BAB 1 : Kelahiran Manusia Anjing Baru

80 4 0
                                    

Suatu hari, tepatnya di sebuah desa kecil bernama Desa Rinai, dua orang perempuan bernama Ratih dan Ratna sedang dalam proses persalinan di kediaman Adidupa. Adidupa—suami Ratih— serta Abdul—suami Ratna— ikut menemani istrinya yang akan melahirkan anak pertama mereka. Selain mereka berempat, ada seorang dukun beranak yang akan membantu proses lahiran.
“Ayo, Bu Ratih. Sekarang mulai mengejan ya!”

“Ayo, Sayang! Kamu pasti bisa! Ini demi anak kita.”

Ratih mulai mengejan dan mulai berteriak kesakitan.
“Aw, sakit, Mas. Sepertinya aku nggak kuat, Mas.”

“Kamu pasti bisa, Sayang. Ayo, coba lagi!”

“Betul, Bu. Ibu pasti bisa. Tarik nafas, buang. Ayo, Bu dicoba lagi.”

Ratih kembali mengejan. Angin di sekitar rumah tersebut mulai bertiup kencang.
“Anginnya sudah mulai datang untuk menyambut. Ayo, Sayang semangat!”

Beberapa saat kemudian, terdengar suara tangisan bayi memecah ketegangan di rumah tersebut.
“Syukurlah, Pak, Bu. Anak laki-lakinya lahir dengan selamat dan sehat.”

“Syukurlah anak kita sudah lahir, Mas.”

“Iya, Sayang. Anak kita sudah lahir.”

“Oh, iya apakah Bapak dan Ibu sudah siapkan namanya?”

“Namanya Putra Alam, Bu Dena.”

“Nama yang bagus, Pak.”

“Bu, boleh saya gendong Alam?”

“Boleh, Bu. Silakan. Saya juga mau membantu Bu Ratna di kamar sebelah. Saya permisi dulu ya!”

Bu Dena—dukun beranak itu— keluar ruangan dan menghampiri Bu Ratna dan Abdul di ruangan sebelah.
“Sekarang giliran Bu Ratna ya! Mari kita mulai persalinannya.”

“Baik, Bu.”

Ratna mulai mengejan. Kondisi angin di sekitar rumah tersebut masih sama. Angin masih bertiup sangat kencang. Beberapa saat kemudian, terdengar suara tangisan bayi yang baru lahir.
“Selamat, Bu Ratna, Pak Abdul. Anaknya laki-laki sama seperti anaknya Bu Ratih dan Pak Adidupa.”

“Syukurlah, bagaimana kondisinya, Bu Dena?”

“Kondisinya sehat dan normal, Bu. Apakah sudah ada nama untuknya?”

“Sudah dong, Bu. Nama anak ini adalah Radja Abdulah.”

Bu Dena menyerahkan bayi bernama Radja itu kepada Abdul.
“Hmm, lihat Bu. Anak kita ganteng banget. Semoga kamu selalu sehat ya, Nak.”

“Iya, Pak. Amin. Semoga anak kita sehat selalu dan tumbuh menjadi anak yang baik.”

“Amin.”

“Pak, Bu, saya permisi ke dapur dulu. Saya mau buat ramuan agar Bu Ratna dan Bu Ratih bisa cepat pulih setelah melahirkan.”

“Baik, Bu. Silakan.”

Sementara itu di tempat lain tepatnya di Gunung Rinai, sosok perempuan bernama Daisy—Manusia Kucing— sedang melihat kejadian kelahiran Manusia Anjing baru pada cermin ajaibnya.
“Sial! Anak Manjing itu lahir dengan selamat. Apa yang harus kuperbuat? Aku tidak dapat membiarkan keturunan Manjing itu hidup dengan tenang. Aku harus membuat mereka mati.”

Beberapa tahun yang lalu, Manusia Anjing (Manjing) dan Manusia Kucing (Manku) hidup berdampingan di Desa Rinai. Hingga suatu ketika, Desa Rinai mengalami kekeringan. Mereka mengalami kelaparan dan akhirnya para Manusia Kucing mulai menghabisi para Manusia Anjing untuk dijadikan makanan. Oleh karena itu, mereka akhirnya bermusuhan. Saat ini hanya ada 5 Manjing tersisa. 2 Manjing senior dan 3 Manjing muda. 5 Manjing tersebut adalah Adidupa, Abdul, Petir, Ranting, dan Rimba.

Bersambung...
©2020 By WillsonEP
Bagaimana chapter baru Manusia Anjing?
Suka nggak?

©2020 By WillsonEPBagaimana chapter baru Manusia Anjing?Suka nggak?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Manusia AnjingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang