Ineffable

بواسطة Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... المزيد

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

34 | Couple Al

2.9K 448 69
بواسطة Ayyalfy

ALFY

Dari semua perdebatan kami aku menyimpulkan bahwa dia sudah sangat muak dengan semuanya. "Kalau kamu cape, kenapa nggak putus aja?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Tepat, aku emang mau kita putus."

Aku terhenyak hingga tanpa sadar pipiku mulai terasa basah. Dia mengatakan hal itu dengan begitu ringannya, tanpa keraguan sama sekali. Seakan berpisah denganku adalah hal yang telah ia rencanakan sebelumnya.

Lama keheningan menyergap kami, hingga akhirnya dia kembali bersuara. "Kamu percaya?"

Dengan terpatah aku mendongak dan kembali menatapnya. "H-hah?"

"By, kamu beneran percaya kalau aku minta putus?" Dia malah tertawa. "Astaga, By. Sampe larutan cap kakinya jadi lima juga aku nggak akan mau putus dari kamu."

"Jadi yang tadi cuma bohongan?" Laki-laki itu mengangguk tanpa dosa yang langsung kubalas dengan pukulan bertubi-tubi pada lengannya. "Ih jahat banget tau nggak! Kecilnya dikasih makan apa sih sampai gedenya ngeselin kek gini?!"

"Dikasih makan tawon," sahutnya meledek, dia tidak menghindari semua pukulanku melainkan terus saja tertawa. "Sampai nangis-nangis dong. Cini-cini aku peyuk bial nggak nangis lagi."

Aku menghindari pelukannya tapi karena ruang bergerak terlalu sempit, akhirnya dia berhasil memelukku. Semua rasa marah, kesal, kecewa seakan mengabur saat dia memelukku. Berganti dengan rasa tenang dan nyaman yang menghangatkan hati.

"Cape-cape debat, bahkan sampe mukulin orang lain dan babak belur kayak gini, ternyata solusinya cuma dengan pelukan," ujarnya yang kubenarkan dengan anggukan kepala. "Besok-besok kalau aku marah, peluk aja ya."

Aku mencubit perutnya sambil bergerak menguraikan pelukan kami. "Itu mah modus!"

Laki-laki itu hanya cengengesan lalu tidak lama kemudian dia mengangkat jari kelingkingnya di hadapanku. "Pinky sware, kitty sware, banana cherry strawberry sware, aku janji nggak akan posesif atau cemburuan kek CEO di Wattpad. Aku mau jadi softboy, mohon bantuannya!"

Aku terkekeh mendengar janji wer-wer-tekewernya itu tapi tetap menerima kaitan jari kelingkingnya. "Your promises accepted. Sekarang sini aku obatin luka kamu. Heran, kenapa sih hobi banget berantem? Kan bisa diselesain baik-baik, nggak usah pake otot."

Aku tidak tahu apa yang dia lakukan dengan Riki sampai wajahnya penuh memar seperti itu. Bahkan penampilannya sekarang seperti anak kecil yang baru selesai main tanah. Dekil dan buluk.

"Hei, ngaca ya, Mbak! Itu tadi siapa yang jenggut-jenggutan, cakar-cakaran, sama tendang-tendangan? Bukan kamu?" balasnya dengan tepat sasaran. "Aku sampe bingung, itu kamu kerasukan atau gimana. Mau bacain ayat kursi tapi aku takut kamu malah ngoreksiin tajwidnya, karena kamu kan pinter ngaji."

Aku tertawa. "Tadinya baca aja. Paling setannya pindah ke kamu."

"Jangan. Nanti setannya insecure sama dosa-dosa aku. Takutnya dia bilang, 'Wah ini manusia lebih setan dari gue. Makan gorengan lima ngakunya cuma dua.' Malu aku, By."

"Iya, giliran ketahuan ngakunya khilaf terus nyalahin setan. Dasar playing victim!"

Laki-laki itu mengangguk lemas. "Kasian ya setan."

• • •

RAFKA

Hari ini adalah hari wisuda Alfy dan tebakan gue tidak meleset sedikit pun karena dia terbukti mendapatkan perhargaan sebagai lulusan terbaik SMA Yapita tahun ini. Dia berdiri di atas podium dengan piagam penghargaan di tangannya, memberikan sambutan singkat berisi rasa terima kasih dan rasa senangnya karena telah menghabiskan masa putih abu-abunya di sekolah ini. Sekolah yang akan menjadi tempat paling penuh kenangan selama perjalanan hidupnya.

Usai berfoto dengan teman-teman dan ayah serta ibunya, cewek itu akhinya menyadari sosok gue yang sedari tadi melihatnya dari kejauhan. Ketika netra kami bertemu, senyumnya mengembang. Secepat itu juga jantung gue berdetak alay di dalam sana. Dia terlihat berkali-kali lipat cantiknya dengan kebaya modern yang sedang dia kenakan itu. Ini baru acara wisuda, belum acara resepsi nikahan kami nanti.

Apa tidak akan meninggal gue?

"Heh! Ngedip!"

Gue tersadar dari ketakjuban gue saat cewek itu melambai-lambaikan tangannya. "Heran, deh. Kenapa tiap hari kamu makin kelihatan cantik, sih?"

"Emang, ya?" Dia meraba wajahnya sendiri. "Bukan tiap hari makin kelihatan sayang sama kamu?" lanjutnya, sukses membuat wajah gue memanas.

Gue memeluknya dengan gemas. "Sabar, Rafka. Dia baru lulus SMA."

Alfy malah bertanya. "Emang mau ngapain?"

"Nikahin kamu. Atau mau sekarang?" Jawaban lugas gue malah dibalas dengan cubitan di perut.

Saat pelukan kami terlepas, gue langsung menunjukkan sesuatu yang sedari tadi gue sembunyikan di belakang punggung. "Selamat ya, By, atas kelulusan dan pencapaian kamu. I'm so proud of you."

Alfy langsung membulatkan matanya. Mulutnya terbuka lebar dan baru tertutup setelah gue merapatkan rahangnya. "Kok ada samyangnya gini? Ih suka!" pekiknya kegirangan sambil mengambil buket berisi samyang dan bermacam-macam coklat itu dari tangan gue.

"Keren kan? Nih, bonus bon cabe level 30 sama entrostop."

Cewek itu mengambil dua barang terakhir yang gue berikan dengan mata berbinar. "Sering-sering ya kayak gini. Kan jadi tambah sayang," ujarnya terdengar tidak tulus sama sekali.

Gue hanya mengacak-acak puncak kepalanya karena gemas. Bermaksud membuatnya tambah sayang sama gue, malah gue yang semakin sayang sama dia.

"Kita ke rooftop yuk!"

Alfy menyetujui ajakan gue dan kami pun meninggalkan acara wisuda yang telah berakhir. Jarak antara lokasi wisuda dengan sekolah tidak terlalu jauh, hanya menghabiskan waktu sekian menit untuk tiba di sekolah.

Kami tidak menemukan siapa-siapa di sekolah dan memutuskan untuk langsung ke rooftop yang untungnya tidak dikunci oleh Mang Enjun. Tidak ada yang berbeda dari rooftop ini, masih sama seperti terakhir kali kami datangi. Perbedaannya mungkin akan terasa nanti ketika gue tidak bisa lagi mendatangi tempat ini bersama Alfy karena cewek itu sudah tidak bersekolah lagi di sini.

Langit tampaknya bersahabat dengan kami karena cuaca tidak terlalu terik sehingga kami masih bisa merasakan sejuknya sepoian aingin yang datang silih berganti.

Gue mengamati Alfy, meski ada satu bangku panjang di sini, cewek itu lebih memilih duduk di tepi rooftop lalu membuka salah satu bungkus coklat dari buket yang dia pegang. Kemudian dia menepuk tempat di sebelahnya. "Sini, makan coklat bareng."

Gue pun ikut mendudukkan diri di sebelahnya. "Nggak, ah. Aku kasian sama coklatnya."

Dia menoleh bingung. "Kok?"

"Kasian, dia kalah manis sama kamu."

Cubitan kecil langsung bersarang di lengan gue. "Tapi aku juga kasian sih sama coklatnya. Karena dia kalah sama kamu kalau soal bahagiain aku," balasnya menggombal.

Gue langsung tertawa di tempat. "Ampun, mbak jago ya sekarang?"

"Iyalah!" Alfy menyahut jumawa. "Tapi nggak heran sih kenapa sekarang aku bisa ngegombal. Kan makmum ikutin imam."

Sumpah, di detik itu juga jantung gue serasa menggelinding ke bawah. "Alfyyy, udaaah!"

Dia tertawa sambil menunjuk-nunjuk wajah gue. "Cie pipinya merah! Cie!"

Gue langsung menutupi wajah dengan kedua tangan. "Mana ada!"

"Dasar lemah, gitu aja salting," ejeknya. "Anyway, setelah aku lulus kamu bakal tetep ngajar di sini atau gimana?" tanyanya tiba-tiba.

"Pasti berharap aku bilang nggak, ya?" balas gue mengejeknya dan berhasil membuat dia cemberut. "Tapi planning aku emang stay sih, By. Biar kalau aku apply di tempat lain aku ada pengalaman dua tahun di sini."

Dia mengangguk-angguk paham.

"Terus kali aja kan aku nemu Alfy-Alfy yang lain di sini."

Alfy langsung menyilangkan tangannya. "Oh, ternyata itu motifnya? Oke, aku juga bakal nemu Rafka-Rafka yang lain di kampus aku nanti! Tunggu aja!"

"Bercanda, By."

Dia menggeleng. "Aku bakal pacarin Presma kampus, ketua BEM, ketua Ormawa, ketua Mapala, ketua UKM, ketua LDK, semuanya pokoknya!"

Gue menahan senyum mendengar dia mengabsen semua ketua-ketua itu. "Nggak sekalian ketua prodi, By?"

"Kalau ganteng dan punya kepribadian yang bagus, kenapa nggak?"

"Kepribadian aku juga bagus, kok."

"Maksud kamu kendaraan pribadi, rumah pribadi, apartemen pribadi, atau pulau pribadi?"

Gue langsung membeku di tempat.

Alfy tertawa setelahnya. "Cie, pucet! Bercanda kok. Aku bukan tim harta dan tahta, tapi tim rupa utama. Karena kalau harta dan tahta diambil sama yang maha kuasa, nanti sisa jeleknya aja."

"Dasar! Si nggak mau rugi!" Gue mencubit pipinya karena gemas. "Kalau aku sih harta, tahta, Ade Nurul Hita."

Cewek itu menunjuk wajah gue dengan sorot mata mengancam. "Ade Nurul Hita ya, bukan Bella."

Gue menangkap jari telunjuknya dan ganti menggenggam kelima jarinya. "Iya, sayang. Masih aja sensitif sama Bella. Masih kurang puas cakar-cakarannya?"

"Ya abisnya dia selalu punya cara biar bisa deket-deket sama kamu. Inget ya, walaupun aku udah nggak ada di sekolah ini lagi, jangan harap dia bisa deketin kamu! Aku punya Mang Enjun buat ngawasin kalian."

"Iya, By, aku janji nggak akan macem-macem."

"24/7!"

"Iyaaa, By, iyaaa," sahut gue menahan gemas. "Aku macem-macemnya cuma sama kamu, kok."

Jitakan keras langsung mendarat di kepala gue. Kekerasan-kekerasan seperti ini pasti akan sangat gue rindukan ketika dia tidak ada lagi di sekolah ini.

• • •

ALFY

Ada waktu beberapa bulan sebelum memulai perkuliahan dan hanya kuhabiskan untuk rebahan atau drakoran. Sesekali Pak Rafka mengajakku jalan saat weekend, sekadar untuk menemaninya bermain futsal atau kulineran tidak jelas di sekitar Bogor. Tapi weekend kali ini dia mengatakan cukup sibuk dengan kuliah magisternya. Aku maklum, kuliah S1 saja banyak yang bilang beratnya bukan main, apalagi S2. Entah bagaimana dengan hubungan kami nanti, pasti akan sering absen bertemu karena sibuk dengan tugas masing-masing.

Seperti biasa, pagiku selalu dihabiskan untuk nge-babu di rumah. Dengan ditemani lagu-lagu random di playlist musikku, aku membersihkan rumah sambil melakukan konser tunggal.

"I want you to the bo—"

"Al, ada temen lu tuh di luar!" teriakan ibu memotong acara bernyanyiku.

Aku menghela napas dan langsung bergegas ke luar untuk melihatnya. Setibanya di teras, aku memicingkan mata melihat punggung laki-laki yang berdiri membelakangiku. Dari postur tubuhnya aku sangat mengenali laki-laki ini. Dengan mengendap-endap, aku mendekatinya sambil berancang-ancang memukul kepalanya dengan gagang pel.

Pletak!

"Aduh!" Laki-laki itu mengusap kepalanya lalu membalikkan badan untuk melihat sang pelaku yang sedang menahan tawanya. "Sakit, anjir!"

Aku menyengir lebar. "Lagian lo ngapain pagi-pagi begini ke rumah gue, Cina?"

"Antar gue," jawabnya to the point.

"Ke?"

"Penghulu!" cetusnya kesal. "Ikut aja, sih. Jan nanya mulu kek Dora."

"Gue perlu nanyalah! Nanti kalau gue diajak ke bandar narkoba gimana?"

Alvin menatapku datar. "Emang muka gue sekriminal apa sih di mata lo?"

"Nggak ada, sih. Muka lo sadboy gitu."

Cowok itu menghela napas. "Jadi mau antar gue atau nggak?"

"Benefitnya apa buat gue?"

"Shopeepay lo terisi."

"Gas!" Aku langsung membuang gagang pel yang kupegang dengan sembarangan. "Lo minta diantar ke bandar narkoba juga ayo!"

"Nggak mau ganti baju dulu?" tanyanya saat aku masuk ke dalam rumah hanya untuk mengambil ponsel dan sandal.

"Mager."

Alvin tidak bersuara lagi setelah itu. Di depan sudah ada mobil yang menunggu kami. Kupikir Alvin membawa mobil, ternyata itu mobil yang ia pesan dari aplikasi ojek online. Kami duduk di bangku belakang, bersisian.

"Tumben nggak motoran. Mau kemana, sih?"

Alvin yang malas ditanyai olehku langsung menutup telinganya dengan headset lalu memejamkan mata. Aku mendengus melihatnya.

"Mas, temen saya bisu. Ini tujuannya kemana ya, Mas?"

"Jangan dijawab, Mas," sahut Alvin dengan mata terpejam.

Mas-mas paruh baya yang duduk di bangku kemudi tertawa kecil. "Ke Jakarta, Mbak."

Aku langsung menatap Alvin terkejut. "Eh, gila. Lo mau nyulik gue?"

Cowok itu berdecak malas. "Orang pasti mikir-mikir buat nyulik lo. Porsi makan lo kek kuli."

"Iya, sih." Masuk logika juga apa yang dikatakannya. "Terus ngapain ke Jakarta?"

Hening. Alvin Dajal!

"Kirim nomor virtual account shopeepay lo lewat Whatsapp," ujarnya setelah lama terdiam, membuat wajah muramku terusir sempurna.

"Nah, gitu dong! Baru namanya temen." Aku menarik sebelah headset dari telinganya dan memasangkannya ke telingaku. "Anjay, lagunya lagu sadboy banget."

Alvin membiarkan apa yang aku lakukan dan ternyata mendengarkan lagu bersamanya malah mendatangkan kantuk yang teramat sangat hingga tanpa sadar aku tertidur selama perjalanan.

Saat aku kembali membuka mata, mobil yang kami tumpangi sudah berhenti. Leherku terasa pegal dan aku baru sadar kalau ternyata bahu Alvinlah yang kujadikan bantalan kepala saat tertidur tadi.

"Dasar pelor," cercanya lalu keluar dari mobil setelah aku menyingkirkan kepala. "Elap tuh iler!"

Aku langsung mengecek ujung bibir. Tidak ada apa-apa. Sial, dia membohongiku.

Setelah nyawaku terkumpul, aku menyusulnya keluar. Laki-laki itu tampak sibuk mengeluarkan barang-barangnya dari bagasi mobil. Aku menguap dan meregangkan badan sambil mengamati sekitar. Tunggu, bandara?!

"Sableng! Lo ngapain ajak gue ke bandara?!" protesku pada laki-laki itu.

"Kan udah gue bilang buat antar gue."

Aku terhenyak beberapa saat. "Emang ... lo mau kemana?"

"Surabaya."

"Ngapain?"

"Mulung."

Aku berdecak. "Gue serius, Cina!"

"Kuliah, Alfy," sahutnya dengan nada lembut. Dia memberikan jaket yang dipakainya kepadaku. "Malu kan lo? Pake, biar nggak keliatan gembel-gembel amat."

Aku menerima jaketnya dan langsung memakainya untuk menutupi baju tidur lusuhku. Pantas saja sebelum pergi dia bertanya kenapa aku tidak berganti baju. "Kenapa Surabaya?" tanyaku kemudian karena tidak tahu menahu soal rencananya yang akan kuliah di luar kota.

"Karena di sana nggak ada lo," jawabnya enteng sambil mendorong kopernya ke arahku. "Bawain koper gue!"

"Ish, nyebelin!" Meski sangat kesal, aku tetap menurut dan membawakan kopernya. Kami berjalan masuk ke bandara lalu dia meninggalkanku untuk mengurus tiket.

"Tunggu sini, gue urus tiket dulu."

Selagi menunggunya, aku membuka ponsel. Satu-satunya yang terpikir olehku sekarang adalah mengabari Via. Dia pasti tidak tahu menahu soal ini.

To: Via TKF
Alvin berangkat ke Surabaya, Vi. Dia kuliah di sana.

Satu menit, dua menit, tidak ada tanda-tanda Via membaca pesanku. Hingga lima menit berlalu pesan itu masih tak berbalas. Aku menghela napas. Sepertinya tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari hubungan mereka. Benar-benar telah selesai.

Tak lama kemudian Alvin kembali menghampiriku. Aku terkejut saat dia langsung mengambil telapak tanganku dan meletakkan sesuatu di atasnya.

Aku menatap benda pemberiannya dengan bingung. "Apa ini?"

"Kalung. Lo buta?"

Seperti biasa kalimat yang keluar dari mulutnya itu tidak pernah ada manis-manisnya. "Gue tahu ini kalung tapi buat apaan, Cina?"

Dia menatapku tanpa ekspresi. "Ganti cincin saturnus pake itu."

"Cincin saturnus?"

Aku berpikir keras tentang itu. Seperti tidak asing, tapi apa?

"Alvin suka sama lo?"

"Ya kali si Kulkas Berjalan demen sama gue, cincin saturnus gue ganti jadi kalung!"

Saat ingatan itu terputar di kepalaku, mataku langsung membulat.

"LO DEMEN SAMA GUE?"

Alvin berdecak, dia melihat ke sekeliling dan berakhir menatapku kesal. "Lihat kelakuan lo barusan bikin rasa suka gue ilang. Balikin kalungnya!"

Aku langsung menyembunyikan kalung itu saat Alvin ingin merampasnya kembali. "Pamali tau ngambil barang yang udah dikasih ke orang. Lo mau borok sikut?"

"Bodo. Balikin—"

"Perhatian, para penumpang pesawat Gar*da Indonesia dengan nomor penerbangan GA308 tujuan Surabaya dipersilakan naik ke pesawat sekarang melalui pintu 3. Terima kasih."

Suara pengumuman yang barusan terdengar menghentikan aksi pergulatan kami.

"Gue berangkat, ya," pamit laki-laki itu dan untuk pertama kalinya aku melihat bibirnya menyunggingkan senyum. "Nggak usah pikirin perasaan gue, karena di Surabaya nanti gue pasti dapat cewek lain."

Harusnya aku tenang mendengar ucapannya itu, tapi rasa panas malah menjalar ke seluruh mata. "Harus yang lebih cantik dari gue, ya," candaku dengan suara bergetar menahan tangis.

Alvin mengambil satu langkah lebih dekat. Satu tepukan pelan mendarat di kepalaku tanpa permisi. "Emang ada?"

"Aaaa Alvin mah!" Aku langsung memeluk laki-laki itu karena tidak kuasa menahan air mata. "Lo sengaja ya bikin gue merasa bersalah?"

Dia balas memelukku lalu terkekeh. "Iya, sengaja."

"TUH KAN!"

"Canda. Kan udah gue bilang jangan pikirin perasaan gue. Lanjutin hidup lo, gapai cita-cita lo dan jangan bucin mulu! Dunia ini keras, lo nggak boleh lemah," ujarnya sok menasihatiku. "Udah, anjir. Ntar gue ketinggalan pesawat."

Dengan berat hati aku melepaskan diri darinya. Sial, air mata dan ingusku masih setia membanjir. "Sampe sana kabarin gue, ya."

"Dih, siapa lo?" sahutnya tanpa hati. "Sini, mana kalungnya?"

"Astaga, Cina. Lo beneran mau borok sikut?" tanyaku tak habis pikir.

Alvin berdecak lalu merebut kalung itu dengan mudah. Aku terdiam kaku saat dia memakaikan kalung berliontin bunga kecil itu padaku. "Jangan digadein, apalagi dijual."

"Lo bisa baca pikiran gue ternyata."

Laki-laki itu menyentil keningku pelan. "Dah, gue berangkat. Lo pulang hati-hati."

Aku menganggukkan kepala. "Safe flight!"

Alvin tersenyum lalu mendorong kopernya dan melangkah pergi. Waktu terasa lambat saat melihat kepergian punggung laki-laki itu. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Dia baru saja menunjukkan padaku bahwa cinta adalah tentang memberi tanpa menerima kembali.

Vin, in another life, I would be your girl.

• • •
TBC!
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN!!

Bye-bye, Alvin:(
Kapal Couple Al telah karam🙃
Sama kayak real life hiks

Chat Alfy dan Alvin setelah diisiin shopeepay

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

130K 12.4K 42
Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Gema, dia mencintai Dokter yang merawat ayahnya sendiri, memacarinya sampai mengikat janji. Namun, apa jadinya...
Fate Of Kanaya [End] بواسطة Tania

قصص المراهقين

22.6K 7.6K 50
[FOLLOW SEBELUM BACA!] 📌NOTE: CERITA ORISINAL - - "Dibutuhkan kesedihan untuk mengetahui apa itu kebahagiaan"- Kana * * Ig: @tania.niaa_ Start: Janu...
268K 27.1K 30
[Belum direvisi] Nisa mempunyai ketakutan tersendiri dalam hidupnya. Sebuah ketakutan yang mungkin akan dianggap lucu oleh orang lain, namun begitu m...
204K 10.7K 60
Notes : Ceritanya beneran udah tamat, lagi direvisi aja Arshaka Dirgantara Arundani. Seantereo mahasiswa di jurusan Psikologi tahu kalau ditanya soal...