Cephalotus

Af rahmatgenaldi

120K 11.5K 6.6K

❝ Sekalipun tentangmu adalah luka, aku tetap tak ingin lupa. ❞ --- Atilla Solana, Sang Cephalotus. Cewek ta... Mere

Prologue
1. Atilla
2. Derrel
3. Destiny?
4. Forgiveness
5. Let's Break The Rules (1)
6. Let's Break The Rules (2)
7. Danger?
8. A Bet
9. Broken
10. Heal
BACA!
11. How To Play
12. Problem
13. Atilla Vs Butterflies
14. Revenge
15. Epic Comeback?
16. Meaningless Kiss
17. Consequence
18. Fake Confession?
19. Jealousy
20. To Be Honest...
21. Coercion
22. Accepted
23. Fail Date
24. Closer
25. The Camp
( VISUAL )
26. Another Catastrophe
27. Resistance
28. Come Out From Hiding
29. Lovely Little Girl
30. Prestige
31. Fall Down
32. Pathetic Dad
33. Worst Prom Night Ever
34. Cheer Up
35. Darker Than Sin
36. Pretty Savage
37. Dignity
38. Cracked
39. Run Away
40. Not Bonnie & Clyde
41. Her Name Is Andrea
42. Neverland
43. A Passionate Night
44. Anxiety
45. Mr. Rabbit & Mrs. Hedgehog
47. Destruction
48. Drive Him Away
49. Welcomed
50. Miserable Days
51. Secret Admirer
52. The End
Epilogue
EXTRA CHAPTER - 1
GIVEAWAY !!!
Extra Chapter: Unexpected Hero
PRE - ORDER !!!
SURPRISE !

46. Forced To Go Home

692 95 327
Af rahmatgenaldi

Hai, aku kembali lagi. Seperti biasa, aku yakin kalian pasti tau cara mengapresiai karya Wattpadku ini. Selebihnya, selamat membaca

———
Kita seperti pecahan kaca yang berserakan. Jika dipaksakan bersatu, hanya akan mencipta luka yang baru
—Atilla Solana

• • •

Rupanya, Atilla telah salah perihal Andrea. Derrel berlebihan. Sepupunya itu bukan marah karena mobil yang dipinjam terlalu lama. Jauh lebih baik, dan terlalu melegakan, Andrea mendesak mereka agar segera pulang adalah tak lain karena cewek tomboy itu ingin menyajikan Sinonggi sebagai kudapan makan malam.

Sebagai orang yang sudah lama tinggal di sana, hasrat untuk memperkenalkan makanan khas Kota Kendari kepada pendatang baru seperti Atilla dan Derrel—sangatlah besar. Kudapan pengganti nasi berbahan dasar sagu ini, cara membuatnya terlalu mudah bagi cewek pemalas seperti Andrea. Cukup mencampurkan adonan sagu dengan air mendidih, mengaduknya hingga bertekstur seperti jelly—kemudian disajikan dengan kuah yang penuh cita rasa.

"Itu... yang kuning-kuning itu apaan? Ikan?" Atilla bertanya dengan raut wajah yang kurang yakin. Bentuk dari Sinonggi ini sama sekali tak terlihat menggiurkan. Warnanya seperti abu-abu pudar, seperti lem kertas. Sangat kontras dengan kuah ikannya yang berwarna kuning cerah.

"Itu yang bikin kuah ikannya jadi kuning, karena dicampurin bubuk kunyit. Cobain, deh. Namanya ikan pallumara. Kalian nggak bakal bisa sering-sering makan ini kalo di Jakarta."

Derrel menghirup aroma ikan kuah pallumara di hadapannya, kemudian tersenyum lebar kala aroma rempah-rempah bercampur ikan segar yang dimasak bersamaan memasuki indera penciumannya.

"Ini yang masak lo juga, Re? Anjir, baunya enak banget. Unik gitu."

"Bukan gue yang masak ikan pallumaranya. Bi Ira. Gue cuma bantuin seduhin adonan sagunya pake air mendidih biar jadi. Awalnya dia heran, kok makan Sinonggi malem-malem gini?" Andrea mengambil sumpit, kemudian menggulungkan adonan Sinonggi untuk dirinya sendiri. "Ya, Bi Ira ngomong gitu karena dia asli sini. Orang Kendari udah terbiasa dengan tradisi mereka. Sinonggi cocoknya disantap pas siang, atau paling nggak sore. Tapi, bagi gue... malem juga oke, kok. Rasanya sama aja."

Entah karena memang tidak berselera dengan sajian ini, atau karena kebingungan dengan penjelasan Andrea, Atilla hanya manggut-manggut sok paham.

"Terus, itu sayur apa?" Ia kemudian menunjuk mangkuk besar berisi sayur kuah bening,  agar dirinya terlihat tertarik.

"Itu sayur daun kelor. Enak juga, lho. Masaknya juga nggak susah-susah amat. Tinggal rebus daun kelor sama jagung, tumisan bawang putih, campurin micin, gula, garam, terus daun salam. Kalo udah mendidih, udah deh. Tinggal disantap mantap."

Berbeda dengan Atilla yang menatap makanan itu dengan ekspresi tak yakin, Derrel justru tak sabar dan sangat antusias untuk mencoba sajian khas Kota Kendari itu.

"Cara makannya gimana, Re?"

"Ikutin cara gue. Enak dan nggaknya tergantung cara lo mix kuahnya," papar Andrea sebelum meraih selembar piring lagi.

Ia menyendok kuah sayur bening dan kuah ikan pallumara, lalu mencampurkannya bersama gumpalan sinonggi dalam satu piring. Menambahkan perasan jeruk nipis segar, kemudian menyodorkan piringnya ke Atilla.

"Cobain, Til. Muka lo kayak mau muntah gitu. Cobain dulu, biar paham."

Atilla ragu-ragu menerima piring itu. Saat Derrel dan Andrea menatapnya seakan tengah menunggu, ia menyendok sedikit kuah dari Sinonggi tadi. Dari aromanya, lumayan meyakinkan.

Dari sesendok itu, Atilla mulai menyecapnya ragu-ragu, dan berakhir menyeruputnya hingga tandas. Matanya membulat. "Kuahnya enak, Re!"

Derrel sumringah, ia ikut mengambil piring, kemudian  meracik kuah Sinonggi persis seperti yang diajarkan Andrea sebelumnya.

"Sekarang, nih." Andrea memberikan sumpit untuk Atilla. "Sinongginya potong kecil-kecil, terus pas disendoknya harus bersamaan sama kuahnya biar pas ditelen nggak seret. Rasanya? Beuuuuhhh, top markotopp, Til. Tapi inget. Sinongginya jangan dikunyah. Langsung telen, karena kalo kena gigi bakalan lengket. Yang ada lo malah keselek."

"Lo kebanyakan ngomong, Re. Ini gue udah mau abis setengah," ucap Derrel sambil menyantap Sinongginya dengan kalap.

"Anjir, ikannya jangan diabisin. Yakali gue makannya sinonggi doang nggak pake lauk?!" Andrea memekik panik.

(Ilustrasi: Sinonggi, Ikan pallumara, dan sayur bening daun kelor)

• • •

"Omong-omong nih ya, cowok lo ke mana, Re? Kok nggak ikut makan?" Derrel bertanya setelah menyeka bulir keringat di dahi. Menyantap Sinonggi hangat di malam hari seperti ini ternyata terlalu nikmat sampai membuat dahinya sedikit berkeringat.

"Nggak tau tuh." Rupanya Derrel salah telah menanyakan hal itu. "Kesel gue. Dia marah-marah cuma gara-gara gue abisin pulsa dia buat nelpon temen gue. Katanya dia jadi nggak bisa nelpon temennya yang di Jakarta. Ribet amat sih jadi cowok, tinggal isi pulsa aja lagi, kali. Pake ngomel-ngomel segala, yaudah deh. Karna gue juga udah emos banget, gue suruh pulang."

"Dia emang gitu. Paling juga nanti nongol lagi," Atilla menimpali.

Derrel tersenyum miring sembari terkekeh kecil. "Pengalaman ya, Mbak?"

"Diem, deh. Ini di meja makan." Atilla menjawab tanpa menatap Derrel.

"Selama masih punya mulut, aku berhak ngomong kayak gitu kalo pacarku tanpa rasa berdosa malah bahas cowok lain."

"Lah, aku kan bahas Dion karena kamu juga yang nanya-nanya ke Andrea. Sekarang malah nyalahin orang. Re, sepupu lo nih. Aneh banget. Gitu aja cemburu. Alay."

"Nih kuah ikan kayaknya menarik nih kalo dicipratin ke orang."

"Ngancem?" tantang Atilla.

"Makanya. Diem. Fokus aja ke makanannya. Kamu udah punya ini." Derrel menunjuk wajahnya sendiri. "Ngapain masih inget-inget yang lain?"

Diam-diam, Andrea merasa bersalah. Sebagian dari drinya pun  marah kepada takdir yang mempertemukan dirinya dengan mantan dari pacarnya— di waktu dan keadaan yang tidak tepat.

Jika pelangi selalu datang setelah badai mereda, mungkin kali ini akan berbeda. Mereka masih nyaman menikmati makan malam spesial itu dengan sedikit perdebatan kecil, sampai akhirnya Bi Ira datang untuk mengacaukan semuanya.

"Andrea, itu di depan ada ibu-ibu sama bapa-bapa. Dorang cari Atilla sama Derrel. Bagemana mi?"

(Translate: "Andrea, itu di depan ada ibu-ibu dan bapak-bapak. Mereka nyariin Atilla sama Derrel. Gimana dong?")

"Hah? Siapa Bi? Suruh mi masuk coba," jawab Andrea.

(Translate: "Hah? Siapa Bi? Suruh masuk aja.")

Di saat yang sama, firasat Atilla seperti menyuarakan tanda bahaya. Jantungnya berpacu cepat, kemudian hampir terasa berhenti berdenyut saat tamu yang dimaksud Bi Ira masuk ke dalam rumah. Berdiri tak jauh dari dirinya.

"Bagus sekali." Meira berdiri paling depan. Menatap tajam ke arah Andrea dan Atilla secara bergantian.

"O-om, Tante? Om kapan tiba?" Andrea terbata, lidahnya seperti kaku.

"Tidak usah basa-basi, anak kurang ajar!" bentak Meira, membungkam mulut Andrea.

"Mama sama Papa mau apa ke sini?" Derrel menoleh, menatap kedua orang tuanya dengan datar. Saking muaknya, ia kehilangan rasa penasarannya tentang mengapa orang tua angkat Bulan ada di sini bersama mama papanya.

"Kalau begitu, kita berdua pamit dulu." Danar merangkul istrinya untuk keluar dari sana, tanpa sempat menangkap sorot mata kekecewaan Atilla yang diarahkan untuknya. Mereka sengaja membiarkan Bulan tetap berada di dalam mobil karena selanjutnya mereka akan membohonginya, bahwa Atilla dan Derrel sudah tak lagi di Kendari.

"Aku nggak mau, dan nggak akan pulang." Derrel bertekad.

"Mama tau itu. Setelah otakmu dicuci sama pacar jalangmu itu, dan sepupumu yang terbuang dari keluarga, Mama sudah tau bahwa untuk menyeretmu kembali ke Jakarta akan memakan banyak tenaga."

"Mama, jaga ucapan." Rendy berbisik. "Mama udah janji nggak bakalan kasar. Kalo kayak gini, Derrel malah nggak mau pulang."

Pria itu kembali menatap putranya. "Derrel, kamu masih ingat ucapan Papa tentang mencintai wanita dan segala konsekuensinya? Apa yang kamu hadapi ini belum seberapa. Papa hanya nggak mau kamu dan pacarmu itu menyesal. Restu orang tua itu keramat. Nggak bisa dilanggar."

Derrel berdecih. "Setelah apa yang Anda perbuat ke aku, Daneen, dan mamaku, masih pantaskah Anda saya panggil dengan sebutan 'Papa' ?"

Atilla menegang di tempatnya. Terlebih Andrea, ia yakin bahwa ini akan berakhir dengan sangat buruk.

Rendy yang mendengar kalimat sarkas itu langsung memijat pelipisnya, memejamkan mata demi meredam emosi. "Derrel, kamu tentu tau seberapa penyabarnya papamu ini. Kamu juga pasti sangat paham seberapa fatalnya jika orang penyabar dipancing untuk murka."

"Derrel memangnya salah apa, Pa?"  Mata cowok itu mulai berembun. Tangannya mengepal kuat, sampai kuku-kukunya putih memucat.

"Kamu salah karena udah nentang orang tua! Kamu masih perlu nanyain itu, hah? Laki-laki bukan? Kenapa nggak nyadar sama kesalahan sendiri?" Rendy sudah ketularan istrinya untuk membentak.

Mengejutkan, Derrel tertawa keras dengan nada angkuh. Selanjutnya, ia melangkah maju, berdiri tepat di hadapan ayahnya sambil menatap pria itu dengan sengit.

"Siapa yang nggak nyadar dengan kesalahan sendiri, huh? Sengaja minta saya deketin Atilla, nyuruh Tante Aline daftarin Atilla ke sekolah yang sama dengan saya. Itu semua untuk apa, hah? Bukannya itu untuk membuat kalian berdua dekat kembali?"

Semua orang yang ada di sana tertegun melihat Derrel berapi-api. Buktinya, murkanya orang sabar yang sebelumnya dikatakan Rendy lebih tepat untuk mendeskripsikan tindakan Derrel sekarang ini.

"Dan setelah sadar bahwa dekatnya saya dengan Atilla justru akan membahayakan hubungan gelap kalian, kalian mencari cara untuk memisahkan kami berdua. Licik sekali. Kalian sengaja membuat mamaku mencium kebusukan kalian, supaya dia mencari cara untuk menjauhkanku dengan Atilla. Persetan dengan perjanjian tentang keluarga kita yang tak boleh berhubungan lagi, itu semua akal-akalan kalian berdua agar bisa menjalin hubungan tanpa ketahuan lagi."

"Cukup, Derrel." Meira sudah muak. Pengakuan Derrel secara tidak langsung sudah mencabik harga diri keluarganya. "Kamu pulang sekarang. Sekarang mama khawatir kamu akan ikut-ikutan rusak seperti si Andrea itu. Kamu tau kan dia diasingkan di sini karena apa? Dasar perempuan kotor. Dia hamil tanpa seorang pria yang akan bertanggungjawab. Sayangnya, meskipun dia mengasingkan diri di kota ini untuk menggugurkan kandungan, tetap saja dia perempuan yang paling memalukan di keluarga besar kita. Kasihan sekali."

Pemaparan itu adalah bentuk balasan keji yang diarahkan untuk Andrea. Menurut Meira, putranya tidak akan mungkin kabur ke kota itu jika Andrea tak memberi dukungan.

"Maaf Tante kalau saya lancang." Atilla ikut berdiri, kali ini dengan tubuh tegap dan tatapan tajam meyakinkan. "Tante boleh menghina saya sama seperti tante menghina orang tuaku. Tante boleh mencaci saya seperti kemarin-kemarin. Katakanlah saya jalang, perempuan tidak beres, perempuan hina, terserah Tante. Tapi saya mohon, jangan salahkan Andrea. Jangan sudutkan Andrea. Dia cuma menolong. Kalau Tante perlu seseorang untuk disalahkan, mungkin saya yang lebih pantas. Ini semua tidak akan terjadi jika saya waktu itu menolak ajakan Derrel untuk kabur bersama."

"Bagus kalo kamu sadar diri." Meira lagi-lagi tersenyum pongah. "Tapi, maaf. Kesenanganmu bersama anakku harus berakhir sampai di sini. Ah, iya. Derrel sebentar lagi  akan pulang ke Jakarta. Dan kata mamamu yang pelacur itu, kamu akan dijemput paksa besok pagi. Tau artinya apa? Kamu masih ada waktu satu malam ini untuk menjual badanmu yang menjijikkan itu."

"CUKUP!" Derrel melangkah cepat ke arah Meira dengan jari telunjuk yang mengacung ke arah wanita itu. "Jangan pernah ngomong kayak gitu ke Atilla. Jangan. Pernah. Sakitin. Dia. Lagi." Urat wajah cowok itu tercetak jelas di pelipisnya kala berucap di hadapan sang Ibu dengan penuh penekanan.

"Mama jamin Atillamu itu akan hidup damai kalo kamu ikut pulang sekarang. Jadi, bagaimana? Masih mau berkeras?"

Derrel tertegun. Ia ditempatkan pada dua pilihan yang sulit. Di lain sisi, ia tak mungkin meninggalkan Atilla. Sedangkan di sisi lain, mempertahankan gadis itu hanya akan membuatnya menderita. Sekilas, Derrel memberanikan diri menatap Atilla—seakan meminta ijin.

Atilla menggeleng kuat, tak mau Derrel pergi. Di saat itu juga, pertahanannya runtuh. Pelupuk matanya yang semula berembun mulai meluruhkan kristal bening.

Derrel memejamkan mata, sembari menggumamkan sejuta maaf di dalam hati—untuk Cephalotus-nya.

"Oke. Kalo dengan begini Mama akan berhenti ngusik Atilla dan keluarganya, aku ikut pulang."

"NGGAK, DERREL!" Atila berteriak dengan suara parau. "Kamu udah janji nggak bakal pergi! Ini apa, hah?"

Meira hendak membalas cewek itu dengan bentakan, tapi terinterupsi dengan Derrel yang lebih dulu melangkah cepat menghampiri Atilla.

Sial, air mata Derrel ikut luruh saat kedua tangannya meraup sisi wajah gadisnya itu. "Hei, kok cengeng? Siapa yang kemarin ngatain aku anak kecil cengeng, hm?"

"Kamu udah janji, Rel. Kamu. Udah. Janji," isak Atilla dengan menekankan kata demi kata.

"Aku nggak bener-bener pergi," bisik cowok itu. "Aku bakal balik lagi sama kamu, tapi nggak sekarang. Aku janji. Aku janji sama kamu. Aku janji sama anak kita."

Mendengar itu, tangis Atilla semakin menjadi. Dadanya sesak, membuat napasnya memburu tak terkendali. "Kamu yang janji kalo kita nggak boleh pisah. Ini apa, Rel?"

"Aku bakal balik lagi, Til. Percaya sama aku. Janji kita masih sama. Nggak boleh ada hati yang patah. Sebagian dari aku ada dalam tubuh aku. Anak kita, aku nggak mungkin ninggalin kalian berdua." Derrel berbisik lagi, karena memang sebaiknya hanya mereka berdua yang pantas mendengar kalimat itu.

"Sudah cukup!" Meira memalingkan wajahnya, ia tak bisa lebih geram lagi saat melihat Derrel mengecup dahi Atilla yang masih meracau dalam dekapannya.

Seperti ingin membuktikan bahwa sekarang ini ia memang sudah kehilangan fungsi hatinya, Meira menepukkan tangannya tiga kali, sama seperti yang biasa keluarga Damar lakukan.

Tanpa menunggu lama, sekelompok pria bertubuh kekar dengan busana serba hitam memasuki rumah Andrea. Mungkin mereka memang sudah dilatih untuk urusan semacam ini. Sebab tanpa dihalangi hambatan apapun, dengan mudahnya mereka menarik Derrel menjauh dari sana.

Tak lupa salah satu dari mereka menyeret paksa Atilla agar mau dikunci ke dalam kamar yang beberapa hari ini ia tinggali bersama Derrel. Ia terkunci di sana, dan Andrea hanya bisa pasrah. Sebentar lagi orang tuanya pasti akan mendengar kabar tentang masalah ini.

Ironisnya, Andrea tak tahu lagi siapa pemilik rumah ini. Ia dipaksa menyerahkan kunci rumahnya ke salah satu penjaga, sampai penjemput Atilla datang besok pagi.

Mereka dipaksa pulang, dengan definisi yang sebenarnya.

Pulang ke rumah. Pulang dengan rasa dendam yang memaksa mereka menerima kekalahan.

Di dalam kamar yang menjadi saksi bisu sejauh mana ia berjuang bersama Derrel, Atilla memeluk lututnya sembari menangisi semuanya.

Bahkan kata hancur tidak akan cukup untuk mewakili perasaan gadis malang itu. Dipeluknya erat selimut yang pernah menghangati tubuhnya bersama Derrel. Ia menatap sekeliling dengan mata yang masih berair.

Setelah kepergian Derrel, selain kamar ini, entah kenapa jiwanya terasa kosong belompong.

Atilla masih hanyut bersama air mata perihnya sampai ia menyadari sesuatu. Sepatutnya, ia menyesali pengandaiannya beberapa waktu lalu. Semestinya ia tak pernah menganggap ia dan Derrel adalah Wendy dan Peterpan yang menjelajah di Neverland.

Sebab bukankah pada akhirnya,  Wendy haus pulang ke rumahnya untuk melanjutkan hidup tanpa Peterpan?

Gadis malang itu semakin erat memeluk lututnya, berusaha menganggap Derrel masih ada di sampingnya.

"Tuhan, inikah keadilanmu?" isaknya tanpa suara.

• • •

(Ilustrasi: Atilla sebelum bertransformasi)

(Ilustrasi: Atilla setelah bertransformasi)

Anyway, butuh 300 komentar untuk aku melanjutkan cerita ini. Bisakah kalian?😌

Fortsæt med at læse

You'll Also Like

695K 111K 54
VANESSA ABHIGEAL LUCY Adalah gadis cantik dengan tinggi di bawah rata-rata, meski terlahir dari keluarga berpunya tak lantas membuatnya menjadi priba...
Tahta Af Dasya Lily

Teenage Fiktion

425K 31.6K 51
Tahta. Tahta adalah Ketua Osis dengan segala kelebihan sedangkan Melssa mungkin hanya remahan rengginang jika di bandingkan dengan Tahta. ...
Stay or Die Af Gvdgvrl

Krimi / Thriller

120K 8.2K 87
[Perhatian!] Cerita privat acak. Follow untuk bagian lengkapnya. Hal yang tidak masuk di akal sehatmu, akan terjadi disini. Percayalah. Deagra Lucia...
Haleara Af Dasya Lily

Teenage Fiktion

14.1M 321K 29
PART LENGKAP. "Gentala, gue sayang sama lo. Gue nggak tau sejak kapan perasaan ini muncul, tapi gue serius dengan ucapan gue. Harapan gue cuma satu...