"Bapak kerja di sini sudah berapa lama?" tanya Grahita kemudian. Grahita tak kenal dengan beberapa orang yang bekerja di rumah eyangnya, termasuk bapak ini.

"Sekitar kurang lebih 10 tahun, Non."

"Panggil saja Grahita, Pak,"

"Jangan, Non 'kan majikan saya."

Grahita menggeleng, "Majikan 'kan nggak harus memanggil Non, Pak."

"Saya panggil Neng saja bagaimana?" tawar bapak itu. Berdebat dengan sang pemilik rumah bukan hal yang bagus baginya.

Grahita yang sedang menyirami bunga mawar mengangguk setuju. Itu lebih baik ketimbang dipanggil Non. Lagipula ia bukan majikan di sana. Ia hanya tinggal sementara. Setelah itu, ia akan kembali lagi ke rumah lamanya, mungkin.

"Siap Neng,"

"Bapak namanya siapa?"

"Nama bapak Wahyu, Neng."

Kembali Grahita mengangguk. Grahita sudah lama melihat Pak Wahyu ini bekerja namun ia tak tahu namanya. Setiap Grahita melihat pak Wahyu bekerja di rumah ini, ia melihat hanya ada keikhlasan di sana. Dia bukan peramal memang, namun setiap pagi Grahita melihat pak Wahyu bekerja, ada rasa ikhlas dan tenang di sana. Bahkan laki-laki setengah baya itu rajin dan cekatan ketika dimintai tolong.

"Pak, saya boleh tahu nggak kenapa bapak bisa kerja di sini?" tanya Grahita kembali. Ia mendadak kepo dengan pak Wahyu ini.

Pak Wahyu yang sudah menata tanaman lalu menoleh ke arah Grahita yang tiba-tiba berjongkok dan membenarkan tanah di pot bunga matahari. Pak Wahyu hendak mencegah, namun ia tahu pasti Grahita akan menolaknya.

"Hampir 10 tahun yang lalu bapak di-PHK dari pabrik tempat bapak kerja dulu. Setelah itu, alhamdulillah ada lowongan kerja di sini buat jadi tukang kebun. Saya masukin saja lah daripada nganggur. Alhamdulillah, bapak diterima dan kerja sampai sekarang."

Grahita mengangguk di tempatnya. Gadis itu masih ingin berkebun dengan pak Wahyu.

"Pak, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Grahita tiba-tiba yang sudah menyelesaikan pekerjaannya. Gadis itu kini duduk di atas rumput taman dengan menghadap pak Wahyu yang mengambil daun-daun kering pada tanaman hias

"Boleh sekali, Neng. Neng Grahita mau tanya apa?"

"Definisi bahagia menurut bapak apa?"

Melihat pak Wahyu yang begitu tenang dan ikhlas, membuat Grahita ingin bertanya tentang kebahagiaan. Ini memang di luar kendalinya sejak awal. Setelah berbicara dengan pak Wahyu, tiba-tiba Grahita ingin bertanya tentang hal tersebut.

Pak Wahyu yang handak meletakkan pot tanaman hias itu lantas mengurungkan niatnya. Beliau langsung menatap Grahita yang sepertinya penasaran.

"Bahagia?"

"Hmm apa ya Neng? Yang bapak tahu, ketika bapak melihat istri bapak tersenyum, melihat anak-anak bapak bahagia, disitu bapak ikut seneng. Saya orang kecil, jadinya lebih memilih mensyukuri apa yang diberikan Tuhan pada bapak dan keluarga. Tapi beruntungnya bapak juga bisa ketemu sama Tuan Soeroso yang sangat pengertian. Mungkin kalau dulu bapak nggak kerja di sini, bapak nggak tahu nasib bapak sekarang. Mungkin ini sebuah perantara dan alhamdulillah bapak bisa menyekolahkan anak bapak sampai universitas atau tidak. Bapak dan keluarga bisa hidup sederhana dan cukup sampai sekarang saja, sudah bapak syukuri."

"Apa sih Neng yang bisa diharapkan di kota besar ini? Dapat kerja dan majikan yang sangat baik itu sebuah anugrah besar bagi bapak. Jadinya setiap hari bapak harus bahagia untuk merayakan kenikmatan yang telah Tuhan berikan sampai sekarang ini. Kalau lagi susah, memang waktunya susah, harus sabar, ikhlas, dan hadapi dengan tabah. Pasti ada masanya untuk bisa merasakan sedih dan senang, semuanya imbang."

Aksara Dan SuaraDonde viven las historias. Descúbrelo ahora