11 | [ruang tamu] sepi

29.3K 3.9K 165
                                    

Lagi-lagi ciVelan22, sama ndaaaaa_9 yang komen paling banyak di chapter sebelumnya, cek pesan yaa.




11 | [ruang tamu] sepi



IIS ketiduran. Di sebelah Gusti, di karpet ruang tamu. Dalam posisi duduk bersandar di pundak sang pria.

Gusti jelas jadi nggak fokus ngapa-ngapain dari tadi. Sibuk senyam-senyum sendiri.

Gimana enggak, dalam sehari rasanya hubungan mereka berdua telah berkembang pesat. Yeah, well, nggak usah diingat-ingat lagi betapa tekornya Gusti, yang harus bongkar celengan demi bisa tetap menyelenggarakan resepsi. Tapi terlepas dari itu, dia sangat bersyukur akan apa yang sudah mereka lewati sejauh ini.

Kebayang nggak sih, Iis waktu kuliah dulu songongnya minta ampun dibanding semua cewek di circle mereka. Mentang-mentang semua program kementeriannya di BEM nggak pernah ada evaluasi sama sekali. PKM DIKTI sering lolos pembiayaan. IP tiap semester selalu nyaris empat.

Boro-boro Iis pernah notice keberadaan Gusti—biarpun yang bersangkutan nggak pernah absen ikut nongkrong ke mana pun geng mereka pergi. Bahkan liburan ke Thailand Gusti jabanin, dengan nggak jajan sebulan.

Di mata Iis, cowok-cowok B aja, cenderung payah, kayak Gusti ini jelas invisible.

Saat mendirikan Relevent pun, meski akhirnya dia dan Iis menjadi cukup dekat, Gusti yakin kalau pun di dunia ini tinggal dia satu-satunya cowok jomblo, belum tentu Iis akan meliriknya.

Iya juga sih. Waktu itu Iis memang masih punya pacar, dan hubungan mereka baik-baik saja. Jelas dia nggak khawatir nggak dapet jodoh waktu itu.

But now ... gila nggak? Semesta emang jago membolak-balik jodoh. Bikin dua manusia yang nggak pernah saling suka, nggak pernah kepikiran bakal hidup bersama, malah bersatu.

Bahkan hingga tahun lalu saja Gusti masih mengira bahwa pernikahan adalah hal yang baru akan dia pikirkan setelah minimal masuk kepala tiga alias tahun depan, saking ekstrimnya fase itu. Eh, ternyata sekarang dia sudah menemukan seseorang yang membuatnya langsung yakin, nggak perlu menunda-nunda lagi. Dan orang itu tidak lain tidak bukan adalah teman yang hampir setiap hari dia temui.

Lamunan Gusti mendadak buyar dengan adanya pergerakan Iis di pundaknya.

Gusti lalu menangkap bahu sang wanita tepat sebelum kepalanya jatuh terkulai ke lantai.

Pria itu lalu menghela napas panjang. Heran, maklum, geli, jadi satu.

Setelah resmi bertunangan, memang Iis jadi tampak berbeda di matanya.

Cewek yang selalu terlihat bisa hidup sendiri itu mendadak jadi ... nggak mungkin dia biarkan hidup sendiri lagi.

Lihat aja, Iis kalau duduk dengan kaki terlipat begini, saking kecil badannya seolah bisa muat masuk ke koper. Gimana Gusti jadi nggak sayang kalau lucunya ngalah-ngalahin kelinci peliharaan adiknya begini?

Setelah menggeser laptopnya ke tengah meja agar tidak jatuh tersenggol, dengan satu tangan lainnya masih memegangi bahu Iis, pria itu lalu mengangkat sang wanita ke gendongan. Kemudian mencoba berdiri.

Untung Iis kemungkinan besar cuma empat puluhan kilo beratnya. Jadi Gusti nggak perlu terlalu bersusah payah.

"Gus?"

Wanita dalam tangkupan kedua lengannya itu tiba-tiba saja sudah mengerjapkan mata, bahkan sebelum Gusti sempat membawanya pergi selangkah pun.

"Gue gendong ke kamar, ya?" Karena Iis sudah terlanjur bangun, jadilah dia minta izin sekalian.

"Gue berat, kali." Iis menggumam, tampak tidak enak hati. Dengan mata menyipit karena silau dan mengantuk.

"Mana ada lo berat?" Gusti mendengus pelan, lanjut berjalan menuju kamar Iis, kemudian meletakkannya perlahan di atas kasur.

Iis mesem tanpa membuka mata ketika kemudian calon suaminya itu membantu membetulkan posisi bantal dan menyelimutinya seolah dirinya ini anak kecil.

"Good night, Gus." Iis mengucapkannya seraya kembali bersiap tidur.

Gusti duduk di sisinya, mengulurkan tangan untuk mengelus pipinya. "Gue balik ke Setiabudi ya, Is." Pria itu berbisik.

Iis yang belum benar-benar merem langsung melek lagi.

"Ngapain? Udah malem banget."

"Ada yang ketinggalan buat kerjaan besok. Repot kalau pagi-pagi mesti balik dulu. Muter-muter kan, jadinya?"

Iis seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi batal. Ucapan Gusti ada benarnya. Memang bakal repot. Mana belum tentu besok mereka berdua bisa bangun pagi.

Gusti lalu melanjutkan. Menggoda. "Sepi ya, nggak ada gue di ruang tamu?"

Iis cuma manyun, membuat Gusti tersenyum geli karena merasa diiyakan.

"Besok pagi kalau nggak kesiangan gue samper deh."

Iis masih manyun. "Perlu dibangunin?"

"Boleh." Gusti mengangguk. "HP nggak gue silent."

Iis lalu meraih tangan yang sedari tadi menangkup pipinya itu, kemudian mencium punggung tangannya.

"Good night." Wanita itu berujar sebagai penutup.

Gusti berdiri dari pinggir kasur dengan enggan. "Sumpah kalau elo semanis ini, gue jadi makin nggak sabar mau bawa pulang."

Iis tertawa pelan. "Pulang ke mana? Bukannya abis married, kamu yang mau pindah ke sini?"



... to be continued

WEDDING BRUNCH [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora