Mail nggak bohong sewaktu dia bilang mendadak ada urusan. Missed call dari Oscar dan Ilyas—tim legal Nowness—menjadi notifikasi teratas begitu dia menyalakan layar ponsel sembari menunggu bubur ayam pesanannya pagi tadi. Belum lagi rentetan pesan masuk yang mengantre untuk dibaca sejak terakhir kali dia online semalam.
Pesan pertama dari kontraktornya di Bali, mengirim weekly report. Dia abaikan dulu karena membacanya butuh konsentrasi penuh.
Dia gulirkan layar hingga menemukan nama Ilyas.
'Boss, call me back ASAP. Bad news.' Begitu bunyi pesan singkat dari karyawannya itu.
Mail mengangkat kepala dari layar handphone. Melihat antrean buburnya masih panjang, lelaki itu menekan opsi call. "Gimana, gimana?" tanyanya begitu Ilyas mengangkat panggilannya.
"Mbak Zora." Terdengar helaan napas panjang di seberang. Ada jeda beberapa detik sebelum Ilyas melanjutkan, ""Mbak Zora." Terdengar helaan napas panjang di seberang. Ada jeda beberapa detik sebelum Ilyas melanjutkan, "Akhirnya beneran ngegugat Ohim. Ruko kita masuk harta gono gini, kan. Tadinya gue tenang-tenang aja, paling banter kalo unit yang kita sewa masuk bagian Ohim, ganti landlord doang. Ternyata ada masalah utang-utangan juga. Gue belum dapet kepastian sih, mana-mana aja yang dijaminin ke bank. Baru banget dia ngabarin tadi pagi."
What the—
Mail nggak sanggup berkata-kata. Bingung harus berbelasungkawa ke Zora atau ke dirinya sendiri.
Zora ini adalah tuan tanahnya, pemilik ruko Cikini, Cipete, dan Menteng yang disewa Nowness. Sialnya, ketiga outlet tersebut adalah pilar usahanya. Cikini adalah tempat Nowness pertama kali berdiri. Ibaratnya, kalau nama Nowness disebut, ya orang-orang akan langsung teringat outlet Cikini. Sementara itu, dua outlet lainnya berkontribusi paling besar terhadap keseimbangan neraca.
"Tadi dia cerita sambil nangis-nangis, jadi gue nggak bisa banyak ngulik. Gue usahain Senin udah jelas semua."
Tiga outlet tutup sekaligus, mati lah. Mail menekan pelipisnya, mendadak merasa sakit kepala.
Antrian bubur mulai menipis, lunch box yang tadi dia bawa kini sudah berada di tangan Pak Abdul.
Mail berusaha tetap waras. "Igor udah lo kabarin?"
"Lagi honeymoon kan dia. Baru juga berangkat kemarin sore."
Right. Sekarang ini weekend, dan dia tidak bisa berbuat banyak. "Ya udah, Senin aja kita bahas lagi."
Buburnya beres dibuat. Pak Abdul menyerahkan tas berisi dua lunch box miliknya.
One step at a time. Mail mengingatkan diri sendiri. Sekarang yang bisa dia lakukan adalah sarapan dulu, kemudian pamit ke Trinda.
~
Mail menepikan kendaraannya, khawatir bakal nabrak kalau ngeyel jalan terus.
Kesepuluh jarinya kebas. Kepala pening. Pandangannya mengabur. Belum lagi nyeri pada rahang akibat pukulan Gusti tadi.
What a worst day ever.
Sejenak dia pijit jembatan hidungnya sambil berpikir.
Kontrak sewa ketiga tempat tersebut belum lama diperbarui. Kalau biasanya dia meneken kontrak per dua tahun, maka ketiga tempat istimewa ini mendapat pengecualian karena keserakahannya. Kalau dihitung kasar sisa kontak tiga sampai empat tahun, maka nilainya masih di atas sepuluh miliar. Mail bisa gila.
Dengan tangan gemetar, dia cari nama Oscar di daftar pesan masuk, lalu dia kirimkan lokasinya saat ini pada personal assistant-nya itu sebelum kemudian meneleponnya.
Tidak butuh waktu lama bagi Oscar untuk menjawab.
"Oz, jemput gue." Mail memutus basa-basi centil Oscar dengan perintah singkat padat.
Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba minta dijemput, tentu saja Oscar khawatir. Padahal bosnya ini tipikal yang nggak suka ngeribetin urusan transportasi. Kalau lagi nggak bawa kendaraan sendiri, pesan ojol kan tinggal buka HP.
"Woi, kenapa lo? Nggak lagi kecelakaan, kan? Oke, gue samper sekarang. Perlu bawa kendaraan sendiri apa enggak, nih?"
"Ojol aja biar cepet."
"Oke, oke, udah jalan, nih. Beneran udah di atas motor, nih. Lo nggak apa-apa kan, Bos? Tolong jangan kenapa-kenapa dulu. Di dekat lo ada rumah makan padang, jalan dulu aja ke situ. Pesan teh anget, pakai gula. Jangan mikir yang aneh-aneh. Your savior is coming."
Mail memutus sambungan karena nggak sanggup mendengar ocehan Oscar lebih banyak lagi. Tapi dia mempertimbangkan saran PA-nya itu untuk menghampiri restoran padang yang memang berada dalam jarak beberapa ratus langkah kaki dari tempatnya parkir.
~
"Acara penting lo makan siang sendirian??"
Di antara jutaan penduduk Jakarta, Mail nggak mengerti mengapa dia harus bertemu dengan teman-temannya di tempat dan momen seperti ini. Atau di antara ratusan—bahkan mungkin lebih—rumah makan padang yang ada, mengapa teman-temannya harus mendatangi tempat yang sama.
Mungkin memang sisa keberuntungannya sudah habis terpakai.
Dengan enggan, Mail menoleh ke Ehsan, menghela napas panjang.
Ridho langsung menduduki satu-satunya kursi di hadapannya, sementara yang lainnya celingukan menimbang-nimbang meja mana yang bisa disatukan dengan meja Mail.
Ehsan masih menunggu jawaban, tapi pergerakan Gusti mengeluarkan sesuatu dari dompetnya, menyisipkannya ke tangan Ahmad dan berbisik-bisik segera mengalihkan fokus temannya itu.
"Kita udah capek-capek nunggu di rumah lo, nggak jadi ngapa-ngapain, diusir, terus sekarang mau ditinggal juga? Beradab banget Bapak Agus ini." Ehsan teriak-teriak sambil meminting leher Gusti.
Gusti menghempaskan lengan Ehsan dengan emosi. "Tanya aja sama temen lo itu, dosa apa yang dia bikin ke gue."
Semua diam. Kompak menoleh ke arah Mail.
Dan kemudian Gusti pergi begitu saja.
Yang lain membatu di tempat, nggak tahu harus menyusul Gusti atau menginterogasi Mail lebih dulu.
"Woi, ada apaan, deh? Lo bikin dosa apa lagi sampai Pak Haji ngambek kayak gitu?" Ehsan melotot, mendadak merasa tidak enak hati pada Gusti karena nggak tahu apa-apa. Yang lain juga jadi kelihatan salah tingkah.
Bagusnya, Oscar segera tiba dan Mail nggak merasa perlu untuk menjelaskan.
"Lah, kirain yeiy sendirian," gerutu Oscar dengan cemberut yang dibuat-buat, berjalan menghampiri dari pintu masuk.
"Iya, gue sendirian." Mail bangkit berdiri, melemparkan kunci mobilnya ke Oscar. "Setirin gue balik sekarang."
Satu desahan pendek terdengar. Tapi melihat muka-muka kaku di sekitarnya, Oscar cukup tahu untuk nggak banyak nanya.
"Gue ikut, gue ikut. Gue juga nggak ada kendaraan, butuh tumpangan." Ehsan merepet, tapi Mail nggak ambil pusing. Dia biarkan temannya itu ikut masuk dan duduk di jok belakang mobilnya. Dia bahkan tidak bertanya temannya itu hendak diantar ke mana, dan pilih memejamkan mata.
~
"Apa?" Tidak berselang lama setelah Mail tiba di unit apartemennya, teman-temannya menyusul.
Keempat pria dewasa itu—Ahmad, Bimo, Ridho, dan Zane—saling pandang dan sikut-sikutan, nggak punya jawaban yang masuk akal atas pertanyaan Mail.
Kemudian Ahmad mengajukan diri menyelamatkan yang lainnya. "Hmm ... Ehsan bilang, kemarin lo suguhin dia Macallan 18. Kita juga mau kali."
Sisanya manggut-manggut mengiyakan.
Mail mendesah. Melirik Ehsan—yang duduk di sofa tamu—dengan tajam sebelum kemudian menguakkan daun pintu lebar-lebar, mempersilakan mereka semua masuk sementara dia sendiri segera kembali ke balik laptopnya yang terbuka di meja bar.
"Kalau mau minum, ambil sendiri. Gue lagi banyak kerjaan." Mail bersuara lagi sebelum fokusnya hanyut sepenuhnya ke kontrak sewa ruko yang entah bagaimana masa depannya.
Yang kemudian dilakukan teman-temannya? Nggak jelas.
Mereka mengeluarkan dua botol Macallan dari cellar, lalu sibuk berkasak-kusuk sendiri. Boro-boro mau menyidang Mail. Melihat muka serius Mail sekarang, yang ada mereka malah merasa terintimidasi.
"Ehem." Mail mendengar Zane batuk-batuk untuk mencairkan ketegangan, kemudian berbicara ke Ehsan. "Cuy, transfer taruhan kita sekarang."
"Apaan?" Ehsan berlagak bego.
Zane melotot.
Ehsan memelas. "Tanggal tua, nih. Ntar aja ya, awal bulan."
"Kemarin kagak ada perjanjian nunggu awal bulan."
"Taruhan apaan, sih?" Bimo yang merasa ketinggalan berita, nanya.
"Nebak cewek yang diumpetin Mail beneran Trinda apa bukan." Ridho menggantikan Ehsan menjawab, yang segera diikuti pelototan oleh yang lain, sementara Mail pura-pura budek.
Dengan berat hati, Ehsan mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi banking.
"Nolnya kurang satu." Bahkan setelah ditransfer, Zane nggak memberi ampun.
"Ck."
"Berapaan sih taruhannya?"
"Sepuluh." Ehsan mau menangis. "Nggak usah pasang tampang sombong gitu, sepuluh jeti tuh berharga buat gue."
"Yaelah." Bimo geleng-geleng kepala, prihatin. "Lain kali nggak usah sok-sokan ngajakin sultan taruhan makanya."