Cephalotus

By rahmatgenaldi

120K 11.5K 6.6K

❝ Sekalipun tentangmu adalah luka, aku tetap tak ingin lupa. ❞ --- Atilla Solana, Sang Cephalotus. Cewek ta... More

Prologue
1. Atilla
2. Derrel
3. Destiny?
4. Forgiveness
5. Let's Break The Rules (1)
6. Let's Break The Rules (2)
7. Danger?
8. A Bet
9. Broken
10. Heal
BACA!
11. How To Play
12. Problem
13. Atilla Vs Butterflies
14. Revenge
15. Epic Comeback?
16. Meaningless Kiss
17. Consequence
18. Fake Confession?
19. Jealousy
20. To Be Honest...
21. Coercion
22. Accepted
23. Fail Date
24. Closer
25. The Camp
( VISUAL )
26. Another Catastrophe
27. Resistance
28. Come Out From Hiding
29. Lovely Little Girl
30. Prestige
31. Fall Down
32. Pathetic Dad
33. Worst Prom Night Ever
34. Cheer Up
35. Darker Than Sin
36. Pretty Savage
37. Dignity
38. Cracked
39. Run Away
40. Not Bonnie & Clyde
41. Her Name Is Andrea
43. A Passionate Night
44. Anxiety
45. Mr. Rabbit & Mrs. Hedgehog
46. Forced To Go Home
47. Destruction
48. Drive Him Away
49. Welcomed
50. Miserable Days
51. Secret Admirer
52. The End
Epilogue
EXTRA CHAPTER - 1
GIVEAWAY !!!
Extra Chapter: Unexpected Hero
PRE - ORDER !!!
SURPRISE !

42. Neverland

788 103 147
By rahmatgenaldi

Jumpa lagiii kitaaaaaa.

Gimana kabar kalian? Jawabannya nggak harus baik, kok. Yang terpenting adalah seberapa kuat kamu melewati semuanya. Tapi, lihat. Kamu udah sejauh ini bertahan. Selamat, kamu kuat! Kamu hebat! Dan hai, manusia hebat. Udah siap baca lanjutan ceritaku ini?😜

Kalo udah siap, spam komen "🤩" di sini.

Terus, spam "🥳" di sini.

Terakhir deh, kasih satu kata buat cerita Cephalotus di sini.

Maaf ya, aku lambat update. Sebagai gantinya, khusus chapter ini aku panjangin sampe 3000kata. Jangan di skip yaa bacanya. Biar nanti nggak bingung.

Okee, selamat membacaaaa

———

Karena bukan kesempurnaan yang menjadikanmu pilihan. Ada satu hal yang tak pernah kupahami. Merasa takut kehilangan, pun merasa nyaman tanpa alasan.
—Derrellio Rellio

• • •

Aline menatap Meira dengan tajam. Untuk saat ini ia tidak akan tinggal diam.

"Anakmu kabur bersama anakku, Meira. Itu persetujuan mereka berdua. Jangan salahkan anakku! Justru anakmu yang mestinya patut kamu pertanyakan. Dia kan anak laki-laki, di mana harga dirinya sampai mau dibawa kabur sama anak perempuan!" ucapnya berapi-api.

Meira tak gentar menatap Aline dengan sama tajamnya. Lalu, sesaat ia menatap ke arah Rendy yang berdiri di sampingnya. "Saya nggak mau tahu! Dari awal, kalian berdua yang merencanakan ini! Kalian berdua yang sengaja mempertemukan Derrel sama Atilla biar hubungan kalian bisa tertutupi! Cari anakku. Sekarang saya tidak akan tinggal diam!"

Rendy menyugar rambutnya ke belakang dengan frustasi. Masalah ini sudah cukup membuat pusing, ditambah lagi istrinya mengamuk di rumah Aline.

"Ini bukan waktunya saling menyalahkan. Sebaiknya kita kerja sama buat nyari Derrel sama Atilla. Saya mohon, kalian berdua kesampingkan dulu ego masing-masing. Demi anak-anak kita."

Aline maupun Meira langsung terrdiam setelah mendengar ucapan Rendy yang memang ada benarnya, meskipun tetap saja dua wanita itu masih saling menyerang lewat tatapan yang menghunus tajam.

"Maaf, tapi sepertinya akan lebih baik kalau kita libatkan Adrian juga." Aline berbicara, membuat Rendy spontan menatapnya tak percaya. Sedikit rahasia, pria itu terlihat seperti tak terima.

Aline menahan napasnya saat Rendy memutus kontak dengan matanya. "Begini, bagaimanapun juga, Adrian itu ayahnya Atilla. Dia berhak tau tindakan apa saja yang akan kita ambil untuk mencari anaknya. Dia pun berhak membantu mencari jika dia mau."

"Lalu?" tanya Rendy dengan jari yang memijat pelan pelipisnya.

"Kita ke rumah Adrian sekarang."

Setelah sempat saling menatap, Meira dan Rendy langsung berjalan keluar dari rumah itu, disusul dengan Aline yang juga sudah berjalan ke arah mobilnya.

• • •

Rendy tidak tahu persis alasan seperti apa yang akan mendukung gagasannya untuk berdiri paling di depan sekarang. Ia bahkan memberanikan diri mengetuk pintu rumah Adrian—pria yang paling membenci dirinya. Mungkin karena merasa satu-satunya laki-laki di antara dua wanita di sana, ia merasa harus mendominasi rencana ini.

Saat sekali lagi hendak mengetuk pintu, Rendy mendapati dirinya dilanda rasa gugup kala telinganya mendengar suara decitan pintu yang ditarik terbuka.

Bukan Adrian, Rendy mengernyitkan dahi kala yang dilihatnya adalah perempuan dengan kisaran usia kepala dua. Melihat itu, Aline maju selangkah.

"A-Aletta, Papa ada di dalam?"

Aletta mengedarkan pandangannya. Pertama kepada Aline, berpindah kepada Meira, lalu berakhir menatap datar ke arah Rendy.

"Om Rendy? Mau apa ke sini?" tanya gadis itu.

"Halo. Aletta. Maksud saya ke sini—"

"Apa om? Mau apa?" Dari nada bicaranya, orang-orang akan tahu bahwa Aletta tak menyukai keberadaan Rendy di sini. "Om mau apa? Mau ketemu Papa saya? Mau bikin dia sakit hati lagi? Setelah merebut istrinya, Om mau apa lagi?"

"Jaga mulutmu, perempuan sialan! Berani sekali kamu menghina suamiku!" cecar Meira menyela. "Justru ibumu ini yang harus kamu tanya! Kenapa dia meninggalkan Papamu, lalu berselingkuh den—"

"CUKUP!" Aline memekik. "Saya ke sini untuk meminta bantuan mencari putriku, Meira! Berhenti menyudutkanku! Jangan libatkan keluargaku dalam masalah itu!"

"KALAU BEGITU MENJAUHLAH DARI KELUARGAKU!" bentak Meira tak kalah berapi-api.

Aletta menelan ludah. Apa ini? Drama apa yang tengah ia tonton? Haruskah ia membela ibunya?

Napas Meira tersengal, dadanya naik turun karena mengatur napas. Tanpa ia sadari, matanya sejak tadi sudah meluruhkan air mata amarahnya. Sebagai suami, Rendy menenangkan sang istri dengan sebuah rangkulan hangat, meski tetap saja pria sialan itu masih sempat-sempatnya melemparkan tatapan tidak biasa untuk Aline.

"Ini tentang adikmu, Aletta. Mama yakin kamu udah tau kalo dia kabur dari rumah bersama Derrel. Mama ke sini untuk bicara langsung sama Papamu. Kita akan cari Atilla dan Derrel."

Lagi, Aletta menatap mereka dengan datar. Seandainya ia bisa, gadis itu ingin berteriak sekencang mungkin, demi membuktikan betapa dirinya sangat membenci mereka bertiga.

"Silahkan masuk. Papaku sedang di kantor. Sebentar lagi pasti pulang. Akan kutelpon."

Sayangnya, hanya itu yang bisa keluar dari mulut Aletta. Bahkan hingga suara mobil ayahnya sudah terdengar dari depan rumah, batinnya masih berkecamuk. Dadanya terasa panas karena raganya yang berkhianat. Bisa-bisanya ia menjamu orang-orang yang ia benci dengan segelas teh hangat, tanpa mencampurkan racun terlebih dulu.

Tubuh Rendy terlihat menegang saat telinganya mendengar suara pintu mobil yang ditutup. Mulutnya dengan samar kembali berlatih mengucapkan kalimat-kalimat yang sudah ia rangkai di kepala.

"Aletta, tamunya siapa? Kok mendesak banget?" Adrian meletakkan sepatunya di rak samping pintu saat bertanya. Ketika pandangannya mengedar, ia mematung di tempat demi melihat seorang pria yang duduk di sofa ruang tamunya. Tangannya mengepal kuat, urat-urat tangannya menonjol—menjelaskan betapa amarahnya betul-betul tersulut saat matanya menangkap keberadaan Rendy di sana.

Adrian berjalan lebih cepat, hingga akhirnya duduk di samping Aline. "Mau apa kamu ke sini?" tanyanya dengan datar. Jika Aletta bisa sebenci itu dengan Rendy, jangan tanyakan lagi tentang Adrian. Jika bisa, ia ingin mencekik pria di hadapannya ini hingga meregang nyawa.

Adrian semakin dalam menghunuskan tatapan tajamnya ke arah manik mata Rendy. "Kita ketemu lagi. Dengan berani kau datang di rumahku sendiri. Sungguh permainan takdir."

"Kau pasti membenciku," balas Rendy.

Mendengar itu, Adrian terkekeh kecil dengan nada meremehkan. "Saya tidak hanya membencimu. Saya bahkan muak melihat wajahmu."

"Kami ke sini bukan untuk ribut, Adrian. Saya harap kamu bisa kesampingkan emosimu dulu." Aline menengahi. "Kita akan mencari Atilla dan Derrel."

"Ya." Tak mau tinggal diam, Meira turut menimpali. "Putrimu yang tak ubahnya sama seperti ibunya itu, sudah merusak putraku! Dia mengajaknya kabur!"

Aline memejamkan matanya untuk meredam emosi. Sepertinya Meira tak akan berhenti menyudutkan dirinya. Benar ataupun salah dirinya, wanita itu akan tetap menyalahkannya atas nama rasa benci yang sudah tertanam di dada Meira.

"Jangan asal bicara, Meira." sahutnya dengan suara rendah. "Bisa saja pelarian itu atas dasar persetujuan mereka berdua. Dan tidak menutup kemungkinan itu semua ide putramu! Dia anak laki-laki, kalau kamu lupa."

"CUKUP, SAYA BILANG!" Wajah Rendy merah padam. Urat yang timbul di pelipisnya memeperjelas betapa saat ini amarahnya tak dapat lagi diredam. Ia menjambak rambutnya frustasi. Putranya hilang, pikirannya sedang kalut. Tapi kenapa dua wanita itu tak bisa membantunya untuk berpikir jernih?

Ayah dari Derrel itu hendak bicara, ingin menceramahi Meira dan Aline sekali lagi bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk saling menyalahkan. Namun hal itu urung dilakukan saat dirinya terdistraksi oleh ponselnya yang berdering.

"Tunggu sebentar," ucapnya yang kemudian sedikit menjauh dari sana.

Adrian yang menyaksikan amarah Rendy yang meluap hanya bisa terdiam, dan merenungkan keputusannya. Apakah dia harus mengesampingkan egonya untuk bekerja sama dengan Rendy demi menemukan Atilla? Atau justru akan lebih baik jika dirinya memutuskan untuk masa bodoh dengan itu semua demi mempertahankan egonya?

Rendy kembali dengan langkah yang tergess-gesa. Ia menyelipkan ponsel ke dalam saku celananya dengan raut wajah muram.

"Kenapa, Pa?" tanya Meira saat membaca ekspresi suaminya.

"Sial. Saya tidak bisa ikut mencari. Bisakah kalian mencari lebih dulu? Saya akan menyusul nanti."

"Ta-tapi kenapa?" Aline tak dapat menahan rasa penasarannya, sampai tak sadar bahwa saat ini Meira tengah mendelik ke arahnya.

"Salah satu kerabat bisnisku akan mengadakan acara syukuran atas pengangkatan anak adopsinya. Sangat tidak memungkinkan untuk saya tidak hadir."

"Tidak apa-apa. Biar kami bertiga yang mengatasi." Aline lagi-lagi menjawab, membuat Meira menarik napas untuk menahan emosinya agar tidak tersulut.

"Saya ikut mencari." Setelah sempat berdebat dengan batinnya sendiri, Adrian memutuskan untuk turut membantu. "Sepertinya Atilla akan mengajak Derrel ke Padang, di rumah ibuku. Anak itu tak punya tempat kabur selain ke Padang. Yang jelasnya, mereka tentu tidak akan di Jakarta. Atilla tak sebodoh itu, ia tahu bahwa mereka berdua akan mudah di temukan jika masih di Jakarta. Saya akan menghubungi beberapa kerabat atau keluarga di Padang, untuk mencari mereka di sana. Melaporkannya ke kepolisian Padang."

"Ah, iya. Acara temanmu itu di mana, Rendy? Di Padang kah?" Aline bertanya. "Kalau betul, mungkin kamu bisa membantu mencari langsung di sana. Atau, mungkin kamu punya koneksi di sana? Beberapa usahamu ada di sana, kan? Mungkin kamu bisa meminta bawahanmu yang di Padang untuk membantu mencari mereka."

Rendy menggeleng. "Tidak. Saya tidak ke sana. Tapi tentang koneksi dan beberapa orang yang akan membantu mencari di Padang, saya bisa. Akan saya urus secepatnya. Tapi maaf sekali. Saya tidak bisa ikut langsung untuk sekarang. Saya akan menyusul nanti. Saya banyak berharap kepada kalian, demi anak-anak kita."

Aline maupun Adrian mengangguk samar. Beda dengan Meira yang terlihat gelisah akan sesuatu. "Tapi kamu mau kemana? Acaranya di mana? Saya ikut."

Rendy spontan menatap Aline dan Adrian secara bergantian. Menolak Meira untuk ikut bersamanya hanya akan membuat istrinya itu menuduhnya hal yang tidak-tidak. Membaca keraguan dan kegelisahan Rendy, Aline bersuara.

"Kalian berdua bisa pergi. Untuk sementara tidak apa-apa saya dan Adrian yang mengurus ini semua."

Alis kanan Rendy sedikit terangkat, menatap mereka dengan ragu. "Kalian yakin bisa mengatasi ini semua hanya berdua?"

Tanpa disengaja, sepasang mantan suami-istri itu saling menatap, mengangguk mantap—lalu secara bersamaan berucap. "Yakin."

"Oke kalau begitu. Terima kasih. Besok siang saya dan Meira sudah harus mendarat di Kendari, Sulawesi Tenggara. Acaranya di sana."

Selepas itu semua, Meira dan Adrian berpamitan dengan canggung. Ini adalah sebuah ironi. Dua pasang manusia yang saling membenci dipaksa untuk bekerja sama demi meraih sebuah titik terang dari masalah mereka.

• • •

Atilla turun lebih dulu dari mobil, mendahului Andrea dan Derrel yang terheran-heran melihat tingkahnya. Matanya berbinar menatap hingar bingar pasar malam yang terletak di jantung Kota Kendari— Tugu MTQ. Beberapa anak kecil terlihat berjalan lebih cepat dari orang tuanya karena antusias. Tak lupa beberapa pedagang mainan berteriak-teriak, demi melariskan barang dagangannya, juga beberapa anak jalanan yang mengambil kesempatan untuk mengamen.

Cewek itu masih berdiri di tempatnya. Menatap sekelilingnya dengan senyuman kecil. Sekilas, ia merasa merindukan keluarganya. Melihat suasana pasar malam di Kendari, membuatnya teringat akan masa kecilnya di Padang.

"Neverland," lirih Atilla. Sewaktu kecil, tempat ini disebutnya begitu. Tempat di mana Atilla kecil sering berdoa agar selamanya menjadi gadis kecil yang lugu. Tempat yang mebuatnya selalu berharap agar tak pernah tumbuh dewasa.

Seperti karakter Wendy di dongeng Peterpan, Atilla sering kali membuat Ayah dan ibunya pusing karena dirinya yang kerap kali menghilang bersama anak-anak jalanan yang mengamen di pasar malam. Sejak itu, sang Ibu selalu menolak jika Atilla kecil meminta dibawa ke 'Neverland'.

Ada rahasia kecil yang Atilla simpan bahkan hingga sekarang. Bahwa setiap kali Atilla ingin ke Neverland, sang Ayah diam-diam akan membawanya dengan berbagai macam alibi untuk sang istri.

Menurut Adrian, jiwa petualang Atilla tak boleh dikekang seperti yang Aline lakukan. Namun, lihat. Sekarang gadis kecil yang sudah berajanak dewasa itu sudah bertualang kelewat jauh. Ia menemukan Neverland nya sendiri, bahkan tanpa membutuhkan lagi izin dari Ayah, apalagi Ibu.

"Mau permen kapas?"

Atilla tersentak. Meski tak sengaja, Derrel membuyarkan lamunannya.

"H-hah? Kenapa?" tanyanya gelagapan.

Derrel mengernyit, menatap Atilla dengan tatapan heran bercampur bingung. "Mau permen kapas, Atilla?" ulangnya sekali lagi.

Mendengar itu, Atilla tak langsung merespon. Lagi-lagi ia merasa jiwanya ditarik keras ke belakang, menuju masa lalu, terkungkung dalam nostalgia.

Sesaat setelah itu ia langsung menggeleng kuat. Tidak, Atilla tak boleh memikirkan Duta lagi. Melihat Atilla yang berubah menatap kosong, Derrel lagi-lagi menatapnya dengan ekspresi bertanya, menunggu jawaban ya atau tidak.

"Mau," jawab cewek itu. Ia yakin permen kapas dari Derrel akan lebih manis dari yang pernah Duta berikan waktu itu.

"Oh iya, Re." Setelah mendapati Atilla mengangguk, Derrel menatap Andrea. "Gue boleh jalan berdua Atilla nggak? Pengen punya quality time gitu," pinta Derrel dengan cengiran.

Andrea refleks menoyor kepala sepupunya itu. "Yeee... dasar bochen! Yaudah. Asal jangan nyasar aja. Kita ketemu di sini lagi aja, ya, entar. Gue mau kulineran bareng cowok gue aja. Entar gue telepon biar dia nyusul."

Tanpa membalas atau menyahuti ucapan Andrea lagi, Derrel langsung menarik Atilla yang tersenyum samar.

Jadi, jika Atilla bisa merasa menjadi Wendy yang bertualang di Neverland, bolehkah ia menganggap Derrel sebagai Peterpan-nya?

• • •

"Kamu mah nggak asyik. Dari sejak di atas bianglala sana, kerjaannya melamun mulu. Mikirin apa, sih?" omel Derrel saat mereka baru saja selesai menikmati wahana bianglala.

Sedikit merasa bersalah karena sedari tadi pikirannya menjelajah ke mana-mana, Atilla menghembuskan napas berat. Tentu saja, ia tak boleh merindukan pria lain selain Derrel. Hanya karena ia tengah berada di tempat yang sama dengan masa lalunya, tak sepatutnya Atilla memikirkan Duta sampai sedalam ini.

"WOY!" Derrel menepuk bahu Atilla entah untuk keberapa kalinya.

Cewek itu mengerjap, lalu dengan cepat berucap. "Aku ngantuk, pulang yuk."

Derrel menatap kekasihnya itu dengan sorot mata yang seolah menerka-nerka. Sedari tadi, cewek itu lebih banyak melamun. Bukan bermaksud untuk mencurigai, namun Derrel yakin bahwa Atilla tengah menyembunyikan sesuatu di dalam pikirannya.

"Yaudah," sahut Derrel kemudian. Ekspresi wajahnya berubah datar. Jujur, rasa kecewa datang begitu saja kala ia menyadari bahwa Atilla telah merusak momen yang jarang bisa mereka nikmati seperti sekarang ini. "Kita ke parkiran sekarang, tungguin Andrea."

Di tengah kepura-puraannya merasa mengantuk, Atilla dibuat terperanjat saat melintasi salah satu gerai permen kapas.

Rambut keriting yang tergerai indah itu, mata bulat, pipi gempal itu, oh, tidak. Anak perempuan itu... kenapa dia ada di sini?

"Om Damar, Tante Debora, Bulan mau permen kapas," ucap seorang anak perempuan yang menyita perhatian Atilla.

Atilla mematung di tempatnya, bersamaan dengan Derrel yang menatap ke arahnya dengan semakin bingung.

"B-Bu-Bulan?" Atilla tak mempercayai matanya. Saat sekali lagi mengerjap, keraguannya teryakinkan.

"BULAN!" pekik Atilla kegirangan, membuat Derrel mau tak mau mengekori langkahnya menuju sepasang suami istri dan seorang anak perempuan yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Tante Debora, Om Damar, itu yang manggil Bulan siapa?" tanya Bulan dengan menatap kosong ke depan. "Kok kayak suaranya Kak Atilla, ya?"

Debora dan Damar selaku orang tua angkat Bulan menatap Atilla penuh tanya. Seakan mengerti, Atilla langsung menjulurkan tangannya dengan sopan.

"Tante, Om, saya Atilla. Dulu saya sering menjenguk Bulan sewaktu masih di panti. Om sama Tante orangtuanya, ya?" Atilla tak hanya menjawab tanya milik sepasang suami istri itu, tapi juga pertanyaan yang muncul di kepala Derrel sedari tadi.

"BENERAN KAK ATILLA, YA?" Bulan berubah kegirangan. "KAK ATILLA, BULAN KANGEN...!!!"

Debora dan Damar tersenyum. Ia membalas uluran tangan Atilla dengan hangat. "Hai, Atilla. Saya Debora, dan ini suami saya Damar. Kami orangtua angkat Bulan. Senang bertemu. Dulu Bulan sering sekali cerita tentang kamu."

"Senang bertemu juga, Tante. Seneng banget, akhirnya Bulan punya keluarga juga. Oh iya." Atilla menarik Derrel semakin dekat dengannya. "Bulan, Tante Debora, dan Om, kenalin. Ini... temen aku. Namanya Derrel."

Meski kesal dengan Atilla yang mengakuinya sebagai teman—dan bukan pacar, Derrel tetap mengangguk santun. "Salam kenal, Tante, Om, Bulan."

Damar menatap Derrel dari atas hingga ke bawah, membuat cowok itu sedikit salah tingkah. "Sepertinya kita pernah ketemu, Derrel? Tapi di mana, ya?"

Atilla terkekeh, lalu menatap Derrel dengan jahil. "Nggak, Om. Mukanya Derrel tuh emang pasaran, wajar sih, kalo Om mikirnya gitu."

"I-ini beneran Kak Atilla?" Bulan meraba ke depan, mulai meraih pergelangan tangan Atilla. "Kak Duta mana, Kak? Kok nggak pernah ke panti lagi, sih? Bulan kesepian, tau. Makanya sekarang Bulan ikut sama Tante Debora sama Om Damar," tambah anak itu.

"Maaf, ya, Bulan. Kak Dutanya lagi sibuk banget. Sekarang kakak ke sini bareng temen kakak yang lain. Pokoknya nggak kalah seru sama Kak Duta." Saat mengatakannya, dengan sengaja Atilla menatap ke arah Derrel hanya untuk memastikan bahwa cowok itu sama sekali tidak marah.

"Nah, kebetulan dong kita ketemu di sini. Sebenernya tante sama om masih pengen lama-lama sama kalian, tapi setelah ini kita akan pulang buat persiapin acara untuk besok lusa," papar Debora. "Kalau kalian ada waktu, dateng, ya. Di Perumahan The Villas Wua-Wua, Blok A, nomor 4. Ada acara seremonial untuk mengumumkan dan mengesahkan Bulan sebagai anak angkat Tante Debora dan Om Damar."

Setelah terpana untuk sesaat, Atilla tersenyum hangat. Senang rasanya menemukan orang lain yang bisa menerima Bulan sebagai anak angkat dengan segala keterbatasannya. "Pasti, Tante. Aku sama Derrel bakal dateng."

"YEEEAYYY, KAK ATILLA BAKAL DATENG SAMA KAKAK BARU! Namanya tadi siapa, ya? Darren? Darel? Derro? Aduh, Bulan lupa!"

Derrel kini ikut tertawa bersama mereka. Sedikit senyum haru tercetak jelas di wajahnya saat baru menyadari bahwa anak perempuan yang ia ketahui namanya sebagai Bulan itu, ternyata penyandang tunanetra.

"Baiklah. Om sama Tante duluan, ya. Kalian berdua jangan lupa datang."

Setelah mengangguk santun, dan tak lupa Bulan mengecup punggung tangan mereka berdua, Derrel dan Atilla melangkah cepat ke arah parkiran. Sial. Mereka pasti sudah membuat Andrea menunggu lama.

Saat tiba di parkiran, tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menemukan Andrea, sebab cewek itu berdiri tepat di mana mereka janjian sebelumnya.

Tapi, tunggu dulu. Kemana perginya kesadaran Atilla kala melihat Andrea berdiri bersama seorang pria yang bahkan tak ingin lagi ia sebut namanya?

Sialnya, Derrel justru semakin kuat menarik tangannya ke arah Andrea dan laki-laki itu.

Lidah Atilla kelu, kakinya seolah tak dapat lagi menapaki tanah. Napasnya terasa berat, benarkah itu dia?

Hati Atilla terasa remuk, perih tak terkira. Haruskah ia dipertemukan lagi dengan laki-laki itu di saat-saat seperti ini?

Sejak awal, memang ini yang Atilla takutkan. Bertemu laki-laki itu.

"Hai, gue Derrel. Lo cowoknya Andrea, kan?" sapa Derrel ramah terhadap laki-laki itu.

"Halah, nggak usah sok asik lo!" canda Andrea. Ia lalu menarik Atilla untuk mendekat. "Sini, Til. Kenalin, ini cowok gue. Namanya Dion. Setelah ini, lo bakal sering banget ketemu dia."

• • •

Jangan lupa spam komennya yaa!

Sebelum kita berjumpa lagi di chapter selanjutnya, boleh dong, aku minta testimoni kalian buat cerita ini:)

Kalau udah, makasih yaa udah mau baca ceritaku yang tak sebagus cerita-cerita lain, bahkan sampai sejauh ini. Btw, kita makin dekat sama ending lho! Kalian tim happy ending atau sad ending nih?

100 Komentar untuk chapter selanjutnya.

Continue Reading

You'll Also Like

1M 172K 49
Hwang Hyunjin sangat membenci perempuan bernama Lee Hana. Ia membenci gadis itu lebih dari apapun. Hana sempurna di mata semua orang, namun tidak di...
Stay or Die By Gvdgvrl

Mystery / Thriller

120K 8.2K 87
[Perhatian!] Cerita privat acak. Follow untuk bagian lengkapnya. Hal yang tidak masuk di akal sehatmu, akan terjadi disini. Percayalah. Deagra Lucia...
1.6K 147 25
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan seseorang yang sangat kamu cintai, segala usaha yang kamu lakukan untuk mempertahankan ikatan su...
3.7M 296K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’ "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...