38 | not in the water

28.9K 3.4K 341
                                    

Pemenang voucher Karyakarsa chapter sebelumnya:

yul_nda 3k; ciVelan & Rfty97 2k; Veronika4397 1k




38 |    not in the water



IIS mengerjapkan mata dan mendapati dirinya sudah berada di atas kasur dengan jaring nyamuk diturunkan di sekelilingnya.

Kamar nampak terang benderang, dan terdengar kecipak air dari arah kolam.

Dari suhu udara yang mulai terasa panas dan kipas angin di atas kepalanya yang sudah dinyalakan, jelas sekarang sudah siang.

Wanita itu lalu menegakkan diri. Duduk. Menghela napas berkali-kali untuk menghilangkan sisa-sisa kantuk. Memandang sekeliling.

Well, sepertinya tadi pagi dia jatuh tertidur di lounge, sehabis you know, right? Dan lalu Gusti membawanya pindah ke kasur karena lounge-nya jelas makin panas seiring meningginya matahari.

Iis tersenyum tipis, ingat kejadian tadi pagi.

Merasa bodoh, tapi senang karena nggak ada lagi yang perlu dia khawatirkan—untuk saat ini.

Minimal hingga mereka pulang ke Jakarta dengan selamat lima hari ke depan, harusnya nggak perlu ada drama lagi.

Kemudian pandangan wanita itu mencari-cari sosok suaminya di kolam. Tapi ternyata wujudnya tidak terlihat sama sekali. Hanya terdengar suaranya saja.

Menyadari tubuhnya tidak terbungkus apa pun di balik selimut, dia kemudian meraih bathrobe kering yang tersampir di kaki tempat tidur, lalu beranjak turun. Berjalan ke arah kolam. Ke Gusti yang ternyata sedang berenang dari arah ujung yang berlawanan dengan ujung tempat ranjangnya berada, dengan gaya dada, andalannya dari dulu karena bisa jauh lebih cepat dibanding Zane, setiap kali mereka berdua lomba renang dan Iis jadi jurinya.

Duh, ngomongin Zane terus dari kemarin, Iis jadi rindu pada temannya satu itu.

"You awake?" Gusti akhirnya melihatnya setelah tiba di ujung yang lain, kemudian segera berenang menepi.

Iis mesem. Duduk miring di pinggiran kolam supaya tidak membasahi bathrobe-nya. "Aku tidur lama banget, ya? Kamu sudah makan siang?"

Gusti menggeleng. "Mau ke luar atau room service lagi?"

Iis memandang ke arah hutan sejenak, membayangkan harus menyeberangi jembatan batu tidak beratap dari sanctuary ke Jade Mountain Club sesiang ini. "Makan di sini aja kali, ya? Panas banget mau keluar."

Gusti mengangguk maklum, lalu naik untuk duduk di sebelahnya. "Mandi dulu?"

"Hooh." Iis manggut-manggut. Mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi dingin suaminya, sebelum Gusti ngelunjak dan mencuri satu ciuman. "Btw, nanti apa jadinya rambut sama kulitku kalau harus mandi keramas lima kali sehari begini?"

Gusti ngakak mendengarnya. "Mana ada lima kali! Hari ini juga kan kamu baru mandi pagi doang."

Iis tidak mengindahkan. "Dzuhur-nya jam berapa?"

"Jam dua belas kurang. Kenapa? Mau main air dulu? Masih sempet, nih."

"Bikini aku ke mana?"

"Di kasur tadi nggak nemu?"

Iis menoleh ke belakang dengan malas, tapi sebelum sempat beranjak dari posisi duduknya, Gusti sudah menahan lengannya duluan.

"Nggak usah pakai bikini, sih." Pria itu berujar genit, seperti biasa.

Kontan Iis memutar bola mata. "Dih!"

Iya memang, sudah nggak ada yang bisa dia tutup-tutupi. Sudah terekspos semua dari semalam. Dan dia juga bukannya mau sok-sokan jual mahal. Tapi tetep aja, yang namanya malu itu nggak bisa serta merta hilang dalam satu jentikan jari.

"Si Agus mah, mata keranjang. Istrinya nggak pakai apa-apa, juga." Iis akhirnya pasrah saja saat tangan Gusti menarik lepas ikatan bathrobe-nya.

"Udah halal mah bebas."

Gusti meringis, melemparkan bathrobe istrinya ke lounge, lalu segera membantunya turun ke kolam, biar nggak makin malu—biarpun di bawah air sebenarnya sama aja, kelihatan semua karena bening.

Gusti membiarkan Iis memeluk lehernya, sementara dia menciumi bahunya, sambil berjalan pelan ke sisi tepi seberang.

Btw, yang namanya Iis ini paling males olahraga. Renang juga nggak bisa-bisa banget. Mentok-mentok cuma lima meteran jauhnya—sejauh satu tarikan napasnya—itu pun berisik banget karena pakai gaya ala kadarnya. Diajari juga nggak mau. Capek, katanya. Mending lari, atau zumba, atau yoga—yang lebih minim resiko. Tapi kalau snorkeling, dia masih suka, karena fins jelas membuatnya jadi jauh lebih hemat tenaga, plus mask dan snorkel sangat melengkapi kekurangannya yang nggak bisa ngambil napas sambil renang itu.

"Seger banget. Siang-siang berendam gini." Iis kesenengan. "View-nya juga bagus banget ternyata—karena lihatnya di ujung begini, nggak terhalang atap, jadi lega banget, bisa lihat sampai jauh."

Gusti menyandarkan punggung ke dinding, supaya wanita di pelukannya itu bisa melongokkan kepala, melihat view di bawah. Melingkarkan kedua kaki istrinya ke pinggangnya sendiri supaya nyaman, nggak cuma bergelantungan di leher.

"Nanti pas sunset, foto di sini pasti bagus banget, deh, Is." Gusti mengelus-elus punggungnya. "Atau mau sekarang? Biar kamu juga punya koleksi foto yang terang benderang."

Iis kontan melotot, sadar ocehan Gusti menjurus ke mana. "Seneng banget sih, ngegodain istrinya!"

"Istrinya gemesin soalnya."

Hmm, peres banget.

Iis cuma bisa-bisa geleng kepala mendengarnya, nggak bakat untuk ngeledek balik. "Kamu udah dari tadi berendam gini?"

"Yep."

"Nggak bosen?"

"Bosen. Nungguin kamu bangun."

"Nungguin buat?"

"Lanjutin yang tadi."

Iis akhirnya mengalihkan tatapan dari pemandangan hutan di bawah, lalu menjauhkan kepalanya supaya bisa menyipitkan mata ke sang suami. "Kecanduan, Gus?"

"Mumpung, lah. Cuma setahun sekali nih, bisa cuti panjang begini." Gusti meringis. "Gimana, Buk? Sebentar aja, soalnya kamunya belum Dzuhur."

"Not in the water, then—kita nggak tahu ada bakteri apa aja di sini."

Gusti bersorak girang, lalu segera membawanya ke pinggir. Mendudukkannya ke batas kolam sebelum menyusul naik, merebahkannya kembali ke lounge yang tadi pagi, yang untungnya sudah terhindar dari panas matahari.



... to be continued


WEDDING BRUNCH [COMPLETED]Where stories live. Discover now