TH 10

140 22 0
                                    

Mean POV

Tak pernah sedikitpun terpikir olehku, bahwa satu alasan mengapa Tuhan masih mengizinkanku untuk hidup adalah karna Dia menyiapkan lelaki ini untukku. Aku menatap dia yang sedang tertawa karna sebuah buku. Bagiku justru tawanya lah yang membuat aku jadi semakin merasa hangat. Tak pernah aku bertanya apa yang akan Tuhan berikan untukku setelah Ia mengambil segalanya dariku.

Namun Tuhan memang masih baik padaku, menyisakan satu ini untukku.

Meski aku bahkan tak perduli dia mau sama ataupun berbeda denganku.

"Kamu kenapa malah sibuk ngeliatin aku?" Tanyanya seolah bingung. Aku tersenyum lalu mencium hidungnya yang imut.

"Buku yang kubaca nggak asyik." Kataku.
"Mau tukar Phi?" Tanyanya polos. Aku menggeleng masih dengan senyuman.

"Nggak sayang, kamu lanjutin ajah bacanya. Ssst jangan berisik, ini di perpustakaan loh." Kataku sambil mengelus rambutnya.
"Tapi Phi, dari tadi aku ketawa nggak ada yang negur." Perth masih ingin berdebat ternyata.

"Hehe iya juga, berarti yah nggak papa kalau ketawa. Lanjutin gih bacanya." Kataku. Ia pun menurut.

Karna aku merasa bosan, ku sandarkan kepalaku ke meja, lebih leluasa memandangi wajahnya dari bawah.

Aku sendiri juga tak sekalipun mempertanyakan mengapa diriku jatuh cinta pada robot sepertinya. Bahkan aku tak pernah kecewa maupun marah ketika ia selama ini membohongi ku dengan identitas nya. Seolah aku sedikitpun tak pernah perduli mau seperti apa sosok aslinya.

Perth pernah bercerita bahwa ia kecewa karna dicintai oleh Mark. Perth merasa begitu sedih dan bersalah, bukan inginnya tidak membalas perasaan Mark. Toh Perth sendiri juga tidak punya rasa.

Namun Perth jujur terhadapku bahwa ia tertarik padaku, karna dulu aku sama sepertinya. Hidup tapi seolah enggan hidup. Bedanya jika aku manusia, dia adalah robot. Tapi aku dan dirinya itu sama. Dia sama sekali tidak salah, nyatanya hidupku benar-benar suram, hampa dan juga tak ada gairah untuk hidup. Hanya terus menjalani hidup untuk menjemput kematian.

Iya semengerikan itulah kehidupanku.

Sebelum adanya Perth Tanapon.

Aku tersenyum mengingat masa suram itu.

"Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Sehat kan?" Tanya Perth sambil memegang dahiku. Ini anak fokus baca buku sempat-sempatnya memperhatikan diriku. Bagaimana aku tak makin jatuh cinta kalau dia semenggemaskan ini.

"Sehat kok, kamu pikir aku gila?" Tanyaku berpura-pura kesal.
Dia tersenyum.
"Gejala gila biasanya senyum-senyum begitu hehe." Dia malah balik menggoda.

Sederhana sekali interaksi ku dengannya, namun manis dan selalu berkesan.

Aku beruntung, Perth, si robot menggemaskan ini adalah milikku.

Mean POV End
...

Perth POV

Buku ini menarik, aku tak menyesal diajak kencan di perpustakaan. Toh kemanapun Mean mau pergi aku tak akan protes. Asal dengan dia, dimanapun bukan sebuah masalah. Kalau kata Phi Atta aku ini sudah seperti bucinnya Phi Mean. Selain memang kerja sebagai sekretarisnya, aku juga adalah kekasihnya.

Terkadang aku berpikir diriku tidak percaya diri bahwa seorang manusia sepertinya akan memperlakukan aku sebaik itu. Bahkan dia menerimaku meski aku bukan manusia sepertinya. Sungguh beruntung sekali bukan diriku ini.

Menjalani waktu dengannya membuatku semakin lama semakin tahu bahwa mungkin satu-satunya yang menganggap aku benar-benar manusia hanyalah seorang Mean Phiravich, ia tidak pernah mengandaikan diriku sebagai manusia.

Theory (Meanperth) EndWhere stories live. Discover now