THE NEW GIRL 2: ILLUSION [SEL...

By KaiElian

20.6K 8.2K 1.1K

Tahun keduaku di SMA Cahaya Bangsa dimulai! Kupikir setelah terbebas dari The Queens, memenangkan Casa Poca... More

Prolog
1. Di Tengah Badai
2. Jadi Kakak Kelas
3. Interogasi Dewan Pengendali
4. Kelas Sebelas Nikola Tesla
5. Darmawangsa Bersaudara
6. Si Mata-mata
7. Pengendali Kaca
8. Ekstra Eskul
9. Klub Renang
10. Kabar Aneh
11. Janji Lucien
12. Pengendali Utama
13. Calon Ketua OSIS
14. Jenuh
15. Tenggelam Di Air
16. Kecurigaan dan Tuduhan
17. Istirahat
18. Belajar Kelompok
19. Rahasia Antoinette
20. Di Luar Dugaan
21. Menuju Akhir Semester
22. Pemimpin Terpilih
23. Tersudut
24. Seseorang Dari Masa Lalu
25. Rencana
26. Orang Dalam
27. Hari Ujian
28. Di Ruang Antardimensi
29. Koridor Kebebasan
30. Festival Sekolah
32. Penugasan

31. Ilusi

648 247 42
By KaiElian


Tiba-tiba aku merasa ada yang janggal.

Suasana di sekeliling kami menjadi sangat hening. Aku menajamkan mata untuk mengecek apa yang berubah. Suara alarm maling mobil Range Rover itu telah berhenti.

Toni memekik parau.

Di dekat portal parkiran, Lucien Darmawangsa sedang mengamati kami. Tangan kirinya memegang kunci mobil. Tatapannya bertemu denganku, dan dia mulai berlari ke arah kami.

"Selamat datang kembali, Jen," katanya

Toni menarikku mundur dan maju ke depanku. "Luc. Jangan ceroboh. Pikirkan lagi—"

Lucien mengibaskan tangan. Toni menjerit lalu terperosok jatuh. Kubangan pasir isap muncul di bawah kakinya, dan sedang menyedotnya ke dalam. 

Lucien mendengus marah. "Seharusnya aku melakukan ini dari dulu, Toni!"

Toni refleks menarik kakiku dan aku ikut membantunya keluar. Pasir isap itu begitu kuat sehingga dalam beberapa detik saja Toni sudah tenggelam sampai dada. Serangan Lucien barusan terjadi dengan begitu tiba-tiba sehingga aku tidak siap. Aku berkonsentrasi untuk membalikkan kekuatan Lucien dan memindahkan pasir isap itu ke bawah kakinya.

"Jangan ikut campur, Jen!" bentak Lucien. "Ini urusan aku sama Toni!"

Aku mendeteksi aliran chi Lucien dan berusaha mengalihkannya. Pasir isap itu meluncur ke arahnya, tetapi cowok itu melompat menghindar dengan gesit.

"Lucien! Jangan paksa aku melawan kamu!"

Lucien menggeram. Dia mengangkat kedua tangannya seperti hendak menarik bulan, dan menurunkannya bersamaan. Badai pasir menghantam lapangan itu, menggulung mobil-mobil dalam satu sapuan besar dan menghempaskan aku dan Toni ke dinding pembatas parkiran. Toni mengerang kesakitan, kepalanya berdarah karena terbentur. Kami berdua tertimbun, mataku kelilipan dan bibirku kasar penuh pasir. Cowok ini lebih kuat dari para sipir Dewan Pengendali! Aku merangkak, mencoba menstabilkan diri dan berkonsentrasi lagi untuk mengakses kekuatan Lucien, tetapi cowok itu menangkap niatku dan melecutkan tangannya. Pasir di sekeliling kami mulai berpusar dan bergejolak. Aku kehilangan keseimbangan dan terjengkang, sementara Toni tenggelam lagi dalam lautan pasir. 

Kami berdua sedang diayak hidup-hidup.

Tiba-tiba dari tengah pusaran itu terbentuk tangan pasir raksasa. Tangan itu meraup tubuh Toni seolah cewek itu hanyalah seekor anak kucing, dan melemparkannya setinggi sepuluh meter ke langit. Toni menjerit histeris, tubuhnya melayang selama beberapa detik di udara sebelum gravitasi mulai bekerja, menariknya dengan cepat ke bawah seperti meteor. Toni akan langsung tewas kalau jatuh dari ketinggian itu. Kucoba menggerakan pasir ini untuk menangkapnya, tetapi Lucien menahannya – aku masih terombang-ambing di tengah pusaran, pandanganku terhalang pasir, kakiku tak bisa berpijak. Sekilas kulihat Toni nyaris mendarat, aspal lapangan parkir yang keras siap meremukkan tubuhnya. Lucien tersenyum, puas menikmati hasil karyanya, tetapi mendadak dia berteriak keras.

Tornado mini turun dari langit dan melibas tubuh Lucien. Dari sisi lapangan yang lain, aku melihat Reo berlari sambil menggerak-gerakan tangan. Tara, Carl dan Meredith menyusul di belakangnya. Tara membuat Toni melenting naik lagi ke udara, sementara Meredith berkonsentrasi menumbuhkan daun teratai raksasa untuk menangkapnya. Carl mendekatiku dan mengubah lautan pasir yang menguburku menjadi salju.

"Aku melihat badai pasir itu dari loteng," kata Carl. "Aku langsung memberitahu yang lain. Mereka semua...."

Kata-kata Carl terhenti. Langit yang diterangi sinar lampu dari area festival mendadak gelap. Empat portal dimensi terbuka di atas keempat sudut lapangan seperti matahari hitam, memuntahkan lusinan petugas dari Dewan Pengendali.

Oh, tidak.

Hal terakhir yang kuinginkan saat ini adalah campur tangan Dewan Pengendali. Kami sudah nyaris meringkus Lucien. Dia sedang bertempur melawan Reo. Kekuatan mereka tidak bisa saling melawan – angin Reo justru membuat badai pasir Lucien semakin besar. Kilat putih yang membutakan meluncur dari langit dan menyambar tanah di dekat kaki Reo sehingga cowok itu terpental.

"Pengendali Utama!" Seorang petugas berdiri di atas tumpukan mobil yang terguling sambil memegang megafon. "Serahkan diri Anda! Kalau tidak pengendali pikiran kami akan—"

Kata-kata petugas itu terhenti. Dia meremas dada kirinya, lalu ambruk.

Bu Olena muncul bersama para guru, jarinya lurus terangkat seperti pedang. "Jangan ganggu murid-murid kami lagi!"

Para petugas itu menyerang.

Pertempuran kembali meletus. Bu Olena mencopot sepatu pantofelnya dan meraung, jari-jarinya menari seperti pemain piano. Para petugas yang mencoba menyerangnya tersungkur dengan ekspresi kesakitan. Bu Nanda menumbuhkan semak berduri, pohon-pohon kaktus dan tanaman-tanaman karnivora sekaligus, mengubah lapangan parkir menjadi semacam hutan tanaman eksotis. Pak Amir berusaha menutup kembali portal-portal itu, tetapi dia dihadang oleh enam pengendali dimensi dari Dewan. Pak Leon menciptakan tiga raksasa es setinggi lima meter untuk menghalangi portal-portal itu. Pak Yu-Tsin membetulkan kembali mobil-mobil yang ringsek itu, menyalakan mesinnya memakai kekuatannya sehingga mobil-mobil itu bergerak sendiri untuk mengejar para petugas Dewan.

Suasana kacau balau.

Di tengah kekacauan ini, aku melihat Lucien menyelinap kabur dari lapangan parkir. Carl juga melihatnya, dan dia membantuku berdiri. Namun ada yang menarik tanganku.

"Aku ikut," kata Toni. "Tolong jangan sakiti dia, Jen. Aku yakin Luc masih bisa diajak bicara baik-baik."

"Kalian pergi aja!" kata Tara. Dia dan Meredith sedang menggotong Reo, kedua tangannya terluka karena sambaran petir tadi dan torehan luka bakar melepuh di betis kanannya. Kondisinya gawat. "Gue akan di sini untuk memutar waktu dan memulihkan Reo."

"Meredith, kamu bantu Jen, Carl sama Toni," kata Reo sambil mendorong Meredith. "Aku akan baik-baik aja di sini. Ada Tara yang menemani aku."

"Tapi Reo, kamu terluka. Gimana kalau kamu...."

"Jangan cemas. Aku nggak akan mati," kata Reo. Dia tersenyum. "Kita belum resmi jadian, kan? Aku nggak mau mati sebagai jomblo."

Meredith mendesah, matanya berkaca-kaca. Dia menjatuhkan diri ke pelukan Reo, dan cowok itu menyambutnya. Mereka berdua berciuman dengan mesra. Tara merona, wajahnya merah sekali sehingga terlihat mirip lampion dalam kegelapan.

Kami lalu bergegas menuju lapangan festival. 

Aku menunggu kemunculan Pak Prasetyo. Sebagai pengendali jiwa, aku berharap kepala sekolah kami itu mau mengubah Lucien sehingga aku nggak perlu mencabut kekuatannya di depan Toni. Tapi kalau terpaksa, aku sama sekali nggak akan ragu-ragu untuk bertindak.

Arena festival masih dipenuhi manusia. Letaknya memang cukup jauh dengan tempat parkir. Ditambah suara musik yang menggelegar, wajar saja jika orang-orang di sini belum menyadari kehebohan apa yang sedang terjadi.

"Itu!" Toni menunjuk ke panggung. "Lucien ada di sana!"

Lucien ada di panggung. Dia duduk di pinggir bersama beberapa anak lain dari sekolah tamu. Rupanya babak penyisihan School Idol sedang berlangsung. Seorang peserta non-pengendali sedang bernyanyi, dan para pendukungnya berkumpul di bawah panggung sambil ikut menyanyi. 

Kenapa Lucien ada di sana? "Sedang apa dia?"

"Dia perwakilan sekolah kita untuk School Idol!" Meredith memukul kepalanya sendiri dengan kesal. "Duh, kalau tahu dia penjahatnya, pasti udah gue cegah!"

"Di atas panggung itu, Luc bisa melihat seluruh area ini dengan jelas," kata Toni, matanya terpaku pada adiknya. "Dia sedang menunggu kesempatannya untuk tampil. Aku yakin banget begitu mik itu berpindah padanya, Luc akan segera menjalankan rencananya itu."

"Kalau begitu kita harus memaksanya turun dari panggung," kata Carl. "Tapi ada banyak orang. Mereka harus dievakuasi dulu."

Aku mengamati sekelilingku, mencari-cari apa yang bisa dilakukan. Peserta yang sedang tampil itu sudah selesai, lalu digantikan peserta berikutnya. Selanjutnya adalah giliran Lucien.

"Magda!" Aku melihat Magdalena Ratulangi, teman sekelasku si pengendali api, melintas dengan santai sambil menyeruput seporsi raksasa boba. Dia kaget begitu kutarik mendekat. "Lo bisa bikin kebakaran, kan?"

"Kebakaran? Apa maksud lo, Jen? Sebentar, kok lo ada di sini? Bukannya lo ditahan—"

"Lucien Darmawangsa pelakunya. Dia berniat melenyapkan semua kekuatan pengendalian di tempat ini. Nggak ada waktu menjelaskan – kita harus mengevakuasi orang-orang!" Kuguncang Magda dengan kuat sampai boba-nya tumpah. "Tolong-bikin-kebakaran-besar-sekarang!"

Magda mengangguk-angguk, sepertinya dia setuju bukan karena paham apa yang terjadi, tetapi karena takut padaku. Dia mengubah gelas boba itu menjadi gumpalan api.

"Kurang!" bentak Meredith. "Yang lebih besar! Katanya lo mau jadi pengendali level lima? Masa bikin kebakaran aja nggak bisa?"

Meredith mengusir serombongan anak yang sedang duduk di salah satu meja, menarik meja kayu berat itu dan mengangsurkannya pada Magda. Si pengendali api ragu-ragu, tetapi Meredith meneriakinya seperti pelatih olahraga yang galak. Magda menyentuh meja itu. Dalam sedetik meja itu sudah dilahap api.

"KEBAKARAN!" Carl berteriak. Dia telah mengubah sebuah dus popcorn menjadi megafon. "SEMUANYA SEGERA KELUAR SEKARANG!"

Aku dan Toni juga ikut berteriak. Dari kolong, Meredith memakai sulur tanamannya untuk menarik dua meja terdekat ke arah meja yang sedang terbakar itu, lalu meneriaki Magda untuk membesarkan apinya. Orang-orang melihat kobaran api besar itu, dan lari luntang-lantung menyelamatkan diri.

"Jen!" Toni menarikku. "Ayo! Kita ke panggung!"

"Gue sama Carl akan mengawasi Lucien dari sini supaya dia nggak kabur, sambil menjaga para pengunjung," kata Meredith. "Lo sama Toni sergap dia dari backstage."

Carl mengangguk setuju dan mendorongku supaya mengikuti Toni. Kami bergerak melawan arus orang-orang yang berbondong-bondong menuju gerbang keluar. Orang-orang yang di atas panggung masih ragu-ragu untuk turun meskipun mereka sudah melihat api itu.

Rasanya lama sekali sampai kami bisa sampai ke area backstage. Tubuhku ngilu ditabrak-tabrak, Toni juga memekik kesakitan berkali-kali, tetapi dia tetap maju. Aku mengikutinya dengan gigih. Area di backstage sudah nyaris kosong, hanya tersisa beberapa orang yang sedang mematikan arus listrik. Toni mengajakku naik ke tangga kecil menuju ke panggung. Kami menunggu di balik tirai dan mengintip. Lucian masih ada di sana, dia sedang mondar-mandir dengan panik sambil meremas rambutnya. Kali ini aku nggak boleh lengah lagi. Aku harus segera menonaktifkan kekuatannya.

"Toni, kita nggak boleh membiarkan Lucien kabur lagi!"

"Aku tahu." Toni mengangguk mantap. Dia menyibakan tirai. "Ayo, Jen!"

Kami berdua menghambur dari belakang panggung dan menimpa Lucien. Cowok itu berkelit dengan lincah dan melepaskan diri. Aku segera bangkit. Lucien menatapku, raut wajahnya kelihatan marah, kecewa sekaligus heran. Cahaya api yang berkobar di seberang terpantul di matanya yang cokelat terang seperti pasir.

"Jen...." Lucien mendesah. "Kamu membuat kesalahan besar. Aku terpaksa harus—"

Sebelum Lucien bertindak, secara insting aku mengangkat tanganku. Kutarik aliran chi cowok itu dan kubayangkan diriku sedang membersihkannya, seperti air yang mengguyur kobaran api, memadamkannya sehingga tidak bisa menimbulkan korban lagi.

Lucien terbelalak dan jatuh tersungkur. Sebelum dia bisa bergerak, ada sulur tanaman yang tumbuh dan membelit tubuhnya dengan erat. Meredith dan Carl mendekati bibir panggung. Di belakangku, Toni bergerak mendekatiku.

Tiba-tiba terdengar bunyi berkeriut keras, lalu besi-besi penyangga panggung roboh menimpa Toni. Kakiku bergerak sendiri – ada yang menggerakkannya, dan di bawah sana kulihat Billy sedang berkonsentrasi. Pak Prasetyo berdiri di dekatnya. Beliau mengambil megafon dari tangan Carl dan berseru.

"Sudah cukup, Antoinette."

Antoinette?

Bu Olena dan para guru lainnya bergabung. Tara dan Pak Leon memapah Reo. Para petugas dari Dewan menyusul mereka, tetapi Pak Prasetyo mengangguk dan orang-orang itu membeku seperti patung, tidak bisa berbuat apa-apa. Aku merasakan Pak Prasetyo melakukan sesuatu pada para petugas itu, beliau seperti mengunci jiwa mereka untuk sementara.

Toni mencoba bangkit, tetapi Billy menggerakan lebih banyak besi lagi ke sekelilingnya, mengurung gadis itu dalam semacam kerangkeng. Di dekat kakiku, Lucien berhenti berkutat membebaskan diri dari jerat sulur tanaman Meredith. Cowok itu malah tertawa.

"Terima kasih, Pak Prasetyo," katanya.

Semua orang menatap Kepala Sekolah kami, termasuk para guru. Ekspresi mereka dipenuhi kebingungan.

"Jennifer," kata Pak Prasetyo kalem. "Tolong turun dari panggung."

"Tapi pak, bagaimana dengan Lucien?"

"Bukan aku pelakunya, Jen!" sembur Lucien. "Semua ini ulah Toni!"

Aku tidak mempercayai satu pun kata-katanya. Toni menatapku, matanya melebar dengan tulus. "Jen, jangan dengarkan Lucien! Dia hanya mau menghasut kamu!"

"Jennifer," panggil Pak Prasetyo lagi. "Tolong turun dari panggung sekarang juga."

Kedua kakak beradik Darmawangsa mulai saling tuduh, sementara aku terjebak di tengah mereka. Kuputuskan untuk menuruti Kepala Sekolah dan turun. Namun saat aku mengarah menuju tangga, sulur tanaman Meredith membelit kakiku sehingga aku jatuh terjerembab dan menarikku kembali. Meredith memekik bingung. Perlu beberapa detik bagiku untuk menyadari bahwa bukan Meredith yang mengendalikan sulur tanaman itu, melainkan Lucien. Chi cowok itu sekarang dipenuhi aura pengendali tanaman. Belum habis kekagetanku, Lucien merobek lilitan sulur itu dari tubuhnya, dan membebaskan diri. Cowok itu mengentak. Kerangkeng besi yang mengurung Toni terangkat lalu meledak berkeping-keping.

Pak Prasetyo membisikkan sesuatu. Toni mengangkat tangannya dan menebas udara, seakan ada panah kasat mata yang menyerangnya. Carl dan Billy melompat ke atas panggung untuk menggapaiku, mereka menarikku turun dibantu Meredith.

Lucien berteriak, dan bekas sulur tanaman yang melilitnya berubah menjadi rantai besi besar seperti yang biasa dipakai untuk menjangkar kapal, kemudian melesat ke arah kedua lengan Pak Prasetyo dan mengikatnya. Kepala Sekolah kami jatuh berlutut, bisikannya terhenti.

"Kenapa dia...." Meredith melongo menatap Lucien. "Kok bisa kekuatannya...."

"Lucien baru saja mengendalikan tanaman, telekinesis dan logam!" pekik Billy heboh. "Dia... bisa mengendalikan beberapa jenis kekuatan sekaligus!"

Gantian Bu Olena yang menyerang. Beliau mengangkat telunjuknya ke arah Lucien, tetapi cowok itu balas menyerang. Bu Olena memuntahkan darah dan terhuyung sambil memegangi mulutnya. Lucien baru saja mengendalikan darah. Para guru yang lain kebingungan, tetapi mereka tidak segan menyerang. Lucien menjerit, dan tiba-tiba ada sesuatu yang kecil dan tajam menusuk leherku. Meredith, Carl dan Billy juga meringis. Kuraba leherku untuk mencari benda penusuk itu. Ternyata sebuah serpihan kaca. Serpihan yang sama juga melayang beberapa senti dari kulit leher teman-temanku, nyaris menghunus nadi.

"Kaca?" Carl terbelalak. "Tapi bukankah kekuatan pengendalian Toni...."

"Ini bukan dari Toni," kataku. "Tapi Lucien."

Lucien terjatuh. Dia tersengal-sengal seperti baru dihajar, dan tersungkur di lantai.

"Cukup!"

Toni menunjuk Pak Prasetyo. Aku melihat kilau kaca kecil di dekat leher beliau. Bu Olena bangkit dengan gemetar. Beliau mengelap sisa-sisa darah dari mulutnya dan mendekati kami.

"Lucien bisa mengendalikan macam-macam kekuatan," katanya lirih. "Karena dipengaruhi pengendali realitas."

Pengendali realitas? Maksud Bu Olena... Toni?

Toni mengembuskan napas. "Jangan ada yang coba-coba bertindak bodoh, atau aku terpaksa menghabisinya seperti cewek sok jago di markas Dewan itu."

"Kamu...." Aku berharap tebakanku salah. Pasir yang digenggam Anne-Marie saat dia meninggal itu... bukankah seharusnya pembunuhnya adalah Lucien? "Kamu yang membunuh Anne-Marie?"

"Wah. Ketahuan!" Toni menyibakkan rambutnya yang bergelombang, lalu meringis, seperti kesakitan. "Secara teknis Lucien yang melakukannya, tapi yah, semua itu ideku. Sebetulnya tak perlu ada korban jiwa seandainya kamu sadar sejak awal, Jen. Ternyata aku berharap terlalu tinggi sama kamu. Bahkan sampai di detik ini kamu belum paham apa yang terjadi, kan?"

"Ada yang mengendalikan ilusi," jawabku nggak mau kalah. "Dan Lucien pelakunya."

"Ada yang mengendalikan ilusi dan Lucien yang melakukannya," ulang Toni dengan nada mengejek. Nada suaranya berubah drastis, tak lagi manis dan malu-malu seperti Toni yang kami kenal. Sekarang gadis itu kedengaran dingin dan penuh dendam. "Tangkap Lucien! Lucien pelakunya! Aku difitnah!"

"Antoinette adalah pengendali realitas!" kata Bu Olena yakin. "Dia memakai Lucien sebagai bonekanya. Selama ini dia telah memanipulasi kenyataan dan mengalihkan perhatian kami pada Lucien, padahal dia yang mengendalikan semuanya dari belakang!"

"Jen...." Lucien bergumam pelan. Dia masih belum mampu berdiri. "Maaf...."

Tunggu. Pengendali realitas? Tapi bukankah Toni pengendali kaca? Aku sudah merasakan kekuatan gadis itu, dan yang kurasakan adalah kemilau kaca. Apa artinya ini?

"Ah." Toni berdecak dan menggeleng-geleng muram. "Rupanya kamu masih belum paham juga, Jen. Bu Olena, saya pikir ibu sudah mengajari Pengendali Utama kita dengan baik...."

"Pengendali realitas mampu mengubah kenyataan," kata Pak Prasetyo. Meski dirantai dan disandera pisau kaca, beliau tetap tenang. "Jenis pengendalian yang paling sulit dan mematikan."

"Astaga, masa belum paham juga, Jen?" tanya Toni sambil berpura-pura kesal. "Padahal aku udah susah payah merancang badai dan semua serangan itu."

Tunggu dulu. Apa Toni baru saja bilang bahwa dialah penyebab badai yang menjatuhkan pesawatku itu? "Badai? Kamu yang melakukannya? Bagaimana bisa?"

"Hanya modifikasi cuaca kecil. Aku kurang suka hari cerah. Tidak sulit kok melacak pesawat itu, ruang dan waktu sama sekali bukan masalah untukku. Kita bertemu sewaktu di Tokyo, Jen. Hanya saja kamu terlalu sombong untuk memedulikan orang lain yang tidak sekaya dirimu. Seharusnya kalian semua mati saat pesawat itu terjun bebas, tapi ternyata kamu dan teman-teman yang lain lumayan juga. Tapi badai itu memang sekedar pemanasan...." Toni bersiul. Tubuh Lucien kembali tegak, tetapi kepala cowok itu tertunduk dan wajahnya kuyu. "Akan kuberi demonstrasi lainnya. Lucien, tolong bakar tempat ini!"

Titik-titik api muncul di sekeliling panggung, lalu meledak menjadi api unggun raksasa yang menjilat dengan ganas menghanguskan semua yang berada di sekitarnya. Api ini sungguhan, bukan sekedar ilusi, aku bisa merasakan panasnya yang menyengat dan nyala kobarannya yang menyilaukan. Dan api ini berasal dari chi Lucien. Kami semua mundur, tetapi pisau-pisau di leher kami tetap mengikuti. Hanya Pak Prasetyo yang tidak bisa bergerak karena dirantai di tanah. Toni menonton dari atas panggung, cahaya api membuat wajahnya kelihatan merah. Dia tersenyum.

"Lucien. Tolong kembalikan seperti semula."

Secepat kedipan mata, api itu hilang. Benda-benda yang hangus terbakar kembali seperti semula, tidak lecet sedikit pun, seakan tidak pernah terjamah api. Lucien tersungkur lagi, dia kelihatan amat sangat kelelahan. Toni terkikik geli.

"Nah, Jennifer. Apa kamu sudah paham sekarang? Aku bisa mengubah apa pun. Tapi tolong jangan minta demonstrasi lagi, karena sepertinya Lucien bisa mati."

Aku mencoba merasakan kekuatan pengendalian Toni untuk diambil alih, tetapi tidak merasakan apa-apa. Gadis itu kosong, seperti wadah tanpa isi. Yang ada dalam dirinya hanyalah amarah dan dendam yang mendidih.

"Kenapa, Jen? Mau mengendalikan aku tapi nggak bisa?" tantang Toni. Dia kedengaran agak geli. "Ya ampun, ternyata kamu lebih tolol dari dugaan aku! Ketika aku bilang aku bisa mengubah apa pun, yang aku maksud semuanya, Jen. Termasuk kenyataan bahwa Pengendali Utama seperti kamu bisa mengambil alih kekuatan aku. Jangan pernah berharap itu akan terjadi!"

Ah.

Aku mencelus. Begitu rupanya.

Toni bisa mengubah-ubah realitas sesukanya, termasuk mengambil alih chi Lucien dan memodifikasinya. Aku bergidik ngeri. Selama ini kami semua telah diperdaya oleh ilusi itu. Gadis ini betul-betul bisa melakukan apa saja.

"Kenapa kamu melakukan ini, Toni?" desak Carl dengan berani. "Apa tujuan kamu menghilangkan kekuatan para pengendali?"

Toni mendengus dan menunjukku. "Bagaimana rasanya kehilangan segalanya, Jen?"

Aku harus tahu niat gadis ini. "Kamu mengincar aku, Toni?"

"Tentu!" pekik Toni kasar. "Siapa lagi yang lebih pantas dibuat menderita di dunia ini selain Jennifer Darmawan: gadis cantik, populer, kaya raya, disegani semua orang, dan dipuja-puja karena punya kekuatan pengendalian langka? Aku rasa kamu nggak pantas menerima semua itu, Jen. Semua itu membuat kamu jadi terlalu sombong, terlalu percaya diri. Harus ada yang memberi kamu pelajaran. Harus ada yang mengingatkan kamu bahwa kamu nggak di atas angin!"

"Aku nggak pernah merasa di atas angin!" balasku. "Kamu melakukan semua ini karena kamu iri sama aku, Toni? Aku nggak minta dilahirkan kaya raya atau populer! Aku juga nggak tahu kalau aku Pengendali Utama!"

"Jelas aku iri!" bentak Toni. Matanya penuh kebencian. "Bagaimana bisa ada gadis yang begitu sempurna di dunia ini seperti kamu, Jen?"

"Toni...." bisik Lucien lirih. "Cukup...."

Toni membentak Lucien dan menyuruhnya diam. "Harus ada yang memberi kamu pelajaran soal kehilangan dan penderitaan, Jen. Tidak bisa ada yang sesempurna kamu."

"Aku juga pernah kehilangan dan menderita, Toni!" sahutku. "Semester lalu, waktu Anne-Marie menyerang—"

"Kamu sebut itu penderitaan?" Toni menggeram. Lucien menggerakan tangannya yang lemas dan tiba-tiba ada rantai lain yang mengikat kedua kaki dan tanganku. "Itu tidak ada apa-apanya, Jen! Begitu juga semua yang kamu alami semester ini! Semua itu belum sampai seperlima dari penderitaan dan kehilangan yang aku rasakan!"

"Antoinette," tegur Pak Prasetyo lembut. "Tolong hentikan semua ini."

Toni menjerit marah. Pak Prasetyo, Meredith dan Carl meringis. Pisau kaca di leher mereka telah membuat sebuah torehan panjang. "Jangan sok jago! Sudah kuperingatkan, kalian semua bukan tandinganku! Aku bisa menjungkirbalikkan kenyataan hanya dengan satu kedipan mata!"

"Kalau begitu lepaskan yang lain!" teriakku. "Kamu mengincar aku, Toni. Mereka ini tidak bersalah! Kita bisa berduel!"

"Kamu yakin mau duel sama aku, Jen?" Toni tertawa mengejek. "Pemenangnya sudah jelas, kan? Lagipula, jangan terburu-buru. Aku masih mau bermain-main sama kamu. Dan para pengendali lainnya juga!"

"Kenapa kamu mengincar para pengendali yang lain, Toni?" desak Bu Olena.

Toni terdiam. Dia menatap kami, ekspresinya sulit ditebak. "Bagi kalian semua, ini hanya sekedar urusan pengendalian chi, kan? Tapi kenapa harus ada orang-orang seperti kita ini, yang punya kekuatan begitu besar, sehingga sanggup mencelakakan para non-pengendali? Bukankah kita semua sama? Ini tidak adil. Harus ada yang mengubahnya. Dan aku punya kekuatan itu. Tidak boleh lagi ada pengendali dan non-pengendali. Kekuatan pengendalian yang merusak harus dilenyapkan. Termasuk kekuatan kamu, Jen."

"Antoinette, saya mohon. Jangan lakukan itu," Pak Prasetyo memelas. "Saya paham apa yang kamu rasakan. Kamu dan Lucien telah mengalami begitu banyak hal mengerikan, tetapi itu bukan alasan untuk membalas dendam. Tidak semua pengendali itu jahat. Dan tolong jangan jadi salah satu pengendali jahat itu. Saya tidak mau memakai kekuatan saya untuk mempengaruhi kamu dan Lucien dengan paksa, karena saya yakin kalian cukup kuat untuk memaafkan...."

Aku tidak mengerti apa yang dibicarakan Pak Prasetyo. Agaknya Kepala Sekolah kami itu telah membaca jiwa Toni dan keinginan-keinginan terdalamnya. Namun Toni tidak senang. Dia menjentik, dan sebelum bisa dicegah, pisau kaca itu menyambar leher Pak Prasetyo sampai robek. Kepala Sekolah kami itu mengeluarkan suara orang tercekik. Bu Olena menghambur, mencoba menghentikan pendarahannya, tetapi tertahan oleh pisau kaca di lehernya sendiri.

"Kalian semua tidak mengerti apa pun," bisik Toni. Dia berteriak pada Lucien. Cowok itu bangkit dengan lesu, lalu menggerakan tangannya. Sebuah portal dimensi muncul di belakang mereka, gelap dan berpusar cepat.

"Tunggu!" Aku merangsek maju, pisau kaca di leherku mulai mengirisku, tetapi aku tak bisa membiarkan Toni kabur. "Kamu mau pergi ke mana?"

"Permainan baru dimulai, Pengendali Utama!" kata Toni. Sambil menggandeng tangan Lucien, dia melompat ke dalam portal itu. "Sebaiknya kamu bersiap-siap, karena permainan ini akan semakin menegangkan!"

Lalu sekonyong-konyong, portal dimensi itu lenyap.

Continue Reading

You'll Also Like

1M 97.1K 31
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
174K 41K 32
[Completed Chapter] Danta berusia 75 tahun ini, dan satu-satunya acara jalan-jalan keluar rumah yang bisa pria tua itu dapatkan hanyalah melayat pema...
848K 52.7K 22
[Completed Chapter] Anak itu muncul di jendela meski tak pernah ketahuan kapan masuknya. Tahu-tahu hidupku sudah dijajahnya. Banyu Biru bilang ingin...
KATASTROFE By AMr

Science Fiction

22.7K 3.4K 29
🏆 Pemenang The Wattys 2022 kategori Wild Card dan penghargaan "Dunia Paling Atraktif" Berlatarkan abad ke-22, Indonesia berangsur-angsur menjadi sal...