4 : A Letter

9 4 2
                                    


Matahari semakin naik seiring berjalannya waktu yang beranjak siang, kendati begitu tak mengindahkan Hyunhee tuk' beranjak dari kursi taman tua  kampusnya.

Kedua netra ayunya tampak fokus meneliti setiap potret gambar yang sudah lama tersimpan apik di galeri ponsel miliknya. Sesekali tersenyum sendu, nyata sekali menyiratkan betapa rindunya ia akan momen-momen manis yang berhasil tertangkap di kamera ponsel itu.

Kenangan yang cukup manis-- bisa saja Hyunhe membandingkan manisnya momen tersebut seperti kepingan cokelat di hari valentine. Walaupun sebenarnya Hyunhee benci sekali rasa manis, apalagi cokelat.

Hyunhee berani jamin, dikala itu dirinya sangat amat bahagia. Kisah Cinderella mungkin tidak ada apa-apanya dengan kisah dirinya sendiri. Hyunhee merasa beruntung, melebihi kisah putri di negeri dongeng manapun.

Sayangnya ada satu fakta yang dilewatkan olehnya, kalau semua keajaiban, keindahan, kebahagiaan dalam kisah seorang putri--atau bahkan negeri dongeng itu sendiri hanyalah fiksi belaka.

Tidak ada. Semu--bukan kenyataan, dan Hyunhee hidup di dunia nyata.

Seharusnya Hyunhee sadar sedari awal, pasti ada harga disetiap perbuatan. Dunia beserta isinya terlalu jahat bagi dirinya yang naif.

Terlepas dari tumpukan memori yang merangsek  tiba-tiba. Hyunhee berniat ingin istirahat sejenak selepas kelas yang melelahkan tadi, menikmati angin semilir meski sebentar sebelum berangkat ke studio. Tapi apa boleh buat, semua itu hanya bualan saat Hyunhee merasakan seseorang menggapai pundaknya kelewat brutal, oh astaga.

“HEY!!! Perawan Tua!” Heboh Jisa.

Aish Percuma memiliki otak yang pintar, jika tidak digunakan dengan baik, Ji. ”

Wah coba lihat Mulutmu itu. Marah-marah sudah jadi bakatmu ya? lagipula otak ku memang tidak lagi berfungsi semenjak mengenal sepupu brengsek mu itu.”

“Bertengkar lagi ?” Jisa hanya mengendikan bahu tak peduli, mengetahui kemana arah pembicaraan Hyunhee. Siapa lagi kalau bukan si pangeran kampus, Park Jimin--yang masih setia menjadi pacarnya. Yahh, for your information, Jisa sudah muak sebenarnya.

“Oh ya! Hyun, jangan coba-coba kau kabur lagi. ” Hyunhee menyimpan ponsel kedalam saku, setelahnya menghadap Jisa terheran-heran.

“Kabur dari siapa?” tanya Hyunhee.

“Dariku lah siapa lagi—

Seloroh Jisa seraya mengambil tempat untuk duduk di hadapan Hyunhee.

—Jadi ceritakan apa yang terjadi dengan si Kim itu.” Jisa mengambil posisi ternyaman, sambil menopang dagu siap menunggu cerita-- ralat mungkin kisah seorang Hyunhee dan pemuda Kim itu yang Jisa rasa kisah mereka mengalahkan drama yang sedang populer di Korea.

“Kim yang mana?”

“Kim Seokjin lah! Memangnya ada berapa pria bermarga Kim disekitarmu Hyun.” seru Jisa antusias

“Banyak. Kim Ssaem, paman Kim—”

“Bukan begitu maksudku, pintar!” Hampir saja Jisa memukul kepala mungil sahabatnya itu jika ia tidak ingat sedang berada di tempat umum.

“Okay-okay, tenang. Turunkan tanganmu. Kau tau sendiri dia tidak bisa jauh dariku kan?”

“Kau berbicara seolah-olah kau benci berada didekatnya Nona Song. Padahal kau sendiri tidak bisa lepas darinya.” Cibir Jisa remeh.

“Bukan begitu, aku hanya—” Hyunhee melipat bibirnya kedalam, menghela nafas dan menerima memang apa yang dikatakan Jisa ada benarnya.

“Dengar Hyun, aku memang tidak tahu detail apa yang terjadi diantara kalian berdua, aku bahkan ragu apa kalian layak disebut pasangan, tetapi ini tidak bisa dibiarkan. Lama-lama kalian hanya saling menyakiti.” 

Sweet Night Where stories live. Discover now