Cephalotus

Oleh rahmatgenaldi

120K 11.5K 6.6K

❝ Sekalipun tentangmu adalah luka, aku tetap tak ingin lupa. ❞ --- Atilla Solana, Sang Cephalotus. Cewek ta... Lebih Banyak

Prologue
1. Atilla
2. Derrel
3. Destiny?
4. Forgiveness
5. Let's Break The Rules (1)
6. Let's Break The Rules (2)
7. Danger?
8. A Bet
9. Broken
10. Heal
BACA!
11. How To Play
12. Problem
13. Atilla Vs Butterflies
14. Revenge
15. Epic Comeback?
16. Meaningless Kiss
17. Consequence
18. Fake Confession?
19. Jealousy
20. To Be Honest...
21. Coercion
22. Accepted
23. Fail Date
24. Closer
25. The Camp
( VISUAL )
26. Another Catastrophe
27. Resistance
28. Come Out From Hiding
29. Lovely Little Girl
30. Prestige
31. Fall Down
32. Pathetic Dad
33. Worst Prom Night Ever
34. Cheer Up
35. Darker Than Sin
36. Pretty Savage
37. Dignity
38. Cracked
39. Run Away
40. Not Bonnie & Clyde
41. Her Name Is Andrea
42. Neverland
43. A Passionate Night
44. Anxiety
45. Mr. Rabbit & Mrs. Hedgehog
46. Forced To Go Home
48. Drive Him Away
49. Welcomed
50. Miserable Days
51. Secret Admirer
52. The End
Epilogue
EXTRA CHAPTER - 1
GIVEAWAY !!!
Extra Chapter: Unexpected Hero
PRE - ORDER !!!
SURPRISE !

47. Destruction

708 94 360
Oleh rahmatgenaldi

Hai. Pas baca nanti, jangan lupa berekspresi lewat komen yaa.

Ah, iya. Absen dulu sesuai asal kota kalian. Kalau udah, silahkan siapin tisu—dan selamat membaca.

———

Kita seperti serpihan kaca yang berserakan. Jika dipaksa bersatu, hanya akan menciptakan luka yang baru.
—Atilla Solana

• • •

Atilla masih betah dengan posisi meringkuk di kasur sambil memeluk lutut kala ia terbangun. Sebelumnya ia sempat memberontak agar dibukakan pintu, namun tak ada jawaban dari luar sana.

Andrea? Dia dipulangkan ke Padang. Hanya ada Atilla di dalam rumah itu, terkunci di dalam kamar dengan beberapa pengawal berpakaian serba hitam menjaga dari luar.

"Bukain...," lirih cewek itu saat energinya sudah hampir  habis untuk menggedor pintu. Beberapa menit setelah itu, suara kunci yang diputar terdengar, seperti datang untuk membawa angin segar bagi penderitaan Atilla.

Atilla mengambil posisi, bersiap untuk menendang siapa saja yang akan menyeret paksa tubuhnya lagi.

Pintu terbuka, dan bukan para pengawal yang berdiri di sana.

Di sana ada Aletta. Ia menatap adiknya dengan datar sekarang.

Atilla merasa menemukan seseorang yang akan menolongnya, untuk itulah ia langsung menubrukkan pelukan ke kakaknya.

"Kak, gue kangen!" serunya di tengah isakan.

Aletta mendorong pelan adiknya, berusaha melerai pelukan itu. "Lo udah nyusahin semua orang tau nggak?"

Mendengar itu, ego Atilla sedikit tersentil. Ia tak terima disalahkan, maka dari itu jiwa pemberontaknya kembali muncul setelah sekian lama. "Apa, sih? Lo yang bilang ke gue kalo gue cinta sama Derrel, gue harus perjuangin. Lo juga yang bilang kalo gue harus bisa melawan semesta untuk dapetin dia, lo juga bilang Tuhan nggak buta. Setelah ini pasti ada sesuatu yang indah buat gue. Di saat gue berusaha buat dapetin hal indah yang lo maksud itu, sekarang lo mau nyalahin gue?"

"Iya, tapi cara lo salah!" Suara Aletta naik satu oktaf.
"Lo salah dengan cara kabur kayak gini! Lo tuh dari dulu nggak pernah pikir panjang kalo mau ngelakuin sesuatu, lo nggak sadar kalo perbuatan lo ini bikin orang lain ikut jadi korban."

"Gue cuma kejar apa yang bisa bikin gue bahagia. Apa itu salah? Kenapa lo ngomong seolah-olah gue yang egois di sini? Kenapa jadi gue lagi yang salah?"

Aletta mendengus, ia merutuki dirinya yang tanpa sengaja telah menyulut api amarah Atilla. Tentu saja itu salah, bukan begitu cara membujuk manusia berkepala
batu seperti adiknya ini.

"Bagus kalo lo bisa sadar diri. Bagus kalo lo bisa mikir gue nganggep lo egois. Karna nyatanya lo emang gitu, Til. Lo tau? Gara-gara perbuatan lo ini, mama dilabrak tante Meira lagi. Dia dihina-hina, Til. Kamu tega?"

Atilla terbungkam, otaknya bekerja keras untuk mencerna dan mengaitkan kalimat Aletta dengan kenyataan yang ada. Sebelumnya, ia sempat akur dan berdamai dengan Aline selama berbulan-bulan. Ada sedikit rasa perih di dadanya mendengar ibunya dipermalukan lagi oleh Meira. Ia juga akhirnya berpikir, bahwa tidak akan mudah bagi dirinya bisa berbaikan lagi dengan ibunya. Ia tahu ia kelewatan, tapi setelah nama Derrel terbesit begitu saja di kepalanya lagi, ia memilih untuk menyangkali semua kenyataan itu.

"Lo nggak bisa anggep Mama sebagai korban di sini, Kak. GUE KORBAN YANG SEBENERNYA! BUKAN CUMA GUE. TAPI DERREL, DANEEN, TANTE MEIRA, BAHKAN LO PUN JADI KORBAN KARENA PERBUATAN BUSUK MAMA!"  Sayangnya, bukan hal yang mudah bagi Atilla untuk tidak menangis sekarang. Rupanya bukan hanya parasnya saja yang berubah cantik nan lembut. Jika sebelumnya Atilla merasa bahwa hatinya kehilangan fungsi, justru organ yang satu itu terlalu banyak mengambil peran akhir-akhir ini—membuatnya lebih banyak menangis dari pada melawan.

Aletta semakin dalam menatap Atilla. Sepertinya ia sangat menyukai ide memancing amarah adiknya ini.

"Lo boleh nyalahin Mama. Lo boleh ungkit semua dosa-dosa Mama. Tapi lo nggak boleh lupa kalo dia wanita yang ngelahirin lo, Atilla!" Gadis itu ikut terbawa suasana. Suaranya bergetar di akhir, berimbas pada pelupuk matanya yang juga ikut berair.

"Lo terlalu fokus sama satu dosa Mama sampe lupa kalo sebelum ini semua terjadi, setelah gue sama
papa ninggalin kamu, cuma Mama satu-satunya yang kamu punya! Cuma dia yang ada di samping kamu! Bahkan, di saat lo cecar dia dengan kata-kata yang nggak pantas kemaren-kemaren, apa dia pernah berhenti buat berjuang untuk lo?" Gadis itu menggeleng pelan, bersamaan dengan air matanya yang semakin deras mengalir.

"Lo terlalu sibuk nyalahin Mama karena dia selingkuh, sampe lo lupa kalo dia juga korban di sini. Kita semua korban, Til. Kita korban dari semesta. Lo nggak pantes nyalahin Mama atas semua kesalahan lo cuma gara-gara dia selingkuh sama papanya pacarmu. Dia yang selalu ada buat lo, Atilla. Dia kerja, banting tulang selama aku dan Papa nggak ada, mutar otak, kerja sana-sini cuma buat lo. Biar lo masih tetap sekolah, masih bisa bertahan hidup. Dan sekarang... ini balasan lo?"

Dan benar, bukan cara seperti ini yang tepat untuk membujuk Atilla. Mengusik egonya, menyalahkan dirinya yang akan selalu merasa benar—tentu kesalahan yang fatal. Tangan cewek itu mengepal kuat, menatap Aletta tak kalah dalam dengan tatapan tajam.

"Aletta, lo jangan ngomong seakan-akan gue adalah anak yang paling nyakitin Mama. Jangan pura-pura lupa sama kesalahan lo. Sebelum ini, lo ke mana, hah? Lo pergi. Lo ninggalin gue sama Mama. Dan bodohnya, gue udah terlanjur percaya sama janji busuk lo itu."

"Lo nyalahin gue? Aletta maju selangkah. Tatapannya  berubah nyalang. "LO NYALAHIN GUE, HAH? EMANG LO TAU KENYATAAN YANG SEBENARNYA? GUE YANG MAU ADA DI POSISI LO WAKTU ITU TIL. TAPI MAMA LEBIH MILIH LO KETIMBANG GUE!" Aletta menangis meraung-raung, sampai penjaga yang ada di lantai bawah naik untuk mengawasi dari depan pintu.

Apa mereka berdua peduli? Tentu tidak. Aksi 'meluapkan seusatu yang patut diluapkan' oleh dua bersaudara itu masih akan berlanjut.

"Maaf, gue agak kebawa." Aletta menjambak rambutnya, menarik napas, lalu membuang muka. Lagi, ia merutuki dirinya yang tidak bisa menahan emosi. "Gue nggak pernah ada niatan buat mengingkari janji gue ke lo, Til. Gue nggak pernah mau ninggalin lo sama Mama. Gue mau tetep bareng kalian, tapi kali itu Mama yang disuruh milih sama Papa, bukan gue...."

Sayangnya, Atilla tetap teguh untuk mempertahankan gengsinya saat melihat Aletta menjelaskan semuanya dengan keadaan yang terlihat terlalu rapuh.

"Waktu itu mereka sepakat pisah, asalkan Mama mau milih satu di antara kita. Nggak bisa dua-duanya. Dan lo tau? Gue bodoh banget. Waktu itu gue udah pede banget bakal dipilih Mama. Gue sampe bujuk-bujuk Mama buat milih lo juga bareng gue, tapi nyatanya... dari awal Mama emang bakal milih  lo buat tetep sama dia. Dia nggak pernah berpikir buat milih gue. Dia nyerahin gue ke Papa."

Jelas Atilla terhenyak mendengar itu. Ia tak pernah tahu tentang hal itu. Sekali lagi, sebagian dirinya merasa bersalah meskipun sebagiannya lagi meminta dirinya untuk mempertahankan ego.

Melihat adiknya berubah ekspresi, Aletta menyeka air matanya. "Maaf. Gue jadi lupa alasan gue ke sini buat apa. Gue kebawa emosi. Oke. Jadi, lo mau tetap pertahanin sifat egois lo itu, atau mau ikut gue pulang buat perbaiki semuanya?"

Atilla terdiam cukup lama sampai akhirnya ia tetap kekeuh dengan pendiriannya. "Gue nggak mau pulang. Gue mau nunggu Derrel di sini. Sesuai rencana gue sama dia."

"Kayaknya lo bakal milih pulang setelah denger kabar ini. Tapi, gue nggak mau. Ini terlalu nyakitin buat lo."

Mendengar itu, Atilla hanya terkekeh meremehkan. "Gue nggak bakal kepancing sama omong kosong lo lagi, Aletta. Apapun itu... Gue. Nggak. Mau. Pulang! Gue bakal nunggu Derrel sampe dia balik lagi."

"Balik lagi? Lo mau nunggu dia balik? Lo nunggu apa, Tilla? Lo nunggu Derrel yang bentar lagi udah mau dijodohin sama cewek lain?"

Mata Atilla membulat. Ia menatap Aletta penuh ancaman. "Jaga omongan lo!"

Aletta mengangkat kedua tangannya. "Lo yang desak gue buat ngasih tau. Dan... ya. Itu kenyataannya. Derrel dipaksa tunangan sama anak temen papanya. Dan lo tau? Sepertinya, dia nggak bakal kuliah setelah lulus nanti. Ide untuk menggendong cucu sesegera mungkin lebih menarik bagi tante Meira dan om Rendy."

"Lo bohong. LO BOHONG!" Atilla berteriak sambil menunjuk-nunjuk kakaknya.

Aletta mengangkat bahunya. "Terserah lo aja mau percaya apa nggak." Lalu, gadis itu sengaja keluar dari sana sebelum melihat adiknya menangis penuh luka.

Untuk pertama kalinya, Atilla sangat ingin membungkam mulut Aletta dengan satu tamparan kuat. Namun, untuk bergerak saja ia tak bisa. Lidahnya kelu, tangannya kaku, dunianya serasa berhenti berputar.

Atilla akan pulang. Dengan satu alasan dan pertanyaan. Jika kenyataan itu memang benar adanya, untuk apa ia menunggu di sini?"

• • •

Sepanjang di bandara—bahkan ketika sudah duduk di bangku pesawat, Atilla hanya diam seribu bahasa. Ia hanya mengangguk dan menggeleng seadanya jika ditanya atau ditawari apapun oleh Aletta.

Pertama, karena ia malu telah gagal mempertahankan egonya.

Kedua, ia kembali tersakiti oleh rasa kecewa yang lahir dari kepercayaannya sendiri. Rasanya seperti tidak mungkin. Ia muak dengan semua drama yang terjadi dalam kehidupannya. Derrel... secepat itukah dia menyerah?

Hanya itu pertanyaan yang terbesit dalam sanubari Atilla. Dan ia pun tahu, bahwa tanyanya itu tak akan pernah lagi terjawabkan. Cukup sudah. Mungkin memang seharusnya ia mengakhiri drama menyulitkan yang ada dalam hidupnya.

Di setiap langkah kakinya keluar dari pesawat yang sudah landing, pikiran Atilla masih terjebak di kamar itu. Pikirannya masih menetap pada waktu di mana Aletta menyampaikan kabar itu.

Jika benar Derrel akan menikah... bagaimana dengan anak ini? Sial. Atilla benar-benar hampir kehabisan energi, separuh dari napasnya seperti akan terenggut karena pertanyaan-pertanyaan sulit yang berenang di kepalanya.

Bahkan sampai ia melangkahkan kakinya menuju pintu rumah ibunya, pikirannya masih tentang Derrel. Saat cewek itu masih berjalan ke arah pintu dengan pikiran yang tidak di sana, ia disambut oleh Aline yang berdiri tepat di depan pintu.

Aline menatap putrinya penuh luka. Bahkan rasa kecewa pun tak cukup untuk mewakili perasaannya sekarang.

"Jadi, bagaimana? Apa yang kamu dapatkan?" tanyanya dengan mata berembun.

Atilla tak menjawab, ia hanya melengos masuk menenteng tas besarnya saat Aline hampir menarik tangannya. Sayangnya, segala pergerakan sang Ibu itu ditahan oleh Aletta.

"Biarin dia sendiri dulu, Ma. Jangan hancurin semuanya dulu. Kabar yang tadi masih mempan buat bikin dia menyerah."

Di kamarnya yang setelah berbulan-bulan tak banyak yang berubah, Atilla mulai merogoh sakunya untuk mengeluarkan ponsel.

Terakhir kali ia nyalakan, mungkin sewaktu di Starbucks bandara. Derrel memang melarangnya untuk menyalakan ponsel selama di Kendari, agar dirinya tak terganggu dengan terror orang-orang yang mencari mereka.

Selepas benda pipih itu mulai menyala dan memaparkan seberkas sinar, bunyinya berdenting nyaring bersamaan dengan notifikasi masuk secara beruntun.

Sebagian besar, notifikasi itu menunjukkan beberapa pesan dari Ayah, Ibu, Aletta, bahkan Jacklin yang membujuknya pulang. Dari itu semua, hanya satu nama yang paling menarik perhatiannya.

Derrel. Rupanya cowok itu berusaha mengiriminya pesan semalaman, bahkan hingga pagi tadi.

Derrel bego:
"Tilla, aku udah nyampe. Kamu nggak apa-apa? Tunggu aku, ya."

Derrel bego:
"Aku kangen. Kamu baik-baik di sana. Jangan nangis mulu. Aku janji bakal balik"

Di bibir Atilla tercetak jelas senyuman miris yang muncul bersamaan dengan air matanya yang menetes di kasur kamar. Ia tertawa, menertawakan kenaifannya yang terlalu berani melawan ketidakadilan semesta. Bukankah sekarang ia telah kalah?

Derrel bego:
"Wkwkwk. Aku lupa kalo hp kamu kusuruh matiin selama di Kendari. Abis kangen banget, hehe. Love you."

Atilla membekap mulutnya untuk meredam isakannya. Ia tak boleh menangisi Derrel. Ia tak boleh menangisi laki-laki yang sebentar lagi akan dimiliki wanita lain. Dan yang pastinya, ia tak boleh membiarkan sejarah terulang lagi. Cukup ibunya saja yang terlibat perselingkuhan karena rasa yang belum usai. Ia tak usah.

Derrel bego:
"Tilla, Daneen nitip salam. Katanya kangen make up in kamu lagi. Ssst, dia juga udah tau soal anak kita. Awalnya, dia marah. Tapi lama-lama malah excited karena bentar lagi dia bakal jadi aunty."

Derrel bego:
"Til, tadi shubuh Arkan nelpon aku. Katanya, kemarin-kemarin dia udah berusaha hubungin kita, tapi tetep nggak bisa. Dia mau ngasih kabar kalo kita berdua udah dikeluarin dari sekolah. Tapi, kamu jangan mikirin ya? Aku nggak apa-apa. Yang sekarang harus kita pikirin adalah bagaimana cara ngasih tau ortu kita tentang kehamilan kamu."

Deg.

Atilla merasa dadanya dihantam beribu beton saat membaca kalimat terakhir Derrel. Kehamilannya? Derrel masih memikirkan itu? Atilla merasa mendapatkan harapan baru, secercah senyum mulai terbit di bibirnya, sampai ia akhirnya membaca pesan terakhir yang dikirim Derrel tadi pagi.

Derrel bego:
"Til, maafin aku...."

• • •

"Kalo kalian berdua ke sini buat nasehatin gue, mending kalian pergi. Gue butuh waktu sendiri," sembur Atilla selepas menyesap rokok yang terselip di antara jarinya.

Aline meringis melihat 'Atilla yang lama' kembali lagi. Sedangkan Aletta? Jangan tanyakan seberapa terkejunya ia. Lihatlah, tak ada yang bisa menjelaskan secara jelas seberapa hancur adiknya sekarang. Puntung rokok dan kaleng-kaleng bir berserakan di kamar.

Aletta maju selangkah, berusaha melanggar perintah Atilla dengan sedikit rasa gentar. "Gue boleh ngomong?"

Atilla diam. Ia semakin dalam menyesap rokoknya, lalu menyemburkan asapnya seakan di dalam asap itu terkandung segala keresahannya.

"Lebih tepatnya, gue mau jujur soal perkataan gue kemarin."

Mendengar itu, tubuh Atilla menegak. Ekor matanya refleks melirik ke arah kakaknya itu. Aline tahu bahwa setelah ini Atilla akan meledak, dengan alasan itulah saat ini ia maju, berdiri tepat di samping Aletta.

"Gue... itu. Soal Derrel...."

"Apa?" tanya Atilla dengan suara serak yang menyeramkan.

"Derrel... Derrel nggak dijodohin. Itu semua cuma akal-akalan gue supaya lo mau pulang. Derrel nggak ada kabar selama dia sampe di Jakarta kemarin."

Atilla mematikan bara apinya. Ia terdiam, lama. Membuat jantung Aletta berdetak lebih cepat dari biasanya. "Til, lo nggak apa-apa? Maafin gue, ya. Gue kayak gini supaya lo bisa sadar, lo cuma nyakitin diri lo sendiri. Derrel bukan buat—"

"Keluar." Suara serak Atilla kembali terdengar. Sayangnya, Aletta memang selalu menjadi angin untuk api Atilla yang tentu akan semakin menyala-nyala.

"Lo nggak bisa kayak gini terus. Lo sama Derrel nggak mungkin nyatu. Mama sama Papa nge—"

"GUE BILANG KELUAR!!!" Teriakan Atilla yang disertai tangisan yang meraung-raung menggema hingga di langit-langit kamar. Tanpa sadar ia juga sudah melemparkan asbak rokoknya ke tembok sampai pecah berkeping.

"ATILLA! Apa yang kamu mau, hah?" Kali ini giliran Aline yang akan melawan. "Kemarin-kemarin, kamu jadi pemberontak gini karena Kakak sama papamu pergi ninggalin kita. Dan di saat mereka kembali buat kamu, kamu malah kayak gini. Kamu mau kehilangan semuanya lagi, huh? Jujur, Mama tidak mengerti jalan pikiran kamu."

"Bagus. Kita memang berbeda. Lo dengan jalan lo sendiri, dan gue pun begitu. Nggak ada yang bisa ngatur." Atilla mengucapkannya tanpa harus menatap kakak dan ibunya.

"Tilla." Aline menyampirkan rambutnya ke samping, berusaha sabar sekali lagi. "Kamu dan Derrel nggak bisa nyatu. Kamu bisa melawan semesta. Tapi, seorangpun nggak pernah ada yang berhasil melawan takdir."

Mata Atilla mulai berkaca-kaca lagi. Matanya memejam kuat hingga bulir air mata itu kembali membasahi pipinya.

"Aku cuman mau bahagia dengan pilihanku sendiri. Apalagi....," Atilla mengelus perutnya penuh kasih. "Derrel dan aku udah terikat. Dia nggak boleh ninggalin aku, begitupun sebaliknya."

"Semuanya bisa diperbaiki sebelum terlambat." Aline masih menasehati, sedangkan Atilla kembali menggeleng kuat.

"Apapun itu, aku dan Derrel nggak boleh pisah."

Aletta mulai geram. Adiknya ini sangat keras kepala. Saat ia hendak maju untuk menentangnya lagi, Aline mencegahnya. Biar mama saja, ucapnya lewat tatapan.

"Kenapa, Atilla? Kenapa kamu bisa sekeras itu nggak mau lepasin dia, hm? Bagaimana kalo bentar lagi dia yang malah ninggalin kamu?"

Atilla mengangkat wajahnya yang awalnya tertunduk, lalu menatap sang Ibu penuh luka. "Nggak mungkin, Ma"

Haruskah ia mengatakannya sekarang? Baiklah, Atilla sudah siap. Ia kembali menunduk dengan bibirnya yang bergetar hebat. Setelah menarik napas dalam dan menyeka air matanya, rahasia yang Atilla simpan sebentar lagi akan ia bongkar.

"Derrel nggak boleh ninggalin aku, Ma. Lebih tepatnya,
dia nggak bisa ninggalin aku. Karena...." Cewek itu menengadah, berusaha untuk meminimalisir air mata yang jatuh.

"A-aku hamil. Aku hamil akanya Derrel."

"ASTAGA, ATILLA!" Aletta memekik kaget saat ibunya hampir saja jatuh pingsan di tempatnya. Kenyataan itu terlalu kuat menghantam kesadaran Aline. Apa yang selama ini wanita itu takutkan akhirnya terjadi—bagaikan mimpi buruk yang datang untuk jadi nyata.

Tanpa sengaja Aline mendorong Aletta yang menangkap tubuh olengnya. Dengan wajah memerah bukan main, ia maju dan menjambak rambut Atilla.

Atilla meringis, wajahnya dipaksa mendongak untuk menatap tatapan marah sang ibu.

Plak!

Tamparan itu tepat sasaran.

"DASAR PEREMPUAN GILA! APA YANG ADA DI PIKIRANMU SAMPAI RELA DIHAMILI OLEH KAKAK KANDUNGMU SENDIRI, HAH?!" Bertubi, Aline memukul kepala Atilla dengan racauan menyakitkan.

Dan pada akhirnya, memang tak pernah ada yang bisa melawan takdir, bukan?

• • •
350 comments for next chapter.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

Stay or Die Oleh Gvdgvrl

Misteri / Thriller

120K 8.2K 87
[Perhatian!] Cerita privat acak. Follow untuk bagian lengkapnya. Hal yang tidak masuk di akal sehatmu, akan terjadi disini. Percayalah. Deagra Lucia...
2.6K 258 15
Bercerita tentang pengorbanan untuk menemukan kebahagiaan. Kebahagian yang ingin diciptakan Bukan untuk diri sendiri tapi melainkan untuk orang lain...
425K 31.6K 51
Tahta. Tahta adalah Ketua Osis dengan segala kelebihan sedangkan Melssa mungkin hanya remahan rengginang jika di bandingkan dengan Tahta. ...
2.7M 239K 37
Namaku Kira. Aku Hacker. Kehidupanku berjalan dengan baik sebelumnya, tanpa komputer. Namun, karena dikhianati seseorang. Aku yang notabenenya memili...