Aksara Dan Suara

Oleh khanifahda

1.5M 164K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... Lebih Banyak

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Cundamani'
'Woro-Woro'

'Naditya'

29K 2.6K 1.2K
Oleh khanifahda

Gandhi tak henti-hentinya memainkan pipi mungil itu dengan perasaan bahagia. Bayi merah yang tidur dalam box bayi itu tampak anteng dan tak terusik ketika pipinya yang gembul itu menjadi mainan sang ayah.

"Lama tadi kontraksinya?" tanya Gandhi pada Grahita yang masih terlihat lemas setelah melahirkan tadi.

"Lumayan. Kerasa mules tadi jam 1 pagi. Baru sakit banget pas habis subuh. Langsung dibawa ke rumah sakit malah baru bukaan 3. Akhirnya nunggu sampai jam 9 pagi dan baru lahir. Untung air ketubannya nggak kering Mas karena udah pecah duluan."

Gandhi mengangguk. Lelaki itu langsung mengajukan cuti khusus dari pendidikan Seskoadnya di Bandung. Gandhi ditelepon umi sehabis subuh tadi saat Grahita merasakan kontraksi. Dengan bergerak cepat, laki-laki itu langsung mengurus cuti khususnya. Akhirnya Gandhi baru sampai di Jakarta pukul 09.15 WIB, atau 15 menit setelah kelahiran putrinya.

Bayi mungil itu berjenis kelamin perempuan. Bayi cantik dengan kulit putih bersih, menuruni gen sang bunda. Namun bibir, alis, rambut, dan telinganya adalah milik Gandhi. Hidungnya mancung dan matanya entah belum jelas betul warna irisnya. Apakah irisnya hitam pekat atau coklat seperti gen Grahita?

"Namanya jadi Gigi, Mas?" tanya Grahita yang duduk setengah berbaring. Gandhi yang fokus di box bayi pun mengangguk.

"Kenapa?"

Grahita menggeleng dan tersenyum. "Bagus kok."

"Panjangnya?" tanya Grahita lagi.

Gandhi tersenyum dan menatap kembali bayi di dalam box itu. "Gi Malahayati Padma Hadinata. Panggilannya Gigi."

"Malahayati, kalau nggak salah itu laksamana perempuan pertama yang dari Aceh ya, Mas?"

"That's right. Kamu selalu cerdas masalah sejarah," puji Gandhi.

"Artinya secara keseluruhan?" tanya Grahita kembali. Ia tak tahu menahu masalah nama. Memang Grahita hanya tahu jika Gandhi ingin memberi nama Gigi ketika mereka tahu jenis kelamin buah hati pertama mereka adalah perempuan. Untuk masalah nama panjang, Grahita menyerahkannya pada Gandhi yang paham dengan nama-nama yang penuh makna.

"Gi sebenarnya nama dari bahasa Korea. Ketika aku menikah sama kamu, kepikiran nanti kalau punya anak harus huruf G juga. Terus ketemu nama Gi yang unik ini. Artinya seorang yang berani. Malahayati juga seorang pejuang yang hebat, perempuan yang pantang menyerah, dan cerdas. Padma berarti bertanggung jawab dan pekerja keras. Semoga dengan nama ini, Gigi punya sifat mulia, yaitu menjadi perempuan hebat yang berani, cerdas, pantang menyerah, bertanggung jawab, dan pejuang yang tangguh tentunya. Kelak semoga Gigi menjadi pejuang untuk masa depannya serta mimpi-mimpinya. Semoga dia juga menjadi anak yang sholehah dan berbakti kepada kedua orang tuanya."

Gandhi mendongak menatap ke arah sang istri. "Kalau kamu keberatan, kamu bilang aja."

Grahita menggeleng dan tersenyum. "Itu sudah bagus banget. Semua do'a-do'aku ada di sana juga, Mas."

Gandhi mengangguk dan ikut tersenyum tipis. Lalu ia kembali memandangi bayi mungilnya itu. Rasanya sangat bahagia melihat putri cantiknya yang tidur dengan pulas. Gandhi ingin menggendong, tetapi ia belum berani.

"Umi sama mama kok nggak balik-balik, ya? Mereka kemana?" 

Pukul 11 siang tadi, kedua wanita itu izin mencari makan. Mereka yang panik tak sempat sarapan dan sebagainya. Alhasil setelah Grahita melahirkan, mereka lega dan baru mencari sarapan siang ini.

Mengenai Marcella, perempuan itu sudah ada di Indonesia sejak kehamilan Grahita yang menginjak 9 bulan. Grahita yang ditinggal pendidikan Gandhi, langsung saja ditemani oleh sang mama. Baru seminggu kemarin, umi datang ke Jakarta. Beliau tidak sabar dengan kelahiran cucu keduanya itu.

Adzan dhuhur berkumandang. Gandhi memilih duduk di samping sang istri dan membiarkan putrinya tidur. Ia cukup puas memandangi dan menyentuh bayinya itu.

"Kata mama wajahnya persis kamu. Nggak adil," kata Grahita mencebik. Gandhi tertawa pelan.

Tangan Gandhi terulur menggengam tangan Grahita yang tidak diinfus. "Aku kan ayahnya. Pantas kalau wajahnya mirip aku. Kamu kebagian hidungnya. Kalau ikut hidung aku, ukurannya nggak se-mancung itu, Ta. Yakinlah, putri kita itu cantik sekali. Aku nggak bisa bayangin nanti jika dia besar. Pasti banyak lelaki yang tertarik dengannya."

Tangan Grahita bergerak memukul tangan Gandhi pelan. "Jangan diajari aneh-aneh loh, Ndi. Aku yakin dia pasti kayak aku, selektif sekali dan tidak mudah ditaklukan."

Gandhi terkekeh pelan. "Iya, iya. Nanti Gigi kayak bundanya yang cantik ini. Asal jangan judes banget lah. Kasihan kelamaan yang ngejar nantinya." Grahita seketika cemberut. Ucapan sang suami seakan menyindir dirinya yang sulit diluluhkan oleh Gandhi dulu.

"Haduh jangan marah dong, Sayang," ujar Gandhi seraya tersenyum jahil. 

Selanjutnya, Grahita tersenyum menatap sang suami. Tangan wanita itu lalu menyentuh pipi Gandhi.

"Pasti kamu tadi ngebut," ujar Grahita menatap sang suami serius. 

Tangan Gandhi kembali memegang tangan Grahita. Digenggamnya tangan itu dengan lembut.

"Nggak sabar lihat si cantik soalnya." Gandhi tersenyum lembut untuk meredam kekhawatiran Grahita.

"Terima kasih sudah mau berjuang. Sudah mau jadi bundanya Gigi. Sudah mau jadi istri yang luar biasa," ujar Gandhi dengan mencium jari-jari Grahita.

Grahita tersenyum terharu. "Terima kasih juga sudah mau jadi ayah yang hebat." Bagi Grahita, Gandhi memang luar biasa karena sangat sabar menghadapi emosinya yang labil selama hamil. 

Selama hamil Gigi kemarin, Grahita agak rewel memang. Sebelum Gandhi menjalani pendidikan Seskoad, Grahita sering membuat Gandhi repot. Entah menuruti ngidam Grahita, sampai wanita itu yang moodyan dan yang terkena sasarannya adalah Gandhi.

Sewaktu hamil, Grahita pernah ngidam meminta naik pesawat tempur karena melihat pesawat tempur yang muncul di berita. Tetapi karena suatu hal, keinginan itu tak dapat terpenuhi. Alhasil, Gandhi harus nego mati-matian agar keinginan itu dialihkan ke lain. Akhirnya, Grahita mau meredam keinginannya itu dengan meminta Gandhi membawanya jalan-jalan keliling Jakarta seharian. Memang kehamilan pertama ini banyak warnanya.

Beruntung juga Gandhi memiliki istri Grahita. Setelah acara tujuh bulanan kemarin, Gandhi langsung berangkat ke Bandung untuk menjalani pendidikan Seskoad. Alhasil Grahita sendirian di asrama, namun ajaibnya, wanita itu tak rewel ketika ia tinggal. Grahita sudah terbiasa hidup mandiri dan secara tidak langsung, proses ngidam itu berkurang setelah usia kandungan Grahita memasuki 7 bulan.

Kemudian ketika menginjak usia kandungan 9 bulan, Marcella datang jauh-jauh dari Rusia. Perempuan itu menawarkan diri untuk menjaga sang putri setelah tahu Gandhi menjalani pendidikan lagi dan meninggalkan sang istri sendirian.

"Mama tetap stay di Indonesia, kan?" tanya Gandhi kemudian.

Grahita mengangguk. "Mama malah resign dari kantor demi aku. Katanya pengen bantu aku jaga baby Gigi di Indonesia."

Gandhi tersenyum. Ia bersyukur karena hubungan antara mama dan anak itu membaik. Mama mertuanya pun berusaha keras untuk meluluhkan hati Grahita dan perlahan berhasil. Mungkin lewat momen ini, hubungan mereka akan semakin baik lagi.

"Sudah menghubungi papa dan yang lain?"

Grahita mengangguk. "Tadi eyang mau ke sini, tapi sore kayaknya. Papa lagi di Jepang, besok baru sampai, dan yang lainnya mau ke sini lusa."

Kemudian pintu kamar inap Grahita terbuka. Umi dan Marcella masuk bersamaan dan mengucapkan salam. Mereka lalu menghampiri Grahita dan Gandhi.

"Udah shalat, Mas?" tanya umi pada Gandhi.

Gandhi menggeleng. "Kamu shalat dulu terus makan. Umi udah bawain kamu makanan." Umi menenteng sebuah kantong yang berisi makanan untuk Gandhi.

Gandhi mengangguk. Lalu ia bangkit dari duduknya. Lelaki itu segera melaksanakan shalat dhuhur di masjid atau mushala terdekat.

"Gimana? Masih lemes, Nduk?" tanya umi.

Grahita tersenyum. "Lumayan lebih ada tenaganya sekarang dibandingkan tadi, Mi."

Umi mengangguk. "Alhamdulillah kalau gitu."

Sementara itu, Marcella sudah fokus ke cucunya. Di usia 48 tahun ini, ia sudah menimang cucu yang cantik.

"Namanya siapa, Ta?" tanya Marcella kemudian. Tadi belum ada namanya karena menunggu sang ayah tiba.

"Gigi."

Umi seketika menatap menantunya itu. "Gi Malahayati Padma Hadinata untuk nama panjangnya. Nama panggilannya Gigi," jelas Grahita kemudian. Umi tersenyum lebar karena nama sang cucu yang begitu indah.

Marcella tersenyum cerah. Lalu ia mengambil baby Gigi dalam boxnya.

"Baby Gigi yang cantik, nanti panggil oma, ya?" ujar Marcella seraya menimang pelan baby Gigi.

Grahita tersenyum tipis melihat hal itu. Ia bersyukur. Disaat ia melahirkan, mama dan umi ada di sampingnya. Kedua perempuan itu kompak saling memberikan support dan kenyamanan baginya.

"Abah kapan ke sini, Mi?" tanya Grahita kemudian.

"Besok pagi bareng Ghania dan suaminya. Asma juga sudah telepon umi tadi saat tahu kamu melahirkan. Mungkin nanti malam dia minta video call sama kamu."

Kebimbangan Asma akhirnya hilang. Gadis itu akhirnya memilih mengambil S2 dengan konsentrasi di bidang Behavioral and Social Sciences di University of Groningen. Disamping itu, ia juga bekerja sebagai staf pengajar bahasa Indonesia di sana.

"Ta, kayaknya minta minum nih." Marcella memberikan baby Gigi kepada Grahita. Bayi itu mulai menggeliat dan membuka matanya sedikit. Tak lama kemudian menangis karena minta asi.

Segera Grahita memberikan asinya. Walaupun tak lancar, namun ia tetap berusaha yang terbaik untuk putrinya itu.

"Nggak apa-apa. Nanti juga keluar asinya, Nduk," ujar umi ketika melihat Grahita yang meringis karena asinya tak lancar.

"Kemarin Ghania juga gitu. Dua hari kemudian, asinya lancar banget sampai kewalahan nyimpen asinya."

Grahita tersenyum tipis dan berharap seperti itu. Sempat takut tak keluar asinya, namun ia berusaha berpikiran positif supaya berpengaruh terhadap produksi asinya.

Ponsel umi berdering. Wanita itu lalu pamit untuk mengangkatnya dan keluar dari ruangan. Kini tinggal Grahita dan Marcella.

"Mama beneran di sini terus?" tanya Grahita yang masih memberikan asi pada Gigi.

Marcella mengangguk. "Iya, mama mau di sini saja. Bantu kamu rawat Gigi."

"Pekerjaan mama?"

"Mama kan sudah resign."

"Nggak melamar pekerjaan lagi?"

Marcella tersenyum. Lalu duduk di samping Grahita. "Mama sudah berhenti kerja tampaknya. Sudah mau menikmati hidup. Selama 25 tahun ini, mama sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan yang cukup membuat mama tidak bisa menikmati waktu yang ada. Mama pengen punya waktu buat keluarga. Hazal sudah semakin besar, pergaulannya agak mengerikan di luar. Jadi, mama pengen jadi orang yang selalu ada buat dia maupun Dimitri. Namun saat ini, mama mau fokus ke kamu dulu."

"Om Sergei?"

Marcella tergelak pelan. "Dia malahan yang pengen mama resign sejak dua tahun yang lalu. Sergei nggak masalah kalau mama nggak kerja. Dia nggak mau mama dapat proyek yang lama. Kalau dapat proyek bareng dia sih nggak apa-apa. Kadang kita nggak bareng dan itu yang jadi masalah."

"Mama bahagia?" Marcella mengangguk mantap dan tersenyum lebar menatap putrinya itu.

"Hidup memang kayak gini, Ta. Harus sakit dulu, biar dapat bahagia. Intinya sedih sama senang itu imbang. Tapi mama sadar bahwa yang menciptakan bahagia itu kita. Tuhan itu sangat baik, bahkan disaat memberi ujian, sebenarnya Tuhan mau memeluk kita, tetapi terkadang kita yang sombong dan menganggap Tuhan itu nggak adil."

"Kamu bahagia nggak sama Gandhi?" tanya Marcella kemudian.

"So far, kita nikmati peran yang ada. Tapi kalau mama tanya aku bahagia, aku bahagia. Walaupun dia nggak 24 jam ada buat Tata, tapi dia ada dalam setiap napas Tata. Setelah menikah dengan dia, Tata belajar banyak. Belum pernah nemuin laki-laki kayak Gandhi. Dulu pernah berpikir bahwa satu-satunya pahlawan laki-laki itu cuma almarhum opa. Tapi sekarang Gandhi juga jadi salah satunya."

Marcella ikut tersenyum dan mengusap pelan surai Grahita. "Mama bisa melihat cinta dia ke kamu, Nak. Dia laki-laki yang benar-benar sayang sama kamu dan baby Gigi. Bahagia selalu ya, Nak."

Grahita tersenyum dan mengamini do'a sang mama. 

"Sampai sekarang mama masih menyesali kebodohan mama yang mengabaikan kamu. Masih merasa bahwa begitu naif dan bodohnya mama yang memilih menuruti ego mama. Tapi mama sadar bahwa tak ada artinya mama menyesali hal itu kembali. Kenapa? Karena menyesal nggak bakal balikin semuanya. Yang paling penting adalah memperbaiki untuk masa depan dan harapan-harapan baiknya."

*****

"Nggak apa-apa. Itu dipegang juga belakang kepalanya, hati-hati." Intruksi demi intruksi diberikan oleh Marcella dan umi yang tersenyum melihat Grahita memandikan baby Gigi. Wanita itu takut ketika diminta memandikan sang putri. Grahita takut salah dan justru menyakiti putrinya. Oleh karena itu, Grahita amat berhati-hati dalam memegang baby Gigi.

Akhirnya Grahita berhasil memandikan sang putri untuk pertama kalinya. Selama dua minggu kemarin, Gigi dimandikan bergantian oleh oma dan utinya. Grahita hanya menjadi penonton sambil berusaha mempraktikkannya dan tibalah hari ini ia mempraktikkan apa yang ia lihat kemarin.

Setelah itu, Grahita memakaikan pakaian. Untuk bagian ini, ia sudah bisa sejak awal karena baginya mudah.

"Umi besok balik ke Surakarta, ya?" tanya Grahita sambil memakaikan pakaian untuk baby Gigi.

"Iya, Nduk. Maaf ya, umi ada acara keluarga di sana. Nanti umi datang lagi ke sini, InsyaAllah." Grahita mengangguk.

"Iya nggak apa-apa, Kak. Terima kasih sudah sabar mengajari Tata banyak hal," timpal Marcella.

"Haduh Oma cantik ini.... Iya, sama-sama. Umi seneng loh bisa kumpul bareng cucu dan kalian. Apalagi cucunya cantik banget gini. Mau tak bawa ke Surakarta langsung. Mau umi pamerin ke pasar kalau umi punya cucu kayak londo."

Mereka bertiga tergelak pelan. Umi memang pembawaannya easy going. Umi sudah sangat akrab dengan Marcella. Mereka berdua juga kerap pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan rumah.

"Rumah pasti sepi nggak ada kakak. Nggak ada teman nonton sinetron," celetuk Marcella tiba-tiba.

Ucapan Marcella itu membuat umi tertawa pelan. Marcella menjadi teman umi menonton sinetron di sini. Dua nenek itu punya hobi yang sama, yaitu menonton sinetron. Marcella yang awalnya tidak tertarik, mendadak tertarik menonton sinetron dengan besannya itu. Mereka berdua bahkan tidak pernah absen menonton sinetron setiap malam.

"Haduh, umi punya jemuran kayaknya. Mau ambil dulu."

Umi langsung berjalan menuju belakang rumah. Marcella juga tiba-tiba masuk ke dalam kamar untuk mengangkat telepon sang suami. Kini tinggal Grahita dan baby Gigi.

"Baby Gigi udah cantik banget ya, Nak? Duh cantik dan wangi banget kesayangan bunda ini. Bunda jadi pengen cium kamu sampai puas."

Grahita tersenyum menatap putrinya itu. Lalu pelan-pelan ia memangkunya.

"Seperti biasa, bunda akan bercerita dengan bahasa asing, ya?"

Semenjak dalam kandungan, Grahita sering mengajak bicara babynya itu dengan berbagai bahasa. Kadang juga Grahita memutar percakapan bahasa yang tak ia kuasai. Entah, kali ini ia tetap ingin mengajarkan putrinya itu berbagai bahasa. Dan satu hal lagi, Grahita suka menonton film dan kartun dari berbagai negara.

Grahita mengajari layaknya bocah yang sudah paham. Sambil ditimang-timang, baby Gigi tampak anteng ketika diajak bercerita oleh sang mama.

"Baby Gigi kangen ayah nggak? Nanti malam kita video call, ya? Nanti minta didongengin cerita sahabat Ali dan shalawat sama ayah."

Grahita tersenyum menatap baby Gigi yang menatap dirinya dengan polos. Ah rasanya menyenangkan melihat putri cantiknya itu.

Grahita saat ini sangat menikmati perannya menjadi seorang ibu. Pernah merasa sangat takut saat dirinya hamil. Namun seiring berjalannya waktu serta dukungan sang suami dan orang terdekat, Grahita justru semakin enjoy menikmati masa-masa kehamilannya dan mengurus baby Gigi saat ini.

Bagi Grahita, menjadi orang tua itu tak mudah. Segala konsekuensi harus diterima. Apalagi menjadi seorang ibu. Ibu adalah tempat pertama anak menerima pembelajaran. Oleh karena itu, sebisa mungkin ia memberikan yang terbaik untuk putrinya.

Tanggung jawabnya sebagai ibu juga dimulai ketika ia sadar bahwa anugrah indah telah dititipkan oleh Tuhan kepada dirinya dan Gandhi. Grahita merasa bahwa mempunyai anak bukan hanya merawatnya saja, tetapi juga memberikan anak bekal yang terbaik dan memberikan anak teladan moral yang kuat.

.

Naditya : Seorang Wanita Cantik yang Lahir di Siang Hari

Gimana tambahan partnya? Cukup puas atau masih kurang? 😂

Satu lagi,

Misalnya saya buat QNA tentang cerita ini, kalian tertarik nggak? Kalau iya silahkan tanya apa saja dan bakal saya jawab. Jika nanti ada banyak pertanyaan, bakal saya jadikan part khusus, jika tidak, saya langsung reply saja atau nggak nanti dijawab di tambahan partnya aja, oke😉

So,

Masih ada extra part setelah ini. Jadi, tetap stay tune yak✨

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

72K 7.6K 59
"Yaya." Kepala Gea mendongak, berusaha menghalau air mata yang merebak di sepanjang lengkungan kelopak matanya. "Lo adalah pemicu mimpi buruk gue Ke...
1M 114K 90
Semua orang pasti sibuk mencari kebahagiaan. Ada yang bahagia di dapur bila bereksperimen dengan tepung, telur, ragi, gula, butter, dan oven. Menghi...
533K 64.6K 47
Kehidupan Aeleanne Chana Nisaka (Ayel) setelah menikah seperti dianalogikan tanda titik dan koma. __________________________________________ Kehidup...
459K 32.7K 41
[DISARANKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠] Collabrotion with @elsye91 (Romantic-Comedy) Why are we mad at each other? Is it necessary to making such a...