Cephalotus

By rahmatgenaldi

120K 11.5K 6.6K

❝ Sekalipun tentangmu adalah luka, aku tetap tak ingin lupa. ❞ --- Atilla Solana, Sang Cephalotus. Cewek ta... More

Prologue
1. Atilla
2. Derrel
3. Destiny?
4. Forgiveness
5. Let's Break The Rules (1)
6. Let's Break The Rules (2)
7. Danger?
8. A Bet
9. Broken
10. Heal
BACA!
11. How To Play
12. Problem
13. Atilla Vs Butterflies
14. Revenge
15. Epic Comeback?
16. Meaningless Kiss
17. Consequence
18. Fake Confession?
19. Jealousy
20. To Be Honest...
21. Coercion
22. Accepted
23. Fail Date
24. Closer
25. The Camp
( VISUAL )
26. Another Catastrophe
27. Resistance
28. Come Out From Hiding
29. Lovely Little Girl
30. Prestige
31. Fall Down
32. Pathetic Dad
33. Worst Prom Night Ever
34. Cheer Up
35. Darker Than Sin
36. Pretty Savage
37. Dignity
38. Cracked
39. Run Away
40. Not Bonnie & Clyde
41. Her Name Is Andrea
42. Neverland
44. Anxiety
45. Mr. Rabbit & Mrs. Hedgehog
46. Forced To Go Home
47. Destruction
48. Drive Him Away
49. Welcomed
50. Miserable Days
51. Secret Admirer
52. The End
Epilogue
EXTRA CHAPTER - 1
GIVEAWAY !!!
Extra Chapter: Unexpected Hero
PRE - ORDER !!!
SURPRISE !

43. A Passionate Night

970 103 208
By rahmatgenaldi

Assalamualaikum pembacaku yang sabar dan setia! Gimana weekend nya?

Kalo aku sih rebahan aja 24/7.

Oh iya. Aku mau ngingetin. Maaf ya kalo misalkan di part ini banyak typo. Soalnya aku ngetiknya di laptop, kurang nyaman dan leluasa.

Kalian jangan lupa ngasih vote+komen sebanyak-banyaknya sebagai bentuk apresiasi, ya.

Selamat membaca, dan jangan lupa spam komen:)

———

Sering kali aku ingin bercerita. Tentang luka, tentang cinta. Tapi, di saat rapuh, aku justru semakin keras di hantam semesta. Aku bisa apa?
—Atilla Solana

• • •

Atilla benar-benar tak mengerti. Sungguh permainan takdir. Sejak awal menginjakkan kaki di rumah Andrea, ia pikir hal yang selama ini mengganjal di pikirannya adalah mustahil. Kendari tak sekecil yang ia pikir. Tapi, nyatanya hidupnya memang sedramatis itu.

Keterkejutannya belum hilang kala ia menemukan Bulan berada di kota ini bersama keluarga baru. Sekarang, apa ini? Bertemu Dion—mantan pacar yang membuatnya mati rasa—dengan status sebagai pacar dari sepupu Derrel?

Dion pacarnya Andrea?

Dan Andrea bilang, mereka akan lebih sering ketemu? Bisakah Atilla mati saja sekarang?

Cukup lama cewek itu berusaha keluar dari kungkungan masa lalu suram bersama Dion. Terlalu lama ia tak merasakan apa-apa. Saat semuanya kembali lebih baik, haruskah Dion datang kembali untuk meruntuhkan pertahanannya?

"A-Atilla?" Andrea membuyarkan lamunan cewek itu.

"Tau nih, ah. Dari tadi melamun mulu," cibir Derrel.

Seandainya Atilla sanggup, ia ingin membalas tatapan Dion yang diarahkan kepadanya. Ia ingin bersikap biasa saja, atau bertingkah seakan-akan tak pernah mengenal cowok itu jika bisa.

"Kenalin," Dion mengulurkan tangan ke Atilla, seakan memang ingin menyulitkan cewek itu. "Nama gue Dion."

Mata cewek itu terpejam, mengabaikan suasana bising pasar malam kala membalas uluran tangan Dion. "Nama gue Atilla."

Setelah itu, Atilla melihat Dion tersenyum. Getir. Terlalu cukup untuk mengiris hati seorang Atilla Solana.

"Kita pulang sekarang?" tanya cowok itu, berusaha mengalihkan tatapannya dari Atilla.

Setelah mendapatkan anggukan dari Derrel dan Andrea, Dion memimpin mereka ke depan, menuju mobil dan pulang ke rumah.

Apakah memang sebaiknya mereka mulai belajar saling mengenal dengan segala hal yang sudah dipaksakan berbeda?

• • •

"By, aku pamit, ya. Eh, Derrel... A-Atilla, gue pamit. Titip Andrea, ya."

Atilla tersenyum miring. Ia tak pernah menyangka bahwa berpura-pura tak saling mengenal akan semudah ini bagi ia dan Dion. Ia mengangguk, membiarkan hatinya yang lagi-lagi terasa ngilu saat Dion tersenyum kecil ke arahnya. Senyuman itu begitu kecil, sampai Atilla berpikir bahwa itu bukan senyuman.

Bahkan sampai kepalanya bersandar di bantalan kasur kamar, pikiran Atilla masih terganggu. Hati dan pikirannya tengah berdebat. Haruskah Derrel tau tentang ini semua?

Bahwa sebenarnya, Atilla takut. Takut kalau saja waktu membuktikan bahwa Atilla masih menyimpan cinta untuk Dion. Takut kalau saja ia akan membuat hubungannya dengan Derrel hancur, atau lebih parahnya, membuat hubungan Andrea dan Dion kandas.

Atilla tak tahu. Terlalu banyak kemungkinan menakutkan yang bersemayam di kepalanya. Pasalnya, setiap kemungkinan itu sebagian besar datang untuk menjadi nyata. Atau mungkin sebaiknya... Atilla bicarakan ini semua berdua dengan Dion?

Sial, cewek itu tak sanggup memikirkan ini semua. Yang ia tahu, perasaannya untuk Dion sudah mati seiring dengan dirinya yang mulai mati rasa. Namun tetap saja, kehadiran Dion di sini membuatnya gelisah karena takut akan menimbulkan masalah lain.

Satu yang Atilla yakini. Derrel terlalu cemburuan. Itu semua sudah ia buktikan sewaktu di pesawat kemarin. Akan menjadi masalah yang besar jika Derrel tahu bahwa Dion dan Atilla punya hubungan di masa lalu.

Ah, kepala Atilla hampir percah karena memikirkan ini. Ia memilih untuk menarik selimut yang telah menutupi tubuh Derrel—demi menghangatkan tubuhnya juga.

Di saat yang sama, Derrel merubah posisi baringnya jadi menyamping ke arah Atilla. Tak sanggup ditatap oleh pacarnya lama-lama, Atilla membelakangi cowok itu.

Derrel mulai memberanikan diri untuk memeluknya dari samping, sebelum akhirnya Atilla dengan kasar menyingkap selimut—membuat Derrel terlonjak kaget.

Cewek itu berlari ke arah kamar mandi, kemudian memuntahkan kembali hampir semua isi perutnya dengan mata yang berair.

"Kamu masih pusing?" tanya cowok itu saat menyusul Atilla ke kamar mandi.

Atilla memejamkan matanya, memijit pelan pelipisnya dengan tangannya yang lain bertumpu pada tembok.

Saat hendak berjalan keluar, lagi-lagi isi perutnya itu naik hingga ke ulu hati, memaksa ingin keluar dengan cara yang sama sekali tidak mengenakkan.

"Ueeeeek"

Baiklah, Derrel mulai khawatir. Ini bisa saja lebih dari sekadar mabuk udara. Derrel sampai takut kalau ternyata Atilla keracunan makanan, atau lebih dari itu.

"Kamu makan apa aja sih, hari ini?" tanyanya sambil memapah Atilla kembali ke kasur.

Cewek itu menyeka matanya yang berair karena muntah, lalu berucap, "Nggak ada, Rel. Aku nggak makan apa-apa selain roti di pesawat, susu yang dibuatin Andrea, sama permen kapas yang di pasar malam tadi," jelasnya.

"Seharian ini kamu cuma makan itu doang?" Seketika Derrel berubah menjadi cowok galak yang protektif.

Atilla menggeleng. "Nggak, kan sempet minum starbucks juga."

"Astaga, seharian ini kamu lebih banyak minum daripada makan, Tilla. Asam lambungmu naik itu. Kan jadi kena maag, jadi tukang muntah. Jangan mentang-mentang pacarmu ini punya nickname Gantutah, bukan berarti kamu harus jadi Cantutah!"gerutu Derrel lagi, dengan sedikit bumbu-bumbu candaan.

"Daripada ngebacot, mending kamu kerokin aku!" Atilla mulai kesal. "Paling ini cuma masuk angin doang."

Setelah membalas ucapan Derrel, Atilla meringkuk naik ke atas kasur, lalu disusul oleh pacarnya itu yang langsung kembali berbaring di sampingnya.

"Yaudah," Derrel tiba-tiba saja terlihat gugup. Mengeroki tubuh Atilla? Bukankah itu berarti harus menanggalkan pakaian cewek itu?

"Yaudah apanya?" tanya Atilla, tanpa sengaja membuat Derrel merasa tertantang.

"Tengkurap."

"Hah?" Atilla tak mendengar, sebab Derrel mengucapkan itu dengan terlalu cepat.

"Badan kamu. Tengkurap. Mau dikerokin, kan?"

Entah sengaja atau tidak, Atilla tak tahu. Tapi suara rendah nan berat Derrel yang muncul tiba-tiba itu membuat tubuhnya sedikit merinding. Seperti magis, perintah cowok itu dengan cepat membuat Atilla menurut.

Cowok itu mulai bangkit dari posisi berbaringnya, duduk bersila di samping bokong Atilla. Perlahan, Derrel mulai menyentuh punggung pacarnya itu, mengelusnya lembut. Merasa tak ada penolakan, ia memberanikan diri untuk menarik tank top Atilla ke atas.

Diusapnya perlahan punggung mulus pacarnya itu, dengan sekali-kali menggelitikinya dengan sapuan jari, lalu dengan penuh napsu ia melepaskan pengait bra yang menjadi satu-satunya pertahanan Atilla. Semoga saja cewek itu tidak berbalik badan secara tiba-tiba, karena kini ia sudah bertelanjang dada. Derrel sungguh tak siap jika harus menyambut gunung kembar yang akan membuatnya gila.

"Balsemnya mana? Koin?" tanya Atilla dengan posisi masih tengkurap.

Bukannya menjawab, Derrel malah naik ke tubuh pacarnya, duduk tepat di atas bokongnya. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke punggung Atilla, mengecupnya hangat hanya sekali.

Sial. Derrel sepertinya sengaja mengembuskan napas hangatnya di sana. Setiap hembusan napas itu menyentuh kulitnya, Atilla merasa seperti ada aliran listrik yang mengalir dalam darahnya.

"Mmmhhh...."

Cewek itu melenguh tertahan saat Derrel tiba-tiba saja menyapukan lidah ke punggungnya. Pun sesekali cowok itu menggigiti punggungnya dengan lembut, membuat birahi Atilla mulai terpancing.

"Derrel... jorok ih," cicitnya mulai takut.

"Enak?" desis Derrel tepat di telinga Atilla dengan suara beratnya, membuat cewek itu merinding. Embusan napas Derrel dengan halus menerpa kulit lehernya.

Derrel mengecup pipi Atilla, kemudian bangkit dari posisi duduknya. Melihat Atilla yang masih menelungkup dengan pasrah, celana dalamnya semakin terasa sesak. Alat kejantanannya mengeras, dan ia mengerti betul bahwa satu-satunya cara untuk melunakkannya kembali adalah dengan cara memuntahkan cairan kental yang ada di dalamnya.

Ia tak mau membuang waktu lebih banyak lagi. Derrel mengelus telapak kaki Atilla dengan lembut, lalu dengan perlahan elusannya itu naik hingga ke paha, lalu tanpa sepatah katapun ia melucuti celana pendek yang dikenakan cewek itu. Bodohnya, Atilla mengangkat kakinya ke atas untuk mempermudah Derrel menanggalkan celananya.

Kini di tubuh Atilla hanya melekat selembar celana dalam, yang tak sampai tiga detik sudah berhasil dilucuti oleh Derrel juga.

Tanpa ba-bi-bu lagi, dengan masih mengenakan celana hitam pendek, Derrel menindih Atilla. Kemaluannya secara tidak langsung menempel tepat di sela bokong Atilla.

Deru napas cewek itu mulai tak teratur saat dirasakannya Mr.P milik  Derrel yang masih dilapisi celana—menempel dan berdenyut-denyut tepat di sela bokongnya.

Tak menemukan penolakan darinya, Derrel mulai semakin berani menjilat, melumat, bahkan menggigiti lehernya dengan lembut. Di saat itu juga, cowok itu mulai memelorotkan celananya sendiri.

"Tilla," panggil Derrel dengan suara serak menggoda.

"I-iya?" Bodohnya, Atilla menyahut seperti anak kecil yang tengah dipanggil oleh ayahnya.

"Tolong. Aku udah nggak tahan. Boleh, ya?"

Sebagai respon, entah sengaja atau tidak, Atilla membalikkan badannya. Membuat Derrel terbelalak kala buah dadanya terpampang jelas di depan mata.

Tanpa menunggu lama, seakan waktu memang tengah mengejar mereka, Derrel mulai mengarahkan miliknya agar sejajar dengan milik Atilla. Tangannya yang satu pun tak ia biarkan menganggur. Dengan penuh napsu, ia meramas, memilin, bahkan memijat halus buah dada Atilla.

"Mmmhhh...." Atilla tak siap saat Derrel mulai menindihnya.

Cowok itu mengecup bibir Atilla sekali, lalu mulai memagut dan melumat bibirnya dengan penuh gairah. Melihat pacarnya hanya diam, Derrel semakin memperdalam pagutannya.

Bisa Atilla rasakan, di bawah sana—benda keras milik Derrel sudah mulai menerobos bibir kemaluannya secara perlahan. Cowok itu kemudian menggerakkan pinggulnya maju dan mundur secara teratur, membuat Atilla merasakan sensasi geli bercampur nikmat yang sulit untuk dijabarkan.

Dua remaja itu kembali tenggelam di dalam gairah yang membara. Membiarkan napsu bermain di antara mereka, bergerak dengan hentakan yang seirama dengan deru napas memburu.

Persetan dengan dosa. Sejak awal, ia dan Derrel sudah memilih untuk hanyut di dalamnya.

• • •

Derrel terlonjak kaget—dan bangun saat itu juga saat dirasakannya Atilla sudah tak ada di sampingnya. Ia berlari ke kamar mandi, namun pacarnya pun tak ada di sana.

"Atilla!" panggil Derrel seakan-akan Atilla sengaja bersembunyi darinya.

Cowok itu duduk di lantai, bertiarap untuk melihat ke bawah kasur yang memang muat untuk tubuh Atilla. Bodohnya, ia memanggil-manggil Atilla di kolong kasur sana. Lelah dan sadar bahwa aksinya itu telralu bodoh, Derrel berdiri dan langsung keluar dari kamar.

"SAYANG? YANG? ATILLA? KAMU DI MANA, SIH?!"  teriaknya saat menuruni tangga.

"Apaan sih, lo! Berisik! Kayak lagi main petak umpet. Noh, cewek lo ke minimarket! Takut banget bininya ilang. Dasar bucin," sahut Andrea dari arah ruang makan.

Derrel mengembuskan napas lega, sekaligus melangkah cepat ke arah meja makan. "Lah, dia kan juga baru tinggal di sini. Dia nggak tau jalan, bege. Kenapa lo biarin? Kalo anak orang tersesat, lo mau tanggung jawab?"

Andrea mencebik. "Jangan sok sokan bahas tanggung jawab, deh. Dengan lo ngajakin dia kabur ke sini aja, lo udah harus tau apa itu tanggung jawab. Gue juga penasaran. Lo yang dulunya masih ingusan, 24/7 ngompol di kasur, cuma bisa nangis kalo digangguin orang, kok bisa sebucin ini, sih, sekarang?"

"Ck," Derrel berdecak sebal dengan ledekan Andrea. "Ini bukan waktunya buat ngeledekin gue, Re. Kalo Atilla ilang gimana?"

"Bawel banget lo kek monyet balita. Dia perginya dianterin Dion. Puas?"

"Dianterin cowok lo? Kenapa nggak lo aja, sih? Masa nyuruh cowok buat anterin Atilla?" tuntut Derrel tak terima.

"Yaelah, Rel, Rel. Kenapa, sih? Yakali lo cemburu? Dion kan cowok gue. Dia udah punya gue. Yakali mau kegoda sama Atilla?"

"Bahasa lo kok kayak gitu, sih? Maksud lo, Atilla jelek? Gitu?"

Andrea melotot dengan mulutnya yang sudah ia sumpal dengan roti. "Heh, gue mana ada ngomong gitu?! Lo kenapa sih? Pagi-pagi gini udah sensitif kayak pantat bayi."

"Ya gue kesel lah, bego. Lo biarin Atilla keluar rumah tanpa seizin gue. Bagaimanapun, Dion itu cowok! Gue nggak mau kalo orang-orang bakal ngira mereka itu pacaran," keluhnya panjang lebar.

"Idih, dasar aneh. Childish banget," ejek Andrea. "Udah, deh. Nggak usah mikirin yang macem-macem. Tadinya tuh sebenernya gue yang mau anterin Atilla, tapi tadi masih ngantuk banget gue. Mager, njir. Makanya gue minta tolong ke Dion buat anterin Atill a," tambah cewek itu.

Derrel tak lagi menimpali, ia lebih memilih mengunyah roti yang disajikan Bi Ira—dengan kunyahan rakus dan penuh nafsu, saking kesalnya.

• • •

"Jadi, kabar lo gimana sekarang? Baik-baik aja, kan?" tanya Dion saat Atilla sibuk memilih jenis shampoo apa yang akan ia ambil.

"Ditanya malah diem. Jangan pura-pura nggak denger, deh. Budeg beneran baru tau rasa lo."

Atilla masih diam, menganggap suara Dion sebagai angin lalu. Ia kini berjalan lebih cepat menuju rak yang dijejeri makanan ringan.

"Idih. Sombong beut. Gini-gini kita pernah tukaran ludah lho, pernah tukeran cairan tubuh. Dan sekarang belagak nggak kenal sama sekali?"

Mendengar itu, segala pergerakan di tubuh Atilla berhenti. Ia menatap Dion dengan penuh kebencian. "Jaga omongan lo. Gue bisa bikin bibir lo itu bonyok sekarang juga, kalo gue mau."

"Ya maaf, gue sengaja ngomong gitu biar lo nyahut."

"Mau lo apa? Nggak usah basa-basi," ketus Atilla tak acuh.

Dion tersenyum dengan senyuman kecil yang sudah menjadi ciri khasnya. Untung saja, Atilla sama sekali tak merindukan senyuman khas itu. "Gue yakin lo ada sesuatu yang mau dibicarain sama gue."

Atilla memutar bola matanya malas. Ia meraih detergen yang berjejer di rak belakang Dion. "Gue males banget ngomong sama lo. Makanya gue bikin ini singkat, dan se simple mungkin. Bentar lagi gue mau cerita ke cowok gue tentang siapa kita di masa lalu. Dan gue harap... lo bisa yakinin Andrea kalo kita nggak bakalan ada perasaan apapun lagi."

"Tergantung," ujar Dion sembari menggaruk kening.

Atilla kebingungan. "Tergantung apanya?"

"Ya... kita bisa yakinin pacar kita masing-masing kalo kita udah nggak ada apa-apa lagi. Tapi... itu semua tergantung dari lo juga. Kalo lo tiba-tiba jadi naksir gue lagi gimana?"

Jika menurut Dion perkataannya itu hanya candaan biasa, Atilla pastikan bahwa itu tidak lucu sama sekali.

"Emang dasar brengsek, lo ya," sindir Atilla lalu berjalan menuju kasir.

Dion merebut keranjang belanja dari tangan Atilla secara tiba-tiba. Saat cewek itu berusaha merebutnya kembali, Dion menyembunyikan benda itu ke belakang tubuhnya.

"Gue mau bikin semua ini jadi jelas, Tilla. Gue nggak mau lo atau gue anggep pertemuan kita kembali ini sebagai masalah."

"Yaudah. Anggap aja kita baru kenal. Lupain semua hal yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Anggap aja kita ini temen baru yang belum lama saling kenal. As simple as that. Sekarang, siniin keranjangnya, brengsek." Atilla mulai emosi.

"Nggak. Kecuali lo setuju buat maafin gue, dan nerima gue kembali sebagai teman lo."

"Emangnya dengan setuju buat dianterin lo ke sini, gue kelihatan nolak dengan tawaran lo itu?"

"So?" Dion mengangkat kelingkingnya, menunggu Atilla mengaitkan kelingkingnya juga di sana. "Still being friends?"

Atilla tergelak meremehkan. "Lebay lo, monyet. Siniin keranjangnya."

"Nggak. Lo tunggu di luar aja. Biar gue yang bayar. Lagipula, kalo gue yang ke kasir, bisa dapet diskon."

"Kenapa? Lo pake member-memberan nggak penting itu? Udah kayak emak-emak aja."

"Ya nggak lah. Tuh, liat. Kasirnya cewek. Bisa tuh, gue godain biar dapet diskon."

Seketika, Atilla memasang ekspresi jijik yang seakan-akan ingin muntah. "Emang dasar playboy alay lo!"

"Enak aja lo ngatain gue playboy. Asal lo tau aja," Dion berjalan lebih depan dari Atilla. "Semenjak Indah sahabat lo itu mutusin gue, gue udah insyaf. Udah baek, sekarang. Genitnya dikit doang."

"Diputusin lo sama si cewek muna itu? Hahaha, gimana karmanya? Enak?"

Bahkan saat kakinya sudah melangkah ke luar minimarket, tawa Atilla masih berderai demi mengejek Dion.

Tak menunggu waktu terlalu lama, mantan pacar yang sekarang sudah menjadi teman Atilla itu keluar dengan dua kantong belanjaan yang ditenteng di kanan kirinya.

Baru saja Atilla hendak memutar badan dan berjalan menuju mobil, tiba-tiba saja pergerakannya tertahan demi melihat ekspresi Dion yang entah mengapa berubah datar.

"Ngapain lo liatin gue kayak gitu?" tanya Atilla galak.

"Lo beli testpack buat apaan?"

• • •

Tahan sampai di sini dulu, ya. Wkwkwk. Nanti kita lanjut di chapter selanjutnya.

Eh, mau nanya dong. Semisal cerita ini terbit—dan cuma dijual di shopee—kalian rela beli nggak sih?😂 dijawab yaa, soalnya udah ada beberapa penerbit Indie yang mau nerbitin Cephalotus.

Mau Cephalotus tersedia di Gramedia? Ya dibantuin, atuh🥺 Spam komen, share ke temen-temen kalian, biar cerita ini bisa banyak yang baca, dan akhirnya dilirik penerbit mayor. Wkwkwk ngarep banget yak?

Nanti aku update lagi kalo komennya udah 120 ya😙

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 130K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
695K 111K 54
VANESSA ABHIGEAL LUCY Adalah gadis cantik dengan tinggi di bawah rata-rata, meski terlahir dari keluarga berpunya tak lantas membuatnya menjadi priba...
2.6K 259 15
Bercerita tentang pengorbanan untuk menemukan kebahagiaan. Kebahagian yang ingin diciptakan Bukan untuk diri sendiri tapi melainkan untuk orang lain...
3.7M 296K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...