SILHOUTTE: After A Minute [EN...

By lnfn21

126K 19.6K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... More

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

03: Offer & Agreement

2.9K 539 37
By lnfn21

CHAPTER 3
Offer & Agreement

[Playlist: Aalia - Adrenaline]

***

Di atas tanah yang tak begitu luas, di sudut Kota Venesia, sebuah bar sederhana dibangun sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu dan masih beroperasi hingga kini tanpa mengembangkan sedikitpun bagian bangunan atau menambah paling tidak beberapa kursi untuk pelanggan. Bar tersebut masih sama seperti dahulu, dengan desain kuno dan barang-barang bergaya retro.

Meski demikian, sebab memiliki cita rasa minuman racikan yang selalu menyulut pujian setiap lidah peminumnya dan harga yang terbilang tidak murah membuat tempat tersebut hanya dikunjungi oleh orang-orang berdompet tebal: pemilik perusahaan-perusahaan pengendali perekonomian negara atau pejabat pemerintahan misalnya. Sepanjang mata memandang, setiap pengunjung hadir dengan kesan berkelas yang melekati tubuh masing-masing.

Maka dari itu, Jeffrey menghabiskan waktu sekitar dua belas jam untuk membenahi dirinya sebelum datang kemari. Menghapus tato di sekujur leher; menanggalkan logam-logam perak dari menghiasi dua daun telinganya; memotong rambut gondorngnya hingga menjadi cepak lalu diberi sentuhan pomade dan ditata sedemikian rapi, setengah memperlihatkan dahi mulusnya, beberapa helaian ia biarkan terjatuh menutup jidat. Jangan lupakan sebuah kemeja hitam dan celana bahan senada, dipadu jas branded yang ia beli setelah berkeliling mal nyaris tiga jam bersama Mark.

Jeffrey bertemu Mark dahulu di hari pertama ia meninggalkan rumah orang tua angkatnya dan berakhir terlunta-lunta di jalanan. Mark adalah seorang yatim piatu yang putus sekolah karena tak memiliki biaya setelah keluar dari panti asuhan tempatnya dibesarkan. Mark-lah yang mengajari Jeffrey cara bertahan hidup di jalanan; mengais sisa-sisa makanan dari restoran cepat saji atau memungut roti-roti kadaluarsa yang dibuang pelayan minimarket.

Namun, tidak untuk bergabung menjadi anggota gangster: memukuli dan membunuh orang dengan imbalan segepok uang. Tidak. Jeffrey masuk ke dalam lingkaran tersebut atas keinginannya sendiri, tanpa sepengetahuan Mark. Keinginan Jeffrey bukanlah muluk, setidaknya uang hasil kerjanya itu bisa digunakan untuk membayar sewa hunian yang lebih dari layak untuk ia tinggal bersama Mark—sebuah apartemen yang menyediakan ranjang empuk nan nyaman, juga pancuran air hangat untuk mandi saat musim dingin tiba—dan membiayai kuliah Mark. Selain itu, sisanya masih lebih dari cukup untuk makan daging di akhir pekan.

Begitulah Jeffrey hidup selama ini. Cukup tenang tanpa gangguan kecuali mimpi-mimpi buruk yang kerap kali menghantui malam-malamnya. Namun, setelah ini, Jeffrey pikir hidupnya tak akan setenang dulu. Saat ia memutuskan untuk mengusik seseorang yang paling ia benci, Daniel Anderson. Dia adalah putra kebanggaan keluarga Anderson, keluarga yang dulu berjanji akan merawat Jeffrey dengan baik tetapi justru menelantarkannya setelah Jeffrey mendonorkan sumsum tulang belakangnya untuk Daniel.

Bunyi dentingan es batu yang beradu dengan dinding-dinding gelas kaca yang digenggam Jeffrey seakan menggema sebab berada di antara kasak-kusuk orang-orang di dalam bar yang menggemakan musik klasik, tidak ada yang Jeffrey rasakan selain kekosongan. Pandangannya tertuju pada seorang laki-laki yang tengah berkumpul di salah satu meja, bercincang dan berbagi kelakar bersama kawanannya. Daniel Anderson.

Duduk di kursi berkaki tinggi di hadapan seorang pelayan bar, Jeffrey berkali-kali mendapatkan tawaran untuk minum bersama dari beberapa gadis-gadis molek, dan yang pasti kaya raya dilihat dari barang-barang mewah yang melekat pada tubuh mereka. Kalau Jeffrey sedang bukan dalam misi pribadi, Jeffrey jelas tak segan untuk menyambangi para gadis-gadis itu. Paling tidak untuk dijadikan pelampiasan semalam atau mencuri salah sebutir berlian dari mereka.

Sayangnya, Jeffrey sedang tak berniat untuk itu. Maka, sunggingan senyum tipis dan gelengan pelan ia berikan sebagai jawaban atas setiap ajakan para gadis. Tatapan kecewa jelas ia dapatkan dari mereka semua saat memilih berlalu pergi.

Bunyi ketukan hels yang beradu dengan lantai batu pualam terdengar cukup ketara dan mampu menggaet atensi orang-orang terutama kaum pria sebab yang datang adalah sosok perempuan manis bergaun merah muda, bertopi bundar dan berkaca mata hitam. Beberapa godaan meluncur ringan dari bibir-bibir pria berumur yang haus akan sentuhan perawan. Namun, perempuan itu bersikap tak acuh, tak juga takut sebab ia datang kemari bersama puluhan pengawal yang berjaga di luar sana dan siap meninju siapa saja yang berani menyentuhnya.

Tujuan perempuan itu hanya satu: mendatangi pria jakung yang duduk seorang diri di salah satu meja. Dan tatkala berdiri di dekat sosok itu, ia nyaris kehilangan kendali atas tubuhnya yang lemas sebab mendapati wajah yang begitu familiar, teridentifikasi dengan sangat cepat hingga tanpa sadar mulutnya meluncurkan satu nama dengan lirih.

"Jung Jaehyun."

"Jung Jaehyun? Siapa?"

Namun telinga pria jakung itu sungguh begitu tajam hingga mampu menangkap gumaman yang teramat pelan dari perempuan di dekatnya. Seolah tersadar, perempuan itu segera mengurai senyum, "Maksudku, Tuan Jeffrey Anderson."

Nyaris membelalakan mata sebab terkejut bahwa ada yang mengenalinya, air wajah Jeffrey berubah kelam. Dengan nada yang begitu rendah ia bertanya tegas, "Kau siapa?"

Pandangan Jeffrey berpendar resah. Takut jikalau ada orang lain yang mengenali dirinya. Kendati demikian, perempuan itu justru tersenyum kian lebar, bahkan mengulurkan jemari tanpa segan. "Namaku Alice Park. Kau bisa memanggilku Alice."

Sayangnya, Jeffrey terlalu sibuk meneliti sampai mengabaikan uluran tangan Alice dan membuat perempuan itu kembali menarik tangannya dan memilih mengambil posisi duduk di samping Jeffrey.

"Maaf aku tidak berminat minum bersamamu, jadi bisakah kau mencari tempat lain?"

Mendengar ucapan Jeffrey, Alice tertawa kecil. Ia membuka kacamata hitamnya lalu bicara pada seorang pelayan bar. "Aku mau minuman yang sama dengannya," tukas gadis itu menunjuk gelas di tangan Jeffrey.

"Keinginanku bukan hanya sekedar minum bersama. Ada tawaran yang lebih menggiurkan. Kau suka uang bukan?" Alice menoleh pada Jeffrey dan menunggu pria itu menjawab. Sejeka pria itu hening tanpa ucap sampai sunggingan senyum miring terurai. "Apa aku nampak seperti seorang lelaki bayaran yang mau memuaskan hasrat wanita hanya demi uang?"

Sebuah gelas berisi setengah cairan kekuningan diraih oleh Alice lalu diteguknya perlahan. "Apa aku nampak seperti wanita yang haus akan sentuhan sampai mau membayar seorang gigolo?" lalu ia menoleh pada Jeffrey dengan tatapan tajam, "jika aku mau, kekasihku bisa melakukan itu tanpa aku harus repot-repot menyewa lelaki bayaran."

Jeffrey tertawa, "Kau sudah punya kekasih rupanya."

Meneguk habis minuman sekaligus menguyah sisa es batu, Jeffrey menoleh ke belakang dan mendapati sosok Daniel yang beranjak dari mejanya. "Aku penasaran, tawaran apa yang akan kau ajukan padaku. Tapi, sayangnya, aku sedang dalam misi penting dan sepertinya kita harus berpisah sampai di sini, jadi mari bincangkan lain kali."

Jeffrey beranjak menapakan kaki pada ubin bar, membenarkan letak jas dan mengambil sebuah topi untuk kemudian ia pasangkan di kepalanya dan masker di mulutnya. Sejenak terdiam, ia menoleh pada Alice dan bicara pelan, "Atau kita lupakan saja soal perbincangan lain waktu karena aku tidak bisa memastikan apakah kita akan bertemu lagi setelah ini atau tidak. Kemungkinan besarnya tidak."

Alice tersenyum miring. Ia melihat punggung Jeffrey bergerak melesat mengikuti seorang pria yang baru saja masuk ke dalam lorong menuju toilet. Seakan telah mentarotkan apa yang akan diperbuat pria itu, Alice segera mengoperasikan ponselnya dan menelpon seseorang.

"Siapkan mobil di salah satu gang menuju bagian belakang bar! Target kita akan segera datang."

Suara teriakan seorang pria yang baru saja keluar dari toilet dengan langkah terseok dan wajah yang setengah mati ketakutan memicu kehebohan seluruh pengunjung bar. Terlebih ketika ia mencoba menerangkan apa yang baru saja ia lihat dengan gelagapan.

"Seseorang tertembak di dalam toilet!"

Maka, seketika orang-orang dibuat kocar-kacir. Sebagian lari ketakutan keluar dari bar, sebagian lagi memilih memastikan sebab terlau penasaran dan berakhir meringis ngeri melihat seorang pria terkapar di atas lantai bersimbah darah yang mengucur dari salah satu sisi perutnya.

"Bukankah itu Putra Pimpinan Anderson? Direktur Daniel. Astaga siapa yang berbuat sekeji itu? Dia benar-benar cari mati."

Orang-orang mulai berbisik resah. Beberapa penjaga telah siap siaga berpencar mencari ke mana perginya sang pelaku penembakan bos mereka. Sementara tubuh dalam kondisi kritis pria yang tertembak segera dibawa menuju sebuah ambulan.

Di dalam sebuah bilik, Jeffrey meremukan senjata dan memasukannya ke dalam lubang toilet lalu mencoba menekan tombol penguras untuk membuat benda itu menghilang. Keringat dingin mulai bercucuran seiring tangan penuh luka-luka akibat tergesek pecahan senjata mencoba terus menekan tombol pengairan. Ia semakin terkencar-kencar ketika seseorang menggedor pintu dengan sangat tidak sabaran.

"Hei siapa di dalam?! Cepat buka pintunya! Kami sedang mencari seorang pelaku penembakan!"

Jeffrey memutar kran dan mencoba membasuh tangannya guna menghilangkan noda darah di sana. Berikut ia mengusap keringat dari pelipis sembari membenarkan letak topi di kepala. Menghela napas pelan, Jeffrey akhirnya memutuskan untuk membuka pintu bilik dan menunduk menyembunyikan wajahnya tatkala berpapasan dengan para pria berbadan tinggi. Dalam hati ia menghitung mundur sebab tahu jika senjatanya masih ada di dalam lubang toilet maka beberapa detik kemudian orang-orang itu akan tahu bahwa Jeffrey adalah pelakunya.

Namun, sudah nyaris hitungan ke sepuluh, pria-pria di sana masih sebegitu tenang. Mungkinkah senjata yang Jeffrey masukan ke dalam lubang toilet telah berhasil menghilang? Syukur jika memang demikian. Maka, Jeffrey dapat keluar dari bar hidup-hidup.

"Hei kau!"

Hingga suatu ketika terdengar berat suara pria di belakangnya menginterupsi. Sejenak Jeffrey menghentikan langkah, menunggu pria itu bersuara lagi sembari mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Bahunya dipegang erat, terpaksa Jeffrey memutar tubuh menghadap sosok pria berkumis tebal dan bermata bulat lebar.

"Ini milikmu?"

Ternyata pria itu hanya mengembalikan dompetnya yang terjatuh di dalam blik. Segera Jeffrey mengangguk dan menerima. Sedikit menunduk, Jeffrey memeriksa kelengkapan kartu identitasnya di dalam dompet lalu membungkuk hendak berterimakasih tetapi pria di depannya dengan cepat mendaratkan sebuah pukulan di punggung Jeffrey hingga pria itu terkapar mencium lantai toilet.

Jeffrey meringis dengan tangan yang dikukung oleh jemari kekar pria yang juga menginjak punggungnya dengan salah satu kaki. Lengan Jeffrey serasa patah hingga dompet yang ia genggam begitu mudah beralih tangan pada salah satu komplotan pengawal pribadi yang dengan sigap membuka dan mengambil salah satu kartu identitas Jeffrey.

"Jeffrey Anderson." Namanya disebut pelan. Melihat gestur mengangguk dari pria di sana, Jeffrey sudah memahami betul bahwa mereka telah mengetahui Jeffrey adalah orang yang baru saja menembak bos mereka.

Jeffrey jelas tak bisa hanya diam saja jika tak ingin mati di tangan mereka. Segera ia menggulingkan sedikit tubuhnya hingga salah satu kakinya bisa bergerak menendang bokong pria yang sedari mematikan pergerakan Jeffrey. Sosok bermata bulat lebar itu tersungkur. Jeffrey beralih mencekal tangan pria yang memegang dompetnya, mendaratkan sebuah pukulan di wajah dan mematahkan lengan pria itu hingga dompet yang sedari tadi berada di tangannya terjatuh. Jeffrey memunguti lalu segera melarikan diri sebelum lebih banyak pasukan datang dan melihat kekacayan yang ia perbuat.

Pelarian Jeffrey tak semulus yang ia pikir. Di belakang sana, Ia bisa melihat para pria yang belum sepenuhnya ia habisi kemudian berlarian pula memanggil komplotannya.

Menghindari keramaian orang-orang, Jeffrey memilih mengarungi lorong di mana rak-rak berisi minuman berjajar sangat rapi. Ia berlarian dan sampai pada pintu belakang bar yang segera ia dobrak keras-keras. Gang-gang sempit berkerikil menjadi pilihannya untuk melarikan diri dari kejaran para komplotan hingga sampailah ia di persimpangan dengan napas terengah.

Ia terkesiap ketika melihat beberapa mobil berjajar dan para pria berdiri di sekitarnya. Ketakutan setengah mati, Jeffrey berpikir bahwa mereka adalah bagian dari komplotan keluarga Anderson. Namun, tatkala melihat kaca jendela salah satu mobil dibuka, dan sosok wanita bergaun merah muda terpampang di baliknya tengah membuka kaca mata, Jeffrey menghembuskan napas lega.

Pandangan mereka bertemu. Jeffrey bisa melihat sebuah senyuman tersuguh, "Hai kita bertemu lagi!"

Jeffrey tak menggubris. Ia lebih sibuk memencarkan pandang kala-kala ia masih dalam kejaran. Sampai kemudian perempuan belia di sana kembali bicara, "Masuklah! Ayo berbincang soal tawaran."

Suara sepatu pantopel beradu dengan kerikil terdengar semakin keras di telinga Jeffrey. Menandai perihal komplotan yang nyaris mencapai tempatnya berada sekarang. Maka, tanpa pikir panjang Jeffrey masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Alice. "Jalankan mobilnya dan bawa aku sejauh mungkin dari sini maka aku akan menyetujui apa pun tawaranmu!"

Mendengar ucapan Jeffrey yang sarat akan kegelisahan, Alice tersenyum dan menatap Mingyu dari kaca spion sembari mengangguk. Mobil dilajukan cukup kencang sesaat sebelum para komplotan datang.

Dan, Jeffrey tak mengira dirinya akan dibawa ke tempat sejauh ribuan kilo meter dari Venesia. Menginjakan kaki di Korea dalam waktu sesingkat enam jam lamanya usai kericuhan yang ia perbuat jelas tak pernah terbesit di benak Jeffrey. Namun, ia tak punya pilihan lain ketika semua orang tahu perihal ia yang merupakan tersangka aksi penembakan terhadap putra Keluarga Anderson yang mana adalah saudaranya sendiri. Stigma sebagai anak angkat yang tidak tahu diri melekat erat pada nama Jeffrey Anderson disamping label buronan polisi.

Entah seberapa hebat sebenarnya wanita bergaun merah muda yang berjalan menyeret koper dengan santai di sampingnya sekarang hingga bisa menyeludupkan seorang buron seperti Jeffrey tanpa kecurigaan dari siapa pun. Jeffrey hanya bisa tunduk dan mematuhi perintahnya, dalam hati ia pun merasa berhutang budi pada perempuan yang telah menyelamatkan nyawanya. Jika saja dirinya masih berada di negara asal, Keluarga Anderson jelas tak akan membiarkannya hidup dengan tenang.

"Angkat kepalamu!"

Sedari tadi menyembunyikan wajah di balik sebuah topi, Jeffrey segera mengangkat kepala mengikuti perintah Alice. Kini ia tengah berdiri di sebuah ruangan bernuansa putih terang dengan aroma antiseptik yang menusuk penciuman.

Penglihatan Jeffrey berlabuh pada sosok perempuan yang terbaring lemah di atas sebuah ranjang dengan beberapa alat medis yang melekati tubuhnya. Menoleh ke samping, Jeffrey menemukan wajah Alice tak secerah saat pertama kali ia melihat wanita itu, ada muram yang ketara di sana.

"Kuharap kau tidak lupa perkataanmu enam jam yang lalu." Alice memutar kaki, mengarahkan tatap pada Jeffrey lekat, "bahwa kau akan menyetujui apa pun tawaranku."

Sejenak Jeffrey balas menatap sebelum membuang lagi pandang pada ranjang yang teronggok di tengah ruangan. "Apa tawaranmu berhubungan dengan perempuan itu?" tebaknya yang langsung diangguki oleh Alice.

"Benar. Dia adalah adikku. Namanya Roséanne Park. Beberapa bulan lalu ia baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun. Lalu tak lama kemudian sebuah kecelakaan terjadi saat mereka berbulan madu di Venesia. Suaminya meninggal. Rosé begitu terpukul dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang yang sangat dicintainya pergi untuk selamanya. Ia mengalami trauma dan seringkali berhalusinasi. Yang baru-baru ini terjadi, dia berkata ingin menyusul kepergian suaminya dan mencoba bunuh diri dengan meminum obat tidur melebihi dosis dan berakhir di sini."

Mendengar itu, Jeffrey meneguk salivanya kepayahan. Mendadak momen di mana ia menabrak sepasang anak adam yang tengah bercinta di dalam sebuah ferari gading berkeliaran di kepala. Ia pun tak bisa lupa sepenuhnya, tentang seorang perempuan bergaun putih panjang lusuh penuh noda darah yang berjalan terpincang-pincang menghampirinya yang kala itu berdiri di pinggir jalan, habis membuang sebuket bunga ke dalam danau tempat ia melakukan aksinya.

Membuka topi dan meniti langkah pelan, pandangan yang tadinya samar semakin nampak gamblang. Jeffrey melihat wajah yang serupa dengan yang ia temui beberapa bulan lalu dan yang kerap kali menghantui dalam mimpi.

Dia adalah orang yang sama, perempuan bergaun putih yang merintih meminta pertolongan Jeffrey untuk menyelamatkan suaminya. Jantung Jeffrey berdentum hebat ketika kesimpulan lain didapat.

Simpulan bahwa dirinyalah yang menyebabkan suami gadis itu meninggal. Sekali lagi, Jeffrey meneguk salivanya dengan napas yang tercekat. Ia menoleh pada Alice ketika selembar foto terulur darinya.

Mengernyit keheranan, Jeffrey dibuat bingung melihat foto yang ada dalam genggamannya sekarang sebab ia seperti melihat rupanya sendiri.

"Aku sudah mencari tahu banyak hal tentangmu. Satu hal yang pasti harus kau tahu, bahwa sebenarnya Jaehyun adalah saudara kembarmu. Kalian sebenarnya adalah saudara kembar yang tinggal di satu panti asuhan. Kalian harus berpisah saat kau diadopsi oleh Keluarga Anderson."

Kenyataan lain seakan memukul kedua bahu Jeffrey hingga terasa berat dan ia nyaris kehilangan tenaganya; nyaris tumbang ketika dua tungkaknya terasa begitu lemas dan tak mampu menahan beban. Jika Jaehyun adalah saudara kembarnya, maka ia bukan hanya membunuh suami perempuan itu melainkan membunuh saudaranya sendiri.

"Jadi—"

Alice meraih dan mengusap lembut jemari perempuan yang terlelap begitu damai sembari mulutnya mengucap sebuah permintaan, "Jadilah sebagai Jung Jaehyun sampai Rosé kami sembuh."

Jeffrey menggeleng pelan. Alice memberikan tatapan begitu tajam, "Tidak ada penolakan atas ini."

Sekali lagi Alice mempertegas, "Berpura-puralah menjadi suaminya dan jaga Rosé kami dengan baik!"

Pandangan Jeffrey jatuh lagi pada wajah pucat perempuan yang terbaring di atas ranjang. Ia tak habis pikir. Bagaimana bisa, selama ini Jeffrey berupaya benar menyingkirkan bayang-bayang perempuan itu, malah justru sekarang ia harus kembali berurusan dengannya.

Bagaimana bisa ia menatap wajah itu setiap waktu nantinya?

[]



[SHILHOUTTE: After A Minute]

***

Jeffrey Anderson

***

Thanks for Supporting this Book

Continue Reading

You'll Also Like

62.5K 5.7K 30
Di satukan kembali oleh sebuah musibah, melanjutkan kisah cinta paling murni di kehidupan yang keruh. Vincenzo dan Chayoung, belum selesai berurusan...
56.9K 6.5K 67
Seo Jaylin baru saja mengakhiri kontraknya sebagai salah satu anggota Girl Group bernama Lilac yang debut pada tahun 2017. Grup yang namanya tidak pe...
155K 14.3K 39
[COMPLETED] Hermione Jean Granger dijuluki sebagai Miss-Know-It-All, lulusan terbaik dari sekolah sihir terkenal Hogwarts. Karena terlalu muda untuk...
528K 25.1K 27
[FANFICTION ANIME NARUTO PAIR SASUSAKU] Disini Riani akan mencoba untuk menghubung kan setiap bagian dari Sakura dan Sasuke seperti menghubungkan Sak...