Baiklah, kali ini masalahnya melebihi kata serius. Dangerous Dragon telah dikepung, seluruh anggota akan TERTANGKAP.
"Sial," Desis Anna sambil terus menekan bahunya, agar tak kehilangan banyak darah.
"TIARAP!!!!!!!!!" Teriak seorang polisi yang sedang berjalan mendekati Anna. Anggota Dangerous Dragon langsung meletakkan senjata mereka dan mengubah posisi menjadi tiarap.
"TIARAP!" Titah polisi tadi sambil menodongkan senjata api ke arah Anna.
"Nggak liat?! Berdarah ini! Ke rumah sakit dulu!" Teriak Anna sambil mendongak menatap polisi itu.
"APA LIAT LIAT?! CEPETAN KEBURU GUE PINGSAN!" Teriak Anna lagi. Sungguh wanita itu malah berusaha setenang mungkin ketika polisi mengepung markas Dangerous Dragon.
Lagi pula, beberapa hari ini sedang tidak ada target yang harus dibunuh. Di tambah kemarin adalah jadwal pembersihan bukti. Jadi, dapat dipastikan tak akan ada bukti yang tertinggal di markas. Bahkan ruangan kematian sekalipun, di sana sudah bersih tanpa ada darah yang menempel di dinding ataupun lantai.
Hanya bukti suara tembakan barusan dan beberapa senjata di sini. Itu masalahnya.
Dangerous Dragon bukan kelompok mafia yang memiliki koneksi dan kekuasaan. Mereka hanya ahli dalam menyembunyikan kejahatan.
Entahlah, bagaimana tindakan sang ketua nanti ketika mendengar kabar mengejutkan dari kepolisian. Untung saja, Gabriel memutuskan untuk pulang nanti malam. Jadi, ia dapat mengurus kasus ini sebelum 48 jam.
Tenang, ketiga lelaki itu pandai dalam merangkai rencana. Kita bisa mengandalkan mereka di situasi terburuk sekalipun.
"PANGGIL AMBULANCE!" Teriak polisi yang berdiri di dekat Anna.
"Akhhh," Rintih Anna ketika ia sudah mulai merasakan pening dan lemas.
•••oOo•••
"Terimakasih Tuan Zanipolo."
Gabriel menutup rundingan dengan membungkukkan badannya. Diikuti oleh Ray dan Fero.
Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 11 siang, hampir 4 jam mereka berunding untuk perdamaian antar kelompok.
"Bukan masalah besar. Aku juga berterimakasih kepada kalian semua," Balas Zanipolo sambil membungkukkan badannya juga.
"Tolong, antarkan mereka ke kamar masing-masing," Titah Zanipolo kepada para bodyguard nya.
"Baik Tuan," Jawab seorang lelaki, lalu berjalan lebih dulu. Mempersilahkan Gabriel dan Fero mengikutinya. Sedangkan Ray berjalan menuju kamarnya sendiri.
Gabriel yang sedang mengikuti bodyguard di depannya itu meraih ponsel di sakunya. Ia mendapati lebih dari seratus panggilan dari kekasihnya.
"Padahal baru empat jam," Gumam Gabriel sambil tertawa kecil.
Ia pun mengirim pesan berupa foto kepada Anna. Foto itu memperlihatkan punggung dari bodyguard di depannya.
Aku baru aja selesai rundingan, nanti malam pulang.
Tulis Gabriel di dalam pesan tersebut lalu ia kembali memasukkan ponsel ke dalam sakunya.
•••oOo•••
"Kamu ketuanya?" Tanya seorang detektif kepada Anna di ruangan interogasi.
"Nggak tau."
"Saya nanya dari tadi hanya kamu balas tidak tahu terus!"
"Ya emang saya nggak tau!"
"Kamu masih sekolah?"
"Nggak tau."
"Nyonya Anna!"
"Apa?!"
"Lagian kasih gue istirahat kek, ya kali cuma di jahit terus balik ke kantor polisi. Suruh gue tidur du-"
"ANNA!"
"APA?!"
Anna dan seorang detektif itu sedari tadi berdebat tak ada hentinya. Itu adalah trik dari seorang detektif untuk memanaskan situasi dan akhirnya si tersangka bisa mengaku.
Namun, sebelum ini. Anna dan anak buah Gabriel lainnya memang sudah diberi pengetahuan soal interogasi antara detektif dan tersangka. Jadi, mereka tidak akan terpancing suasana. Malah mereka berusaha agar lawan bicaranya yang emosi.
Siapa lagi kalau bukan Ray yang membocorkannya? Mantan anggota FBI itu sungguh banyak gunanya.
Anna dan anak buah lainnya hanya boleh mengatakan tidak tahu, sampai Gabriel sendiri yang menangani kasus tersebut.
"Detektif Zanuar mohon tenang" Suara seseorang yang sedari tadi memantau interogasi siang ini di ruangan lain.
Zanuar menghela nafasnya, ia mengeluarkan beberapa foto yang menampilkan Anna dengan senjata api di tangannya.
"Kamu menodongkan pistol ke arah keluargamu," Ucapnya.
Anna hanya melirik sekilas foto itu lalu tersenyum miring.
"Nggak tau."
"Apa tidak ada jawaban lain?!"
"PERMISI TUAN DETEKTIF!" Teriak Anna. Ia mulai menggunakan bahasa formal untuk berbicara dengan lelaki paruh baya di depannya.
"Beberapa hari yang lalu saya sedang berduka atas meninggalnya anggota keluarga saya, bagaimana anda bisa menanyakan hal sensitif seperti itu?" Anna memelankan suaranya.
Kini saatnya, ia menunjukkan bakat terpendamnya.
"Apa anda tidak memiliki hati nurani?" Tanya Anna. Air mata palsu dari matanya mulai meleleh.
"B-bukan seperti itu," Balas Zanuar.
"Detektif Zanuar, kita hentikan dahulu."
"Saya tidak mau di interogasi! Saya ingin sendiri dulu!" Teriak Anna sambil mengusap air matanya dengan gaya yang membuatnya menahan tawa.
"Anna, saya hanya ingin-"
"DETEKTIF ZANUAR! APA ANDA TIDAK TAHU KALAU SAYA SEDANG MENGANDUNG?!" Potong Anna.
"Apa anda tidak berfikir kalau saya terlalu dipaksa untuk menjawab pertanyaan nanti berdampak buruk pada kandungan saya?!" Lanjutnya dengan kalimat yang tidak masuk akal.
Apaan anjrit ngga jelas.
Batin Anna menahan tawanya.
"Tolong pinjamkan saya handphone," Titah Anna.
"Untuk apa?"
"Buat telpon suami saya."
"Tapi data kamu menyatakan bahwa kamu masih-"
"Apa kalian berhak mencampuri kehidupan pribadi saya? Memangnya kalau saya hamil, anda mau menikahi saya?!" Sembur Anna.
"Anda ke-ter-la-lu-an!" Lanjut Anna dengan gaya bicara dramatis seperti di film jadul.
"Saya beri kamu waktu. Tapi tidak untuk menelpon suamimu."
Detektif bernama Zanuar itu beranjak dari duduknya sambil merapikan beberapa foto dan kertas yang ia bawa. Setelah itu ia melenggang pergi dari ruangan gelap ini.
Anna tertawa ketika pintu tertutup. Ia berjalan ke arah cermin dua arah berwarna gelap di sisi kanannya.
Tuk Tuk Tuk
Anna mengetuk cermin tersebut menggunakan telunjuk.
"Kalian nggak capek liatin saya dari tadi?" Tanya Anna. Walaupun ia tak melihat keberadaan seseorang di balik cermin itu. Anna yakin, di sana ada beberapa orang yang sedang memantaunya.
Anna menghela nafas. Ia berbalik badan dan melihat ke arah CCTV. Tangannya melambaikan tangan sambil tersenyum lebar ke arah kamera pengawas tersebut.
Setelah itu, ia kembali duduk dengan mengangkat kedua kakinya ke atas meja.
"Ahhh, gerah!" Keluh Anna sambil mendongakkan kepalanya.
•••oOo•••
"Mereka semua ketangkep?!" Ulang Gabriel, takut salah dengar dengan apa yang baru saja Fero katakan.
"Tadi pagi, gue di kasih tau sama Jack. Ini baru aja gue baca."
"Kemaren kita ada jadwal musnahin barang bukti, kan?" Tanya Gabriel.
"Kata Jack masalah itu udah beres semua. Kita cuma perlu penjelasan tentang kelompok kita sama senjata yang kita punya." Fero menjelaskan.
"Oke, itu gampang. Kita pulang sekarang aja." Gabriel beranjak dari duduknya bersiap untuk keluar kamar.
"Mana bisa boy? Tiketnya nggak bisa dadakan."
"Kita ada temen baru sekarang. Minta tolong sama mereka lah," Jawab Gabriel sambil menoleh ke arah Fero.
"Black Killer?" Tanya Fero.
"Dia kaya, dia bisa lakuin apa aja," Ucap Gabriel.
"Tapi masalahnya semua anggota kita-"
"Kita punya Carlos," Potong Gabriel.
"Lo hubungin Ray dulu, kita rundingan siang ini. Gue mau temuin Zanipolo," Lanjutnya sebelum akhirnya pergi meninggalkan Fero.
•••••