44 | losmen bu prawirodiprodjo

25.2K 3.6K 488
                                    

Pemenang voucher Karyakarsa chapter 43: Rfty97 3k & yul_nda 2k




44 | losmen bu prawirodiprodjo



IIS dehidrasi.

Subuh-subuh sudah harus mengejar penerbangan dari HLP. Tiba di JOG sudah hampir jam delapan. Dan dia baru ingat kalau ternyata Jogja nggak kalah panas, macet, dan polusi dibanding Jakarta. Untunglah, sopir yang menjemput mereka, Pak Iman, skill mengemudinya sudah kayak pembalap F1. Perjalanan dari Bandara Adisucipto ke rumah keluarga Gusti di kaki gunung di Magelang yang—katanya—normalnya harus ditempuh dalam waktu dua jam di lalu lintas normal, kali ini, di hari Sabtu pagi begini, belum sampai satu setengah jam sudah hampir sampai.

Well, nggak beda jauh sih. Tapi lumayan lah, berhubung jalan lagi macet.

"Doain Abang cepet jadi sultan ya, Neng. Biar bisa pulang kampung naik heli." Gusti meringis saat mendapati istrinya mulai tampak tepar di dalam mobil.

Iis cuma bisa mencebikkan bibir, menerima botol air mineral dingin yang diulurkan suaminya dari built in fridge.

"Harus buka sendiri nih, Mas?" Iis pasang tampang merana. "Tangan aku keringetan."

Gusti ternganga. Baru tahu Iis bisa manja sampai bikin dia mual begini. Tapi dia iyakan saja daripada istrinya pingsan kehausan. "Kamu rewel dan clingy banget beberapa hari ini. Jangan-jangan hamil, lagi?"

Iis tidak menyahut. Meneguk minumannya sampai tersisa setengah.

Rada ngeri juga kalau hamil beneran, soalnya dia belum sempat ke obgyn sama sekali. Nggak pernah peduliin makanan, nggak pernah minum vitamin, nggak pernah olahraga juga.

Lagian selama ini—kayaknya—Gusti selalu pull out di saat-saat kritis, kok, biarpun kemungkinan lolosnya tetap ada karena Iis nggak mungkin ingat satu per satu.

"Here we are." Gusti menggumam pelan ketika kendaraan mereka melewati gerbang besi bercat hitam di antara pagar tanaman setinggi dua meter, dengan background puncak gunung Sumbing.

Sejuk? Sepertinya tidak, kecuali kalau mau duduk-duduk di bawah pohon.

Maaan, ini sudah hampir jam sepuluh, dan matahari sedang terik-teriknya. Mana di langit nggak ada awan sama sekali, pula.

Iis lalu bersiap-siap turun saat mereka melewati halaman luas yang banyak ditumbuhi pohon alpukat, rambutan, dan lengkeng yang lagi rame-ramenya berbuah, menuju carport yang berada tidak jauh dari bangunan rumah joglo warna cokelat kayu yang terbuka bagian depannya, tampak berisikan beberapa set meja kursi kayu.

Sepi. Hanya ada suara angin sesekali. Dan kendaraan.

Lalu sebuah golf cart—dengan Bagas duduk di balik setirnya—membuat Iis seketika ternganga.

"Halo, Mbak Iis."

Bagas itu sepupu kesayangan Gusti, musuh besar Trinda, yang kalau lagi berantem berdua udah ngalah-ngalahin adegan smackdown di YouTube, saling beneran mukul dan nggak ada yang mau mengalah. Tuh bocah baru masuk SMP, tapi kayaknya dari bayi sudah kelebihan gizi banget-banget-banget. Tinggi badannya sekarang sudah seratus delapan puluh lebih katanya—hampir menyaingi sang mas sepupu. Dan lebarnya ... hmm, dua kali lipat dari Gusti?

Okay, keluarga Gusti memang nggak ada yang mini. Tapi, biar badannya gede begitu, Iis tetap ngeri juga melihat bayi besar dikasih izin pegang mobil sendiri.

"Don't worry, Mbak. Papi cuma ngizinin di dalem pagar doang, kok. Nggak boleh keluar sama sekali." Bocil yang mukanya masih imut, kontras dengan ukuran tubuhnya itu lalu meringis saat melihat mbak iparnya mengernyit. Kemudian ganti menyapa masnya saat yang bersangkutan muncul dengan carry on luggage di tangan. "Yangti lagi mandi, abis dipipisin adek. Yang lain baru aja pada cabut ke Jogja, ngiranya Mas bakal nyampe sini siang. Tapi Bupoh Yayuk sama Mami ada di dalem, sih."

Gusti menjitak adiknya dengan gemas—menjitak beneran karena setelahnya Bagas langsung meringis menahan sakit, tapi gengsi mau mengaduh. "Anterin Mbak Iis ke kamar dulu, deh. Tadi di airport nggak sempet ke kamar mandi."

Iis melongo saat kemudian koper mereka diangkat dan diletakkan ke atas cart oleh suaminya.

"Kuy, Mbak Is." Bagas memanggilnya dengan senyum tersungging. "Nggak bakal nabrak pohon, kok. Tapi nggak tahu kalau nyebur empang. Tadi sih hampir."

Iis jelas jadi makin ngeri.

"Aku jalan aja, sih. Emang kamarnya di mana? Muter lewat pintu belakang?"

Gusti menggeleng, mengusap-usap lengan istrinya dengan lembut. "Bareng Bagas aja daripada capek. Dia udah jago kok, nyetir di pekarangan doang ini."

Terpaksa Iis menurut saja, naik ke jok di sebelah Bagas, kemudian memandang hampa punggung sang suami yang segera berjalan menaiki undak-undakan joglo, masuk ke dalam rumah yang entah terdiri dari berapa banyak joglo saking nggak kelihatan ujung belakangnya.

"Kita ke mana, Gas?" Iis terheran-heran saat sadar cart yang ditumpanginya malah berbelok menjauh setelah melewati joglo terakhir, menyeberangi entah taman, entah kebun, saking hijau semua.

"Ke kamar Mas Agus, kan?" Bagas jadi ikut-ikutan bingung. "Emang tadi Mbak disuruh ke mana?"

"Emang kamar Mas Agus di mana?"

"Tuh. Depan empang."

Beberapa menit kemudian, begitu sudah dekat, Iis langsung speechless.

"Tenang. Nggak ada buayanya, kok. Yang terakhir kan udah jadi suami Mbak." Bagas meringis sambil melompat turun dari cart, lalu menurunkan koper Iis dan membawakannya masuk. "Dan kalau malem-malem mau berisik di sini, nggak bakal ada yang denger juga. Cocok buat newly-wed."

Iis mengikuti langkah sepupu suaminya itu dalam diam.

"Udah dibersihin juga kok ini. Emang kelihatan kusam aja semua perabotannya. Dan semoga Mbak nggak mual ama bau Sedap Malam."

Iis hanya bisa melongo terheran-heran saat dibawa masuk ke pavilion itu. Membiarkan Bagas membukakan jendela ruang tamu, kemudian memberi tahu letak kamar mandi.

"Ini beneran kamarnya Mas Agus?" Iis lalu duduk di sofa setelah urusannya selesai.

Bagas cuma nyengir kuda. "Nggak, lah. Baru dibangun pas aku SD, jadi Mas Agus udah di Jakarta duluan. Tapi tiap pulang emang selalu di sini, sih, tidurnya. Sama aku. Soalnya di rumah berisik. Banyak bayik nangis kalau malem."

"Terus nanti kamu tidur di mana?" Iis nanya, rada merasa nggak enak karena kedatangannya menggeser posisi anak orang.

"Di balik semak-semak, noh. Aku mah udah biasa menyatu dengan alam."

"Serius, Gas!" Ih, Iis lama-lama juga jadi gemas. Wajarlah Trinda kesel banget sama ini bocah.

"Serius, Mbak. Gubukku ada di balik semak-semak itu, tuh. Mau lihat? Mau muter-muter sekalian ke kebon? Mau dikasih tau spot mancing yang rame ikannya? Atau mau nyolong tebu? Naik cart tapi. Kalau jalan, belum nyampe mana-mana keburu semaput duluan."

Well ... whatever .... Iis hanya bisa manggut-manggut kaya orang bego, menatap sekeliling ruangan pavilion yang dengan rendah hatinya disebut 'gubuk' sama cucu pemiliknya. Menatap lapangan golf, danau buatan, sawah terasering, dan gunung di balik jendelanya ruang tamunya.

"Btw, nanti malem kalau udah pada mau balik ke sini, Mbak mbontot makanan aja buat jaga-jaga kalau kebangun. Yangti nggak ngizinin staf nganter makanan ke kamar-kamar—selain buat tamu guest house. Nanti manja, katanya." Dan kemudian anak tiga belas tahun itu bangkit berdiri dari sofa tempatnya duduk. "Kuy. Salim ama Yangti sama Bupoh dulu, baru aku temenin lihat-lihat."



... to be continued

Nulis chapter ini, w auto pengen dilamar jadi istri kedua Pak Ardiman. 😭🙏

WEDDING BRUNCH [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang