48 | rencana ekspansi bapak sultan

20.1K 3.2K 186
                                    

Pemenang voucher Karyakarsa chapter 47: yul_nda & Rfty97, masing-masjng 2,5k




48 | rencana ekspansi bapak sultan



PADAHAL kayaknya baru minggu kemarin dirinya puas santai-santai di rumah keluarganya di Magelang, dan minggu lalunya lagi baru pulang honeymoon di tempat paling keren—menurut versinya sendiri—di muka bumi, bersama istri tercinta. Tapi entah bagaimana, sekarang Gusti sudah merasa jenuh lagi dengan rutinitas kerjanya.

Dia rindu weekend yang sebenarnya. Nggak ada janji ketemu orang. Nggak ada kerjaan mendesak yang semisal ditunda sebentar saja—untuk menambah durasi tidur—bakal jadi kacau balau. Pokoknya nggak ada ganjalan—kecuali sedikit perasaan tidak nyaman karena sadar betul besok sudah hari Senin lagi, dan timnya punya agenda maha penting pagi-pagi sekali.

And thank God. Meski hari Sabtunya kemarin dirinya sedikit mendapat gangguan, Gusti masih bisa bersyukur hari Minggunya kali ini betul-betul free. Plus, bonus bisa bangun siang dengan istri tercinta yang bergelung manja di pelukan, dengan wajah terbenam di ceruk lehernya. Cantik, wangi, hangat, berkulit lembut. Gila ... nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan, Guuus, Aguuus?

"Mbak Iis udah bangun?" Gusti menanyai istrinya, melirik sekilas jam dinding yang baru kemarin dia pasang—biar nggak sakit leher, tiap pagi meliuk-liuk menoleh ke jam beker di nightstand di sisi Iis, yang angkanya terlalu kecil untuk ukuran mata orang baru bangun tidur.

Iis mengangguk sekilas. Tidak bergeser, juga tidak memperlonggar pelukannya sedikit pun.

Sekarang baru jam sembilan, dan satu-satunya alasan untuk bangun jam segini adalah hanya jika perut sudah merasa lapar. Karenanya Gusti kemudian bertanya lagi. "Udah laper, belum?"

"Belum."

Gusti lalu mesem. Menarik kembali selimut yang tadi sempat tersingkap hingga menutupi bahu Iis. "Baiklah kalau begitu. Kita merem lagi."

Tapi belum juga Gusti benar-benar kembali lelap, Iis sudah bergerak naik dan mencium pipinya duluan, membuatnya tergoda untuk bangun dan balas mencium—soalnya kalau weekdays susah nyari waktu longgar buat manja-manjaan begini.

"Tepar banget ya, Gus?" Terdengar suara lembut istrinya bertanya. "Semalam tidur jam berapa?"

"Jam duaan ... kayaknya." Gusti akhirnya melek juga. Mengusap wajah imut Iis yang pagi ini terlihat putih merona kayak mbak-mbak pemeran drakor. "Udah sempet bangun cuci muka, ya? Seger amat."

"Duh, ketauan." Iis meringis, membuat sepasang matanya jadi menyipit ketutupan pipi gembul, yang bikin suaminya jadi tambah gemas. "Sekali-sekali lah ya, Mas Suami bangun nggak disuguhi muka bantal."

"Tapi muka bantal Mbak Iis tetep cantik, kok."

"Peres."

Gusti ngakak sambil memeluk istrinya.

Peres, iya peres. Iis kalau subuh-subuh dibangunin masih mangap gitu emang nggak cantik, kok. Tapi imutnya mah tetep. Wanginya juga. Jadi masih banyak plusnya, lah.

Dan untung, kayaknya muka bantal Gusti juga nggak aib-aib amat, berhubung tiap kali Iis bangun duluan dan gantian piket membangunkannya, sang istri masih sempat memandangnya dengan wajah berbinar-binar. Hahah. Serius nih, bukan khayalan Gusti semata.

Tapi nggak tau juga kalau berbinar-binarnya ini punya makna lain. Seperti 'untung Gusti udah nggak seburik dulu,' misalnya.

"Semoga aku nggak ninggalin kamu kram sendirian lagi, ya, semalem." Gusti menggumam. Mendadak ingat betapa nyenyak tidurnya sendiri. Cuma kebangun sebentar untuk salat.

Iis menggeleng. "I'm good. Nggak kebangun sama sekali."

Gusti lalu mesem dan mencium kening istrinya. Lalu mulai merem lagi. Dalam hati agak terheran-heran, bagaimana bisa hal-hal remeh temeh seperti cuddling pagi-pagi—dengan orang yang selama sepuluh tahun terakhir menjadi teman dekatnya, yang tidak pernah sekali pun dia menaruh hati sebelumnya—bisa membuatnya merasa sangat lengkap, sangat bahagia, sangat dicintai?

Aduuuh, receh banget ya, hidupnya ini? Hidup orang lain mah kayaknya berat dan serius banget. Banyak cobaan. Sementara dia sendiri? Hampir tiga puluh tahun ini berasa lempeng-lempeng aja, sampai-sampai sering kepikiran, jangan-jangan dia emang cuma figuran di bumi ini, dan semesta mau ngasih cobaan dia tuh berasa nggak worth it.

Nooo. Gusti bukan minta dikasih cobaan. Of course, not.

Dia seneng kok, hidup santuy kayak di pantai. Cuma kadang-kadang erasa terlalu receh aja.

"Hari ini kita mau ngapain, Gus?" Iis mendadak bertanya.

Gusti mikir-mikir sebentar. "Di rumah aja bosen, ya? Mau nge-gym? Abis itu nonton di mana gitu."

Iis melebarkan kedua ujung bibir dengan datar. "Nanti kamu tidur lagi, kayak waktu itu."

Ya kalau romcom sih ... Gusti tertawa dalam hati. Mending dia tidur aja di bawah selimut velvet class, di pelukan istri, iya kan? Iis senang, dapat tontonan sesuai seleranya. Gusti juga senang.

"Atau mau renang aja di rumah Simprug? Sekalian ngintip rumah sebelah yang kata Jerry ada palang 'dijual'-nya." Gusti coba mengutarakan ide lain.

Iis melebarkan bibirnya lagi. Kali ini diiringi mata menyipit. "You're not buying the house. Kamu nggak ada bakat makelar. Buat apa beli rumah banyak-banyak? Yang satu itu mau disewain aja kamu iya-iya-enggak terus."

"Ya sabar. Properti gede gitu mana bisa cepet, Is? Lagian siapa juga yang bilang mau beli rumah lagi? Satu itu udah cukup sih, buat nanti kalau kita udah punya anak, asal nggak lebih dari dua. Tinggal nambah pekarangan aja paling, biar pada bisa main bola." Gusti lalu diam sejenak, mengernyitkan bahu melihat ekspresi istrinya. "Kenapa mukanya mendadak nggak enak gitu?"

Iis menggeleng. "Nope. Suka-suka bapak sultan mau ekspansi ke mana aja. Ibuk ngikut." Iis lalu kembali menyorongkan muka ke ceruk leher suaminya lagi, memberi kecupan singkat hingga membuat Gusti merasa kegelian. "Jam sebelas aja ya kita mandinya. Ke Simprug abis maksi."

"Sepakat."



... to be continued 

WEDDING BRUNCH [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang