"Auh, shit." Ray mengelap mukanya yang terkena percikan darah menggunakan tissue.
"Gue bilang tembak aja, batu sih lo," Sahut Fero.
"Ternodai muka tampan gue," Kata Ray dengan pede.
"Cih," Suara Gabriel yang sedang menyetir.
Mereka bertiga baru saja menyelesaikan misinya hari ini. Tugasnya membunuh beberapa orang penting di salah satu perusahaan. Tentu saja itu bukan hal yang mudah, karena target-target mereka berada di posisi yang berbeda.
Ah, masalah muka Ray. Dia terlalu bersemangat saat memenggal kepala targetnya. Jadi, mukanya terkena percikan darah.
Sekarang, hari sudah mulai sore. Dengan mobil jeep berwarna hitam itu, mereka menuju markas. Di belakang mobil mereka ada beberapa anak buah yang mengikuti dengan mobil jeep juga.
Ketika mereka sudah sampai di depan gerbang markas, Ray memberikan tissue bekas darah tadi kepada anak buahnya yang sedang berjaga.
"Mulut lo kenapa?" Tanya Ray ketika melihat mulut anak buah di depannya terdapat sedikit kotoran berwarna cokelat.
"Ah, maaf bos." Orang itu langsung mengelap mulutnya.
Gabriel terus saja menjalankan mobilnya tanpa menghiraukan Ray yang sedang berbicara dengan anak buahnya.
Sampailah mereka di depan markas. Ketiganya langsung masuk, tak sabar untuk merebahkan tubuh yang sudah sangat lelah itu. Walaupun lelah, terbayarkan juga dengan uang 210 juta yang mereka terima.
"Itu, kenapa?" Ray menunjuk mulut anak buahnya yang sedang berjaga di depan pintu.
"Di depan juga gitu. Pada ga di lap kali ya," Lanjut Ray.
"Maaf bos," Jawab orang tersebut sambil membungkuk.
"Habis makan apa?" Tanya Gabriel penasaran.
"Pesta lu pada?" Lanjutnya.
"Tidak bos. Tadi ada wanita dari dalam markas yang memberi kami semua kue," Jawab orang itu.
"What?" Celetuk Ray.
"Maaf kalau kami lancang. Katanya kalau tidak dimakan nanti di pecat sama bos Gabriel," Fero menahan tawa mendengarnya.
Sudah pasti itu ulah Anna.
"Santai aja, kita masuk dulu." Gabriel menepuk pundak anak buahnya lalu berjalan masuk ke dalam markas.
Ray sempat geleng-geleng dan Fero tertawa kecil di belakang Gabriel.
"Oh hi! Udah selesai nangkep penjahatnya?" Sambut Anna ketika mereka bertiga sampai di ruang tengah.
"Lo ngasih mereka-" Suara Ray.
"Ssstttttttttt" Potong Anna sambil berjalan mendekati mereka.
"Ayo ikut aku," Anna mendorong punggung ketiganya secara bergantian menuju dapur.
Betapa terkejutnya ketiga lelaki ini ketika melihat meja makan mereka sudah dipenuhi dengan makanan.
"Tadaaaaaaa," Seru Anna sambil membentangkan tangannya di depan meja.
Gabriel melihat raut wajah Anna yang tersenyum lebar itu. Ia rasa lebih baik seperti itu daripada menunduk terus menerus seperti kemarin.
"Lo pesen segini banyak?" Tanya Fero.
"Ei ei ei." Anna menggoyangkan telunjuknya.
"Ini masakan Anna." Lanjutnya.
"Whatttttt?" Suara Ray lagi dengan gaya bicara yang khas. Saat itu Gabriel hanya bisa diam dan tertawa kecil.
"Silahkan di makan tuan-tuan..." Anna menggeser tiga kursi untuk mereka.
Fero lebih dulu duduk di kursi. Lalu di susul Gabriel, terakhir Ray.
"Dapet bahan darimana? Kita ngga pernah punya bahan." Tanya Fero.
"Beli," Jawab Anna. Ketiganya langsung menoleh kearah Anna.
"Yang beliin abang yang dari tadi nemenin Anna," Lanjutnya.
"Lo nggak keluar, kan?" Tanya Gabriel memastikan. Anna menggeleng.
"Maaf ya kalau lancang. Aku kan udah masakin buat kalian nih..." Anna menggantungkan kalimatnya.
"A-aku boleh pulang sekarang?" Lanjutnya.
"NO!" Ketiganya kompak menjawab. Termasuk Ray, yang awalnya menolak kedatangan seorang Anna.
"Om-om! Kalian beneran mau beli aku?" Tanya Anna dengan lantang.
Sungguh, sore ini Anna terlihat berbeda. Dia terlihat seperti bukan Anna. Tak ada kecanggungan lagi di rautnya. Bicaranya tak lagi terbata-bata, kepalanya juga tak lagi menunduk.
"OM?" Ulang Ray. Lalu dia tertawa kecil sambil mengalihkan pandangannya, tak percaya.
"Om lo bilang?" Ulang Ray lagi.
"Emang kita udah-" Suara Fero.
"Gue lebih muda dari pada kalian ya!" Potong Ray.
"Siapa bilang lo boleh pulang?" Tanya Gabriel kepada Anna. Nadanya terlihat sangat serius.
Anna jadi sedikit mendelik, takut.
"Gue udah bilang.
Lo milik gue," Kata Gabriel.
"T-tapi kan, aku mau j-" Suara Anna.
"Emang lo udah sepakat, boy?" Potong Ray.
"Udah gue transfer balik uangnya, tapi dia kekeh nggak mau. Jadi ya belum sepakat," Jawab Gabriel sambil menyandarkan punggungnya pada kursi.
"Emang aku barang?" Tanya Anna.
"Lo aman bareng kita," Jawab Gabriel.
"Ya kalau aku maunya pulang gimana?"
"Lo nggak bakal bisa lari dari gue."
"Bisa!"
"Coba."
Ah! Anna lupa! Halaman di sini kan sangat luas. Mana bisa dia melarikan diri dari sini? Bodoh!
"Ngga bisa kan?" Tanya Gabriel.
"Aku nggak mau tinggal di sini!"
"Siapa yang suruh lo teriak-teriak?"
"Berani lo?"
"Ngapain juga masakin buat kita kaya gini?"
Ray dan Fero memilih diam mendengarkan keduanya berdebat. Itung-itung mereka gladi kotor, kalau saja Anna dan Gabriel akan menjadi pasangan nanti.
"Ya biar di bolehin pulang...." Anna menundukkan kepalanya. Sudah pasti dia kalah berdebat.
Baiklah, sikapnya yang sok ramah ini ternyata tak berhasil meluluhkan hati mereka agar dirinya di perbolehkan untuk pulang. Dia pikir, membuat hati seorang polisi menjadi senang itu gampang. Ternyata sulit.
"Lagian kalau lo pulang, lo malah dihabisin sama suruhan mama lo yang lain," Celetuk Ray tanpa berpikir. Tentu saja Fero langsung memberikan kode untuk diam kepada anak nakal itu.
Anna mendongak.
"Uh?"
"Lo aman di sini, Anna." Fero bersuara.
"Yah, walaupun gue terpaksa nerima lo di sini karena tuan gue yang tampan ini. Tapi, kayaknya gue juga ngga ngebiarin lo balik ke rumah," Tambah Ray.
Anna semakin bingung. Tak tahu apa maksud dari mereka berdua.
"Oke. Sementara aja. Lo tinggal di sini-" Suara Gabriel.
"Ahhhh, gue nggak suka ribet gini," Potong Ray.
"Bisa nggak gue langsung to the point aja tanpa bicara belibet?" Tanya Ray kepada Gabriel.
Karna tak ada jawaban dari Gabriel, Ray langsung bangkit dari duduknya.
"Ikut gue," Ray menarik tangan Anna menuju ruang tengah.
"Iel lo biarin dia?" Tanya Fero. Gabriel tak menjawab.
Ray berjalan menuju papan besar di ruang tengah yang sengaja di tutup oleh kain lebar. Lelaki itu pun segera membukanya.
Anna mendapati banyak foto yang tertempel di papan tersebut, bahkan ada yang di silang menggunakan cat berwarna merah.
"Ini siapa?" Tanya Ray menunjukkan salah satu foto. Anna melihat dirinya di situ.
"A-aku." Sepertinya, Anna sudah kembali menjadi Anna yang payah seperti sebelumnya.
"Ini semua, target kita," Jelas Ray.
"Target untuk di bunuh." Anna tertegun mendengar kalimat itu.
"Uh?"
"Dan dia." Ray menunjuk salah satu foto lagi.
"Yang nyuruh kita."
Anna mendapati wajah mama tirinya di foto tersebut. Butuh beberapa detik untuknya mencerna semua kalimat Ray. Otaknya seakan belum siap menerimanya.
"Gue nggak bisa kalau harus nyembunyiin identitas," Kata Ray.
"Kita pembunuh bayaran dan lo target kita."
"Jadi stop bilang kalau lo pengen pulang. Rumah lo lebih bahaya dari pada markas kita."
Anna masih terdiam tanpa menjawab. Matanya tertuju pada foto yang Ray tunjuk, Vanya. Seketika tangannya mengepal dengan erat. Walaupun belum sepenuhnya percaya dengan kalimat Ray, amarahnya sudah membendung di benaknya.
"Auh, shit. Lo belom paham juga? Repot banget sih iel nyuruh orang bodoh kaya lo tinggal di sini?!"
•••••