BAB 1 - TENTANG NOVEL PINK

Comincia dall'inizio
                                    

Astaga! Aku menyentak buku diary-ku dan langsung bergegas mendekati pintu dengan seribu rasa malas. Sampai aku membuka pintu, wajah si kunyuk langsung terpampang dengan konyol. Rambut awut-awutannya yang cetar tampak baru saja membuat sebuah gunting bersarang di sana dan kelihatannya Areen ingin segera membantuku dengan hal tidak penting itu. Aku mendecak saat dia menatapku dan meringis. Bunyi pintu kayu yang berdebam adalah hal selanjutnya yang terdengar. Tentu saja aku akan kembali pada kasur sayangku.

"Oi! Gue masih nyimpen foto lo, ya!"

Kecuali saat sebuah suara jahanam membuat langkahku langsung terhenti. Aku menggigit bibir, menghembuskan napas kasar. Sebuah teriakan lolos dari bibirku. Sekarang sore yang chill, buku diary yang seakan menatapku dengan berkaca-kaca, dan lagu yang sudah berganti Good 4 U-nya Olivia Rodrigo terpaksa kutinggalkan.

Maafkan aku sayang-sayangku.

Sebelum langkahku menuju ke pintu dan menghampiri si kunyuk sableng, halaman "Prolog" dari novel Erstwhile adalah yang terakhir kali kulihat.

***

ERSTWHILE

Prolog

Pagi meniupkan angin lembutnya. Serpih embun ikut mengiringi tiupan angin, membawa kesejukan di antara debu yang mulai mengacaukan tenang, seperti gerombolan cokelat yang mengepul dari bus yang baru saja lewat. Lalu-lalang mengisi, tak henti mengacaukan sepi di antara jejak langkah yang tersebar. Orang-orang berceceran. Mereka sibuk dengan jalan, pikiran, dan tujuan yang hanya mereka yang tahu.

Sekali itu pagi hijau tidak lagi terlihat di antara mereka. Seperti seorang gadis yang tampak menyesali keterlambatannya.

Debu dan abu mengepul saat kakinya menapak. Bus yang menghubungkannya ke sekolah sudah berlalu meninggalkan visualisasi yang kabur. Adeline memegangi perut sebelah kirinya yang nyeri. Lari-lari dari rumah dengan kondisi yang belum sarapan memang tidak pernah bagus. Sekarang ia harus menerima jalan kaki dengan perut kram.

Aduh sial sekali.

Kini langkahnya bukan lagi beradu dengan sakit di perutnya, gerutuan pun lolos dengan entengnya sembari ia tertatih-tatih. Jalan yang sibuk, orang-orang sibuk, dan pergi untuk kesibukan paling sibuk. Gadis itu menghela sambil memandangi sekitar. Beberapa orang tampak acuh, atau semua?

Manusia-manusia itu, mereka berjalan tanpa memandang selain yang ada di hadapannya. Entah dunia apa yang mereka pijaki, tapi sudah lama ia heran dengan orang-orang itu, atau dia yang kurang kerjaan memikirkan orang lain?

Agaknya demikian karena di antara semua yang tiba-tiba mengeluarkan payung, dia hanya diam sementara gerimis menyambar tubuhnya. Adeline mematung.

Hancur sudah.

Gadis itu berlari sambil mengumpat. Ia melupakan kram perutnya seketika sampai akhirnya menemukan ruko kosong yang bisa untuk berteduh. Hoodie kuningnya basah kuyup, sepatunya banjir, dan seluruh mukanya terasa lengket.

Bahu Adeline merosot seketika.

Ia jadi memikirkan alasannya terlambat, dan itu membuatnya menyandarkan diri ke pintu ruko. Entah apa yang menjadi penyebabnya, tapi seandainya dia bukan orang yang punya kelainan mengantuk (ini sungguhan), mungkin dia tidak akan sesusah ini.

Bahkan, dia hampir tertidur saat sedang mengiris cabai pagi tadi, penyebab telat makannya. Pernah juga hampir kejatuhan bola basket karena ia salah jalan. Parah sekali waktu itu, dia tidak sadar telah memasuki lapangan dan menjadi pemain tambahan ghaib. Semua itu terlalu aneh meski terdengar konyol. Namun, bagi Adeline yang melaluinya, ia benar-benar tersiksa karena itu.

Seperti saat ini, sudah tidur selama 16 jam, tapi ia langsung menguap ketika tempat berteduhnya berubah remang-remang, atau hanya perasaannya saja.

Sekejap Adeline langsung mencubit punggung tangannya kencang, biasanya kalau dicubit kantuknya jadi hilang, dan sekejap itu juga, ia terjengkang ketika pintu ruko tiba-tiba terbuka. Gadis itu jatuh menimpa lantai.

Kabar baiknya, kantuknya hilang total. Kabar buruknya, ia harus mendapati sepasang kaki bersepatu boot dengan strip merah tiga terpampang di hadapannya.

Takut dan malu yang kepalang membuatnya enggan mendongak ataupun berpaling saat ia mencoba berdiri. Ruko itu ternyata tidak kosong, hanya belum buka saja. Sekarang pemiliknya sudah berdiam di sampingnya, dengan sambutan terjengkang darinya pula. Gadis itu menunduk menghadap laki-laki di hadapannya.

"Aduh maaf, Om! Maaf udah sandaran di ruko, Om. Saya minta maaf banget. Lain kali saya izin dulu deh, hehe." Adeline pelan-pelan bangkit sambil menundukkan badan takut-takut. "Permisi."

Selanjutnya, setelah ia berhasil melewati om pemilik ruko, Adeline langsung terbirit secepat kilat menembus gerimis.

Tidak peduli dengan apa pun lagi meski hujan yang jadi lawannya. Namun, biarpun hujan meteor, sepertinya ia juga memilih kabur daripada berhadapan dengan situasi seperti itu, mana Omnya diam saja, lagi. Pada akhirnya, ia meninggalkan ruko itu dengan malu yang menggelegak.

Kapan sih Adeline tidak ceroboh? Sepertinya setiap hari ia bisa melakukan seratus lebih kebodohan. Sudah tukang ngantuk, pemalu, ceroboh lagi. Adeline meringis sambil menangis dalam hati.

Ia mempercepat larinya. Meninggalkan teras remang ruko, bekas sepatu yang mengotori keramik, dan laki-laki ber-hoodie yang mematung memandangi gadis itu.

"Om?"

Laki-laki itu benar-benar tersinggung.

Ia menghela saat penampakan gadis ber-hoodie kuning itu sepenuhnya menghilang dari pandangan. Ada-ada saja. Daripada memikirkan gadis bodoh itu, lebih baik Arthur bergegas pergi sebelum hujan makin menghalanginya. Dia meraih payung hitam yang tersampir di gantungan samping pintu, membukanya lantas melangkah menembus hujan.

Kali ini pemandangan kota yang acuh bertambah satu orang lagi. Hoodie hitam melangkah di antara rintik hujan. Menapaki trotoar dingin dan memerangi angin yang beku. Tidak ada senyum. Namun, kini pikirannya tertambat pada sesuatu yang terus menganggu.

Cewek kuning.

Warna itu terlalu cerah, tapi cocok juga.

Bibir laki-laki itu berkedut. Langkahnya kian mantap. Menuju suatu tempat yang baru kali ini ia ingin kunjungi. Menuju hoodie kuning yang kini menyembul dari balik dinding suatu ruko. Gadis itu terlihat lelah dari kejauhan sebelum akhirnya terbirit untuk yang kesekian kali.

Sekali itu, hoodie hitam tersenyum sepenuhnya.

Bersambung.

.

16 Aug 21.

Caroline Primrose.

The Pink DiaryDove le storie prendono vita. Scoprilo ora