40 | too old to be called cute

34.2K 3.8K 291
                                    

Pemenang voucher Karyakarsa chapter 39: syr_27 Rfty97 3,5k; yul_nda 2k, ciVelan22 1k.




40 | too old to be called cute



SETELAH melewati seminggu super seru keliling St. Lucia, mengunjungi berbagai tempat dan melakukan semua hal layaknya turis lain, dilanjut tiga puluh jam lebih perjalanan pulang, ada satu hal yang Iis sesalkan saat akhirnya dia dan Gusti telah berada di dalam mobil jemputan, supir ayahnya, dalam perjalanan menuju apartemen mereka dari Bandara Soetta pagi itu.

Iis lupa menitipkan kunci apartemen ke Mamanya dan meminta tolong Mbak di rumah orang tuanya untuk bersih-bersih, seperti yang biasa dia lakukan setiap bepergian jauh.

Apalagi, sekarang dia sedang menderita sakit kepala karena jetlag—dan tampaknya, kondisi Gusti pun tidak lebih baik dibanding dirinya. Bagaimana tidak? Mereka berangkat dari JFK jam sembilan malam dan dua belas jam kemudian saat tiba di DBX, ternyata sudah hampir malam lagi. Jelas saja mereka nggak mungkin bisa lanjut tidur hingga mendarat di Soetta delapan jam lebih kemudian, yang ternyata di Jakarta masih pagi, di saat tubuh mereka sudah merasa lelah, seperti di sore hari.

Parahnya, karena baik Iis maupun Gusti bukan orang yang sering bepergian ke daerah dengan zona waktu berbeda jauh, ketika tiba di Jakarta dengan kalender lompat satu tanggal, kepala auto jadi puyeng.

Mereka bukannya nggak tahu hal ini akan terjadi. Tapi tetep aja, meski sudah berusaha mengantisipasi dengan mencoba keras untuk tidur di pesawat tadi, badan mereka menolak. Dan sekarang baru terasa banget capeknya. Terutama kalau harus membayangkan nggak akan bisa langsung tidur begitu sampai di rumah.

"Oh, God ...."

Iis merengek begitu melihat tumpukan kado pernikahan yang belum dibuka di ruang tamu begitu mereka berdua tiba di unitnya. Segera menyalakan AC karena merasa seperti terpanggang saking panas. Lalu ganti menatap Gusti yang baru masuk dengan koper mereka berdua.

"Kenapa?" Gusti bertanya dengan mata yang sudah tidak bisa melek sempurna.

"You hungry?" Iis balik bertanya dengan topik lain, barangkali selain mengantuk, suaminya butuh hal lain.

"Nope. I'm sleepy."

Sang pria mendorong koper ke samping kamar mandi.

"Same here." Iis mengerucutkan bibir. Mencopot jilbab dan pakaiannya, menyisakan camisole putih tulang trademark-nya. "Ya udah, you go shower first. Aku beresin kasur dulu, biar abis mandi kamu bisa langsung tidur."

Gusti mesem. Menggeleng kecil sambil ikut melepas kemeja dan melemparkannya ke keranjang baju kotor. "Aku copot seprai, kamu ambil yang baru. Abis itu kita mandi. Begitu lebih cepet. Dan lebih adil."

"Hmm." Iis berdecih, tertawa kecil. "Lagi jetlag gini masih sempet-sempetnya modus ya kamu."

"Any better options?"

"Nope."

Mereka pun kemudian meninggalkan koper dan yang lain-lain tergeletak begitu saja, berserakan di ruang tamu dan sekitarnya. Lalu mulai bahu-membahu mengganti seprai, sarung bantal, dan selimut. Mengelap nightstand biar debunya nggak terbang ke kasur pas mereka tidur nanti, menyalakan robot vacuum cleaner, lalu pergi mandi kilat. Masing-masing membungkus kepala dengan handuk tebal biar nggak membasahi bantal, karena nggak sanggup berdiri atau duduk lebih lama lagi untuk sekadar mengeringkan rambut.

Keduanya tepar.

Tidur sepulas-pulasnya. Kayak bayi. Nggak peduli ngorok, nggak peduli ngiler, nggak peduli saling tendang. Bahkan suara AC yang entah kenapa tiba-tiba jadi rada bising, juga vacuum cleaner yang lalu lalang—dengan bunyi dengungan khasnya— sama sekali tidak mengusik telinga. Sampai akhirnya, untuk pertama kali setelah menikah, Iis yang notabene lebih kebo—atau sapi—ketimbang suaminya, bangun duluan, dan ternyata sudah lewat tengah hari.

To be honest, meski perjalanan kali ini—yang cuma dihabiskan dengan duduk diam di cabin pesawat—terasa capek parah, Iis pernah mengalami yang lebih parah dari ini. Waktu masih kuliah dan sedang persiapan festival kewirausahaan yang jadi program kerja BEM, dan dirinya baru pertama kali jadi koordinator seksi acara. Saking kacaunya, selama tiga hari menjelang hari H, jam tidurnya bisa dihitung jari. Itu pun harus nyuri-nyuri saking nggak kuat melek. Dan setelahnya, di malam acara kelar, dia langsung hibernasi selama dua puluh empat jam penuh. Baru bangun setelah sekompi teman-temannya membangunkannya dengan paksa, takut dia mendadak mati karena kecapekan. Dan sejak itu Iis jadi tahu, bahwa selain kerja keras, tidur adalah bakat alaminya.

"Jam berapa?" Gusti menggumam saat merasakan pipinya disentuh.

"Jam satu lewat." Iis menyahut pelan. Memandang suaminya yang masih merem. "Kasian ya, kamu. Besok udah masuk kerja aja. Nggak ada waktu buat recovery."

"Cungpret harus balik ke realita." Gusti menggumam.

"Mau pergi massage? Aku yang traktir."

Gusti menggeleng. "Traktir makan aja. Yang enak."

Iis lalu menjauhkan diri, dan Gusti mulai mengerjapkan mata, mencoba bangun juga.

"Tepar banget, ya?" Iis nanya lagi.

Sudah jelas sih, sebenarnya. Dia cuma mau memastikan aja.

"Hmm." Gusti menggumam lagi. "Ini ujung jari-jari tanganku kayak mati rasa semua."

Iis bangkit duduk. Mengecup dahi pria di sebelahnya.

Handuk yang tadi dipakai Gusti untuk membungkus kepala sudah melorot jatuh ke lantai, sementara miliknya sendiri juga sudah lepas. Beruntung rambutnya yang memang terhitung tipis ini sudah kering, sehingga nggak ada bantal mereka yang jadi korban.

"Kenapa ngelihatinnya gitu amat?" Gusti bertanya padanya tidak lama kemudian.

"You look cute." Iis ngasal.

"Cute? Di umur segini?" Gusti auto pasang tampang merana. "Huhuhu. Please, deh. Kenapa nggak bilang aku ganteng aja gitu?"

"Because you are not." Iis terkekeh-kekeh puas, kemudian memungut handuknya dan beringsut turun. "Yuk salat dulu. Abis itu aku pesenin makan dan beresin ruang tamunya. Kamu bisa merem sambil nunggu makanan dateng."

"I feel bad. Ngebiarin kamu beres-beres sendiri." Gusti berusaha kooperatif saat lengannya ditarik-tarik Iis yang sok-sokan mencoba membantunya bangkit.

"It's okay. Gantian, lah."

Dan benar saja, selesai salat berjamaah, Gusti langsung ambruk lagi ke kasur. Dengan tampang polosnya yang emang imut itu, kalau dilihat lama-lama.

"Is." Gusti menggumam lagi saat Iis hendak keluar kamar, setelah menyampirkan sajadah dan mukenanya ke sandaran kursi rias.

"Hmm." Yang dipanggil menoleh.

"Tengkyu, ya. Baik banget kamu jadi istri."

Ugh. Gemesin banget mukanya kalau lagi ngomong gitu. Iis sampai mau balik badan untuk menciumnya lagi, tapi segera mengurungkan diri. Takut bablas peluk-peluk lagi, terus ketiduran lagi.

Wanita itu lalu segera keluar dan memesan makan siang. Kemudian membongkar koper, sebelum pakaian kotor mereka berdua keburu ditumbuhi jamur.



... to be continued

WEDDING BRUNCH [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang