3

940 100 4
                                    

"Aww... Hiks... Bunda"

"Kenapa kamu bisa jatuh kaya gini? Makanya kalau jalan tuh perhatiin jalan, perhatiin sekitar."

Suara berat dan terkesan dingin itu menginterupsi Adji dari rasa sakit di lututnya.

"Hiks... Maaf Ayah"

Menunduk takut, hanya itu yang bisa bocah 5 tahun itu lakukan. Selalu seperti ini.

"Hah, udah berapa kali ayah bilang kalau anak cowok tuh ngak boleh nangis. Cengeng banget sih."

"Udah, ayo berdiri sekarang. Cuma luka kecil gitu doang kok nangis. Dasar."

Tangan mungil itu tersentak, ditarik paksa agar sang empu bangun dari duduknya.

"Mas, apa-apaan sih. Anaknya lagi luka gini bukannya diobatin malah di omelin." Sang penyelamat datang, membuat hati Adji seketika menghangat.

"Aduh, kok bisa gini? Ayo sayang, kita bersihin lukanya dulu ya."

"Iya bunda..."

"Ck, anak sama ibu sama aja. Ini tuh karena didikan kamu, anak kamu jadi manja kaya gitu. Gimana mau jadi penerus perusahaan kalau gini modelannya."

Ayah meninggalkan pasangan anak dan ibu itu dengan gerutuhan yang belum juga selesai.

Menghembuskan nafas, Bunda beralih menatap luka anak bungsunya yang telah mengeluarkan darah.

Luka seperti ini suaminya anggap kecil?? Mungkin kecil bagi anak remaja atau orang dewasa seperti dirinya, tapi ini Adji, bocah yang bahkan baru genap 5 tahun dua bulan lagi.

"A-ayah ngak sayang sama aku ya Bun?"

Lirihan penuh luka itu terdengar, dengan wajah yang masih basah dengan air mata itu, Adji menatap sayup tepat pada obsidian meneduhkan sang Bunda.

Seperti biasa, dengan senyuman penuh kesejukan kesukaan Adji bunda menjawab

"Ngak sayang, ayah sayang kok sama Adji. Sayang banget malah, mungkin ayah lagi capek aja."

"Ta-tapi ayah marah-marah terus, Adji ngak suka."

"Iya sayang, maafin ayah ya. Ayo, kita bersihin luka nya dulu."

Begitulah hari-hari yang harus di lalui bocah kecil pemilik gummy smile kesayangan keluarga Pramudia. Berat sekali rasanya, di usia sekecil itu tanggung jawab sebagai pewaris tahta sudah menjadi bayang-bayang langkah si kecil setiap harinya.

Percaya atau tidak, saat kebanyakan anak seusia Adji tumbuh dan berkembang dengan bebas, bermain dan belajar dengan suka cita, maka kehidupan Adji kebalikan dari semuanya.

Sungguh, jika saja bunda -Rianti- tidak ada bersamanya di saat-saat si kecil tertekan dan bersedih, entah jadi apa Adji, tidak ada yang tau pasti.

Maka tepat rasanya jika Bunda menjadi obat penawar bagi segala sakit yang Adji rasakan hingga kehilangan Bunda adalah petaka besar bagi Sang Putra tunggal Pramudia.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Jadi, gimana mbak?"

"Seperti yang udah aku jelasin, ini ngak kaya penyakit yang bisa kita diagnosa dan bisa di sembuhkan dengan obat tertentu. Harus ada penanganan yang serius karena ini menyangkut mental."

Jelas Seulgi Saputri, Dokter sekaligus psikiater yang menangani Adji dari awal. Dokter yang juga merupakan sahabat karib Irene. Jadi jangan heran jika interaksi mereka melebihi interaksi antara pasien dengan dokter, saking akrabnya mereka.

Adik Kecil (Alexithymia)Where stories live. Discover now