, suara tegas Jeffrey mengudara. Ia jelas tahu air di dalam bak mandi telah mendingin. Kalau sudah begini air itu tak akan berfungsi lagi. Mandi dengan air dingin di cuaca yang begitu menggila seperti sekarang bisa-bisa membuat siapa saja yang melakukannya akan mati kedinginan.

Mulut Jeffrey tanpa sadar melesatkan umpatan, "Dasar orang kaya. Tidak pernah pusing memikirkan biaya air." Bersama tatapan yang menyorot tajam sosok wanita di satu sudut, tak begitu lama sebab sendu menggulung ketika mata Jeffrey jelas bisa melihat ketakutan yang amat ketara dari wajah wanita yang masih mengenakan gaun tidur satin sewarna biru muda. Hanya saja kali ini ia telah menanggalkan luarannya sehingga nampak lengan mulus nan putih pula leher dan sebagian dada yang begitu indah.

Mengayunkan tungkak pelan untuk mendekat, Jeffrey semakin jelas disuguhi pemandangan menyulut iba. Berjongkok di hadapan Rosé yang memeluk lutut dan sesekali menyembunyikan wajah dibalik juntaian surai kecoklatan, tangan Jeffrey bergerak perlahan meraih wajah Rosé, lalu ia singkirkan beberapa anakan rambut ke belakang telinga hingga nampak olehnya dua mata sembab, bibir bergetar yang digigit kuat-kuat, pun peluh yang membanjiri pelipis.

Jeffrey masih belum bisa mengerti apa yang menyebabkan perempuan itu sedemikian rupa ketakutan. Maka, ia mencoba untuk kembali bertanya, "Ada apa? Mengapa belum juga mandi?"

Kali ini dengan nada yang terdengar berkali-kali lebih pelan dari sebelumnya. Jeffrey melihat perempuan itu mulai membuka mulut. "Aku takut," lirih Rosé bersama pandangan yang memancar resah, mengarah pada bak mandi di salah satu sisi.

"Air... aku takut." Kembali lagi Rosé bersuara seraya terus merapatkan tubuhnya pada sudut ruangan seolah ingin menyembunyikan diri. Jeffrey mengerutkan dahi, "Mengapa takut? Kalau takut bagaimana caranya kamu membersihkan diri?"

Setengah pikiran Jeffrey dilanda frustasi menghadapi keadaan segila ini. Terlebih Ketika mulut Rosé kembali mengucap bersama tangis, "Air... membunuh Jaehyun. Jaehyun-ku mati tenggelam. Aku takut. Aku takut."

Helaan napas pelan menguak dari bibir Jeffrey yang kini memilih untuk membuang tatap pada apa-apa saja selain wajah wanita di hadapannya. Jeffrey tak kuasa menahan gejolak rasa bersalah yang membuncah mengingat fakta bahwa ialah orang dibalik terbunuhnya Jaehyun dan secara tidak langsung ia berperan pula dalam menciptakan memori tragis dalam kehidupan Rosé dan membuat perempuan itu diselimuti traumatis.

Sejenak mengambil jeda, Jeffrey mencoba mengkondisikan rasanya untuk kemudian ia mendongak bersama dua tangan yang ia fungsikan untuk meraih lengan polos Rosé, berikut ia buat menatap dua bola mata terang perempuan itu.

"Aku siapa?" Jeffrey bertanya tegas.

Rosé menatap Jeffrey bergitu nanar dengan bibir yang bergerak mengucap satu nama, "Jaehyun."

Meraup oksigen untuk mengisi paru-paru yang mendadak terasa kosong, Jeffrey mengangguk. "Benar. Aku di sini. Aku belum mati. Air tidak membunuhku. Jadi, jangan takut lagi!"

Tak ada jawaban apa pun kecuali keheningan. Jeffrey anggap Rosé memahami ucapannya sehingga ia pun melepaskan genggaman tangan dari lengan perempuan itu dan beranjak berdiri berniat mengisi bak mandi dengan air hangat lagi. Namun, ia tersentak begitu dua tangan mengkukung pergelangannya.

Menundukan kepala, Jeffrey melihat Rosé berlutut dan mendongak seraya menggeleng serta bicara, "Jangan! Jangan mendekati air itu. Kau bisa mati tenggelam, percayalah!"

Isak tangis terdengar semakin keras tatkala Jeffrey justru menghempaskan genggaman tangan Rosé, dan berjalan pelan mendekat pada bak mandi. Perempuan itu meraung lirih, "Jangan! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku, Jaehyun!"

Jujur saja, rasa muak mulai menghamburi jiwa Jeffrey. Ia memandangi genangan air dalam bak mandi, lalu menoleh ke belakang dan menjatuhkan sorot pada Rosé di sana. Akalnya tengah beputar, memilah sejumlah cara membujuk Rosé agar mau segera mandi. Memaksa perempuan itu untuk masuk ke dalam bak mandi jelas bukan cara yang manusiawi.

Maka, seakan tak kehabisan cara, Jeffrey kembali memutar kaki dan melangkah mendekati Rosé. Dua lengannya ia gunakan untuk membopong perempuan itu lalu ia bawa menuju salah satu bagian kamar mandi yang tersekat oleh kaca buram, ia turunkan tubuh gadis itu tepat di bawah shower yang kemudian ia nyalakan.

Air mengucur dari lubang-lubang kecil shower yang kini berada dalam genggaman Jeffrey. Diarahkannya benda itu untuk membasahi seluruh tubuh Rosé dari ujung kepala hingga kaki. Meski nampak sedikit tersentak, Jeffrey besyukur perempuan itu tak melarikan diri.

Memberikan sikat gigi yang sudah diberi setitik pasta gigi, Jeffrey menatap Rosé yang kini mulai menggosok giginya pelan-pelan. Berikut, Jeffrey kucurkan sejumlah shampo di atas rambut Rosé yang basah, lalu ia raih tangan perempuan itu dan ia arahkan untuk mengosok rambutnya sendiri. Terlalu pelan, hingga Jeffrey menjadi tak sabaran dan mesti turun tangan sendiri membantu Rosé menggosok rambut hingga busa bermunculan.

Terdengar lenguhan pelan dari Rosé merasakan perih saat air shampo mengenai matanya. Jeffrey tersadar bahwa ia menggosok sedikit kasar. Saat Rosé hendak menggunakan tangan untuk mengusap matanya, Jeffrey menahan itu. Ia mengucurkan air membasuh tangan Rosé yang tadinya masih penuh oleh busa.

Melihat Rosé yang tak berhenti mengucek mata, Jeffrey meniti selangkah lebih dekat, "Coba sini lihat!" tuturnya pelan. Menyingkirkan tangan Rosé, Jeffrey cukup dibuat tertegun ketika melihat mata wanita itu memerah. Tanpa pikir panjang, ia meniupkan sejumlah udara beberapa kali, sekali waktu ibu jari Jeffrey mengusap kelopak mata Rosé lembut.

Dan, pria itu membeku begitu menyadari posisi mereka nyaris tak berjarak. Wajah cantik natural yang basah oleh air terindra begitu jelas di hadapan Jeffrey. Beberapa saat, Jeffrey menghabiskan waktu hanya untuk memandangi wajah itu, sebelum akhirnya ia tersadar dan segera kembali melanjutkan aktivitasnya membilas rambut Rosé, sesekali mengusapnya.

Belum genap kesadaran mampir dalam raga Jeffrey, pria itu kembali dibuat kesulitan mengontrol diri saat melihat gaun tidur satin yang membalut tubuh Rosé menjelma transparan, memperlihatkan apa yang dikenakan perempuan itu dibaliknya, warna hitam cukup ketara dan cukup menggoda syahwat.

Lagi pun Jeffrey adalah pria normal. Tergoda merupakan hal yang wajar, tetapi ia masih lebih dari mampu merengkuh kembali sadar, bahwasanya ia mesti tahu batasan. Maka, segera usai mematikan shower mandi setelah membilas tubuh Rosé dari busa sabun, Jeffrey memberikan piyama mandi putih bersih kepada perempuan itu.

Niatnya adalah hendak segera berlalu mencari udara segar untuk menenangkan gelora dalam dirinya, tetapi hal itu hanya berujung angan. Sebab kini Jeffrey sibuk menenangkan jantung yang berdebar terlampau kencang usai membuang pandangan asal sepersekon setelah Rosé menanggalkan gaun basahnya tepat di depan mata kepala Jeffrey, lalu melucuti pakaian dalamnya hingga tiada satu benangpun yang menempeli tubuh perempuan itu.

Rosé meraih piyama di tangan Jeffrey lalu memakainya. Baru kemudian, Jeffrey kembali bisa bernapas meski masih tak beraturan.

Meninggalkan Rosé yang tengah berpakaian di dalam kamar, Jeffrey berlarian menuju ruang perpustakaan. Diambilnya sebuah ponsel baru pemberian Alice siang tadi, katanya untuk mempermudah keduanya berkomunikasi.

"Mengapa kau tidak bilang kalau adikmu takut pada genangan air?" Jeffrey bertanya tegas sesaat setelah ia berhasil menghubungi Alice. Wajahnya saat ini begitu padam, ia tak mengerti mengapa dirinya begitu kepayahan padahal ini bukan kali pertama Jeffrey melihat seorang wanita telanjang.

"Ada masalah apa? Dia baik-baik saja bukan?"

Mencoba menetralkan napas yang berkejaran, Jeffrey menjelaskan perihal Rosé yang nyaris kembali bunuh diri, ditambah serentetan kejadian hari ini yang mana justru membuat Alice terpingkal kendati Jeffrey begitu kesal.

"Jadi, apakah memandikan Rosé juga adalah bagian dari tugasku?" Jeffrey bertanya di penghujung percakapan. Dari seberang terdengar jawaban begitu ringan, "Eum. Itu bagian dari tugasmu."

Jeffrey berdecih, "Bagaimana bisa kau setega itu? Bagaimana bisa aku menahan diri melihat wanita cantik telanjang di hadapanku?"

Serentetan pertanyaan yang diucap dengan tegas hanya dijawab bisu beberapa saat. Sebelum akhirnya terdengar balasan, kalimat yang membuat Jeffrey menggusak rambutnya frustasi sendiri.

"Jangan menyentuhnya! Entah dia telanjang atau tidak, kau tetap harus menahan dirimu, Jeffrey."

[]






[SILHOUTTE: After A Minute]

***

***

Hola, part 5 akhirnya rilis juga wkwk

Kalian lebih suka happy ending atau sad ending?

Dan, menurut kalian book ini bakal happy ending atau sad ending?

Sudah begitu aja. Terimakasih yang sudah mampir ke sini. Jangan bosen-bosen ya mwehehe :v

***

Continue Reading

You'll Also Like

285K 36K 30
[COMPLETED] Pertemuan yang diawali dengan perselisihan antara kapten cheerleader dengan kapten basket. Sakura Haruno dengan Sasuke Uchiha. Kedua insa...
1M 91.1K 162
Historical Naruhina Fanfiction (FOR 18 +) Hidup bersama dan mengabdi dengan orang yang membatai keluarganya adalah hukuman yang lebih menyiksa dari h...
61K 8.5K 42
Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji ak...
547K 37.8K 29
Draco Malfoy × Hermione Granger